BAB 23 : Apakah Aku Mencintainya?
Rick memainkan ponselnya sambil berjalan melewati lorong rumah sakit. Sesekali ia melihat jalan di hadapannya, menghindari orang lain yang bersimpangan jalan dengannya. Ketika sampai di depan ruang sebuah kamar inap, ia segera membuka pintu dan melihat sepupunya sedang asyik memainkan joy stick sambil berkonsentrasi di depan laptop di atas tempat tidur. Terdengar suara tembakan, bom meledak, dan beberapa suara lelaki yang sedang berbicara dalam bahasa asing dari laptop Diego.
"Game itu lagi? Nggak bosen?" tanya Rick kemudian.
Diego menggeleng dan selama beberapa menit tetap fokus pada layar di hadapannya. "Ahhh, sialll, tertembak." Ia meletakkan joy stick-nya dan mulai menganggap keberadaan seseorang di ruangan itu. "Di mana Ayah?" tanyanya kemudian.
Rick menghempaskan diri ke sofa dan meraih koran di meja. "Di kantor. Mereka sudah bergerak dan beberapa hari lagi, kita akan melihat kehancuran Hanggono," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari koran di tangannya. "Gimana keadaanmu?"
Diego mendesah pendek, "Sudah lebih baik."
"Karena musibah ini kau tak bisa mengikuti kompetisi panahan. Aku tak akan memaafkan anggota geng berandalan yang udah merugikanmu itu. Mereka udah melakukan perbuatan kriminal dan aku benci kita nggak bisa melapor kepada polisi."
"Sudahlah. Kalau melapor kita malah akan terlibat masalah. Pemalsuan identitasku akan terbongkar."
Rick mendesah frustasi, "Ya. Karena itu paman marah besar. Dan telinga kami sampai panas karena harus menerima amarahnya ketika kau belum siuman," kata Rick.
Diego tersenyum miring, "Mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur."
Suasana hening selama beberapa menit. Rick memang sedang menatap lembaran koran, tapi pikirannya tercerabut kemana-mana. Akhirnya ia memutuskan untuk menutup korannya dan mendesah keras. "Aku benar-benar bisa gila. Takdir apa yang sedang mempermainkan kita?"
Diego menatap sepupunya itu dengan tatapan bertanya, detik kemudian ia tertawa pendek, "Takdir tak pernah mempermainkan kita, kitanya saja yang sedang tersesat karena salah memilih jalan."
Rick tertawa sarkastis, "Dan aku benci situasi seperti ini."
Diego tersenyum singkat, kemudian mulai bertekur dengan laptopnya.
"Di, aku pikir, ini waktu yang tepat." Tiba-tiba Rick memecah keheningan yang terjadi selama beberapa saat dan mengalihkan perhatian Diego. "Sebenarnya, seminggu yang lalu, aku... maksudku, Rissa... astaga! aku nggak tahu harus mulai cerita dari mana, tapi-"
"Aku udah tahu hal apa yang ingin kau ceritakan," kata-kata Diego sedikit membuat Rick terkejut. "Sebenarnya, waktu itu aku udah sadar. Aku merasa beruntung keadaanku waktu itu cukup lemah untuk membuka mata. Tapi, aku udah dengar semuanya."
Entah mengapa Rick merasa lega, tak harus menceritakan pengakuannya kepada Rissa seminggu yang lalu. "Aku benar-benar merasa bersalah, Di. Dia gadis yang baik. Dan tentang kotak musik itu, dia udah menyukaimu sejak lama." Pandangan Rick beralih ke salah satu sudut ruangan, menatapnya nanar.
Diego termenung, ia tahu bahwa cukup sulit baginya mengetahui kenyataan bahwa Rissa adalah seseorang yang harus dia benci. "Sudahlah. Mulai saat ini menjauhlah darinya, berada di sisinya mungkin bisa membuat kita lemah."
Rick mengangguk, walaupun sebenarnya ia menganggap kata-kata Diego lebih berkesan bahwa Diego sedang memperingatkan dirinya sendiri. "Tapi, sepertinya kamu harus tahu satu hal. Rissa mendonorkan darahnya untukmu."
Mendengar itu, hati Diego semakin terluka. "Untuk itulah, kita jangan berurusan lagi dengannya. Setelah dia tahu bahwa keluarga kita akan menghancurkan ayahnya, dia akan membenci kita. Aku mulai berpikir aku harus berbicara pada ayah untuk membatalkan perjodohan ini," katanya lirih.
Rick menatap dalam sepupunya itu, "Kamu mencintainya, kan, Di?"
Diego tertawa pelan, "Aku? Aku juga menanyakan hal yang sama, Rick. Apakah aku mencintainya?"
Rick tersenyum melihat tatapan sendu Diego padanya. Ya, Di. Kamu mencintainya.
*******
Diego berjalan menyusuri lorong sekolah dan menaruh sepatunya di loker dengan pelan. Bekas operasi di perutnya belum sepenuhnya sembuh dan menyisakan rasa ngilu, membuatnya harus berhati-hati saat bergerak. Ketika ia memasuki kelas, Andre, Jimmy dan Dennis, teman sekelasnya berhambur menghampirinya dan mencecarnya dengan pertanyaan.
"Hei, Rick. Udah sembuh, ya?"
"Jagoan SSDC udah masuk sekolah lagi, nih. Sakitmu itu kelamaan. Nggak kangen sama kita-kita?"
"Gimana keadaanmu, Rick? Masa jagoan panahan bisa dikalahkan sama usus buntu, sih?"
Diego mengernyit. "Usus buntu?"
Dennis tampak heran, "Iya. Kata Rissa, selama ini kamu di Singapura menjalani operasi usus buntu?"
Sekilas Diego melirik Rissa yang sedang membaca buku di bangkunya. Gadis itu hanya bergeming. "Ah, iya, usus buntu. Aku udah baik-baik aja, kok. Operasinya juga lancar," katanya kemudian dengan senyum yang dipaksakan.
Bodoh. Aku sama sekali nggak memikirkan alasan apapun kenapa aku nggak masuk sekolah selama ini. Aku kira Rick yang akan mengurusnya. Tapi untunglah, dia nggak bilang aku di rumah sakit gara-gara tertusuk.
"Kenapa jauh-jauh sih, Bro? Kita jadi nggak bisa menjengukmu," tanya Andre.
"Yah... aku harus mendapat perawatan terbaik agar bisa cepat masuk sekolah," jawab Diego, bersamaan dengan itu bel masuk berbunyi. Sepanjang jam pelajaran, Diego tenggelam dalam pikirannya. Sesekali membenamkan kepalanya ke meja dan memejamkan mata. Masalah yang ia hadapi semakin sulit dan ia mengingatkan diri sendiri bahwa akan menjauhi Rissa.
Di sisi lain, Rissa juga tak fokus belajar, ia merahasiakan hal yang dialaminya dari sahabat-sahabatnya. Ia tak bisa bercerita tentang Diego dan Rick. Kebohongan mereka menyakiti perasaannya. Namun, ada satu hal yang ia tahu setelah mengetahui kebenaran yang menyakitkan itu. Tentang perasaan yang ia rasakan kepada Diego yang ia anggap Rick, ternyata perasaannya tetaplah milik Diego.
Ada sedikit kelegaan di hatinya mengingat hal itu. Ia jatuh cinta kepada orang yang sama yaitu Diego. Dan inilah yang mengganggu pikirannya, apakah ia harus menemui Diego dan mengatakan perasaannya atau melupakannya. Pikiran itu terus mengganggunya sampai bel istirahat berbunyi.
"Eh, aneh nggak, sih?" tanya Karis. Para sahabatnya menatapnya dengan heran.
"Apaan sih? Tiba-tiba ngomong nggak jelas?" May nyeletuk. Mata Karis mengikuti langkah Icha dan teman-temannya yang berjalan keluar kelas. Lalu pandangannya beralih kepada Diego yang sedang tertidur di bangku belakang, kemudian beralih lagi kepada para sahabatnya yang menatapnya heran.
"Si nenek sihir. Biasanya nempel terus ke pangeran Rick kayak upil."
"Iuhh. Eeewww. Jorok banget sih perumpamaannya." Veve protes dengan muka jijik. Ia mengalihkan perhatian dengan memainkan gitar yang daritadi dipegangnya.
"Sorry-sorry. Kabar burung kalau mereka putus ternyata udah jadi kenyataan, bukan kabar burung lagi. Bahkan, setelah sekian lamanya Rick nggak masuk sekolah, Icha nggak ada respon sama sekali."
May berpikir sejenak, "Iya juga, ya. Mungkin emang bener mereka udah putus."
Rissa hanya diam mendengar celotehan sahabat-sahabatnya, ia menyibukkan diri dengan membereskan buku-bukunya.
"Eh, aku laper. Ke kantin, yuk." Karis menarik lengan Veve dan segera menyeretnya keluar kelas. Perbuatan sahabatnya itu sedikit membuatnya tak bisa mengatur keseimbangan jalannya, ia limbung. "Ehh... ehhh...." Karis tak peduli dan tetap menariknya, Veve pasrah melepas gitarnya.
"Tungguin aku! Ayo, Riss, cepetan." May menarik tangan Rissa. Namun Rissa menampiknya.
"Nanti aku menyusul, kalian duluan aja." Kata-kata Rissa agak mengagetkan, namun May menurut tanpa bertanya lagi, sahabatnya itu memang agak murung akhir-akhir ini. "Ya sudah, nanti nyusul, ya." Ucapan May diikuti anggukan Rissa.
Rissa resah. Ia ragu antara harus mengajak Diego berbicara atau tidak. Orang yang selama dua belas tahun ia cari sudah ada di depan mata. Selama ini, ia sudah menyimpan banyak pertanyaan dan hal-hal yang ingin disampaikannya kepada Diego. Namun, sekarang situasinya sangat jauh berbeda. Ia tidak tahu mengapa Diego dan sepupunya bertukar identitas dan membuatnya terlibat.
Setelah berperang dengan batinnya selama beberapa waktu, ia memantapkan hati bahwa ia akan mengajak Diego berbicara. Ia berharap telah mengambil keputusan yang tepat. Ia bangkit dan berniat menghampiri Diego di bangkunya. Namun, sebuah suara membuat Rissa mengurungkan niatnya.
"Rick!!" suara Ivandito yangsudah berdiri di depan pintu kelas membuat Diego terhenyak. Ivandito memberi isyarat kepada Diego untuk mengikutinya. Diego bangkit, melewati Rissa, dan menghampiri Ivandito. Rissa hanya bisa menghela napas panjang, Mungkin hari ini memang bukan waktu yang tepat.
*******
Magic Forest
10 Desember 2017 (Republish)
22:41
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro