Bab 27 - Iblis Tua
Sebenarnya, aku belum siap.
Semua rencana yang kusiapkan adalah untuk menjebak Gideon. Aku ingin merayunya, mencari kelengahannya. Lalu aku akan membuatnya terjebak. Hingga akhirnya dia mau membantuku merebut fisik Bene.
Namun kini, Bene-lah yang ada di dekatku. Hidung Bene menyentuh rambutku. Posisiku kali ini sama sekali tidak menguntungkan. Jika aku berbalik, dia pasti akan mencumbuku. Namun dengan posisi di depan seperti ini, sulit bagiku untuk menyerang.
"Kamu terlihat cantik," Bene berbisik di daun telingaku. Nafsu yang sama kembali kurasakan darinya. Tapi aku tetap menjaga rasa takutku rapat-rapat. Kali ini, aku sadar kalau aroma tubuhnya jauh berbeda. Tidak ada ketenangan di sana. Yang ada hanya wangi asing dan rasa panas yang mengganggu.
Aku sengaja meremas tangan Bene. Berpura-pura genit, aku berlenggok, mengambil jarak dan berbalik.
"Aku telah memikirkan perkataanmu waktu itu," kataku sambil memamerkan senyum, "Soal kita. Kakak adik. Kupikir, itu adalah kenyataan yang konyol."
Sorot mata Bene kembali terkejut. Tapi senyuman lebar di bibirnya menegaskan kalau dia mulai percaya ucapanku.
"Kupikir, akan ada cara untuk mengubah hubungan itu, kan?" kataku dengan suara sengaja diserak-serakkan.
Bene tertawa. Dia mengecup ringan tanganku, "Tentu saja ada," katanya sambil memandangku. Aku menggerakkan tanganku dengan gerakan penuh arti. Dia tampak puas sekali melihat. Pasti dia berpikir kalau aku begini karena pengaruh serangan-serangannya.
"Jika kamu bersedia, kamu bisa membantuku," aku bisa melihat kilat merah di mata Bene sekilas, "Tapi, apakah kamu cukup mencintaiku untuk melakukannya?"
"Melakukan apa, kakakku yang baik?" aku sengaja membuat nada suaraku selugu mungkin. Jariku bahkan sudah menyusuri lengannya.
"Raja neraka berjanji memberiku tubuh baru. Fisik yang daging dan darahnya memiliki DNA berbeda dengan DNA-mu."
"Oh, ya?" aku memberinya sorot mata sayu, "Tapi, apakah itu akan berhasil?"
Kali ini, dia menarikku mendekat, "Tentu saja, Manis," dia memegang pinggangku. Namun dia tak sadar kalau aku sudah cukup dekat dengan tujuan.
"Apakah Raja Neraka bisa dipercaya?" desahku. Tanganku kini menyentuh dadanya. Bermain-main membuat pola bulatan-bulatan di sana. Aku menunggunya menikmati gerakan-gerakan itu. Gerakan yang membuatnya semakin haus sentuhan.
"Tentu saja Raja Neraka bisa dipercaya," dia memejamkan mata seraya menggeram menahan kobaran nafsu yang semakin kuat. Aku ikut memejamkan mata, tapi dengan tujuan berbeda. Telunjukku menempel erat di bagian jantungnya, dengan cepat membentuk sebuah aksara suci. Hanya sekali kesempatan. Kalau aku gagal kali ini, aku pasti celaka.
"Aku tidak percaya kalau Raja Neraka itu bisa memegang janji."
"Dia akan memegang janjinya, Sayang," suaranya semakin serak oleh gairah. Aku mengambil kesempatan ini untuk bergerak cepat.
"Kalau begitu, aku akan menunggu janjimu... Prae se ferre ipse (tunjukkan dirimu)... Lucifer."
Teriakan itu langsung menggetarkan music library hingga kaset-kaset dan CD beterbangan seketika. Aku tersentak sekitar setengah meter saat cahayaku menembus jantungnya.
Ular yang sama dengan ular yang menyerangku di perpustakaan menampakkan diri dalam bayangan Bene. Mata Bene berkilat merah. Otot-ototnya menyembul ke luar. Kebencian sangat kentara di wajahnya. Suaranya menggema ketika dia menudingku marah.
"Kau ingin mengeluarkan aku dari tubuh ini?" bentaknya. Satu tangannya terlulur mengarahkan kekuatan menyerang leherku. Aku tak sempat menghindar. Kakiku terangkat semeter dari tanah ketika dia meneruskan cekikannya.
Segel cahayaku juga mulai menunjukkan reaksi, seperti laba-laba, dia menyelubungi jantung Bene—atau lebih tepat, Lucifer. Kekuatan cahaya segel itu menyerang roh Lucifer dari dalam. Sang Raja Neraka itu kembali berteriak marah. Kilauan di matanya semakin merah menyala.
"Discessumbre!" aku berhasil merapal mantra itu. Cekikannya melemah. Aku menggunakan kesempatan untuk menepis kekuatan hitamnya, lalu berpijak kuat-kuat.
"Berani-beraninya kau main curang denganku."
"Aku berguru padamu. Aku murid yang baik, kan?" senyumku pasti membuatnya jengkel. Aku tak menunggu untuk mengeluarkan cahaya lagi, lalu ganti menyerangnya.
Sayangnya, kali ini Lucifer berhasil mengelak hingga cahayaku hanya lewat satu senti di atas bahunya. Dia langsung tertawa terbahak-bahak, "Yakin tidak mau bergabung denganku, Milady?" katanya tanpa berusaha berpura-pura menjadi kakakku lagi.
"Aku lebih memilih berduel denganmu, Milord Sinting," kataku datar, "Kembalikan kakakku sekarang!"
Tawa Lucifer semakin keras, "Apa kau pikir, kau masih punya pilihan?" katanya tenang, "Kau telah melihat ramalannya. Kereta. Keadilan. Kematian. Iblis. Di depanmu sekarang hanya ada kematian dan iblis."
"Masih ada kartu kelima, Luce," kataku dingin.
"Lalu kartu apa itu? Seorang perempuan yang kehilangan harapan?" katanya mengejek, "Tidak merasakan aura tempat ini? Aku telah menguasai pulau ini, Milady. Menyerahlah. Maka aku akan memberi tempat yang nyaman di haremku."
"Cih," aku mengernyit jijik, "Aura stasiun radio ini memang hitam, Luce. Tapi tidak dengan tempat lain. Kamu nggak menguasai pulau ini."
Tatapan Lucifer terasa menghunjamku. Dia tidak percaya apa yang kukatakan, itu pasti. Namun saat dia mengecek menggunakan kekuatannya, bibir Lucifer terkatup rapat. Dia kini sudah tahu kalau vibrasi pulau telah berubah akibat acara-acara positif yang ditayangkan stasiun radio lain.
"Terkutuk kau, Jalang!" amarah membuat sorot matanya berkobar-kobar, "Aku tidak menduga kalau kau sangat menjengkelkan."
"Oh, aku sih sudah tahu kalau kamu bakal menjengkelkan begini," balasku tak acuh.
Kami menyerang bersamaan. Benturan kekuatan kami menyebabkan music library semakin porak-poranda. Kayu-kayu rak mulai keropos lalu hancur. Sementara kaset-kaset dan CD di dalamnya berjatuhan begitu saja.
"Fisik manusia akan menghalangi kekuatanmu!" teriakku, "Bersikaplah sebagai gentleman! Keluar dan hadapi aku!"
Lucifer bergeming. Dia masih memaksa mengeluarkan kekuatan dari tangan. Napasnya mulai tersengal-sengal. Segel cahaya di jantungnya bersinar makin kuat. Aku menggunakan kesempatan ini untuk merapal dua mantra sekaligus, lalu mengarahkannya ke dada Lucifer.
Lelaki itu tersentak hingga ke luar ruangan. Dia kini berdiri di jembatan. Cahaya samar membuat bayangan ular itu semakin menghitam. Meliuk-liuk di belakang fisik Bene.
"Kau harus membayar ini," geramnya marah. Sedetik sebelum dia memamerkan senyum yang terlihat sebagai seringaian. Dia merentangkan tangannya, mengundang gempa di sekitar jembatan yang bisa menghancurkan fondasi-fondasinya.
"Jadi," dia berkata dengan nada penuh kemenangan, "Apakah kau mau menyerah, atau kau lebih ingin melihat tubuh kakakmu hancur bersama jembatan ini?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro