BAB 9 : Hitam dan Putih
Rissa berjalan pulang sendirian setelah menyelesaikan latihan pianonya. Karena terlalu semangat, ia sampai lupa waktu dan tak sadar bahwa hari sudah gelap. Ia harus cepat-cepat sampai ke asrama agar tak melewatkan makan malam bersama. Jalanan sepi dan lampu-lampu jalan sudah dinyalakan, ia merasa sedikit was-was. Rissa mempercepat langkahnya keluar gerbang dan berbelok di persimpangan sudut luar sekolah. Tak jauh di depan Rissa, ada tiga orang cowok terlihat sedang mengobrol.
Harusnya, Rissa merasa aman bahwa masih ada orang di sekitar jalan, namun, perasaannya berubah menjadi tak nyaman karena ia melihat tiga orang cowok itu menatapnya dari ujung kepala sampai kaki dengan pandangan yang aneh. Rissa mulai ragu apakah ia tetap melewati mereka atau berbalik saja melewati jalan yang agak jauh namun ramai, ia tetap berjalan sambil berpikir. Kemudian, ia memutuskan tetap melewati jalan ini dan tidak menghiraukan mereka. Ketika melewati tiga cowok itu, kata-kata menggoda mulai didengarnya.
"Hai, cantik. Kok sendirian?"
"Abang temenin, ya. Mau kemana, sih?"
"Sini Abang gandeng biar nggak jatuh kesandung."
Rissa merasa tidak nyaman, ia hanya terus berjalan dan tidak berani menoleh ke belakang. Ia mulai merasa diikuti, kali ini langkahnya setengah berlari, namun, seseorang menarik tangannya dari belakang. "Kok buru-buru, sih". Tangan Rissa dicengkeram. Ia mencoba berteriak, tapi entah kenapa suaranya tidak keluar, yang keluar malah rintihan, ia begitu takut.
"Dia murid Saint Sirius," seru cowok yang lain.
"Wah, kebetulan, nih. Ternyata ada umpan," kata cowok yang mencengkeram tangannya.
"Jangan berurusan dengannya, kita akan kena masalah kalau ada anggota SSDC yang tahu," jawab yang lain.
"Nggak akan ada masalah, nggak ada anggota SSDC di sini. Lagipula, ini adalah momen langka bisa menggoda cewek cantik dari sekolah itu. Pasti seru bisa membuatnya menangis," jawab cowok itu, seringai di wajahnya muncul. Rissa meronta dan mencoba melepaskan diri, ia sampai tidak bisa berkata-kata, air mata mulai mengalir di pipinya. Namun, cowok itu semakin mempererat cengkeraman tangannya, "Wah, udah nangis ternyata. Ternyata mudah, ya," cowok itu hendak menyentuh pipi Rissa. Sontak saja Rissa menampar cowok itu dengan tangannya yang bebas. Cowok itu menatap Rissa dengan tajam, "Sial! Kau benar-benar membuatku marah."
***
Rick memacu motornya lebih cepat. Ivandito dan yang lainnya mengajak bertemu di cafe 'Cool' yang letaknya tak jauh dari asrama cowok. Dengan bertemu kawan-kawannya, ia bisa menjadikannya alasan untuk keluar dari rumah. Rumah yang selama ini tidak bisa membuatnya nyaman dan susah tidur. Ketika berbelok di persimpangan jalan sudut sekolah, Rick melesat melewati gerombolan cowok dan tak dihiraukannya. Namun, sekilas ketika melewatinya tadi, ia melihat seorang cewek di antaranya dan sedang mencoba melawan cowok-cowok itu. Rick menghentikan motornya dengan cepat dan segera membawa motornya berbalik arah.
Rick turun dari motornya dan berjalan cepat mendekat, Rick melepas helmnya dan melemparkannya ke arah salah satu cowok hingga mengenai lengannya. Cowok itu meringis kesakitan "Sial!" pekiknya. Rick dengan cepat mendekat dan memukul satu cowok yang mencengkeram tangan Rissa. Lalu menendang yang lain dan menarik Rissa ke arahnya. Karena tarikan itu, kepala Rissa membentur dada Rick dan Rissa bisa merasakan bahwa Rick kini sedang merangkulnya.
"Sekarang, kau bisa memilih, lari sejauh mungkin atau tetap di belakangku," kata Rick setengah berbisik padanya. Tanpa menunggu jawaban Rissa, detik kemudian Rick melepaskan Rissa dan mendorong Rissa ke belakang tubuhnya. Rick menghampiri cowok-cowok pengganggu itu.
"Sialan! Siapa kamu? Kamu akan menyesal sudah berani menantangku." Sergah cowok yang terkena lemparan helm Rick.
Rahang Rick mengeras karena marah. "Aku pacarnya. Karena itu aku akan mematahkan tulang-tulang kalian karena sudah berani mengganggu milikku."
"Sudah, Daf. Kayaknya dia anggota SSDC. Lebih baik kita pergi. Rey bakal marah kalau kita mengundang keributan di wilayah Saint Sirius." Salah satu cowok berbisik dan lawan bicaranya mengangguk, meskipun dengan tangan terkepal.
"Kalau saja kita berada di tempat lain, aku akan menghabisimu. Kami pantang membuat keributan di area ini. Kau beruntung." Mereka bergegas pergi. Setelah cowok-cowok pengganggu itu menghilang, Rick berbalik dan melihat air mata Rissa masih mengalir, badannya juga masih gemetar. Rick mengambil helmnya dan memakaikannya pada Rissa.
"Kamu nggak mungkin pulang ke asrama dengan keadaan kayak gini, kan? Lebih baik kita pergi ke suatu tempat dulu sampai kamu tenang." Tak lama, motor Rick melesat ke jalanan dengan membonceng Rissa di belakang. Beberapa menit kemudian, mereka berhenti di depan bangku taman di pinggir jalan. Jalanan itu memang jarang dilewati kendaraan.
Mereka duduk bersebelahan dan tidak berbicara satu sama lain. Selama beberapa menit suasana hening. Rissa sudah merasa lebih nyaman, ia bersyukur bisa terhindar dari cowok-cowok pengganggu itu dan Rick yang sudah menyelamatkannya. Di sampingnya, Rick melihat pergelangan tangan Rissa yang memerah. "Cowok-cowok yang tadi mengganggumu adalah murid SMA Dymitri." Rick membuka pembicaraan. "Mereka musuh bebuyutan SSDC."
Rissa memandang Rick di sebelahnya. Rissa tak peduli siapa cowok-cowok pengganggu itu. Ia hanya ingin merasa aman saat ini dan berkat Rick, ia merasakan hal itu. "Te-terima kasih," ucapnya terdengar begitu lirih. Rick menoleh padanya dan tersenyum.
"Lain kali, jangan melewati jalan sepi kalau sendirian, apalagi malam hari." Baru pertama kali itu Rick tersenyum kepada Rissa. Tak sadar, Rissa membalas senyum Rick. "Sudah lebih tenang?" tanya Rick.
Rissa mengangguk pelan. Suasana hening kembali, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Aku... memikirkan kata-katamu waktu di parkiran. Kamu pasti udah salah paham padaku," ucap Rick memecah keheningan.
"Salah paham?" tanya Rissa.
Rick mengangguk. "Aku hanya tahu sebatas Icha dan teman-temannya bersama Nabila. Tapi, aku nggak tahu kalau mereka menyakitinya. Waktu itu, aku, Ivandito, Bryan, dan Justin memang di parkiran. Kami asyik memainkan gas motor, membunyikannya sekencang mungkin. Kayaknya, suara mereka tenggelam dalam deru motor kami. Aku sungguh nggak tahu tentang itu."
Rissa tiba-tiba merasa malu. Ia bertindak sesuai dengan asumsinya sendiri yang belum tentu benar. "Maaf, aku udah marah-marahin kamu di parkiran kemarin."
"Dan insiden di kantin. Tentang coklat itu. Kamu boleh nggak percaya, tapi sebenarnya, aku nggak sengaja menampik coklat itu sampai jatuh. Dia menarik tanganku dan aku berniat menampik pegangannya. Tapi malah mengenai coklat yang dipegangnya."
Apa? Jadi? Rissa semakin merasa canggung dengan cowok di sampingnya ini. Waktu itu juga ia begitu marah dan berpikir kalau Rick itu rendahan karena sudah mempermalukan cewek di depan banyak orang.
"Kau tahu alasanku menolak coklat itu?" tanya Rick kemudian. Rissa menggelengkan kepalanya.
"Karena di situ ada Icha."
Icha? Apa mungkin dia menjaga perasaannya Icha? pikir Rissa.
"Aku tahu cara menghargai orang, kok. Aku bisa aja menerima coklat itu. Kalau aku nggak suka, aku bisa memberikannya kepada Ivandito atau Bryan tanpa sepengetahuan orang yang memberinya. Melihat sifat Icha, aku malah mengkhawatirkan terjadi sesuatu pada anak itu kalau aku menerima coklat darinya di hadapan Icha. Tapi, ternyata sama saja. Menerima atau tidak menerima coklat itu, Icha tetap menyakitinya," terang Rick.
Jadi, mereka benar pacaran, ya? Karena kejadian tadi, aku mendengar kata-kata Rick kalau aku adalah pacarnya. Mungkin, itu hanya caranya untuk menyelamatkanku, batin Rissa. Tunggu, kenapa aku seakan-akan merasa kecewa?
"Apa kau benar-benar udah baikan?" Suara Rick menyadarkan lamunan Rissa.
"I-iya," jawab Rissa. Mata mereka bertemu, kali ini lebih lama dari sebelum-sebelumnya. Membuat jantung Rissa berpacu dengan cepat lagi.
Rick terhenyak, ia bangkit dari tempat duduknya, "Kalau begitu, aku akan mengantarmu ke asrama."
Sejurus kemudian, mereka telah melesat ke jalanan. Rissa menyesali apa yang sudah dipikirkannya tentang Rick. Rissa tahu bahwa setiap orang memiliki sisi hitam dan putih, seperti tuts piano. Dan malam ini ia tahu sisi putih Rick.
Rissa yang sedang tenggelam dalam pikirannya tersentak ketika Rick mengerem motornya tiba-tiba untuk menghindari kucing yang menyeberang. Rissa terkejut dan spontan membuat tangannya yang semula memegang bagian belakang jok motor, kini memegang kedua sisi pinggang Rick. Sejenak, Rick melirik pinggangnya. Rissa yang menyadari itu kemudian dengan cepat melepas pinggang Rick.
Rissa jadi semakin canggung. Ia mengenyahkan apa yang dirasakan di jantungnya kini ,karena ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan. Bagaimana caranya menjelaskan kejadian ini pada sahabat-sahabatnya nanti. Pasti mereka sedang mengkhawatirkannya sekarang.
***
Keesokan harinya, kelas XII-4 sedang menghadapi ulangan harian. Warga kelas terlihat sedang serius mengisi lembar jawaban masing-masing. Rissa sudah menyelesaikan semua soal ulangan itu, namun, ia berpura-pura sibuk dengan mencorat-coret lembaran kertas untuk menghitung.
Tadi malam setelah sampai di asrama, ia baru sadar ada belasan missed call dari sahabat-sahabatnya. Karena tak ingin membuat mereka semakin khawatir, ia tak menceritakan hal yang dialaminya kepada sahabat-sahabatnya. Rissa beralasan kalau ponselnya dalam keadaan silent dan setelah berlatih piano ia ke toko buku, karena itulah ia pulang malam. Untung sahabat-sahabatnya percaya dan tidak mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Pikiran Rissa tiba-tiba melayang ke Rick malam itu. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Rick sebenarnya adalah cowok yang baik. Rissa merasa Rick mengatakan yang sesungguhnya bahwa ia tidak sengaja mempermalukan Nabila dan tidak tahu menahu kalau Icha melabrak Nabila. Dan yang paling membuatnya yakin bahwa Rick adalah cowok yang baik karena Rick telah menyelamatkannya dari bahaya.
Semalaman ia tak bisa berhenti memikirkan Rick dan ia tahu bahwa penilaiannya terhadap cowok itu sudah berubah. Rissa tersenyum mengingatnya. Tiba-tiba, Rissa merasakan bahwa ponselnya bergetar. Ia dengan sembunyi-sembunyi merogoh saku jasnya dan melihat ponselnya. Ada pesan masuk dan itu dari Ayahnya.
Ayah : Besok jam 7 malam di Restoran 'Bienvenue', aku sudah mengatur pertemuanmu dengan calon tunanganmu dan memesan meja. Pakailah pakaian berwarna putih dan gunakan bros daun mapel milik almarhum ibumu. Kau harus datang!
Ps : Ayah menyayangimu
Rissa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Akhirnya, hari itu tiba.
***
Magic Forest
5 Oktober 2017 (republish)
22:36
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro