Jika Boleh Bermimpi
Langit-langit tuhan masih kelabu setelah setengah jam memuntahkan muatannya. Tanah di bawah langit meninggalkan jejak basahnya. Suhu pun beranjak mendingin hingga kaca-kaca jendela mengembun. Akan sangat nyaman bergelung di bawah selimut tebal diiringi musik penghantar tidur. Namun tidak untuk seorang pria yang baru saja memasuki area pemakaman.
Pria itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan pasti, melewati beberapa gundukan makam yang tertata rapi. Ada seikat krisan di tangan pria itu. Dirinya berhenti lalu berjongkok di depan sebuah batu nisan. Diletakkan seikat bunga yang sedari tadi digenggam.
"Maaf, lama tak mengunjungimu. Aku bertemu seseorang sepertimu...." pria itu menjeda kalimatnya. Netra kelam itu masih berfokus pada batu nisan tadi. Dia hendak melanjut kalimatnya ketika ada getaran pada saku jas putih yang dikenakan. Dikeluarkannya benda pipih berbentuk segi empat. Jemari pria itu menyentuh benda tadi lalu mendekatkan ke telinga.
"Halo, maaf mengganggu tapi anak itu mencari Anda lagi," ucap orang di seberang sana saat panggilannya dijawab.
"Katakan padanya, sebentar lagi saya akan kesana." Belum sempat orang tadi membalas, pria itu sudah mengakhiri panggilan terlebih dahulu.
Setelah terjadi sedikit gangguan, pria itu kembali pada fokusnya tadi. Diusapnya batu nisan yang sedikit usang dimakan usia.
"Kuharap kau tidak keberatan jika aku sibuk akhir-akhir ini," ucap pria itu sambil mencoba berdiri.
Di tempat yang lain, seorang gadis sedang mencuri dengar obrolan beberapa perawat di taman rumah sakit.
"Aku kasihan dengan anak itu. Masih SMP tapi harus mengalami kelumpuhan." Seorang perawat berbicara pada temannya. Tidak peduli jika ada seseorang yang mendengar percakapannya.
"Hush! Kau ini. Dia masih bisa berjalan. Tapi memang memperihatinkan, keluarganya seolah tak peduli meski mereka tetap memberikan dana untuk pengobatannya," ucap perawat lain menanggapi perkataan temannya. Sementara dua perawat berbicara, gadis itu setia menempel di belakang pintu kaca menuju taman. Jaraknya tak terlalu jauh dari perawat tadi.
Sang perawat yang memulai percakapan tadi menganggukkan kepalanya, "Kau benar. Hal yang sekarang dibutuhkan anak itu adalah support. Tapi dia tidak mendapatkannya."
Gadis tadi segera pergi saat kedua perawat itu hendak beranjak dari taman. Tak ada tempat lain selain kamar untuk ditujunya. Wajahnya terlihat masam. Dia tak bodoh untuk tau siapa yang jadi objek pembicaraan tadi. Dia akan memasuki sekolah menengah pertama jika tak sakit.
Saat hampir tiba di kamarnya, tubuh gadis itu jatuh tersandung. Seorang perawat membantunya berdiri. Gadis itu melihat ke belakang lalu menatap perawat yang menolongnya.
"Kulasa tidak ada hal yang menghalangi jalan tapi ... kenapa aku bisa telsandung?" Sang perawat tersenyum simpul mendengar pertanyaan gadis itu. Dia menuntunnya menuju kamar.
"Mungkin lantainya licin dan membuat kamu terpeleset," ucap sang perawat saat tiba di depan pintu kamar.
"Sampai di sini saja. Telimakasih sudah mengantal." Sang perawat tersenyum lalu pergi.
Setelah kepergian sang perawat, gadis itu membuka pintu kamar rawatnya. Dia melihat orang yang dinantinya sejak pagi sedang berdiri menjulang di hadapannya. Dengan segera, gadis itu maju untuk lebih dekat.
"Doktel, aku bosan sendilian sepanjang hali," adu gadis itu.
Sang dokter tak berkata, dia menuntun gadis itu untuk duduk di sofa ruang tersebut. Seulas senyum terpatri di bibirnya.
"Maaf ya, tadi Dokter harus mengunjungi seseorang," ucap sang dokter.
Alih-alih memafkan sang dokter, gadis itu justru membuat topik lain.
"Apa besok aku masih beljalan?" Sang dokter menaikan sebelah alisnya saat mendengar pertanyaan pasien kesayangannya itu.
"Bebelapa waktu lagi aku tidak akan bisa belgelak, 'kan?"
"Kamu bicara apa? Tentu saja hal itu tidak akan terjadi," ucap sang dokter dengan kikuk. Bibirnya kembali tertarik ke atas walau sedikit kaku.
Sang dokter tidak mengerti apa yang telah terjadi pada pasien yang sudah dianggap seperti adik sendiri.
Setelah menemani beberapa waktu sampai gadis itu terlelap, sang dokter pergi menuju ruangnnya. Mengurus berkas-berkas pasien lainnya.
Jarum waktu masih berjalan, berputar membuat mentari bersembunyi di balik malam. Ada kata yang bertutur 'setiap manusia pasti memiliki mimpi' lalu apakah jika seseorang tak punya mimpi atau mungkin terlalu takut untuk bermimipi bukanlah manusia? Seperti gadis itu contohnya.
Seperti waktu yang mengubah senja menjelma jadi petang. Seperti itu juga, takdir mengubah keadaan dan mimpinya. Gadis yang empat bulan lalu bertanya akan kondisnya, kini mendapat jawabannya. Bukan kebohongan yang sang dokter katakan. Entah penyakit apa yang menyerangnya dengan membabi buta hingga sepasang kakinya mati. Tak bergerak. Dia ingin tahu tapi bertanya pun percuma, sang dokter hanya berkata, " kamu sakit friedeirich's ataxia tapi tenang saja, dokter akan menyembuhkanmu."
Setelah kematian yang dialami kakinya, gadis itu seperti mayat hidup. Dia hanya akan mematung sepanjang waktu. Jika sang dokter datang dan mengajak berkeliling taman dengan kursi yang beroda, hanya kepala bergerak ke kanan ke kiri yang akan diterima. Terkadang takdir memang terlalu kejam untuk diterima.
"Hai, apa kabar? Mau melihat bunga?" tawar sang dokter.
"Baik. Dan tidak."
Sang dokter menghelah nafasnya. Kali ini dia harus bisa membujuk gadis itu keluar dari zona kamar. Penyakit ataxia yang gadis itu terima memang membuatnya kaku dan canggung, tak bisa berjalan, bahkan sejak awal sudah menyerang saraf di bagian lidah yang membuatnya menjadi cadel. Tapi bukan berarti dia harus diam tak bergerak. Duduk dan berbaring sepuasnya. Jika terus seperti itu maka semua anggota tubuhnya akan kaku.
"Dulu, Dokter bermimpi ingin jadi nahkoda yang memegang kendali kapal, eh ... tapi sekarang justru memegang jarum suntik." Sang dokter bercerita dengan tawa. Berharap bisa mengusir aura suram yang ada.
"Kalau impian kamu, apa?"
Gadis yang sedari tadi melihat jendela, menolehkan wajahnya. Melihat sang dokter.
"Apakah olang sepeltiku boleh belmimpi?"
"Tentu saja. Setiap orang memiliki hak untuk bermimpi."
"Tapi mimpi itu hanya untuk olang-olang yang mampu mewujudkannya." Agaknya gadis itu kurang menyetujui jawaban sang dokter.
Sang dokter tak langsung menjawab. Dia harus mencari kata yang pas dan memberi jawaban yang bijak.
"Mimpi adalah satu langkah yang akan mendorong kita untuk berusaha, masalah terwujud tidaknya, itu kehendak tuhan."
"Kakiku sudah tak ingin beljalan. Aku tidak bisa apa-apa." Ada air yang jatuh dari netra gadis itu. Kepalanya tertunduk, bersembunyi. Sang dokter menepuk-nepuk bahu gadis itu. Perlahan gadis itu mulai tenang.
"Tuhan menciptakan manusia lebih sempurna dari yang lainnya. Jika kakimu menolak untuk berfungsi, masih ada tangan yang bisa kamu ajak berkompromi." Sang dokter tidak tahu, apakah dengan kata-kata tersebut gadis itu bisa sadar kalau dia bukan mayat yang tak bergerak, tak beraktifitas.
"Kamu ingin sembuh, bukan? Keluarlah. Bagaiman tuhan memberimu kesembuhan jika kamu tidak mau berusaha."
Sang dokter pergi setelah berkata seperti itu sedangkan yang ditinggal mulai merenungi dirinya. Merenungi kata-kata sang dokter.
Di ruangan sang dokter, sepasang suami-istri duduk dengan tenang. Mereka menyodorkan sebuah amplop pada sang dokter. Mereka adalah orang tua gadis itu.
'Harusnya aku mengajak mereka bertemu di luar, dengan begitu aku bisa menghajar si tua ini,' batin sang dokter.
"Yang paling anak Anda butuhkan adalah kehadiran kalian. Bukan amplop dengan sejuta nominal," ucap sang dokter sambil menahan geram.
"Kami sedang sibuk. Saya harus mengurus cabang perusahaan di luar negeri. Istri saya juga sedang sibuk dengan pekerjaannya." Suami-istri itu mencoba berkata baik, memasang topeng bak malaikat. Padahal kentara mereka adalah penghuni neraka.
"Maaf, tapi sesibuk apakah hingga kalian tidak pernah mengunjungi anak Anda dari awal dia dirawat di sini? Saya benar menyayangkan sikap Anda berdua sebagai orangtua." Jika tidak bisa menghajar, menampar dengan kata-kata pun tak masalah. Namun, mungkin memang dasarnya kedua orangtua itu sedang mengalami kerusakan hati, si istri tiba-tiba berdiri dan membalas perkataan sang dokter.
"Anda ditugaskan untuk merawat orang, bukan mencampuri urusan keluarga orang. Sadarlah posisi Anda. Ayo Pa! Kita pulang."
Sang dokter tidak habis pikir, seharusnya mereka sadar tapi malah marah-marah.
'99% ibu tiri memang kejam.' Batinnya.
Tiga pekan terhitung sejak kata bijak yang sang dokter berikan, gadis itu mulai berani untuk keluar dari kamar. Dalam hatinya ada keinginan untuk maju, satu langkah menggapai mimpi. Tidak mudah memang, tapi menurutnya ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Dia juga mulai menjalani fisioterapi yang disarankan sang dokter. Hasil memang masih sedikit. Sangat sedikit malah. Namun, sekali lagi, dia ingin maju menggapai mimpi.
"Sekarang, coba kau pakai sandal jepit ini," ucap seorang dokter terapi.
Kaki-kaki itu mencoba mencari tempatnya. Perlahan dengan pasti mulai bergerak. Gadis itu memfokuskan pandangannya pada sandal. kakinya maju 0,5 cm dari tempat semula. Kosong. Dia tak merasakan sebuah benda menyentuh telapak kakinya padahal dia yakin, ujung kakinya menyentuh sandal.
Terapi berlangsung hingga matahari perlahan pergi. Gadis itu tidak puas dengan terapi hari ini. Tak ada kemajuan. Mungkin besok harus berusaha lebih.
"Hei kaki! Kalau kau tidak mau bekelja sama juga tidak apa-apa." Gadis itu menepuk-nepuk pahanya.
"Masih ada tanganku untuk kuajak komplomi. Ah~ lebih baik aku belmain dengan keltas dan tinta di kamal."
Seorang perawat mendorong kursi beroda itu. Ketika sampai di kamar gadis itu menemukan sang dokter yang menantinya sejak tadi. Diukir seulas senyum walau hatinya tak baik.
"Bagaimana? Sudah sedikit lebih maju?"
"Diam di tempat." Sang dokter kebingungan dengan jawaban yang diberikan. Wajahnya memasang raut meminta penjelasan.
"Sama seperti kemalin. Tidak maju."
"Yang sabar, ya. Mungkin besok akan lebih baik," ucap sang dokter dengan senyum.
****
Hujan pagi di awal Desember. Di ruang kamar rumah sakit, sang dokter duduk di samping gadis yang duduk di peraduannya. Gadis itu mengarahkan netranya pada dinding kaca yang berembun. Pandangannya melihat tetes-tetes air yang langit kirim itu jatuh. Bicara soal tuhan, dirinya jadi tersadar. Betapa manusia hanyalah sebutir debu di jagat semesta yang luas ini. Betapa tidak berdayanya manusia walau hanya sekedar berandai di atas takdir yang tuhan ukir.
"Aku sangat ingin belputal-putal dengan kakiku, lalu melentangkan tanganku dan melompat dengan indah." Gadis itu memulai ceritanya sedangkan sang dokter hanya diam, berusaha mencerna. Lalu gadis itu melanjut ceritanya.
"Doktel bilang kita boleh belmimpi. Aku juga punya mimpi dulu ... ballelina." Ada jeda yang gadis itu buat.
"Sayangnya, bagi seorang ballelina kaki adalah aset belhalga. Dan lasanya, aku mau menyelah saja dengan telapi ini," putus gadis itu.
Hal yang wajar baginya untuk menyerah setelah satu tahun lebih berusaha namun takdir tetap menyuruh kakinya mati kembali. Terapi yang dijalani harus terbuang sia saat ataxia itu menyerang kakinya lagi.
"Hanya tangan dan otak yang kupunya saat ini. Jadi mimpiku untuk menjadi ballelina halus kandas-" sang dokter ingin memprotes namun kalah cepat dengan kalimat kelanjutan yang gadis itu ucapkan.
"-dan belalih pada mimpi yang lain. Mimpi yang mampu kugapai dengan tanganku." Ada kelegaan di wajah keduanya. Sang dokter yang lega akan keputusan pasien yang dianggap adiknya. Lalu gadis itu yang lega karena mampu melepas mimpinya.
"Lalu apa mimpimu sekarang?" tanya sang dokter.
"Aku ingin menciptakan buku dengan tanganku." Nampaknya gadis itu bangga akan mimpinya yang baru. Melihat ada binar kebahagiaan di matanya.
"Kamu ingin jadi penulis?" Sang dokter tidak percaya fakta yang satu ini. Yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya. Namun raut muka sang dokter menjadi sendu.
"Kamu tahu? Dokter memiliki tunangan, dia juga pengidap ataxsia dan dia juga ingin menjadi penulis sepertimu. Sangat disayangkan Diabetes yang juga dialaminya membuat kematian datang menjemputnya." Kali ini sang dokter yang bercerita.
Gadis itu terkejut saat sang dokter yang selama ini menyemangatinya memiliki kisah yang buruk.
"Maaf jika impianku mengingatkan Doktel dengan kekasih Doktel."
Sang dokter tersenyum. Tangannya terangkat dan mendarat di puncak kepala gadis itu. Lalu mengacak surai gadis itu
"Tidak apa. Justru Dokter berharap kau mampu mewujudkan mimpi tunagan Dokter."
Dengan semanga gadis itu menjawab, "Aku akan berusaha."
Sebelum napas yang kau miliki hilang, maka tidak ada kata untuk berhenti. Hidup ada untuk kita jalani. jangan takut jika kau harus melepas mimpimu karena tuhan menciptakan berjuta mimpi untuk kau pilih. Jika hari ini takdir mengatakan kau tak bisa menggapai mimpimu, bukan berarti takdir menyuruhmu berhenti berimimpi. Bermimpilah sebelum bermimpi itu dilarang.
Desember di tahun berikutnya.
"Dokter, ini ada kiriman untuk Anda," ucap seorang perawat sambil menyodorkan sebuah paket bingkisan yang terbungkus kertas.
"Dari siapa?"
"Ah~ saya lupa bertanya, tadi satpam yang menitipkannya kepada saya."
"Begitu. baiklah, terimakasih," ucap sang dokter.
Sang dokter pergi menuju ruangannya setelah mengambil bingkisan tadi. Saat dirinya sudah berada di ruangannya, tangan besar itu langsung merobek kertas yang membungkus sesuatu di dalam sana. Dia terlanjur penasaran akan bingkisan dan pengirimnya.
Sebuah buku.
Rupanya sebuah novel. Ada judul yang tertera di cover-nya.
'Tuhan Mengijinkanku Bermimpi'
Di bagian bawah cover buku ada nama pengarang yang ditulis dengan gaya italic.
Seulas senyum terpatri di bibirnya. Akhirnya dia tau sang pengirim buku ini.
'Akhirnya kau bisa menggenggam mimpi dengan tanganmu,' batin sang dokter.
****
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro