十六
Buah apa yang berbahaya?
ーーー
BUAHaya tegangan listrik tinggi!
Frankenstein:
Gimana gawe baru?
Me:
Biasa ajah. Gimana dikau sama boZ baru? Ganteng banget ya?
Frankenstein:
Jangan ganti topik 😤 gw ogah bahas boZ baru. Gawe dimana?
Me:
Gawe ama Keita
Frankenstein:
KEITA DARI ARROWDARLING???
Me:
🙄Blom minum obat mbak?
Frankenstein:
😭Gw telat gosip. Ga terima😤 sini ketemuan, kasih gw detailnya!
△△△
Aku seharusnya tahu ada banyak alasan aku nggak kasih tahu Frankie soal pekerjaanku, tetapi aku butuh tambahan satu otak untuk berdiskusi, selain Bahtiar botak. Lebih baik tiga otak memikirkan suatu masalah daripada hanya dua. Betul, kan, sodara-sodara?
Maka aku mencuri sedikit waktu istirahatーtepatnya waktu istirahat para kesayangan Keitaーdengan keluar rumah. Nggak jauh. Hanya menyebrang jalan, lalu keluar ke jalan raya dan voila... kami nongkrong di warteg pinggir jalan.
"Keita ngasih lo segitu? Sumpah?!" Frankie bertanya antusias sampai nasi dalam mulutnya muncrat. Aku mendesis sebal saat salah satu serangan mulut Frankie jatuh di lenganku. Cepat-cepat aku sambar tisu warteg dan mengelap buah karya muncratan Frankie.
"Apa masalahnya?" Tanyaku nggak peduli. Yang penting gajiku GEDE.
"Gaji lo gila banget cuma buat maid dan speaking partner. Ngaku, Keita lempar kode ke lo?"
"Nggak ada," jawabku datar sambil menyuap sesendok muntung nasi dan telor dadar. Kenikmatan makanan warteg nggak bisa dibandingkan masakan sendiri. Sudah dua hari aku tinggal di rumah Keita, selama itu pula aku mesti berkawan dengan magicom, kompor, dan teman-teman di dapur. Hasil masakanku nggak buruk, tetapi sesudah melalui proses memasak, minat makanku menurun. Biasanya aku makan masakan Mama Fenita, kadang bantu memotongkan bahan masakan, dan nggak mengurangi nafsu makan. Ini, baru dilihat saja, aku berasa kenyang.
"Lo aja yang lempar kode ke Keita," usul Frankie yang sontak aku balas pelototan. Ini Tamara Bleszinskie KW benar-benar kurang hiburan, sampai mengorbalku sana-sini.
"Lo jomlo, Keita jomlo, sama-sama tinggal serumah. Tinggal dihalalkan, Kil. Gampang banget."
"Keita sudah punya cewek."
"Gue nggak percaya. Kalo dia punya cewek ngapain main Arrowdarling? Itu aplikasi macam Tinder dan Setipe, jelas-jelas buat cari pasangan. Bukan speaking partner. Lo ditipu!"
"Bah, kau kira aku peduli? Maaf, Freddy, aku tak lah punya waktu pikir-pikir Keita ada getar cinta atau interested to me," balasku bercanda.
Frankie memicing pada aksi melawakku yang gagal. Aku menyibukkan diri pada lauk-pauk di piring. Adakalanya lebih baik nggak melanjutkan pembicaraan yang dimonopoli Frankie, terakhir kali terjadi adalah saat Frankie tanpa izin memasang aplikasi Arrowdarling di ponselku dan membuatku berkenalan dengan Keita.
"Kil, mau berapa lama lo jadi maid?" Kali ini pertanyaan Frankie berubah serius. Mungkin dia paham situasiku yang nggak nyaman membahas percintaan.
"Belum pasti. Ada apa? Ada lowongan?"
"Bukan," Frankie menggeleng kuat, "gue khawatir lo terlalu nyaman sama pekerjaan lo yang ini, terus lupa kalo lo perlu nyari pekerjaan yang lebih stabil."
Benar omongan Frankie. Pekerjaan di rumah Keita nggak stabil. Keita WNA, punya potensi balik kampung dan membuatku jadi pengangguran. Melamar pekerjaan di tempat lain belum tentu bisa sebanding dengan yang ditawarkan Keita. Di sisi lain, aku berdosa karena bohong ke keluarga soal pekerjaan baruku ini. Kan, bikin dilema, kan.
"Sementara ini gue akan kerja di sana, sambil mengumpulkan uang. Setelah tabungan gue cukup, gue akan nyari kerja tempat lain." Ini hanya alasan. Aku nggak punya rencana apapun. Alasan utamaku ambil pekerjaan ini karena jejak masa lalu sebagai fresh grad yang kesulitan mencari kerja, ditambah masalah baru soal Irfan dan Ina yang ketahuan keluarga. Secara sadar aku tahu aku tengah melarikan diri dari kekacauan keluarga yang aku buat, tapi siapalah aku kecuali Kilau yang kelepasan memuntahkan masalah di masa lalu.
"Ingat, Kil, gaji dari Keita besar tapi lo butuh pekerjaan yang sesuai pendidikan dan mengaktualisasi kemampuan lo. Paling bagus kalau bisa menyediakan fasilitas hari tua dan kesehatan. Intinya, pikir-pikir lagi," nasihat Frankie.
Aku hanya tersenyum atas perhatian Frankie. Susah mengiyakan, maupun menolak. Jakarta nggak seindah potret di Instagram. Banyak yang mengenakan pakaian perlente ala eksekutif muda, ternyata gajinya kurang dari UMR, kita sebut saja profesiku sebagai resepsionis. Saat mengingat pekerjaanku di rumah Keita, yang sepanjang hari hanya dihuni olehku dan hewan-hewan, aku merasa sayang dilepas. Rumah itu jauh lebih besar dari rumah orangtuaku. Fasilitas lengkap dan lingkungannya asri. Walau pada faktanya aku berinteraksi dengan Shuu dan Taro saja.
"Oke." Akhirnya jawaban paling aman sejagad raya aku ucapkan. Kemudian kami menikmati nasi warteg dengan topik berbeda. Bergeser menjauhi pekerjaan dan merapat pada yang heboh di sosmed.
△△△
"Aman!" Aku berseru riang setelah sukses mengamankan taman belakang dari geng kukuruyuk dan membersihkan semua 'ketidak-sesuaian'. Aku tersenyum bangga pada kondisi taman sambil memegang sapu ijuk bergagang panjang. Kandang terkunci, taman rapi, dan langit belum gelap.
"Meong~" Baginda Raja Shuu Pakyu memanggil Dayang Kilau! Arti suara Shuu dalam kepalaku.
Aku masuk ke dalam rumah untuk mengerjakan pekerjaan berikutnya, menyiapkan sajen bagi penunggu pakyu nomor satu. Taro terbiasa dengan jadwal makan malam di jam tujuh dan nggak akan terpengaruh perut cacingan Shuu. Seharian ini, Shuu sudah makan enam kali. Benar kata Keita, Shuu makan dengan jadwal nggak jelas. Aku baru mengeluarkan toples wiskas saat pantat Shuu menggosok pintu kulkas. Radar anti 'cuur' Shuu di kepalaku menegang. Aku berlari menepuk pantat Shuu dan membuatnya menggeram dongkol. Enak saja menambah pekerjaanku.
Aku balik menyiapkan wiskas ke dalam mangkok, lalu menyusul Shuu yang tengah asik duduk di sofa. "Ini makanannya, ayo makan," kataku.
Shuu angkat badan dan mengendus mangkok yang aku bawa. Bukannya turun, dia malah duduk membelakangiku. Eh, ngambek si pakyu?
"Shuu, katanya mau makan, kenapa nggak dimakan? Kamu ngambek karena tadi aku tabok pantatnya?"
"Shuu, ngomong dong, ngeong dong, bersuara dong. Jangan diam aja, aku mana paham."
"Aku taruh makanannya di sini, ya. Makan, ya. Ngambeknya besok aja. Atau nanti malam, pas ada Keita. Oke, ya."
"Kok belum dimakan juga? Makan dong!"
"Ganti mangkok pink, ya?"
"Minum air?"
"Mau susu?"
"Shuu! Makan dong!"
Aku bertolak pinggang dengan dongkol. Ampun-ampunan deh pakyu satu ini. Bikin aku senewen. Wiskas kelamaan di suhu ruang bakal melempem, dan kucing bengkak ini pasti ogah makan kalau kurang kriuk. Tadi dia minta makan, disajikan malah nggak mau, ditinggal mangkoknya tetap diam. Cuma lirik sok penting banget.
"Ada apa?"
"Astagfirullah!" Aku melompat kaget. Keita tahu-tahu nongol di sebelahku.
"Maaf," dia tersenyum sungkan, "kamu teekejut kah?"
"Banget!"
Keita angguk-angguk, lalu melarikan pandangan ke Shuu yang masih duduk membelakangi kami.
"Dia nggak mau makan, tadi minta makan," keluhku.
"Mungkin dia ada bosan makan," Keita mengambil mangkok berisi wiskas dan membawanya ke dapur, "dia senang meatball, nuggets, sausages, fried chicken. Kadang-kadang, saya buat ikan bakar."
"Makanan Shuu levelnya kayak manusia, ya," sindirku. Nasib memang rahasia alam. Yang skala kucing kampung pemalas seperti Shuu, bisa makan makanan enak. Aku cemberut, tapi tetap mengikuti Keita ke dapur.
"Shuu tinggal sama saya sejak bayi. Dia besar ini." Keita mengepalkan sebelah tangan, menunjukkan betapa kecilnya Shuu waktu itu.
"Kamu nggak kerepotan ngerawat Shuu yang kecil begitu?" Tanyaku sambil memerhatikan Keita memasukkan kembali wiskas ke dalam toples. Bos Jejepangan memang hemat.
Keita hanya mengulas senyum, nggak menjawab. Aku bertanya-tanya apa yang membuat Shuu terasa berharga baginya. Dia membuka kulkas dan mengambil Styrofoam yang berisi irisan daging tipis. Kemudian menuang isinya ke dalam mangkok yang sudah dikosongkan.
"Meong~"
Kepalaku dan Keita sontak menunduk ke sumber suara. Shuu berdiri dekat kami, menyebabkan aku bertanya-tanya sejak kapan pemalas ini bangun dan mengikuti?
Keita berjongkok dan meletakkan mangkok itu di depan Shuu. Nggak pakai endus, Shuu langsung melahap daging itu. Aku yakin itu daging itu untuk sashimi, melihat irisannya yang tipis dan panjang. Kok di situ saya merasa miris?
"Ii na neko, kyattofūdo o tabekunai ka?"¹ Keita mengelus kepala Shuu yang menunduk ke mangkok, "mendo desu. Kanojo ni kinishinaide..."²
Aku nggak paham apa yang diucapkan Keita pada Shuu. Dia terus berjongkok dan mengajak bicara Shuu yang terang-terangan nggak peduli. Diam-diam aku mengulum senyum mempertanyakan siapa yang bos di sini. Keita atau Shuu?
###
25/03/2019
¹kucing baik, nggak mau makan makanan kucing?
²merepotkan. Jangan menyusahkan dia (Kilau)...
Cuma kei yg mikir shuu pakyu kucing baik 🙄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro