Bab 10 - Hantu
Lebih dari masalah sebagai nephilim, aku lebih mengkhawatirkan ancaman dari Gideon. Cowok itu tampak senang menikmati penderitaanku. Dia sengaja mengurangi petugas kebersihan, lalu memenuhi ruang siaran dan music room dengan sampah. Tepat sesaat sebelum acara Fun Teen dimulai. Beberapa bintang tamu takjub melihat joroknya studio kami. Beberapa musisi bahkan langsung pamit dengan alasan ada acara. Dalam sekejap, acaraku itu langsung sepi.
Rasanya waktu berjalan cepat sekali menuju siaran perdana Unreality. Untuk menarik pendengar, Gideon melakukan banyak hal. Dari memasang iklan di koran dan TV lokal, hingga menggerakkan orang-orang di sosial media.
Dalam sekejap, Twitter dan Facebook-ku telah penuh dengan pesan-pesan penuh minat. Beberapa curhat berbau mistis tak lupa mereka sertakan. Di kampus pun, banyak teman-teman mahasiswa dan mahasiswi yang menyemangati.
Yang paling menyebalkan, siaran perdana Unreality ternyata mendapat tanggapan bagus dari pendengar. Dalam waktu beberapa hari saja, para pemasang iklan sudah berdatangan. Sebagian malahan iklan yang menyangkut masalah tempat tidur. Gideon tertawa begitu gembira saat pemasang iklan meminta rekaman iklan dibuat di sini. Dengan suaraku sebagai 'Sang Istri Kesepian'.
"Dasar Gideon sialan!!!"
BRAK!
Dika terkejut karena aku menendang tong sampah di dekatnya. Beberapa mahasiswi terkikik melihatku, tapi aku memelototi mereka dengan pandangan awas-tunggu-pembalasanku yang bikin keder.
"Udah dong, Kris. Kasihan tong sampahnya, tuh... itu kan bukan mukanya Gideon."
"Grrr... pengin banget aku bejek-bejek muka sok ganteng itu," geramku, "Kalau saja aku nggak sedang nunggu Kak Bene, aku bakal cepat-cepat minggat dari Radio Lentera."
"Dan membiarkan para penyiar dikerjain Gideon? Nggak, kupikir kamu nggak bakal berhenti begitu saja," kata-kata Dika terasa menyengatku. Dia benar. Aku mana tega lihat Mbak Amy dan yang lain diperlakukan tidak adil. Ya, kecuali Callista. Kayaknya dia menikmati banget dekat Gideon.
"Sebenarnya, Kak Bene ke mana, sih?" aku mengacak-acak rambutku dengan kesal, "Udah khawatir banget sama Bene, eh... pake acara disuruh akting jadi jablay lagi. 'Toh kamu memang lagi kesepian ditinggal Bene, Luv' Berengsek!"
Aku merasa Dika mati-matian menahan tawa. Tendanganku langsung mengarah ke tulang keringnya.
"Bantuin, dong... malah ketawa lagi."
"Eh, iya... iya, maaf. Kan aku sudah berusaha bantu kamu," Dika memasang tampang polosnya, "Aku bahkan mau-mau aja menyamar jadi pacar kamu, lho... kurang apa lagi, hayo?"
"Itu sih, enak di kamunya," protesku masih kesal, "Tapi kamu beneran nggak ada dikirimin apapun sama Kak Bene? SMS? Chat? Apaan, gitu?"
Dika menggeleng, "Aku mulai merasa ada yang aneh dengan semua ini. Oh, ya... dan ini..." Dika merogoh sakunya. Aku baru ingat dengan kartu kelima yang diambil Dika di perpustakaan.
Aku membolak-balik kartu itu dengan heran. Hanya setengah kartu berisi gambar. Itupun gambar seorang perempuan yang sedang mengulurkan tangan. Wajahnya jauh dari kesan gembira. Bibirnya tertekuk ke bawah. Kesepian terlihat jelas dari ekspresinya.
"Apa ini?"
Dika angkat bahu. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, mengingat-ingat sebenarnya kartu itu sebenarnya kartu apa.
***
"Dari kawasan Gatot Subroto, Denpasar. Selamat Malam Sobat Lentera. Buat yang baru gabung, kita sedang ada dalam program Unreality—di balik yang nyata, ada yang tak nyata," Aku mencoba membawakan acara Unreality malam ini dengan biasa. Minggu ke-3 dengan iklan semakin banyak. Namun suasana studio malah mencekam. Suara anjing melolong terdengar sejak Maghrib. Bahkan Madame Linggar sempat mengeluh pusing dan hampir pingsan.
Dika juga merasakan ada yang tidak beres. Dia sempat tersentak saat mendengar suara gemuruh dari langit. Mendung begitu tebal. Kami semua harap-harap cemas semua akan berjalan lancar malam ini.
Dua surel sudah kubacakan. Madame Linggar membahas cerita di surel itu dari segi mistis. Baru kali ini, kulihat dia begitu gugup. Madame Linggar bahkan menanti jeda iklan untuk sekadar menenangkan diri.
Suara vokalis Utopia masih terdengar membawakan lagu Antara Ada dan Tiada. Aku menelan ludah beberapa kali, melihat wajah Madame Linggar kian memucat.
"Ada apa, Madame?"
"Ada iblis. Iblis yang sangat berbahaya," Madame Linggar berkata gelisah, "Iblis itu akan segera datang!" keringat dingin sebesar biji-biji jagung tampak di kening Madame Linggar. Dika memasang ekspresi ketakutan. Perkataan Madame Linggar itu benar-benar diucapkan dengan serius. Bukan sekedar menggoda dengan mengatakan, "Sedang ada anak kecil mencolek bahumu", "Ada perempuan cantik di belakangmu" dan semacamnya.
Aku langsung menyodorkan segelas air mineral untuk menghentikan ucapan paranormal itu. Cukup sudah. Paranormal ini, sudah takut kok malah nakut-nakutin orang?
"Kita selesaikan acara ini saja, Madame," kataku berusaha tegar. Padahal, aku juga mulai was-was. Aku sempat melihat kelebatan hitam, mirip dengan bayangan di perpustakaan dulu.
"Hari ini purnama darah," Madame Linggar tampaknya masih berusaha menjelaskan, "Hari di mana para iblis berpesta pora. Hari yang tepat untuk iblis menampakkan diri."
"Kalau begitu biarkan mereka berpesta. Dan kita selesaikan urusan kita di sini."
Madame Linggar membelalakkan mata, "Kamu jangan main-main!" bentaknya, "Kamu nggak percaya adanya iblis?"
Aku memutar mata. Masa aku harus ngomong yang sebenarnya, sih?
"Madame, tenang..." Dika yang kini menghampiri Madame Linggar. Dia bahkan menambahkan lagu untuk jeda acara. Seharusnya, saat ini kami sedang membaca surel terakhir pembaca.
Untungnya, aku tadi sengaja memilih surel bertema feng shui. Sebodo amat sama Gideon. Madame Linggar juga tampak lega mendengarku membacakan pertanyaan mengenai mengapa tanaman pepaya dan pisang sebaiknya tidak ditanam di dalam rumah.
Sayangnya, menjelang tengah malam, tidak ada perubahan suasana. Alih-alih mereda, getaran kegelapan semakin terasa. Kelebatan hitam kembali muncul. Bahkan kali ini Madame Linggar dan Dika juga melihatnya.
Aku menutup acara dengan buru-buru. Dika juga segera memutar jingle-jingle penutup. Detik demi detik berjalan melamban. Sementara Madame Linggar semakin gemetar karena ketakutan.
"Aku merasakan sesuatu yang besar. Sayap-sayap kematian," Madame Linggar menoleh ke segala arah, ekspresinya bingung dan ketakutan. Aku tak bisa menahan diri untuk tak ikut takut. Kucengkeram lengan Dika, berharap cowok itu akan lebih pemberani bagiku. Tapi...
"Tanganmu dingin, Dik."
Dika menyengir melihatku. Harapanku bergantung padanya langsung kandas. Dika menurunkan tuas terakhir, mematikan tombol-tombol di mesin mixer suara. Meski wajahnya sedatar Rangga waktu berdebat dengan Cinta, ketakutan Dhika membuatku mulas seketika.
Lalu seakan meramaikan, telepon yang diam sejak sesi konsultasi berakhir mulai berdering dengan nada ganjil.
Kring! Kring!
Aauu~ Aaauuu~
Suara dering telepon dan lolongan anjing yang terdengar kompak itu mau tidak mau membuat kami seketika melonjak kaget. Terlebih, saat itu listrik seolah bermain dengan lampu yang mendadak berkedip-kedip. Kami merapat sambil memerhatikan telepon itu. Berharap deringnya akan berhenti.
Tapi tampaknya, telepon itu masih giat menjalankan tugas. Aku yang kemudian beringsut mengambil gagang telepon. Dalam hati, aku berjanji akan mendamprat Si Penelepon kalau dia adalah orang iseng.
"Radio Lentera FM, dengan Kristin. Ada yang bisa saya bantu?"
Suara mengikik seorang perempuan menjawab pertanyaan itu selama semenit. Alisku berkerut. Ragu apakah harus mendamprat ataukah menaruh telepon itu sekarang. Bulu halus di tanganku terasa meremang saat kudengar namaku disebut dari ujung telepon.
"Sambut dia, Nona Kristina. Sambutlah His Lordship..." suara tawa itu semakin keras. Diikuti suara berdenging yang membuatku refleks membanting telepon. Entah karena rasa takut atau AC di ruangan tiba-tiba terasa membekukan. Kami semakin merapat dan berpegangan tangan. Madame Linggar mencengkeram kerah baju Dika erat-erat, sementara pandangan matanya memutari ruangan itu.
Energi hitam semakin kuat berputar di sekitar kami. Langit-langit ruangan mendadak terlihat transparan. Barisan putih mengerikan terlihat melayang-layang mendekati tempat kami. Gaun panjang putih kusam, wajah-wajah kaku yang lebih pucat dan bercahaya abu-abu. Sementara kuku-kuku panjang hitam itu terlihat di tangan-tangan mereka yang terulur.
"Kris, apa ini?"
Kuntilanak. Aku menahan kata ini di ujung bibir. Roh-roh malang yang menjadi iblis karena dendam ini adalah laskar pertama yang dikerahkan para iblis. Karena merekalah yang paling mudah menembus perbatasan dunia manapun. Getaran yang mereka bawa juga menipiskan pertahanan pembatas dunia.
"Pesta pora para iblis," Madame Linggar mulai meracau, merapalkan berbagai mantra yang hanya bisa membentuk perlindungan tipis. Jujur, aku mulai meragukan kemampuan supranatural perempuan ini. Dengan reputasinya, kupikir Madame Linggar bisa membentuk dinding setebal beton benteng.
Aku menggenggam erat tangan Dika. Punggungku mulai gatal dan kebas. Tapi aku tak mungkin membiarkan sayapku ke luar begitu saja.
"Dik, bersiaplah untuk menghadapi satu kompi arwah penasaran," kataku datar. Berusaha membuat nada suaraku setenang mungkin. Tapi Dika tetap melotot ngeri. Madame Linggar sedikit tidak mengerti apa yang kubicarakan, tapi dia tetap berusaha mempertebal tabir pertahanannya.
Dan benar saja, di belakang para kuntilanak itu, berbaris arwah-arwah bertubuh hancur. Tangan mereka terulur dengan kuku-kuku hitam. Dua lubang menganga di tempat yang seharusnya menjadi mata mereka.
"Gumi niskala sampunang ngugul gumi sekala," gumam Dika seraya mempertebal lapisan pelindung Madame Linggar dengan energinya. Bantuan Dika sangat membantu Madame Linggar. Perempuan itu memandang Dika dengan wajah terkejut, namun pertahanannya menuntut konsentrasi yang membuat Madame Linggar tak bisa bicara.
( Catatan: Gumi niskala sampunang ngugul gumi sekala = Dunia tak nyata janganlah mengganggu dunia nyata (Bahasa Bali))
"Jadi ini yang kamu lakukan waktu bertempur kemarin?" Dika kini merapal mantra berbahasa Kawi untuk menambah lapisan pertahanan.
Aku mengangguk sambil memasang tampang muram, "Yang ini belum seberapa, Dhik. Mereka hanya pasukan depan yang digunakan untuk membuka jalan."
"Kekuatan mereka terlalu besar," Madame Linggar kembali merapal mantra, lalu dia menoleh ke arahku, "Apa kamu akan diam saja dan tidak membantu?"
Perkataan Madame Linggar menohokku langsung. Terlebih karena pasukan itu sudah dekat sekali dengan kami. Memanggil Feng, Sano, atau Malaikat Yizreel sudah tak mungkin. Dan mereka akan melanggar ketentuan jika sampai terlihat manusia atau wizard yang tidak tahu keberadaan mereka.
"Dik, Madame, pejamkan mata kalian," aku memerintah dengan nada tegas, "Dalam nama cahaya," aku mulai memusatkan perhatian dan kekuatan, "Kegelapan kembalilah ke tempat asalmu. Discessumbre!"
Cahaya itu terlalu menyilaukan, bahkan bagi manusia dan wizard biasa. Menyakitkan bagai seribu panah. Seketika melukai makhluk-makhluk gaib yang berhasil mendekat. Kejadian itu begitu cepat. Makhluk-makhluk itu seketika menjauh dan pergi, sementara lampu studio kembali menyala normal.
"Apa itu tadi?" Dika yang lebih dulu berkata. Madame Linggar masih berusaha mengurutkan kejadian demi kejadian dalam pikirannya ketika kemudian wanita itu melihat sosok hitam itu.
Sang iblis.
Dia begitu dekat dengan pakaian hitam gelap. Tidak ada yang bisa melihat wajahnya. hanya ujung jubah hitam dan senyuman kaku. Sementara kekuatan hitam berkumpul di sekelilingnya. Ketakutan. Keputusasaan. Nafsu-nafsu jahat. Keegoisan. Semua seakan mewujud dalam dirinya. Meski demikian sosok itu tampak begitu memukau. Seakan-akan dia adalah narkoba yang mengadiksi. Menarik orang untuk segera mabuk dalam pesona kejahatan.
Jika iblis biasa bangga memamerkan api dalam diri mereka, iblis ini tidak. Dia lebih menikmati kegelapan dan semua getaran menakutkan yang dia bawa. Bahkan kehadirannya saja sudah membuat kami semua sesak napas. Di hawa dingin ruang siaran, penciuman kami tertusuk panas menyengat. Emosi-emosi negatif menyiksa kami. Bercampur dengan rasa sesak menyakitkan di paru-paru. Rasanya kami diserang dari bagian dalam oleh sesuatu yang sengaja dibangkitkan.
Seringai Sang Iblis terlihat licik. Madame Linggar sempat beradu pandang dengannya sebelum paranormal itu menjerit kesakitan. Dika segera menyambar tubuh Madame Linggar. Melihat Madame Linggar pingsan, aku segera bersiap untuk menggunakan kekuatanku lagi.
Namun kemudian, lampu studio bersinar terlalu terang hingga bohlamnya pecah. Kegelapan kembali menyelimuti kami. Dan kali ini, listrik benar-benar padam sepenuhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro