
Bab 33 (END) - Kasih yang Mengalahkan Kematian
Pagi itu, Gideon Craddock menandatangani surat pemindahtanganan Radio Lentera. Beberapa hari setelah peperangan, beberapa hal telah berubah drastis. Gideon terlihat amat malu berhadapan dengan Bene *asli*. Apalagi Dika beberapa kali menyindirnya. Luka-luka Gideon masih terlihat jelas. Beberapa giginya juga rontok ditinju oleh Dika. Mereka berkelahi dengan hebat saat pertempuran. Dan kentara sekali, siapa yang menang.
Dika menyatakan penyesalannya karena datang terlambat. Dika bercerita, kalau dia sempat dipengaruhi Satan—salah satu iblis Lucifer. Keadaan Dika sama sepertiku yang dirasuki iblis. Ayah dan pamannya yang kemudian melakukan ritual pengusiran iblis. Dengan jengkel, Dika menambahkan kalau dia harus mandi kembang dan diasapi berhari-hari. Belum lagi keharusan meditasi dan melakukan berbagai gerakan yoga untuk memertahankan kesadaran.
"Bayangin, Kris... dengan badan bau menyan dan kembang gitu, aku harus pergi ke mana-mana," kata Dika sambil menggeleng sebal, "Kalau ada yang dipanggil Om Dukun di kampus, ya... itu aku. Bener-bener malu-maluin!"
Dika juga menjelaskan soal visi tentang Callista yang ternyata sengaja dikirim Gideon. Gideon yang mengatur supaya Dika goyah. Dan rupanya, Gideon sengaja mengatakan Callista harus mendekati Dika jika ingin pacaran dengannya.
Beberapa hari, beranda facebook dipenuhi dengan kabar gempa. Akan tetapi, gempa-gempa itu tidak sampai terpampang di laman berita nasional. Itu berarti, efek peperangan kemarin tidak terlalu besar mempengaruhi dunia manusia. Syukurlah. Artinya usaha kami tidak sia-sia.
Kehidupan kami kembali normal. Unreality segera turun tayang. Digantikan renungan malam yang membahas kisah-kisah kehidupan. Meski rating tidak setinggi dahulu, acara itu memiliki satu dua penggemar yang sangat setia. Bagiku dan Bene, itu sudah cukup untuk permulaan.
Aku berangkat ke Pontianak segera setelah aku pulih. Kampung halaman Gilang menyambutku dalam kesibukan yang biasa. Dialek Melayu Pontianak terdengar di mana-mana. Aku sedikit banyak ingat dengan kenangan kami di atap ruko dulu. Gilang yang selalu membujukku ke Ponti. Dan aku yang selalu menolak dengan alasan tidak ada tempat wisata yang menarik.
Penyesalan sedikit menyeruak dalam hatiku. Hingga akhir hidup Gilang, aku tak pernah mengunjungi kampung halamannya. Dan sekarang pun, aku tak akan pernah bisa berwisata ke Tugu Digulis atau Taman Alun-alun Kapuas bersama Gilang. Yang kubisa sekarang hanyalah pergi ke Kubu Raya. Berjalan di antara pusara-pusara bertuliskan huruf Hanyu dan latin.
Nama Gilang Bramasakti terlihat di salah satu pusara. Aku meletakkan bunga segar di depan makamnya. Perih merayap ke hatiku saat aku mengingat betapa banyak hal yang luput dariku selama aku tak ada di dekat Gilang. Waktu dia menikmati ketenaran dan aku tenggelam dalam kesibukan. Kupikir, Gilang melupakanku. Kupikir, Gilang menikmati ketenaran dan kekayaannya. Dan dia bersenang-senang di atas semua itu.
Ternyata, aku salah.
Seharusnya, seorang sahabat tidak pernah meninggalkan sahabatnya. Meski terpisahkan jarak. Inilah yang paling kusesalkan. Dengan teknologi yang semakin canggih, seharusnya aku tetap menjaga kontak dengan Gilang. Menyemangatinya, menghiburnya. Bukannya membuat asumsi ini dan itu yang membuatku mengabaikan Gilang.
Namun apa yang terjadi telah terjadi. Gilang sudah meninggal. Aku hanya bisa memanjatkan doa. Semoga Gilang selalu bahagia, di dunia manapun dia berada. Aku berharap, dia dapat terbebas dari Lembah Kalahari. Lebih dari itu, aku berdoa agar dia bisa memiliki kesempatan kedua. Bagaimanapun penebusannya.
Aku menaruh buket lili di depan nisan Gilang. Makamnya cukup luas dan megah. Seakan-akan kedua orang tua Gilang mematri penyesalan mereka dalam keindahan makam.
Apa gunanya? Gilang sudah meninggal. Penyesalan apapun tak dapat mengembalikan Gilang. Air mataku turun di pipi. Mengingat rekaman wawancara orang tua Gilang di youtube. Tangisan mereka tulus, aku tahu itu. Sama seperti orang tua Freya, mereka batal bercerai karena sadar, hidup ini begitu singkat. Kudengar, setelah Gilang meninggal, orang tua Gilang menjual semua aset lalu mendirikan sebuah panti asuhan atas nama Gilang. Di sanalah mereka berkecimpung sekarang.
Matahari mulai naik semakin tinggi. Aku masih berdoa saat sebuah suara terdengar dari belakang. Menyadarkan kalau aku harus segera pergi.
"Kita sudah terlalu lama di sini."
Pipiku memanas melihat Bene. Dia kini menggunakan tongkat. Kekuatan semakin membuat fisiknya rapuh. Namun hanya kekuatan Rafael yang mampu menopang hidup Bene. Karena itu, Malaikat Yizreel—Kit membiarkan Rafael menggunakan tubuhnya. Kit telah terbiasa menjalankan tugas barunya, mengabdi pada manusia. Itulah yang kini membuatnya bahagia.
Aku ingin di sini lebih lama lagi. Akan tetapi, di sini memang terlalu panas. Tentunya ini akan sangat menyusahkan Bene. Akhirnya aku membiarkan Bene menggandeng tanganku. Membawaku kembali ke mobil yang mengantar kami kembali ke hotel. Sopir mengemudi dengan hati-hati. Saking hati-hatinya, mobil berjalan lambat. Aku duduk di sebelah Bene sambil menggigiti kuku.
Sejak pertempuran itu, hubunganku dengan Bene kembali seperti biasa. Aku kembali menjadi adik tersayang Bene. Tidak ada yang berubah. Meski sebenarnya, aku mulai merasa canggung. Sampai kapan kami akan begini? Sampai kapan aku bisa memiliki Bene? Apakah aku bisa merasakan perasaan cinta sementara hatiku selalu terpaut pada kakakku ini?
"Sedang memikirkan apa?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan Bene. Sesaat, aku diam. Tidak ingin romantisme merusak momen kebersamaanku dengan Bene. Sudah cukup ayah dan ibu yang terhukum. Aku ingin memendam perasaanku. Menghapusnya seperti mengusap debu.
"Aku hanya memikirkan, berapa lama lagi waktuku di dunia ini. Berapa lama lagi aku ada di sini, bersamamu," yah, akhirnya aku nggak bohong.
"Kenapa kamu mendadak menanyakan hal itu?"
"Kuburan tadi mengingatkanku akan waktu," aku menyibakkan poni, "Waktu akan membuatku menua. Waktu akan merenggut kesehatanku. Waktu akan membawaku pada kematian. Walau kini aku hidup, aku tak tahu kapan aku akan mati."
Bene tidak berusaha menutupi kesedihannya. Perasaannya kelabu dan terasa menyesakkan, "Masih memikirkan tujuanmu, Kristin?"
"Waktu di Tsalmaveth itu aku benar-benar ketakutan, Kak. Hingga kini aku masih takut akan kematian. Kalau manusia harus berada di sana, itu sangatlah mengerikan."
Bene meremas tongkatnya. Semakin gelisah.
"Inilah yang tak kumengerti. Kak Gilang benar. Hidup manusia itu menyedihkan. Tapi kenapa malaikat sepertimu masih diharuskan mengabdi pada kami? Apa kakak tidak lelah? Mengabdi pada makhluk dari tanah liat sepertiku?"
"Kristin, dengarkan aku," Bene meraih tanganku, "Kadang-kadang, mengetahui lebih banyak dari manusia biasa malah membuatmu takut."
Aku tak berusaha menghindar dari tatapan Bene. Dia mengunci tatapanku. Emosinya mulai stabil sementara dia melanjutkan.
"Dengan semua pertempuran dan perang yang kulihat selama ini. Makhluk-makhluk yang netral maupun bermusuhan yang kukenal... semua membuatku mempertanyakan: apakah sebenarnya yang kita lakukan? Apakah yang kami—kaum malaikat pertahankan? Apa yang kalian—bangsa manusia perjuangkan?"
Senyum Bene terlihat getir, "Tapi, ternyata, kita semua sama-sama harus hidup, kan?" Bene menggerakkan jari, menyentuh kalung bertuliskan Faith di leherku.
"Manusia bukan hidup untuk mati. Mereka hidup untuk berjuang. Dan itu tak mudah. Pembisik jahat jauh lebih berbahaya daripada musuh berpedang. Aku menyadari ini sejak saat aku menjadi Kristoff Benedict. Peperangan manusia itu sangatlah berat. Lebih berat dari peperangan para malaikat. Karena itu, manusia adalah makhluk yang sangat berharga. Bukan sekadar tanah liat menjijikkan. Itu kan anggapan iblis saja."
Bene mengambil sebuah kartu dari saku. Senyumnya terkembang ketika dia menaruh kartu itu di tanganku, "Aku lupa. Seharusnya dari awal aku memberikan ini. Dika menyerahkannya kepadaku tepat setelah pertempuran. Dia berpikir, aku akan lebih mengerti maksud kartu ini. Kupikir, saat itu dia terlalu malu untuk berhadapan denganmu."
Aku ingat, itu adalah kartu tarot ayah. Gambar kartu itu sudah muncul sepenuhnya. Aku menggigit bibir, melihat kunci apa yang bisa memenangkan semua kartu-kartu teror.
Seorang wanita masih terlihat di bagian kiri kartu. Namun kini, ada seorang lelaki mengulurkan tangan. Pandangan mereka bertaut. Tangan mereka bersatu. Saling menggenggam. Huruf-huruf di bawah kartu menegaskan ramalan kelima yang sebelumnya tidak terbaca.
The Lover. Sang Pencinta.
Aku menggeleng keras, mau tidak mau teringat perkataan Lucifer saat merayuku menggunakan fisik Bene. Kenapa justru kartu pencinta yang muncul? Cinta tak dapat menahan gilasan roda kereta perang. Ada yang bilang, cinta membutakan keadilan. Dan bukannya cinta tak terlalu lemah jika dihadapkan dengan iblis? Bagaimana mungkin cinta malah memenangkan kematian?
"Kristin, hampir semua manusia takut mencintai," Bene menepuk tanganku, "Orang menyandingkan cinta dengan nafsu ragawi. Orang mengukur cinta dari pengabdian dan pengorbanan. Mereka lupa, ada dua unsur cinta yang lebih penting. Itulah belas kasih dan kemurahan hati."
Mulutku membulat saking takjubnya. Bahkan aku pun melupakan hal itu.
"Karena cinta menyingkirkan semua ketakutan," kata Bene mengutip kata-kata di liontin ibu, "Itulah cinta yang sebenarnya, Kristin. Cinta yang tak terkalahkan oleh kematian. Bahkan oleh waktu dan semua prediksi."
[ TAMAT ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro