- 2 -
Genta menolak bicara. Gadis bisa memprediksi keputusan kakaknya. Dia hafal betul watak lelaki berambut cokelat gelap itu. Sama hafalnya dengan kecilnya prospek melarikan diri saat sang kakak berada dalam radius kurang dari dua meter darinya.
“Jangan ke mana-mana.” Genta berkata santai kala mereka menunggu di Aspire Lounge. Durasi transit mereka tak lebih dari dua jam. Riskan jika pergi berjalan-jalan keluar Bandara Schiphol.
Perempuan cantik yang duduk di sebelah Genta sibuk membebat leher dengan syal. Gerutuannya terdengar keras. Gadis gondok setengah mati selama penerbangan empat belas jam tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan sekadar menelepon papanya juga tak bisa karena pria paruh baya itu mematikan telepon.
Genta senang menggodanya. Sengaja membocorkan informasi adalah salah satu cara terampuh memantik kejengkelan Gadis. Setelah setega itu memberi kepingan kabar tak tuntas, Genta memasang aksi tutup mulut. Lelaki itu menolak bicara pada Gadis dan pilih memanjakan diri dengan fasilitas mewah kabin pesawat.
“Menurutmu, aku bisa ke mana dengan borgol hidup tepat di sebelahku?” sindir Gadis.
Genta terbahak. “Jangan cemberut terus. Kau bisa penuaan dini, Darl.” Aksen Inggris kental di suara lelaki itu bernada dalam dan berat.
“Salah siapa jika aku tua sebelum waktunya?” Gadis mencomot selembar keju. Menu prasmanan yang disajikan lounge mewah ini tak cukup menggugah seleranya.
Telunjuk dan ibu jarinya memijat-mijat pelipis. Matanya terpejam rapat. “Apa karmaku hingga harus berurusan dengan keluarga konyol macam kalian?”
“Kau punya genetik yang sama denganku,” tegur Genta. “Kau mengejek keluarga kita sama saja mengejek dirimu sendiri.”
“Manis sekali perhatianmu, Kak.” Mulut Gadis maju lima sentimeter. “Katakan, siapa yang akan dijodohkan denganku?”
“Sudah kubilang tanya sendiri ke Papa.” Genta mengutak-atik ponselnya. “Aku hanya diminta menyeretmu pulang. Itu saja.”
“Tumben kau menurut?” Gadis menyelidik curiga. Hubungan Genta dan Papa bisa terkategorikan benci, tapi cinta.
“Papa akan menutup garasiku.”
Gadis terbelalak. Telinganya tak salah dengar. Senyum jahilnya terbit menggantikan bibir cemberut. “Serius? Papa mengancam dirimu dengan mobil?”
“Aku tak boleh balapan.” Genta masih serius dengan ponselnya. Dia bahkan tak menoleh ke arah sang adik. “Kau tahu sendiri susahnya membobol sistem keamanan rumah kita.”
Senyum Gadis makin lebar. Namun, kini dibarengi dengan rasa bahagia membuncah. Seusil apa pun papanya, pria itu tetap pribadi yang mengagumkan. Kecerdasan otaknya masih tak bisa dikalahkan oleh dua anaknya. Hal itu secara resmi menjadikannya sebagai kepala suku keluarga 4G yang disegani.
“Kau sibuk apa, sih?” Gadis mencoba melongok ponsel kakaknya. Percuma juga mengorek informasi pada orang yang punya pertahanan setebal tembok Cina.
Genta segera berbalik. Kini dia menghadap ke arah dinding kaca lebar. Pemandangan pesawat-pesawat terparkir di luar memanjakan mata. Berbeda dengan ekspresinya yang waspada, gestur tubuh lelaki itu justru sangat rileks. Dia menenggelamkan diri di sofa cokelat berlapis kulit sintetis dengan tangan erat menggenggam gawai.
“Aku sedang mencari identitas Hercules,” jawab Genta lirih. Lounge mewah itu tak hanya diisi penumpang pesawat asal Indonesia. Beberapa maskapai lain juga memanfaatkan tempat itu sebagai bagian akomodasi kelas satu mereka. Penting bagi mereka agar topik sensitif ini tak bocor ke orang lain.
“Ada yang kau dapatkan?” Gadis pun penasaran.
Hercules adalah alasan kakak-beradik itu menginjakkan kaki kembali ke Indonesia. Satu negara tropis berkultur unik yang bertolak belakang dengan keseharian mereka. Tentu saja Hercules adalah nama palsu.
Tokoh mitologi Yunani itu digunakan sebagai sandi bagi klien mereka. Identitas sosok anonim itu sangat misterius. Meski dipenuhi rasa penasaran, Genta dan Gadis tetap menerima tawaran berupah luar biasa besar itu. Soal jati diri sang klien urusan belakang. Besaran uang adalah yang utama.
“Nihil.” Genta menyemburkan napas keras. “Aku melacak ke mana-mana, tetap tak ada jejak apa pun tertinggal.”
“Kartu kredit?”
“Dia membayar tunai, Darl.” Lelaki muda itu menoyor kepala adiknya.
Gadis manyun. “Kau benar-benar tak bisa melacaknya?”
Gelengan Genta adalah jawaban mati bagi mereka. Kening Gadis berkerut. Kemampuan meretas sang kakak bisa dikategorikan hebat, hanya setingkat di bawah sang papa. Namun, kapabilitas Genta dipatahkan oleh sosok anonim yang memperkenalkan diri sebagai Hercules.
“Cara kerjanya memang bersih,” komentar Gadis. “Mengirim surat dengan potongan kata dari koran, membayar secara tunai, menggunakan nomor telepon sekali pakai. Hah, dia bahkan menolak memakai surel.”
“Cara kuno masih dianggap aman bagi sebagian kalangan.” Genta memasukkan gawai ke kantong. “Termasuk target kita kali ini.”
Pandangan Gadis kosong. Ingatannya melayang pada pria bermarga Karundeng. Konglomerat itu dikenal sangat licin menyembunyikan bukti-bukti kejahatan. Dia terduga korupsi bernilai triliunan rupiah. Nilai fantastis yang membuatnya diincar aparat berwenang.
Kemudian Hercules meminta bantuan mereka. Gadis termenung mengingat tawaran aneh yang baru kali ini diterimanya. Bukan perhiasan atau uang, melainkan instruksi untuk mengambil Buku Besar rahasia milik Karundeng. Di posisi tersebut, Gadis tak bisa memprediksi apakah Hercules adalah pihak baik atau justru si jahat yang ingin mengambil keuntungan.
Dengung percakapan membuyarkan lamunan Gadis. Sekelompok wanita berwajah oriental memasuki lounge. Suara mereka berisik. Beberapa dari mereka melambai-lambaikan lembaran plastik pipih berlabel idola Korea Selatan terkenal.
“Apa mereka akan memakai masker wajah di sini?” Gadis duduk tegak, tak percaya polah para turis yang masih heboh.
“Wanita dan ritual kecantikan yang rumit.” Genta ikut-ikutan mengamati kerumunan wanita cantik itu. “Apa kecantikan mereka alami?”
“Jangan body shaming.” Gadis menonjok rusuk kakaknya. “Apa pedulimu jika mereka alami atau tidak?”
“Hanya penasaran.” Genta berdiri. Dia melangkah cepat ke meja buffet dan kembali dengan dua piring penuh makanan. Potongan buah segar aneka warna di tangan kanan, tumpukan roti kroisan warna cokelat keemasan di tangan kiri. “Makan?”
Gadis menyobek rotinya dan mengeluh. Mengapa dia tak bisa mendapatkan roti hangat di kondisi semelelahkan ini? Mulutnya mengunyah cepat, mengabaikan rasa kroisan yang jauh dari selera. Pandangannya melayang ke deretan sofa tunggal berwarna cokelat tua. Lantai berlapis kayu masih dialasi lagi dengan karpet abu-abu gelap. Dominasi palet monokrom di ruang tunggu ini berkesan hangat, tapi sedikit terasa menjemukan.
“Aku mau jalan-jalan.” Gadis berdiri.
Namun, tubuhnya kembali terjengkang ke sofa akibat tarikan Genta. Lelaki berambut lurus itu memasang tampang tak berdosa. Decakannya keluar.
“Jangan coba-coba kabur.”
“Astaga, siapa yang mau kabur?” Gadis menyentak tangan kakaknya. Galak dipelototinya Genta yang duduk tepat di sebelah. “Aku hanya ingin jalan-jalan. Belum tentu juga aku bisa ke Schipol lagi lain waktu.”
“Mungkin saja bisa jika pergi bersamanya.” Genta berteka-teki. Dia mengedip jenaka, lalu kembali memusatkan perhatian pada gawai.
Gadis menatap dingin. Benda persegi warna hitam yang memendarkan cahaya kebiruan milik kakaknya itu sangat menarik minat. Namun, Gadis pun ragu dia bisa mendapat petunjuk dari gawai Genta.
Soal perjodohan masih jadi misteri. Gadis terpaksa menelan kekesalan karena Papa masih tak bisa ditelepon. Dua orang tuanya sama-sama kompak mematikan gawai. Satu-satunya jalan hanya mencuri baca milik Genta. Benda itu tak bisa diambil dengan jalan biasa. Satu alis Gadis terangkat tinggi.
Pandangannya memindai cepat suasana ruang tunggu mewah itu. Ada beberapa orang di sana dengan turis asal Asia yang paling berisik. Dia butuh umpan agar Genta bisa diam tak berkutik.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan dan jawabanku tidak.” Genta mendadak angkat bicara. Tatapannya masih lekat ke layar gawai mungil di tangan.
“Kemampuan telepatimu patut dipertanyakan,” seloroh Gadis. “Aku tak akan kabur, tapi butuh ke rest room. Mau ikut?”
“Kenapa aku harus mengikuti adikku sendiri?” Genta senewen.
“Kau kan, takut aku kabur.”
“Pergi sana!” Genta menggusah adiknya.
Gadis terbahak. Dia melenggang ke arah kamar kecil. Namun, sebelumnya perempuan itu menyerahkan secarik kertas ke rombongan turis Asia yang sibuk mengenakan masker di salah satu deret sofa.
Saat kembali ke kursi, Gadis menahan tawa melihat Genta dikelilingi para perempuan cantik. Kakaknya memasang tampang memelas. Gadis sengaja mengentakkan kaki keras-keras saat berjalan untuk menarik perhatian para perempuan.
“Halo, Ladies.”
Aksen asing seorang perempuan berbahasa Inggris membalas sapaan Gadis. Salah satu dari kelompok turis yang dikomentari Genta beberapa menit lalu kini sibuk mengerumuni lelaki itu. Wajah-wajah ceria mereka menyiratkan kekaguman pada ketampanan sang kakak.
“Kakakmu memang tampan,” komentar salah seorang.
Gadis menaikkan satu alis. Dia memeluk bahu kakaknya dari belakang, lalu mendaratkan ciuman kecil di pipi. Dengan tatapan penuh arti, dia melayangkan pandangan ke perempuan berwajah oriental di hadapannya.
“Kalian mau mendapat nomor teleponnya?” Gadis mengedipkan mata.
Kikik malu-malu terdengar. Gadis melambaikan tangan.
“Oh, jangan malu-malu. Kakakku ini sangat ramah.” Gadis berkata lambat-lambat. Sangat cepat tangannya merogoh saku Genta tanpa disadari lelaki itu. “Nah, siapa yang mau berkenalan lebih jauh dengan kakakku?”
Genta memelototi Gadis. Adiknya mengacungkan gawai yang baru saja dicuri. Genta mendesah pasrah. Kecepatan tangan adiknya dalam mengambil sesuatu sangat sulit ditandingi. Dalam bisikan sinis, Genta bertanya pada Gadis.
“Ini ulahmu, kan? Membawa wanita-wanita ini untuk mengalihkan perhatianku?”
“Harusnya kau lebih waspada. Kau sudah tahu sifatku.” Gadis menepuk pipi sang kakak.
Genta terperangah. Apalagi melihat Gadis berdiri dan berjalan menjauh. Sebelum pergi, adiknya sempat menyodorkan secarik kertas ke salah satu perempuan.
“Hubungi saja kakakku di Line itu.”
-o-
Bola mata Gadis bergerak cepat membaca barisan percakapan daring antara papa dan kakaknya. Keningnya berkerut semakin dalam. Hingga baris percakapan berakhir, dia masih nyalang menatap layar gawai.
Kenapa Papa menjodohkanku? Demi Tuhan, sekarang ini era modern. Kenapa masih ada sistem konyol macam ini?
Gadis menggigit-gigit bibir bawah. Dia mendongak dan bertemu pandang dengan sang kakak. Seringai sinis Gadis tercetak jelas.
“Berhasil melarikan diri dari para wanita, Kakakku sayang?” Gadis mencibir.
Genta berjalan santai. Begitu tiba di hadapan Gadis, dia mengambil kembali barang miliknya.
“Sudah selesai memeriksa, Adikku?” Satu ujung bibir Genta tertarik naik. “Kau salah mencari pengalih perhatian. Aku tak suka wanita Asia.”
Bibir Gadis mengerucut. Hiruk-pikuk longue mulai berkurang. Jam penerbangan mereka sebentar lagi tiba. Genta datang sekaligus membawa tas tangan sang adik. Gadis sempat menolak beranjak, tapi tarikan Genta membuatnya kalah.
“Aku tak mau dijodohkan.” Gadis nyaris memekik. “Aku tak ingin cepat-cepat menikah. Aku masih ingin bebas. Selain itu pekerjaanku tak bisa disandingkan dengan pernikahan, Genta.”
“Itu bukan pekerjaanmu, Gadis. Itu hobimu.” Genta memberi penekanan di kata terakhir.
Gadis menahan lengan Genta. Dia berkata tak sabar. “Jangan ungkit topik itu lagi. Kita satu tim.”
Genta tersenyum hangat. Tangannya naik dan mengacak lembut puncak kepala Gadis. “Aku hanya melindungimu, Darling. Tapi aku tak akan bisa melakukannya setiap saat.”
Gadis menampik elusan Genta. “Menurutmu suami adalah pelindung yang tepat?”
“Tunanganmu.” Genta meralat. “Lagipula orang yang dijodohkan ini sangat keren, Gadis. Andai aku wanita, sudah kurayu dia habis-habisan.”
“Kau saja yang menikah dengannya.”
“Sayangnya, dia lebih memilihmu daripada aku.” Genta terkekeh. Dia kembali menarik tangan Gadis. Berdua mereka melalui belalai gajah menuju ke pesawat yang sudah menunggu. “Dia orang yang sangat populer. Banyak wanita rela berlutut di antara kakinya.”
Gadis memukul lengan kakaknya. “Jangan bicara mesum!”
Genta terbahak. Lengannya melingkari bahu sang adik. Berbisik di telinga perempuan itu, Genta melemparkan umpan.
“Mana harga dirimu, Gadis? Pencuri licin sepertimu tak mungkin kalah sebelum bertarung, kan?”
“Apa maksudmu?” Gadis melepas rangkulan Genta.
Dia berjalan cepat di lorong pesawat yang sempit menuju ke kabin terdepan. Begitu tiba di kursinya, Gadis tak menunggu Genta. Dia langsung menggeser pintu bilik dan memasang penyuara jemala.
“Maksudku adalah ....” Kepala Genta muncul di atas bilik kursi. Cengiran khasnya seolah mengejek sang adik.
“Apa?” Gadis mulai gusar. Otaknya terus berputar mencari upaya penolakan untuk permintaan konyol papanya.
“Maksudku, kau sudah berhasil mencuri hatinya. Masa tidak bisa memperlakukan hasil curianmu dengan baik dan benar?”
-O-
Siapa yang bakal dijodohkan sama Gadis, nih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro