Bab 18 - Jatuh
Rasanya mataku buta. Telingaku tuli. Dan kepalaku seakan meledak berkeping-keping. Sesuatu melilit kedua tanganku. Kakiku terseret tanpa daya, menembus batas-batas tempat. Teriakan-teriakan marah terdengar di sekelilingku. Bergantian dengan jerit kesakitan dan penderitaan.
Hatiku semakin mencelus ketika bau telur busuk menusuk hidung. Bau belerang yang panas. Mayat-mayat yang anyir. Mataku mulai terbuka ketika nyala-nyala api mengelilingiku dalam sebuah lingkaran. Aku sadar, tanganku bukan dililit sesuatu, akan tetapi dipegang oleh dua makhluk mengerikan.
Manusia berkepala kerbau. Manusia berkepala kuda. Dua makhluk itu memegangku seperti memegang seorang tahanan. Menyeretku di antara kobaran api yang menjauh begitu kami lewat.
Refleks, ketakutan membuatku meronta. Tapi tampaknya kedua makhluk itu sangat kuat. Tinju si manusia berkepala kerbau tepat mengenai keningku. Dan seketika, pikiranku kosong lagi. Aku sadar, tapi tidak sadar. Rasanya seperti orang idiot yang begitu saja digiring. Mereka menendangku ketika jalanku lambat. Mereka mencambukku jika aku berhenti. Ke mana otakku pergi saat ini, aku sama sekali tak tahu.
Batu-batu membara di sekeliling kami. Manusia-manusia terbakar dan dicambuk. Tergantung dalam tiang pancang. Tergeletak terinjak-injak. Terpotong dan tersambung lagi. Terjebak dalam hukuman mereka sendiri-sendiri.
Aku terlalu lemah saat itu. Pikiranku tumpul. Bahkan ketika kulihat manusia berkepala kerbau mulai memasangkan belenggu ke tangan, kaki, dan leherku. Napasku sesak. Mataku nanar. Aku tak sanggup melawan ketika mereka menaikkanku ke seekor kuda. Kembali aku melewati nyala-nyala api dan batu-batu membara. Beberapa kali, kuda itu berbelok. Hingga kami tiba di sebuah jalan yang melandai. Angin kering bertiup di atas telingaku. Debu mulai beterbangan. Semakin jalan itu menurun.
"Akhirnya kamu datang."
Suara itu mengembalikan seketika mengembalikan kesadaranku. Aku menggeleng beberapa kali, merasa ngeri melihat besi tebal terpasang erat di leherku. Kuangkat tangan, dan gemerincing rantai menyambutku.
"Kristina. Kristina. Kamu nggak tahu betapa aku merindukanmu?"
Pinggangku diraih dan aku diturunkan dari kuda. Rantai di kaki membuatku tak bisa berjalan. Tampaknya tubuhku juga terlalu lemah hingga selalu merosot ke bawah. Tangan kekarnya menahanku. Aku merasa risih ketika akhirnya pandanganku bersitatap dengan manik mata gelapnya.
Gilang Bramasakti. Baik senyum maupun sikapnya terlihat sangat ramah. Aku hampir tak bisa melihat perbedaan dari wajahnya semasa hidup dengan sekarang. Dia masih terlihat ramah. Akan tetapi, pakaian bergaya eropa itu cukup membawa perubahan ganjil dari dirinya. Wajahnya yang cukup Indonesia terlihat tidak sesuai dengan jas berekor, celana ketat, dan cravat di leher.
Kepalaku masih berputar tak tentu. Sapuan jemari Kak Gilang di pipiku terasa asing. Seringaian kuda hantu itu tampak mengerikan bagiku, meski sepertinya Si Kuda cukup berusaha untuk menjaga sikap. Gilang menepuk surai kuda yang memiliki tubuh transparan hingga menampakkan tulang belulang itu. Membuat si kuda memejamkan mata merahnya, lalu mendengus senang.
"Apa... yang terjadi?" kataku dengan suara serak. Asap belerang menyesakkan tenggorokan. Di sini terlalu panas. Padang pasir di depan mata membentang tanpa tepi. Sementara bukit-bukit logam dan kastel tinggi menjulang terlihat di kejauhan. Langit sendiri hanya berupa selubung ungu pucat menyedihkan. Begitu rapuh.
Kami berdiri di atas bukit yang sama. Di antara reruntuhan logam yang berbentuk seperti mesin-mesin rusak. Aku sempat memekik saat kesadaranku pulih sepenuhnya. Bagaimana aku bisa sampai ke sini? Ini sungguh tak masuk akal!
"Kenapa, Kristina?" Tangan Gilang masih menempel di pinggangku. Berniat menjauhkan diri, aku mendorongnya. Tapi sayang, aku yang terjatuh. Aku melotot pada Gilang ketika dia berhasil meraihku lagi.
"Tenangkan dirimu. Disorientasi tempat di sini terlalu kuat. Apalagi, untuk yang memiliki darah malaikat," Gilang menyengir memamerkan gigi. Apa yang sedang dia pikirkan? Apa dia tahu tentang identitasku?
"Apa yang sedang kalian rencanakan?"
"Kami ingin menunjukkan keramahan dari tempat yang selama ini kamu benci," Kak Gilang berkata tenang.
"Neraka?" aku tak berusaha menyembunyikan kesinisan dalam suaraku, "Ya, tentu saja tempat ini ramah. Saking ramahnya, tamu pun diikat seperti sapi."
Dengan sengaja aku menaikkan tangan. Gilang melihat rantai-rantai itu dan dia tersenyum untuk meminta maaf.
"Kadang-kadang, His Lordship memang suka bercanda," katanya.
"Bercanda???" aku mulai kesal, "Dengan semua pukulan dan cambukan itu?" Aku meringis karena perih mulai terasa di punggung dan perut. Berengsek. Manusia berkepala kerbau dan manusia berkepala sapi itu memang tidak tanggung-tanggung.
"Oh, ayolah... Kristin," Gilang membantu melepaskan belenggu di leherku, "Manusia juga melakukan itu, kan? Coba kuingat-ingat. Kalau tidak salah, namanya bullying. Selera humor manusia semakin berkembang pesat. Mulai menyaingi bangsa iblis."
Jadi bullying itu memang sebuah candaan. Ah, salahku ngomong sama penghuni neraka, sih. Jelas saja mereka bangga manusia mulai mirip dengan mereka.
Gilang kini melepaskan belenggu di tanganku. Sayangnya, kali ini aku tidak memiliki ide akan melakukan apa. Mau lari pun aku bingung bakal lari ke mana. Baju dan celana panjangku koyak sana sini. Aku malu setengah mati kelihatan begini di depan Gilang. Penampilan kami sangat tidak sinkron. Dia dengan penampilan bangsawan abad pertengahan. Sementara aku seperti penumpang pesawat terdampar dalam serial Survivor.
Tapi Gilang berjongkok di depanku. Tangannya memutar tuas untuk membuka belenggu di kaki. Setelah selesai, dia bangkit. Aku ingat senyuman itu. Aku ingat gaya perputaran tangan itu.
Dan aku tak mungkin lupa, setangkai lili yang selalu dia munculkan dari tangannya setiap kali beratraksi untukku.
"Kristina, stay with me, please."
Kain yang diikatkan di leher, salah satu atribut mode zaman kerajaan Eropa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro