BAB 10 : Cinta Pertama
Sudah setengah jam lebih Rissa duduk dengan gelisah di Restoran Bienvenue. Rissa melihat jam tangannya. Pukul 19.33 WIB. Orang yang ditunggu-tunggu belum tiba juga. Ia mendengus kesal, Cowok macam apa dia! Membuat cewek menunggu itu benar-benar tidak sopan, batinnya. Ia mematuhi ayahnya dengan mengenakan gaun berwarna putih dan bros terpasang di dada sebelah kirinya. Jika ia mau, ia bisa saja tidak datang untuk menyatakan protes kepada ayahnya. Tapi, ia juga tidak mau mempermalukan ayahnya di depan rekannya yang sudah sepakat mengadakan perjodohan ini.
Ia hanya ingin yang terbaik untuk ayahnya. Toh, masih ada banyak cara lain untuk mencegah pertunangan ini, pikirnya. Jantungnya berdetak tidak karuan, ia merasa belum siap bertemu dengan calon tunangannya itu. Ia berpikir untuk meninggalkan restoran dan membuat kekesalannya saat ini sebagai alasan untuk menolak pertunangan. Tapi, ketika ia hendak berniat pergi, seseorang menyapanya dari belakang.
"Permisi."
Rissa menoleh dan melihat seorang pemuda berjas hitam, berdiri dengan sedikit membungkuk sopan kepadanya. Ia menduga, pasti dia adalah orang yang ditunggunya sedari tadi. "Kamu Icha?" tanya cowok itu kemudian. Rissa tertegun sejenak.
"Iya. Hmm... silakan duduk." Rissa mempersilakan tamunya duduk di hadapannya. Pemuda itu menuruti. Suasana terlihat canggung. Rissa tak tahu harus mengatakan apa. Cowok yang sekarang duduk di hadapannya itu menurutnya lumayan tampan. Sepertinya, usia cowok itu juga tidak terpaut jauh darinya. Jas yang dipakai juga rapi dan terlihat resmi dengan dasi hitam melingkar di lehernya, terlihat dewasa. Rambutnya tidak berantakan, tersisir rapi, dan bau khas parfumnya, menandakan bahwa cowok ini memiliki selera yang tinggi. Sesaat, ketika Rissa memandang cowok itu, ia merasa seperti pernah bertemu dengan cowok itu di suatu tempat. Tapi, kapan dan di mana, Rissa tidak bisa mengingatnya. Menurutnya, wajah tamunya ini benar-benar familiar. Mengingatkannya pada seseorang, tapi ia tak tahu siapa.
"Saya benar-benar minta maaf, mobil saya tadi bermasalah, jadi saya harus menelepon bengkel. Padahal, saya berangkat dari rumah pukul delapan belas dan berniat tidak mau membuat Anda menunggu. Tapi, ternyata tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Saya menyesal membuat Anda menunggu lama," kata cowok itu memecah keheningan. Kata-katanya yang ramah dan kalem, membuat Rissa lupa akan kekesalannya menunggu lama dan tak ada alasan untuk bersikap tidak menyenangkan.
Rissa memaksakan senyum, "Iya, tidak apa-apa, tidak usah dipikirkan."
Cowok itu mengamati Rissa. Dengan senyum yang ramah, ia memuji gadis di hadapannya itu. "Malam ini Anda terlihat sangat cantik."
Jantung Rissa berdetak sangat cepat, ia tak menyangka secepat itu cowok di hadapannya ini memujinya. "Terima kasih," ucapnya.
Cowok itu tertawa lirih. "Saya tahu suasana seperti ini pasti sangat canggung untuk kita berdua. Saya yakin kalau kita berada di sini karena tidak memiliki pilihan lain selain menuruti kemauan orang tua. Tapi, saya harap, kita bisa mengenal lebih dekat sebagai seorang teman. Jadi, jangan memandang saya sebagai calon tunangan atau calon suami, anggap saja saya adalah teman baru."
Rissa lega mendengarnya. Ternyata, cowok itu tidak memaksa Rissa untuk membuka diri, mengingat statusnya kini adalah calon tunangannya. Cowok itu memahami bahwa keadaan ini tercipta semata-mata karena mereka menuruti kemauan orang tua masing-masing.
Rissa mengangguk, "Iya, tapi kalau tidak keberatan, supaya suasana tidak canggung, bisakah kita tidak memakai bahasa resmi untuk mengobrol? Apa kita bisa memakai bahasa aku kamu saja?" kata Rissa berhati-hati, takut menyinggung perasaan tamunya.
Cowok itu tertawa, "Maaf kalau begitu, aku takut kalau kamu menganggapku tidak sopan. Sudah membuatmu menunggu lama saja rasanya tidak etis sekali."
"Aku sudah bilang, tidak perlu dipikirkan. Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan, siapa namamu?" tanya Rissa.
"Namaku...."
Kata-kata cowok itu terpotong saat seorang pria yang juga mengenakan jas datang menghampiri dan tengah berbisik kepada tamunya. Di dadanya ada tanda pengenal, sepertinya orang itu manajer restoran ini. Cowok itu mengangguk-angguk dan tersenyum, entah apa yang mereka bicarakan dengan cara bisik-bisik itu. Rissa bertanya-tanya. Setelah selesai, manajer restoran itu berlalu. Kemudian, tamu Rissa memandanginya dengan tatapan ramah.
"Hmm, sepertinya duduk di sini kurang pantas untuk pertemuan yang penting ini. Ruangan ini juga sedang ramai. Apa kamu keberatan untuk pindah ruangan? Di sebelah ada tempat outdoor, kita bisa mengobrol dan makan dengan tenang di situ."
Rissa menurut, ia mengikuti cowok itu menuju meja makan outdoor. Manajer restoran tadi rupanya sudah menunggu di samping meja. Mereka duduk di meja yang sudah disiapkan. Meja makan itu berada di tengah-tengah sebuah taman kecil. Di sudut taman, terdapat air terjun buatan dengan suara gemericik air yang membuat suasana tenang. Di atasnya, terpasang lampu-lampu Natal yang ditata untuk menerangi meja makan. Meja makan itu juga dihiasi lilin-lilin. Romantis, pikir Rissa. Seorang pelayan membawa makanan pembuka.
"Tenang saja, minuman yang disajikan nanti bebas alkohol," kata cowok itu setengah berbisik. "Lebih baik kita makan dulu. Bisa dianggap tidak sopan di restoran Perancis seperti ini, kalau kita ngobrol sambil makan," kata cowok itu setelah makanan pokok disajikan. Rissa mengangguk. Suasana romantis dan makanan-makanan lezat ini membuat selera makannya bertambah.
"Apa kamu yang nyiapin ini semua?" tanya Rissa setelah selesai menghabiskan dessert dan meja makan mereka telah dibersihkan.
"Bisa dibilang tidak juga. Aku dan ayahmu yang sudah mempersiapkan pertemuan kita hari ini. Kami menyewa tempat istimewa ini, jadi kita bisa mengobrol sepuasnya tanpa mengganggu tamu yang lain."
Rissa mulai nyaman dengan suasana ini.
"Oh, iya. Icha itu nama kecil kamu, ya?"
"Hmm...." Rissa memutar bola matanya, "benar-benar deh, pasti ayahku kan yang memperkenalkanku dengan nama itu?"
Cowok itu mengangguk dan tertawa, "Memangnya kamu nggak suka diperkenalkan dengan orang lain menggunakan nama itu?"
Rissa tertawa, "Enggak, kok. Kalau di rumah, panggilan ayah kepadaku juga Icha. Dulu waktu aku kecil, kalau ditanya siapa namaku, lidahku belum bisa nyebut 'Marissa' dengan baik. Bisanya cuma 'Maricha... Maricha'" Rissa menahan tawa mengingat masa kecilnya, "jadinya, ayah manggil aku Icha. Tapi di sekolah, teman-teman memanggilku Rissa," lanjutnya.
"Oh ya? Jadi, enaknya aku harus manggil kamu apa, nih? Icha atau Rissa?"
"Hmm... aku nggak masalah dipanggil yang mana aja."
"Aku akan memanggilmu Icha saja. Supaya beda dari teman-teman sekolahmu. Dengan begitu, aku akan merasa istimewa," ujar cowok itu sambil mengedipkan mata.
Rissa tertawa lirih, ternyata tamu di hadapannya ini ramah dan suka bercanda. Lalu detik berikutnya ia tersadar akan sesuatu. "Oh ya, keasyikan ngobrol sampai lupa. Kamu belum memperkenalkan diri. Siapa namamu?" tanya Rissa kemudian.
"Namaku Diego Adi Hendrata. Kamu bisa memanggilku Diego."
Detik itu juga, Rissa merasa seperti disambar petir. Jantungnya berdegup cepat tidak karuan, tangannya gemetar dan ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari cowok di hadapannya ini. Apa tadi ia bilang? Namanya Diego?. Diego adalah nama yang sangat sakral baginya, tak heran jika sekarang ia gemetar mendengar nama Diego disebut, apalagi orang yang menyebutnya adalah pemilik nama itu sendiri. Diego mulai cemas, tidak ada respon dari Rissa dan gadis itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Hei. Kamu nggak papa? Cha? Kamu sakit?" tanya Diego. Rissa tetap diam. "Cha, apa ada sesuatu yang salah?" Diego mengusap tangan Icha. Rissa terhenyak, ia harus memastikannya lagi.
"Apa benar namamu Diego?".
"Iya. Namaku Diego. Cha, ada apa? Badanmu gemetaran, matamu juga berkaca-kaca. Apa kamu sakit?"
Rissa mengatur napasnya yang mulai terasa sesak. Kemudian mengusap matanya, "Nggak papa, kok. Mungkin mataku tadi kena debu, jadinya perih."
"Maaf udah ngajak kamu di tempat terbuka, pasti ada debu yang terbawa angin dan membuat matamu perih."
"Nggak! Nggak papa, kok. Aku seneng ada di sini. Kamu nggak usah khawatir. Cuma kelilipan doang," jawab Rissa dengan tersenyum. Perasaannya kini campur aduk. Aku harus bagaimana? Mungkinkah dia Diegoku? Tapi, kemungkinan benar hanya sedikit. Banyak nama Diego di kota ini. Aku harus bertanya lebih banyak.
"Oh ya, berapa usiamu?" tanya Rissa.
"Kita hanya berbeda satu tahun, kok. Aku delapan belas tahun. Sekarang, aku sedang kuliah semester pertama di Semarang."
Rissa menghela napas panjang. Tak tahu harus bagaimana. Ia mencoba untuk tetap tenang. Mereka mengobrol cukup lama tentang keluarga masing-masing. Rissa bercerita tentang ayahnya, yang sangat sayang padanya. Sedikit bercerita tentang kehidupannya di sekolah dan ibunya yang sudah meninggal. Diego juga bercerita tentang keluarganya. Ayahnya yang selalu bekerja keras, juga paman dan sepupunya. Dia mengatakan bahwa pamannya bisa bermain piano seperti Rissa. Diego juga bisa memainkan piano karena diajari pamannya. Diego bercerita panjang lebar dengan wajah berseri-seri.
Namun, Rissa tidak bisa fokus sepenuhnya mendengarkan cerita Diego. Perasaannya masih campur aduk. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin diajukannya, tapi semua hilang, otaknya serasa kosong, ia kacau. Ia tak tahu harus bagaimana. Bahkan, setelah sampai di asrama, ia susah untuk tidur. Mungkin aku harus menerima perjodohan ini jika dengan begitu aku bisa memastikan dan mencari tahu tentang Diego. Apakah Diego calon tunanganku itu, adalah Diego cinta pertamaku?
***
Magic Forest
6 Oktober 2017 (republish)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro