Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 6 : Perjodohan

Malam itu, seperti biasa, Rissa memainkan kotak musiknya sebelum tidur. Sambil mendengarkan, Rissa memejamkan mata dan samar-samar mengingat pertemuannya dengan Diego untuk yang kesekian kalinya. Namun, tiba-tiba bayangan lain muncul di kepalanya. Bayangan Rick yang sedang memegang busur panah dan Rick yang sedang tersenyum. Rissa sontak membuka mata.

"Astaga,kenapa dia tiba-tiba muncul?". Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba bisa muncul Rick dalam pikirannya. Apa mungkin dia terlalu kagum dengan penampilan memanah Rick siang tadi, sehingga terbawa pikiran? YaTuhan. Memang waktu itu dia terlihat keren. Anak baru yang ternyata jago banget memanah bisa membuat siapa saja kagum. Tapi, kenapa malah muncul di pikiran, sih?" Rissa merutuk dalam hati. Ia kemudain meraih selimutnya dan segera berbaring. Ia memejamkan mata rapat-rapat dan ingin tidur secepatnya. Berharap pikirannya bisa kembali normal besok pagi.

***

Warga kelas XII-4 sedang serius mendengarkan penjelasan guru yang mengajar di depan kelas. Namun, Rissa tampak resah di bangkunya, bayangan Rick yang muncul tadi malam masih mengganggunya. Sekilas ia menoleh ke belakang, memandang Rick yang sedang memainkan bolpoin di tangannya. Kenapa dia malah mainan bolpoin? Nggak dengerin Pak Joni, ya? tanya Rissa dalam hati.

Bel istirahat kedua berbunyi dan menyadarkan Rissa. Rissa hendak mengobrol dengan May, ketika ada anak cowok dari kelas lain, masuk ke kelas, dan menuju ke arah Rissa.

"Riss, kamu ditunggu Pak Kepsek di ruangannya," kata cowok itu. Perhatian Rissa teralihkan detik kemudian ia memandang sahabat-sahabatnya bergantian, "aku dipanggil ke ruangan kepsek, Ton?" tanya Rissa.

"Iya, aku disuruh manggil kamu, cepetan ke ruang Kepsek," kata cowok yang ternyata bernama Toni itu.

Tak menunggu lama, Rissa beranjak pergi, Kenapa Kepsek manggil aku? tanyanya dalam hati. Setelah sampai di depan pintu ruang kepsek, Rissa mengatur napas dan dengan perlahan mengetuk pintunya. Pintu itu dibuka oleh Wahyu, wakil kepsek. "Kamu sudah ditunggu. Ayo masuk." Wahyu mempersilakan Rissa masuk ruangan. Kepsek duduk di sofa ruang tamu, di hadapannya juga duduk seorang pria. Pria itu duduk membelakangi Rissa. Tapi dengan sekali lihat, Rissa sudah bisa mengenalinya.

"Ayah!" tanpa sadar Rissa memanggilnya. Pria setengah baya itu menoleh. Senyuman terhias di wajahnya, namun memperlihatkan kerutan di sekitar matanya. Rissa berjalan mendekat, "Kenapa Ayah ke sini? Ada apa? Ada masalah?" cecar Rissa.

"Rissa, duduklah di samping ayahmu dulu, baru kamu akan tahu alasan kedatangannya kemari," Dibyo tertawa, "jangan merasa tegang seperti itu." lanjutnya. Rissa menuruti kepseknya itu dan duduk di samping ayahnya.

"Terima kasih atas izinmu Dibyo, aku berjanji, urusan kami tidak akan memakan waktu lama," kata Ayah Rissa kepada kepsek.

"Tentu saja, Hanggono. Kamu pikir sudah berapa lama kita berteman sampai harus ada izin seperti ini? Jangan sungkan begitu. Kalau ingin lama juga tidak masalah," kata Dibyo. Rissa belum mengerti, apa yang sedang mereka bicarakan. Izin? Izin untuk apa?" Rissa bertanya-tanya dalam hati.

"Ayah, Rissa nggak ngerti maksud Ayah datang ke sini. Apa di rumah ada masalah? Atau perusahaan Ayah?" Rissa memberanikan bertanya langsung kepada Hanggono.

"Sayang, kita akan pulang ke rumah untuk beberapa hari. Dua hari lagi, Ayah akan ke Jerman. Jadi, sampai waktu itu, Ayah ingin menghabiskan waktu bersama anak Ayah satu-satunya. Nanti, Ayah ingin mengajakmu ke pusara Ibumu untuk berkunjung dan ada satu lagi tempat yang harus kita kunjungi," terang Hanggono.

Rissa tersenyum lebar. "Benarkah, Ayah?" Rissa masih belum percaya dengan apa yang didengarnya, karena ia tahu, Ayahnya selalu sibuk dengan pekerjaannya dan ia juga sangat merindukan ayahnya.

"Kapan sih Ayah pernah bohong sama Icha Marichanya Ayah ini?" kata Hanggono sambil menyubit ke dua pipi putrinya.

"Duh, Yah. Jangan nyubit pipi Rissa di depan Pak Kepsek, dong. Malu, Rissa udah gede," Rissa protes. Namun, ia sendiri juga tak memungkiri bahwa ia sangat manja kepada Ayahnya.

"Siapa yang bilang kalau kamu udah gede? Buat Ayah, kamu masih Icha Maricha kecil Ayah." Hanggono nyengir, sedangkan Rissa tersipu.

Dibyo tertawa geli melihat sikap ayah-anak ini. "Dia lebih mirip Rena, istrimu, ya," katanya kemudian kepada Hanggono.

"Iya. Rissa selalu mengingatkanku pada Rena. Oh ya, Dibyo, aku dan Rissa akan langsung pulang, sepertinya waktu itu sangat berharga. Sekali lagi, terima kasih atas izinnya." Hanggono mulai berdiri dan berjabat tangan dengan Dibyo, lalu ia dan Rissa bergegas keluar ruangan.

"Rissa seneng banget bisa menghabiskan waktu sama Ayah," kata Rissa sesaat setelah mobil mereka melesat ke jalanan.

Hanggono tertawa, "Pasti udah kangen berat sama Ayah, ya? Maaf Ayah selalu sibuk, bahkan Ayah tidak sempat menemuimu di belakang panggung waktu itu. Rissa memaafkan Ayah, kan?"

Rissa mengangguk, "Tenang aja, Yah. Nggak papa, kok," kata Rissa memanja, ia membenamkan kepalanya di lengan ayahnya.

Suasana hening untuk beberapa waktu. "Oh ya. Kata Ayah tadi, setelah mengunjungi makam Ibu, ada tempat lain yang harus kita kunjungi?" tanya Rissa.

"Sudahlah, Rissa jangan banyak bertanya, ikuti saja apa kata Ayah."

Bibir Rissa mencebik ke bawah, "Rissa itu nggak bisa dibohongin. Alasan Ayah yang sebenarnya apa, sih? Sampai jemput Rissa di sekolah segala. Kalau nggak ada hal yang penting banget, Ayah nggak mungkin minta izin kepsek buat bawa Rissa pulang. Iya kan, Yah?"

Hanggono berpikir sejenak kemudian menghembuskan napas panjang. Seperti berusaha setenang mungkin untuk menjelaskan sesuatu kepada putrinya.

"Ya deh. Ayah nyerah. Selama ini, Ayah selalu menuruti kemauanmu. Sejak ibumu meninggal, Ayah berjanji kepada diri Ayah akan selalu menjaga dan membuatmu bahagia." Rissa menyimak setiap perkataan Ayahnya. "Harta Ayah yang paling berharga adalah kamu. Ayah tidak ingin harta Ayah ini hidup menderita. Oleh karena itu, Ayah memutuskan untuk...." Hanggono ragu-ragu untuk meneruskan perkataannya.

Kedua alis Rissa bertautan, kemudian ia memberanikan diri untuk mendesak Ayahnya itu. "Memutuskan apa, Yah?"

"Emm, begini. Ayah ingin kamu melakukan suatu hal. Kamu mau kan menuruti apa kata Ayah?" Hanggono menatap putrinya dengan tatapan penuh harapan.

Rissa tersenyum, "Ayah bicara apa, sih? Tentu saja Rissa akan menuruti semua kemauan Ayah. Ayah juga berarti banget buat Rissa," kata Rissa mantap.

"Oh ya? Ayah harap kamu mau melakukan apa yang Ayah inginkan. Dan Ayah minta kamu percaya sama Ayah."

"Sebenarnya, Ayah ingin Rissa melakukan apa, sih? Kayaknya serius banget?" tanya Rissa.

Hanggono menyunggingkan senyum, "Kamu akan tahu setelah kita sampai di restoran," jawab Hanggono. Rissa mengangguk. Ia masih belum paham. Tapi, ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh lagi.

Tak lama kemudian, mobilnya berhenti di depan sebuah restoran. Rissa dan Hanggono keluar dari mobil dan segera masuk ke dalam restoran itu. Hanggono terlihat sedang mencari-cari seseorang. Sampai seorang pria setengah baya yang sedang duduk di meja makan sebelah jendela, melambai padanya. Hanggono segera menghampiri pria itu sedangkan Rissa mengikutinya dari belakang. Hanggono menyalami pria itu, begitu juga Rissa. Rissa tidak mengenal pria asing yang duduk di hadapannya ini.

"Bagaimana kabar Anda, Pak Hanggono? Saya dengar, Anda akan berangkat ke Jerman beberapa hari lagi," orang itu membuka pembicaraan.

"Saya baik-baik saja Pak Romi. Ya, dua hari lagi saya berangkat ke Jerman untuk urusan bisnis sesuai saran Anda dan Pak Roger," jawab Hanggono. Tak lama, pelayan restoran membawakan makanan dan minuman yang sudah dipesan dan menaruhnya di atas meja. Melihat itu, Hanggono merasa tidak enak hati, ia duduk dengan gusar.

"Aduh, Pak Romi. Tidak perlu repot-repot memesan makanan sebanyak ini. Saya jadi merasa tidak enak."

"Mboten usah sungkan, Pak Hanggono. Saya hanya menyambut kedatangan Bapak dengan kecil-kecilan seperti ini," Romi tersenyum.

"Terima kasih banyak, Pak Romi. Saya sebenarnya ingin sekali ke Semarang, langsung ke rumah Pak Roger. Tapi sepertinya beliau sedang berbisnis di Kanada. Sayang sekali."

"Saya sebagai wakil Pak Roger, memohon maaf yang sebesar-besarnya. Keberangkatan beliau juga mendadak. Tidak bisa menemui Pak Hanggono. Tapi, dalam waktu dekat, Pak Roger akan menempati rumahnya yang ada di kota ini. Jadi, Pak Hanggono tidak perlu jauh-jauh ke Semarang," Romi tertawa, "lalu bagaimana, Pak? Apakah ini adalah putri Anda?" Romi menunjuk Rissa.

"Iya. Ini adalah putri saya satu-satunya," Hanggono merangkul Rissa. "Saya yakin, Rissa akan menjadi menantu yang baik bagi Pak Roger."

"Apa?!!" Rissa sontak berteriak.

Hanggono menatap putrinya itu, "Rissa. Dengarkan Ayah, Inilah alasan Ayah membawamu ke sini, Ayah ingin setelah lulus SMA ini, kamu bertunangan dengan anak Pak Roger," kata Hanggono kepada Rissa. Rissa hanya melongo tak percaya dengan apa yang barusan saja ia dengar.

"Tunangan?" tanyanya.

"Ya, Sayang. Ayah sudah menjodohkanmu dengan anak rekan bisnis Ayah. Calon suamimu juga masih muda, tidak jauh berbeda denganmu. Dia juga sudah setuju untuk dijodohkan denganmu."

"Ayah! Apa-apaan ini? Kenapa Ayah nggak minta pendapat Rissa dulu? Rissa nggak mau nikah muda. Rissa masih pengen sekolah, kuliah, menjadi pianis terkenal. Ayah tega." Rissa memelankan suaranya karena merasa tidak enak dengan Romi, ia sangat kecewa dengan keputusan itu. Ayahnya tidak meminta persetujuannya dahulu dan langsung memutuskan perjodohan tanpa sepengetahuannya.

"Rissa, dengarkan Ayah dulu. Kamu nggak langsung menikah setelah lulus SMA, Sayang. Kalian hanya bertunangan dan untuk menikah, Ayah serahkan kepada kalian. Cobalah mengenal lebih dekat calon tunanganmu. Kalau hanya tunangan, kalian kan juga bisa sambil melanjutkan sekolah."

"Benar, Nak Rissa. Kami tidak memaksa Nak Rissa langsung menikah. Anak Pak Roger adalah pemuda yang baik. Saya yakin, Nak Rissa pasti akan senang berteman dengannya. Tapi sayangnya, dia belum bisa hadir di sini, karena tugas kuliahnya di Semarang," Romi angkat bicara.

Rissa menunduk dengan raut muka kecewa. Ia masih ingin membantah, namun di sisi lain, ia juga tak mau membuat Ayahnya malu di depan tamunya.

"Emm... Sudahlah. Mungkin putri saya masih membutuhkan waktu untuk memikirkannya. Tapi yang pasti, saya menerima perjodohan ini, tolong sampaikan kepada Pak Roger," Hanggono berusaha mengubah keadaan agar tidak canggung. "Mari, kita menikmati hidangan yang sudah dipersiapkan ini," lanjut Hanggono, Romi pun mengangguk. Sedangkan Rissa tenggelam dalam pikirannya sendiri, Tunangan? Menikah?Serius, nih?.

***


Magic Forest 

3 Oktober 2017 (Republish)

20:29

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro