Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 26 - All is Fair in Love and War

Join us at the darkest Halloween Party!

Radio Lentera presents you an amazing moment with the UNREALITY.

Tanganku bergetar oleh rasa marah. Hampir saja kusobek-sobek kartu undangan yang dibuat terlalu elegan itu. Apa-apaan pesta Halloween saja harus memakai kertas tebal dan tinta emas di atas beledu hitam? Tapi kelihatannya, bagi Gideon Craddock, inilah ungkapan kepuasan hatinya atas perayaan yang bisa jadi perayaan kemenangan bagi para iblis.

"Elo jual, gue beli," kataku pada cermin di depan. Wajahku mungkin masih kacau karena sakit berhari-hari. Lingkaran hitam di bawah mata itu cukup mengganggu. Tapi selebihnya, penampilanku masih cukup untuk menarik para pria hidung belang *pinjam kalimat Gideon Sok Ganteng*.

Aku membubuhkan concealer di bawah mata, memilih lipstik nude lalu memberi sentuhan menegaskan garis mata yang berbentuk almon. Aku mengambil sebuah kaus lengan tiga perempat bertuliskan "I AM in Bali". Kukecup dua kalung peninggalan ayah ibu. Lalu kukenakan dua-duanya sekaligus.

Kaos ketat dan celana skinny itu terlihat terlalu seksi. Untungnya, para lelaki sedang tidak ada di sini. Jadi aku melenggang dengan santai di ruang tengah. Aku duduk di sofa, memegang segelas air jeruk sambil melakukan kegiatan yang rutin kulakukan semingguan terakhir. Aku menekan remote untuk mencari gelombang EDBS Radio. Suara penyiar di sana langsung menyambutku dengan membacakan sebuah adlips.

"Jangan lewatkan acara Lovely Healing yang diadakan setiap hari, mulai jam 5 pagi," penyiar itu berkata, "Dengan bintang tamu Altair Sudarso, seorang international healer Amerika yang baru melakukan keajaiban menyembuhkan seribu orang di Los Angeles dan San Francisco..."

Aku melirik jam tanganku. Tepat pada waktunya. Aku menekan tombol remote lagi. Memindahkan saluran ke Hardcore Radio. Penyiar di sana juga sedang membacakan adlips.

"Hardcorers, buat elo-elo yang suka banget sama @rempongb3ud, followersnya di Twitter dan Instagram, ada kabar bagus banget, nih... Rico Hanggara—empunya @rempongb3ud sekaligus pemilik Happy Ending Publisher, akan menemani kita tiap malam! Catat jamnya, ya... mulai jam 11 sampai jam 1 malam! Siapin kopi yang banyak! Kita akan bahas macam-macam! Curhat macam-macam! Dan ada doorprize buku 'Hidup Jangan dibikin Rempong' yang akan dibagikan gratis!"

Tepat pada waktunya juga.

Senyumku makin lebar saat aku mematikan radio, lalu mengirim BBM terima kasih pada Rico, Altair, orang-orang EDBS dan Hardcore. Rico yang lantas menjawab pesanku dengan sebuah panggilan telepon.

"Nggak usah terlalu sungkanlah," katanya dengan nada santai, "Gue ikhlas bantunya. Gue Cuma heran buat apa lo bantu radio saingan sementara radio lo sendiri sedang direbut orang."

Aku tersenyum miris mendengar pernyataan Rico, "Ya, gue nggak bisa ngomong banyak sih, Rick. Masalah sana itu super rempong, tahu."

Rico bersiul, "Untung gue udah pensiun."

"Yeah, lucky you. Hidup lo udah nggak rempong lagi."

Rico menarik napas panjang, "Entahlah, Kris. Lo sendiri tahu kalau elo nggak bisa lari selamanya. Gilang udah ngebuktiin itu."

Aku menelan ludah yang mendadak terasa pahit. Sesaat, suasana terasa sendu. Hingga Rico kemudian mengalihkan pembicaraan.

"Suzuki Splash lo masih belum gue apa-apain," Rico berkata, "Kalau lo mau ambil, kontak aja gue. Soal uang pinjaman, bisa lo kembaliin lain kali."

"Sip. Thanks berat ya, Rick..."

"Apapun buat calon istri," Rico berkata cepat, "Bye, Darling... muaaach!"

Aku bisa membayangkan tawa Rico saat dia menutup telepon. Sementara aku belum sempat mengomelinya karena bersikap genit. Dasar playboy cap kapak naga geni! Sableng!

Beberapa BBM kemudian datang bersamaan. Aku tersenyum sendiri melihat ucapan-ucapan bernada jangan sungkan dan keingin tahuan yang sama tentang bantuan acara yang membuat rating mereka meninggi.

Mengabaikan pernyataan mereka, aku langsung menekan nomor telepon taksi, memesan tumpangan untuk segera pergi ke Radio Lentera. Aku sengaja berhenti sekitar satu blok sebelum studio. Lalu meneruskan dengan berjalan kaki.

Bulan mulai menampakkan diri bahkan hingga sore, tanda bulan biru akan segera sempurna besok. Sama seperti dugaanku, aura kegelapan bahkan sudah terasa saat aku menapakkan kaki ke luar taksi. Dan semakin pekat lagi saat aku membuka gerbang depan. Aku tersenyum miris saat melihat hiasan Jack-o'-Lantern dipasang di pintu-pintu. Berbagai ornamen berbentuk hantu dan nenek sihir juga dipasang sebagai pelengkap.

Gideon pasti sangat menikmati ini. Samhain. Atau yang populer sebagai Halloween—Festival musim gugur yang identik dengan dandanan setan dan iblis. Kekuasaannya di Radio Lentera memungkinkannya mengadakan acara meriah berkaitan dengan Halloween.

Apakah kau akan datang sebagai setan? Atau malaikat?

Aku langsung muak membayangkan wajah licik Gideon saat menuliskan pesan itu di kartu undanganku. Tapi ini adalah kesempatan. Hampir semua makhluk astral akan berkumpul di pusat semesta untuk perayaan. Sementara itu, Gideon yang nggak tahu menahu masalah radio broadcasting itu tidak akan sadar kalau aku telah menyusun rencana menggunakan cara liciknya untuk menyerang balik. Frekuensi radio. Ide yang tak buruk, kan? Kekuatan Altair dan Rico seharusnya cukup untuk menghadapi kegelapan. Apalagi kalau pendengarnya banyak.

Callista yang pertama mencolek lenganku. Aku terpana melihatnya mengenakan sayap palsu dan gaun putih tipis menerawang. Benakku otomatis mempertanyakan, ada gitu, malaikat berpakaian mengundang?

"Gimana pakaianku, Kris?" menegaskan keseksiannya, Callista berputar sekali, "Aku akan memakainya besok. Cocok, kan... buat ngemsi?"

"Hnggh," kataku mengiyakan.

"Kamu nggak pilih kostum juga?" dia menunjuk kardus-kardus dan pegawai-pegawai yang sedang mencocok-cocokkan kostum. Tampaknya, semua persiapan venue sudah beres. Sekarang mereka tinggal menentukan pakaian yang akan dipakai esok hari.

"Nggaklah. Ngapain aku pilih-pilih kostum," kataku acuh tak acuh, "Toh aku bukan panitia."

Ekspresi merendahkan jelas sekali terlihat dari Callista, "Harusnya dengan badanmu itu, kamu cocok jadi iblis perempuan," cibirnya. Aku hanya tertawa seraya memerhatikan makhluk-makhluk astral yang mulai berseliweran di sekitar kami. Gideon sialan! Berani-beraninya dia mengundang makhluk-makhluk ini juga.

"Mana Dika?"

"Nanti juga datang," Callista berkata enggan, "Ngapain kamu nyariin orang nggak jelas kayak gitu? Masih banyak cowok ganteng di sini. Atau kamu belum puas mainin Dika?"

"Hah?"

Callista mengangkat bahu. Pandangannya kepadaku terlihat sinis. Aroma kecemburuan menguar jelas dari dirinya.

"Kapan-kapan, ajari aku teknik pura-pura lugumu itu," kata Callista. Aku langsung tersinggung berat.

"Pura-pura lugu gimana?"

"Yaaa... pura-pura jual mahal sama cowok. Padahal kayak sekarang, nyariin Dika-lah, nyariin Kak Bene-lah... belum lagi laki-laki kemarin, Kak Feng? Dasar cewek player!" dia mendengus sekali, lalu memandangku dengan pandangan meremehkan.

"Aku hanya khawatir sama temanku," kataku membela diri, "Lagian, Kak Bene kan kakakku. Kenapa aku nggak boleh nyariin dia? Kalau Kak Feng, dia teman masa kecilku. Nggak boleh, gitu, dia kadang jemput aku?"

"Ngeles memang gampang, Kris. Aku nggak percaya!" Callista mendengus lagi. Aku baru sadar kalau berdebat dengan cewek ogah mikir itu kesalahan besar. Akhirnya, alih-alih mengeluarkan pembelaan diri, aku malah membusungkan dada lalu memamerkan wajah ala cewek player yang sebenarnya kutiru dari Holliday Granger dalam serial The Borgias.

"Oh, ya sudah. Kalau gitu, kamu pasti nggak keberatan ngasih tahu aku di mana Gideon, kan?"

"Mau apa kamu nyariin bebebku?"

Aku sengaja membuat nada suaraku terdengar sok bego, "Soalnya... aku mau mengeluarkan jurus pura-pura luguku," aku langsung tertawa puas melihat Callista terbelalak lalu mengentakkan kaki dengan amat marah. Rasain!

Aku kembali mengedarkan pandangan di aula yang kini mulai ditinggalkan orang. Tapi alih-alih menemukan Gideon, aku merasa lenganku dicekal seseorang. Hampir saja aku tidak mampu menyembunyikan rasa terkejut.

"Kamu datang juga."

"Seharusnya itu kalimatku," aku memberanikan diri menatap matanya yang tersembunyi di balik topeng, "Kakak tidak pernah suka berdandan sebagai Phantom of The Opera, atau datang ke pesta Halloween."

Sorot mata itu tampak terkejut. Meski Bene kini terbatuk, aku malah merasa muak dengan kepura-puraannya.

"Kadang-kadang, perubahan itu perlu," katanya. Dia menggandeng tanganku. Kami melewati orang-orang yang tersisa hingga kami mencapai pintu. Sebenarnya, ini tidak termasuk dalam rencanaku. Aku mati-matian menyembunyikan kegugupanku, takut kalau Bene gadungan ini akan sadar kalau dia ketahuan.

Bene mengajakku menyeberangi jembatan ke gedung sebelah. Kami menuju ke music library. Aku ngeri membayangkan apa yang bisa dia lakukan padaku. Tapi terlanjur basah, aku harus melanjutkan sandiwara ini. All is fair in love and war. Apapun untuk mengembalikan makhluk ini kembali ke neraka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro