Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

/12/

Berbeda dengan Naufal yang bolos, hari ini, Ghana masuk sekolah. Sebenarnya, Ghana bisa saja izin tidak masuk sekolah, sebab luka yang dialaminya cukup serius dan ia tidak tidur semalaman, tetapi ia tidak melakukan hal itu. Ia tahu bahwa ia akan menerima konsekuensi atas apa yang ia lakukan kemarin, dan untuk itulah ia masuk sekolah hari ini.

Karena mau bagaimanapun, ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat, meskipun hukuman yang ia terima cukup berat.

            Yah ... setidaknya, itulah yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.

            Oleh sebab itu, dengan luka memar di sana-sini dan mata yang sembab, Ghana datang ke sekolah seperti biasa, yaitu dengan seragam yang dikeluarkan dan tas yang disampirkan di pundak kanannya. Dan ketika Ghana baru saja memasuki gerbang sekolah, puluhan pasang mata menatapnya. Ghana berani bertaruh kalau mereka semua pasti sudah mendengar berita mengenai kejadian kemarin. Karena bahkan ketika Ghana lewat, mereka semua membuka jalan untuk Ghana sambil berbisik kepada satu dengan yang lainnya.

            Teman-teman sekelasnya juga sama saja. Bedanya adalah, mereka langsung mengerumuni Ghana dengan berbagai macam pertanyaan. Ghana, sih, tidak ingin ambil pusing dan langsung duduk di tempatnya. Otak dan hatinya masih terlalu lelah untuk menjawab mereka semua.

            Dan dengan jiwa yang setengah terkumpul, Ghana memejamkan matanya, lalu jatuh terlelap di atas mejanya.

***

            Segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia ini pasti memiliki penyebabnya masing-masing. Misalnya saja, kamu menangis karena terjatuh dari sepeda. Atau, kamu marah karena temanmu menghilangkan buku komik favoritmu. Di dalam fisika, kita mengenalnya dengan hukum aksi-reaksi. Suatu reaksi tidak akan terjadi tanpa adanya aksi. Begitu pula dengan konsekuensi. Ia tidak akan muncul tanpa ada kejadian yang memicunya. Dan di dalam kasus Ghana, dikeluarkan dari tim lomba cerdas cermat serta mendapat skors tiga hari merupakan konsekuensi dari apa yang ia lakukan kemarin sore.

            Ghana baru mendapat konsekuensi itu siang ini, ketika ia dan teman-temannya dipanggil ke ruang kepala sekolah. Dan setelah keluar dari ruangan itu, mereka langsung mengambil tas masing-masing dan pulang dari sekolah. Mungkin bagi sebagian orang, hal ini adalah hal yang memalukan, tetapi bagi mereka ... tidak. Ya karena ... sudah biasa, mungkin? Bahkan, bagi Ghana, hal ini cukup menguntungkan, karena ia sangat memerlukan istirahat sekarang ini, dan skors tiga hari sangat membantunya untuk memulihkan kondisi tubuhnya.

            Jadi, setelah mengeluarkan motornya dari parkiran sekolah, Ghana langsung saja menancap gasnya, dan melesat menuju rumahnya.

***

            Satu dari sekian banyak hal yang tidak Ghana duga akan terjadi hari ini adalah bahwa ayahnya telah menunggunya di rumah. Bukan dengan seragam kerja yang lengkap, bukan dengan tas kerja di atas meja, tetapi dengan baju santai dan dengan celana selutut sambil meminum kopi dan membaca koran di meja makan. Di tangan sebelah kirinya itu juga sudah melingkar jam tangan favoritnya, dan kacamata yang ia pakai sedikit turun dari batang hidungnya. Ghana yang baru saja masuk ke dalam rumah lantas terdiam di tempat. Rumah yang selama ini terasa dingin dan hampa itu mendadak jadi terasa sedikit lebih hangat. Rumah yang selama ini terasa sangat gelap itu kini perlahan-lahan menemukan cahayanya kembali.

            Ghana tersenyum, kemudian melepas sepatunya dan menghampiri ayahnya itu.

            "Tumben Ayah udah di rumah jam segini," ucap Ghana, yang sebenarnya lebih mengarah ke pertanyaan. Tapi ia tidak mengucapkannya dengan nada yang dingin dan ketus lagi, tetapi dengan nada seorang anak yang sedang bertanya kepada orangtuanya.

            Harris mendongak, lalu membetulkan kacamatanya itu. "Ayah lagi nungguin kamu pulang."

            Ghana mengernyitkan dahinya. "Ayah tau kalo Ghana bakal diskors hari ini?"

            Harris tersenyum. "Kamu lupa kalo sekolah kamu tuh punya Ayah?"

            Ghana terkekeh pelan, kemudian duduk di kursi makan. "Jadi ... mulai sekarang, Ayah bakal tinggal di sini?"

            Harris mengangguk. "Sama kamu."

            Ghana tersenyum lagi.

            "Oh ya, hari ini ... kamu nggak kemana-mana, kan?" tanya Harris.

Ghana mengangkat satu alisnya, seperti bertanya.

Harris kemudian melanjutkan, "Kamu mau ... pergi jalan-jalan sama Ayah, nggak?"

            Ghana terdiam sebentar, seperti berpikir. Bukan, bukannya ia tidak mau jalan-jalan berdua bersama ayahnya, karena tentu hal itu adalah hal yang paling ia inginkan selama ini. Tapi rasanya, masih ada sesuatu yang harus ia kerjakan.

            Oleh sebab itu, setelah mengeluarkan senyum tipisnya, Ghana berkata, "Kayaknya, Ghana harus pergi ke suatu tempat dulu."

***

            Tempat yang ingin Ghana tuju ternyata adalah rumah sakit tempat Gina dirawat. Tapi, bukan Gina yang ingin Ghana kunjungi, melainkan orang lain. Seseorang yang dirawat di lantai tiga rumah sakit ini. Jadi, dengan tangan yang menenteng parsel buah, Ghana naik lift hingga ke lantai tiga, lalu mencari kamar rawat orang itu. Setelah ketemu, Ghana membuka pintunya, lalu masuk ke dalam.

            "Ran?" panggil Ghana.

            Rando, laki-laki yang sedang duduk di atas bangkar sambil melihat keluar jendela itu kemudian menoleh.

            "Lo ... udah baikan?" tanya Ghana sembari menghampiri bangkar Rando. Rando masih tidak menjawab apa-apa. Cowok yang memakai baju pasien dan selang infus di tangan kanannya itu hanya menatap Ghana dengan mata yang berkaca-kaca. "Ran, lo—"

            "Gue minta maaf, Ghan," ucap Rando dengan suara yang bergetar. "Gue nggak bisa menjalankan tugas gue dengan baik." Rando mendecih pelan, kemudian menggelengkan kepalanya dan menunduk. Di wajahnya terukir sebuah senyuman getir. "Gue bahkan udah kecewain lo."

            "Ran, lo nggak ngecewain gue," balas Ghana. "Gue yang harusnya minta maaf sama lo karena udah buat lo babak belur gini. Gue harusnya nggak nyertain lo dalam masalah ini. Maafin gue."

            "Luka lo lebih parah dari gue, Kunyuk," ucap Rando setengah tertawa. Tawa parau, sebenarnya. "Jangan minta maaf. Gue nggak pernah nyesel jadi temen lo." Rando tersenyum tipis, kemudian melanjutkan, "Dan gue akan selalu bersedia buat jadi bekingan lo."

            Ghana tertawa, kemudian ia memeluk sobatnya itu dan menepuk pundaknya dua kali.

            Yah ... sepertinya, Ghana perlahan-lahan menemukan kepingan-kepingan hidupnya kembali.

***

            Sebelum pulang dari rumah sakit, Ghana menyempatkan diri untuk pergi ke kamar rawat Gina yang berada di lantai yang sama. Ini sudah ketiga kalinya Ghana berdiri di depan pintu kamar itu, tetapi tidak berani membukanya, apalagi masuk ke dalamnya. Ia hanya ... malu. Ia malu pada dirinya sendiri dan pada Gina. Ia sudah tidak memiliki keberanian lagi untuk menemui Gina, apalagi mencintai gadis itu.

            Maka, dengan sedikit keberanian yang tersisa, Ghana menatap gadis yang dicintainya itu dari jauh, lalu berdoa di dalam hatinya.

            Semoga, kelak, gadisnya itu akan bahagia.

            Dan setelah puas memandangi Gina dari jauh, Ghana pun beranjak pergi, tanpa mengetahui bahwa sedari tadi Naufal juga memperhatikannya dari jauh.

            Berharap bahwa keputusan yang diambil Ghana ini merupakan keputusan yang tepat.

***

            Udara pantai sore ini sangat sejuk. Dengan ditemani oleh desiran ombak dan suara burung camar, Ghana dan ayahnya duduk di atas kap mobil dengan bagian atap yang terbuka. Sejauh mata memandang, hanya ada lautan yang terlihat. Dan di ujung sana, di garis yang mempertemukan langit dan lautan, terdapat matahari yang sedang mengucapkan selamat tinggal kepada langit dan memberikan salam perpisahan terbaiknya; semburat jingga kemerahan yang memenuhi angkasa. Ghana dan ayahnya sama-sama terdiam, menikmati suasana senja yang begitu menakjubkan ini.

            "Ayah selalu ingat, kalau dulu, kita pernah bermain di pantai ini," ucap Harris dengan kedua mata yang masih tertuju ke depan. "Dan Ayah juga akan selalu ingat, kalau di laut ini, Ayah pernah menaburkan abu Ibumu."

            Ghana menoleh ke arah ayahnya dengan rambut yang tertiup angin.

            "Andai saja Ibumu tau, bahwa di saat Ayah menebarkan abunya, rasanya serpihan hati Ayah yang hancur juga ikut terbang bersamanya," Harris memberi jeda sebentar dengan senyuman getirnya, lalu ia menunduk, berkata, "Ternyata Ayah ini masih berjiwa muda, ya. Masih bisa galau kayak kamu."

            Ghana tersenyum tipis.

            "Ayah cuma mau bilang ... selagi ada waktu dan kesempatan, tunjukkanlah perasaanmu yang sebenarnya. Jangan sampai terlambat. Hargai waktu yang ada, Ghana. Sebab kamu tidak tahu kapan kamu akan menyesalinya. Dan Ayah nggak mau kamu sampai menyesal kayak Ayah," jelas Harris dan membuat senyum tipis Ghana perlahan-lahan memudar.

            Ghana bahkan sudah tidak memiliki kesempatan itu, Ayah. Kesempatan untuk menyatakan perasaan Ghana kepada orang yang Ghana sayangi.

Ghana menunduk sebentar, mengulum bibirnya, lalu bertanya, "Ayah, Ghana boleh minta sesuatu?"

Harris menaikkan satu alisnya, seperti bertanya, apa?

"Meskipun Ghana udah keluar dari tim lomba cerdas cermat, Ghana ... boleh, nggak, tetap ... pindah ke luar kota?"

***

YEY UPDATE LAGI! Seneng nggak sih kalau aku update lagi? Aku sih yes😂 soalnya jarang2 bisa punya waktu buat nulis, cuma bisanya pas liburan kayak sekarang hehehe

Btw, ada yang tau maksud dari kalimat terakhir Ghana?🙂

Jangan lupa vote dan komen ya! Lofyuuu

14 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro