Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kemudian

5 tahun telah berlalu.

Dahulu aku berpikir bahwa pasangan itu sekedar memenuhi semua harapan kebahagiaan. Aku juga berpikir bila memiliki pasangan yang benar-benar bisa disentuh, tanpa ada yang melarang atau takut ternoda petaka. Kini aku tidak memerdulikan betapa mengerikannya pasangan atau sebagainya, bagi yang mengerti akan hal itu.

Aku benar-benar bahagia memiliki pasangan, yang selalu hadir menemaniku setiap saat. Sekedar saja keinginanku terdahulu, yaitu aku ingin menyendiri di kamar, dan menikmati anime bajakan atau manga ilegal di internet, tanpa takut kehabisan uang.

Aku hampir lupa dengan waifuku, yang mungkin terasa sedikit bau bawang, tidak seperti mereka yang memiliki bau bawang sejati, wibu sembari tunjuk-tunjuk. Bahkan 5 akun mobile legend ku sudah bergelar mytic dan berlevel max 30.

Banyak hal ingin kuceritakan selama 5 tahun lalu, terutama apa yang sudah kulalui dengan santai tanpa beban. Namun, sudah cukup perjalanan santai dan saatnya untuk serius.

Saat itu aku menculik seorang gadis dari desa sebelah, dan menyembunyikannya di rumahku. Tenang saja, ada orang tuaku di dalam dan dipastikan gadis itu tidak akan ternoda.

Setelah penculikan berhasil, aku memberitahu kepala desa, bahwa aku telah menculik setangkai bunga desa. Sebenarnya tidak perlu memberitau juga tidak apa-apa, karena aku bisa menyembunyikannya ke tempat lain.

Semua heboh? Tentu saja heboh. Hanya saja tidak seperti zaman dulu, menculik dan terlibat peperangan, karena penculikan ini didasarkan atas suka sama suka. Pernah aku berniat melamar seperti diutarakan anime yang kutonton, tetapi tradisi lombok adalah hal mutlak.

"Beb," ujarnya manja."Kamu sedang memikirkan apa?"

Aku merasakan kehangatan ketika dia memelukku. Benar, dia adalah istriku. Kurasakan dadanya menyatu dengan punggungku, terasa kenyal dan menggila rasanya. Syukurlah pernikahaan kami masih terbilang muda, jika lebih kemungkinan rasanya berbeda.

"Tidak ada." Ujarku pelan.

"Jangan bohong, ayo katakan."

Sebenarnya aku ingin mengatakan tetapi bibir terasa kelu. Rasanya aku terlalu malu untuk jujur mengingat masa lalu, lantaran itu bukan cara pengungkapan seorang lelaki, tetapi agar istriku tidak curiga aku mengelus tubuh lembutnya.

"Tenang aja beb, aku cuma memikirkan tentang diri kita kok."

Kurasakan desahan nafas lembutnya, dan rintihan mungilnya. "Aaahhhhh..."

"Ayo beb, kita main lagi." Ujarku.

"Ayo."

Kami berdua menuju ke kamar. Sebenarnya kurang nyaman melakukannya di kamar tamu atau hanya duduk saja di sana.

Istriku dengan gesitnya merebahkan diri ke kasur. Aku hanya membalas dengan senyuman.

"Ayo beb, kita mulai."

"Hari ini aku tidak akan kalah."

Kami memulai permainan dengan mengeluarkan smarthphone masing2, dan memulai permainan yang mendebarkan. Seperti itulah menurutku.

"Buruan beb," ujarnya seakan memaksa."Kill dia."

"Santai beb."

Aku memasang isyarat kepada istriku agar memelankan suaranya, karena ditakutkan anak-anak akan bangun dari mimpi indah mereka.

"Beb?"

"Apa?"

"Mari kita tidur."

Aku melirik gadis setengah baya di hadapanku, terutama memerhatikan seluruh wajah dan tubuhnya, agar memastikan usianya kini. Cukup banyak aku memerhatikan sehingga dia membalas dengan senyuman.

"Kenapa?"

Aku membalas dengan senyuman juga. Aku mengelus pipinya dan merasakan licin kulitnya, dan dia sedikit merasa kegelian akibat ulahku, apalagi ketika memegang daerah pinggangnya.

"Besok masuk kerja."

"Kirain apaan."

"Bukan yang itu ya, sayang."

Pada akhirnya dia menurut perkataanku. Hari juga semakin larut dan sensasi dingin terasa walau sedikit, tetapi kami selalu menghangatkan satu sama lain. Sebenarnya memakai selimut juga.

Semakin gelap hingga setitik air terdengar bagaikan detikan jam. Serangga dan angin menari di bawah sinar purnama, memulai pertunjukkan malam yang hebat.

"Bau busuk."

Aku memerhatikan di sekitar kamar, tetapi kegelapan dan sinar rembulan menemani kamar ini. Aku menatap istri dan anakku yang mungil berada di sana, dan masih bernafas dengan anggun, nampaknya bau ini tidak berasal dari kentut mereka berdua. Mungkin saja sih.

Sreekk...

"Siapa?"

Suara itu berada di luar kamar, dan aku merasakan sensasi dingin di leher, tetapi aku memberanikan diri untuk menyelidikinya. Aku merasa ketakutan. Aku perlahan bangkit dari tempat tidur, sehingga istri dan anakku tidak terganggu.

Kakiku yang melangkah senyap hingga yakin tidak bersuara, aku harus benar-benar bersatu dengan angin malam, kemudian membuka pintu perlahan.

Kriieekk....

"Dasar pintu tua!" Hujatku dalam hati.

Samar-samar, aku memerhatikan bayangan siluet di sana. Jantungku serasa berdegup keras, seakan aku baru saja olahraga jogging, yang tidak aku sukai. Sosok itu cepat sekali menghilang.

"Jangan-jangan pencuri."

Aku memerhatikan istri dan anakku masih tertidur dengan santai, sementara aku harus berhadapan dengan seseorang, yang aku anggap pencuri.

Perlahan aku mendekati lemari, yang tidak jauh dari pintu, dan mengambil sebuah pedang. Aku berusaha setenang mungkin dan tidak panik.

"Aku harus berhati-hati. Bismillah."

Pedang yang kugenggam erat di tangan kananku, bersiap menemui mangsa mencurigakan itu, dan aku yakin sosok itu adalah pencuri. Melangkah perlahan dan membuka pintu sedikit lebar, agar tubuhku bisa keluar dalam kamar. Pintu masih bersuara sedikit keras, tetapi tidak membangunkan istri dan anakku.

"Kemana dia?"

Aku bergumam di dalam hati, dan mataku semakin memburu ke segala arah, karena aku harus berhati-hati terkena serangan atau pencuri itu mampir ke kamar.

Sreekk...

"Di sana."

Suara itu sedikit lebih keras. Aku mendengar jam dinding berdetak berirama dengan jantungku, agar situasi tidak bertambah buruk, aku menyembunyikan diri di setiap sudut ruangan dan menyatu dengan bayangan benda.

Meeoonggg...

"Hanya kucing."

Jantungku serasa tentram bagaikan berada di surga sekarang. Aku memerhatikan jam di dinding, yang menunjukkan pukul satu lebih enam menit. Kemudian aku memerhatikan jendela yang bermandikan cahaya rembulan, sedikit terbuka hingga tirainya agak tertiup angin.

"I-itu kan?"

Sebuah sosok yang tidak terduga di balik jendela, dan aku mengenalnya. Entah seperti apa wajahku kini, tetapi jelas aku pasti menggigil seperti membeku di lemari es. Sosok itu berkepala tanpa badan, dan organnya vitalnya terlihat jelas, belum lagi tetesan darah memenuhi organ dan juga mulutnya tidak henti muntah darah.

"Ku-ku..." Ujarku terbata-bata. "Kuyang."

Siapa sangka sosok itu terlihat bermandikan cahaya, hingga wujudnya terlihat sempurna di penglihatanku. Aku merasa sesuatu selain itu, sebagaimana bebauannya begitu menyengat, padahal aku tidak terlalu berdekatan dengan sosok itu.

Hhaahh...haahhh

"Eh?"

Setelah menengok ke punggungku, ternyata telah berdiri seseorang berbadan besar. Jika aku jadi kau, larilah ketika masih sempat, namun tidak untuk saat ini. Sosok itu membuatku tidak bisa bergerak ataupun mengatakan, "gendruwo."

"Hyaaaahh..."

Aku mengayunkan pedang ke segala arah, tetapi sosok itu sama sekali tidak terasa kena, lebih tepatnya menghilang begitu saja.

"Di-dia."

Tubuhku masih bergetar, seakan benar-benar terguncang gempa dahsyat. Aku segera memasuki kamar, karena pikiranku tercampur aduk dengan kenyataan atau ilusi, hanya ketakutan sangat dalam tidak bisa menahanku untuk melihat. Apakah makhluk itu masih di luar?

Makhluk besar itu berdiri di depan pintu, dan membuatku semakin terguncang antara mimpi dan kenyataan, jadi aku hujam saja pintu itu dengan pedang.

"Aaaaaaaaaaahhhhhhhhhh!"

Makhluk itu menghilang sekejap, dan membiarkan sesuatu yang tidak kuinginkan, yaitu istriku telah membuka pintu.

"Tidaaaakkkk!"

Aku berteriak histeris bagaikan perempuan, yang berteriak sangat nyaring ketika melihat hal yang tidak disukainya. Aku berusaha menggapai tubuh istriku, tetapi tangan tidak sampai menangkap tubuhnya, yang sudah terlanjur terjatuh di lantai.

"Tidaakk...tidaakkk..."

"Sadarrr sayang... Maafkan aku."

Aku meyakinkan diri sendiri, bahwa aku tidak menebas istriku dan hampir membuatnya jadi dua. Darah mengalir cukup deras bagaikan air yang tidak sengaja di tumpahkan, hanya saja air ini bersifat hangat dan lengket.

"Sayang!"

Aku tidak merasakan alunan nafasnya ataupun gerakannya lagi, hanya mulutnya yang menganga disertai mata melotot, terlihat dia begitu menderita.

"Maaf ak---"

Tetiba saja ada yang mencekikku, disertai iringan suara yang menggema. "Bagaimana rasanya?"

Aku tidak yakin, apakah itu pertanyaan atau dia menikmati ketika mencekikku dengan kuat.

"Aaakkhhhh!"

Percuma bila aku merintih kesakitan ataupun melawannya menggunakan pedang.

Criingggg...

Pedangku terjatuh di lantai. Aku terangkat ke udara dan hampir menyentuh langit-langit. Aku memerhatikan sedikit, ketika sosok itu mencekikku, bahkan mulutnya di penuhi taring dan bermata merah besar.

Aku merasa sosok itu menghujamkan tangan satunya ke arah dada, sepertinya mengincar daerah jantungku berada. Aku merasa sangat aneh, karena aku tidak merasakan apapun ketika dicekik atau tertusuk.

"Aku..."

Kriiingggg...kriingggg

"Sayang, cepat bangun!"

Kilauan dari cahaya itu menyilaukan. Aku memerhatikan istriku sudah berdandan rapi, dan terlihat sangat anggun dengan seragam kerjanya.

"Nanti terlambat kerja, ayo buruan!"

"Oohh sial!"

Aku segera bangkit dari tempat tidur, tetapi langkahku terhenti dan menatap sebuah meja didekat istriku berdandan.

"Benar juga, sebuah inspirasi."

Aku yang seharusnya berangkat kerja, memilih mendatangi sebuah komputer sembari mengetik beberapa kata di sana.

"Mimpi aneh lagi, sayang?"

Aku memerhatikan istriku sejenak sembari berkata, "iya."

Cukup simpel hingga istriku menjawab, "Novel lagi?"

Tetiba saja tanganku digenggam erat, tentu saja istriku yang melakukan, tetapi dia menatapku cukup lama.

"Hentikan."

Sebuah kata yang terungkap dari bibir manisnya, kata yang sedikit menyayat hati ketika hendak menulis sebagian inspirasi.

"Lihatlah bukumu, tidak pernah ada yang mau membacanya. Kecuali aku sih."

Aku memerhatikan setiap kata yang diucapkannya, tetapi aku melepas genggaman lembutnya dan kembali mengetik.

"Walaupun dunia tidak menerima tulisanku. Paling tidak generasiku akan melihatku sebagai seorang penulis."

"Kata-kata apaan itu?"

Aku merasa bagian atas kepala serasa dipukul benda tumpul. Sangat sakit sampai aku meringis.

"Kamu kan sudah dapat pekerjaan enak dan rumah mewah. Ngapain masih nulis?"

"Sudah hobi, sayang."

"Main mobile legend atau game lain, kalo itu baru hobi. Ayo segera kerja."

Tahun-tahun berlalu dengan cepat bahkan bila kulit sudah menua, hanya saja ketika seseorang ingin memerjuangkan sesuatu, akan sulit dihentikkan. Aku berharap untuk tahun-tahun berikutnya, bahwa hobiku akan tetap hidup walau tertelan zaman.

****

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro