BAB 14 : 12 Tahun yang Lalu
Seorang anak lelaki berumur lima tahun sedang berdiri sambil membentangkan kertas bertuliskan 'Rick dan Paman Lubis'. Di sisi kanannya, berdiri seorang wanita, yang tak lain adalah ibunya. Di sekitar anak itu berdiri, banyak orang-orang yang juga melakukan hal yang sama, membentangkan kertas bertuliskan macam-macam nama, dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Mereka sedang berada di terminal kedatangan bandara.
"Ibu, kenapa Rick dan Paman lama sekali?"
"Sabar Diego, mungkin sebentar lagi pesawat yang ditumpangi Rick dan Paman akan segera datang," kata ibunya.
"Aku akan membentangkan kertas ini tinggi-tinggi, supaya Rick dan Paman bisa menemukan kita."
Ibunya tersenyum ramah melihat anaknya begitu bersemangat. Tak lama kemudian, terlihat rombongan beberapa orang dengan membawa koper-koper besar serta keranjang. "Lihat, Diego. Pesawat Rick dan Paman pasti sudah datang."
"Iya." Diego tersenyum ceria dan polos. Beberapa saat kemudian, mata Diego menangkap sosok orang yang dinanti-nantinya, di seberang. Seorang lelaki dewasa dan seorang anak kecil, yang tak jauh tingginya dari Diego. "Paman Lubis!! Rick!!" teriaknya.
Sosok di seberang itu melambaikan tangan dan segera menghampiri Diego dengan senyum yang tersungging di wajah mereka.
"Maaf, Kakak harus berdiri lama menunggu kami. Pasti Diego juga sangat lelah," kata Lubis setelah mereka masuk ke mobil. "Sebenarnya, Kakak ipar tidak perlu menjemput kami di bandara. Sampai harus merepotkan Pak Mamat." Lubis melirik pria setengah baya yang sedang menyetir di bangku kemudi.
"Mboten napa-napa, Den. Ini sudah tugas saya," jawab Pak Mamat ramah. Lubis tersenyum.
"Oh ya, Kakak Ipar. Kapan Mas Hendra pulang?" tanya Lubis kepada wanita yang sedang duduk di bangku penumpang depan.
Wanita itu menoleh ke belakang sekilas, "Mungkin tiga bulan lagi dia sampai di Indonesia. Aku juga belum dapat kepastian. Masih banyak yang harus dia tangani di Swedia."
Lubis manggut-manggut, "Oh... begitu, ya? Oh ya, nanti malam, Mbak Jihan dan Diego ada acara tidak? Kami mau mengadakan pesta kecil-kecilan, merayakan kepulangan kami setelah liburan."
"Benarkah? Pasti kau membawa oleh-oleh yang banyak untuk kita." Jihan tertawa. "Malam ini, tentu saja kami tidak ada acara. Kita akan ikut ke pesta paman Lubis, iya kan, Diego?"
"Yaaaa....!" jawab Diego setengah berteriak di bangku penumpang belakang.
"Wah, Diego semangat sekali," Lubis mengusap rambut Diego, "nanti malam jam tujuh, aku dan Rick akan menjemput kalian."
"Horeee....!!" Diego berteriak keras. "Rick, kita bisa bermain bersama lagi. Aku juga sangat senang dengan pesta."
"Iya, tentu saja kita akan bermain sepuasnya. Dan akan ada banyak makanan di rumahku, datanglah."
Diego mengangguk, "He-eh."
"Tiga hari lagi aku harus masuk sekolah. Jadi, kita harus bermain sepuasnya." Senyum Rick merekah.
"Ahh... Iya, benar," raut wajah Diego berubah sendu, "aku lupa. Rick kan akan masuk SD."
"Iya dong, sekolahku nanti di Saint Sirius. Kata ayahku, sekolah itu sekolah yang bagus. Makanya aku harus rajin belajar. Kamu sebentar lagi juga akan masuk SD, kan? Aku tunggu ya, kita akan sekolah sama-sama."
Diego berubah ceria, "Iya. Aku juga ingin masuk SD itu. Aku juga ingin pakai seragam," seru Diego.
"Oh iya, di sekolahmu sekarang tidak memakai seragam, ya?" tanya Rick. Diego menggeleng pelan. "Ayah sudah membelikanku seragam baru. Apa kamu mau mencoba memakainya?"
Senyum Diego mengembang, "Benarkah? Tentu saja aku mau."
"Kamu boleh meminjamnya. Tapi, kalau aku sudah masuk sekolah, harus dikembalikan, ya?" kata Rick.
Diego bertepuk tangan, "Iya. Wah, pasti seragamnya bagus sekali."
Rick mengangguk, "He-eh. Di bagian dadanya ada lambang aneh," ujar Rick sambil menunjuk dada sebelah kanannya, "kata Ayahku itu adalah lambang sekolahku nanti. Gambarnya seperti monster. Tapi aku suka gambar itu. Seperti karakter game di PSP-ku. Nanti, setelah kita sampai di rumah, kamu boleh meminjamnya."
"Asyik! Aku menyayangimu, Rick." Diego memeluk Rick dengan erat. Rick tersenyum dan membalas pelukan sepupunya itu.
"Oh ya, aku hampir lupa." Rick membuka salah satu ruang tasnya dan mengeluarkan benda berbentuk kotak terbungkus kertas kado. Ia menyerahkannya kepada Diego. "Ini oleh-oleh dari Swiss, khusus dipesan ayahku untukmu."
Diego segera membuka kadonya. Terlihat kotak aneh yang belum pernah dilihatnya, dengan ukiran-ukiran yang juga aneh di tepinya. "Ini apa?"
"Putar saja batang kayu ini."
Lalu Diego melakukannya dan segera saja kotak itu berbunyi, alunan piano yang sangat indah. Diego bisa merasakan getaran kotak itu. "Wah, bagus sekali mainan ini. Terima kasih Rick." Diego memandang kotak itu dengan mata berbinar-binar. "Terima kasih juga, Paman." Lubis tersenyum memandang keponakannya dan mengangguk pelan.
Rick sangat senang melihat Diego menyukai hadiah itu, "Ini namanya kotak musik klasik. Di Swiss kotak ini sangat terkenal. Ayahku memesannya khusus di toko. Coba lihat di bagian bawahnya. Ayah meminta penjualnya mengukirkan inisial namamu. Huruf 'D' untuk Diego." Rick menunjukkan sisi bagian bawah kotak musik itu.
Kedua alis Diego bertautan, "Huruf 'D'? Terima kasih Rick dan Paman," kata Diego dengan polosnya. Diego menggenggam erat kotak musik itu. Rick merasa senang melihat sepupunya itu dan dia tersenyum lebar.
*****
Otak Rick memutar kejadian masa lalu dan ia mengingat jelas kotak musik itu. Udah lama sekali sejak itu. Kenapa kotak musik ini ada padanya? Kenapa bisa? Sial! Bagaimana mungkin? Sial!! Rick mengacak kasar rambutnya dan segera memasukkan kotak musik itu ke dalam tasnya, kemudian bergegas pergi.
Rissa berjalan gontai di sepanjang trotoar. Rissa masih memikirkan kejadian yang baru dialaminya. Ia mengetahui bahwa Rick mempunyai kemampuan yang spesial.
Huf, beruntung banget dia. Naluri nada yang sempurna? Serius? Rick? Rissa mendesah frustasi karena iri. Tapi, melihat secara langsung kemampuan seseorang pemilik naluri nada yang sempurna membuatku juga merasa beruntung. Duh! Haruskah kemampuannya sehebat itu? Dia mungkin akan menjadi komposer yang hebat kalau dia mau, batinnya. Bibirnya mengerucut ke depan, ia benar-benar iri.
Tiba-tiba pikirannya melayang ketika Rick menyelamatkannya dari cowok-cowok pengganggu karena kini ia sedang melewati jalan pada malam itu. Dari kejadian itulah ia mengubah penilaiannya terhadap Rick dan itu membuat perasaan bersalah telah memarahi Rick muncul lagi. Rissa menghela napas panjang. Sekilas, ia teringat kejadian ketika Vano tak sengaja menabrak Rick dan ia sempat kesal dengan sikap ketidakramahan cowok itu.
Aku nggak seharusnya menilai orang dari kesan pertama. Tentu saja dia merasa kesal denganku dan Vano waktu itu, apalagi sikap Vano juga tak menyenangkan.
Rissa masih tenggelam dalam pikirannya ketika dari arah belakang motor Rick melaju melewatinya. Lewat kaca spion, Rick bisa melihat Rissa yang berjalan pelan sambil menatap tanah. Genggaman tangannya pada setang motor menguat. Ia lalu mengalihkan pandangan ke depan. Sial! umpatnya dalam hati. Ia memacu motornya lebih cepat, hal yang selalu dilakukannya ketika kemarahan menguasainya.
*****
Huaaa, aku suka instrumen-instrumen di mulmed. Coba deh kalian dengerin. :D Apakah part ini juga membuat kalian penasaran? Tulis kesan pesan kalian di komen yak, jangan lupa vote kalau menyukai cerita ini. see you di next part :D
Magic Forest
15 Oktober 2017 (Republish)
9:48
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro