Tika yang Dulu Bukanlah yang Sekarang
Tisha menegakkan telinganya, bersiap mendengarkan sebuah kalimat yang ketiga kalinya akan diulang dan keluar dari mulut Tika. Ya, dari mulut Tika yang biasanya mengalunkan nasihat, aturan, kalimat-kalimat sadis menyayat hati. Anehnya lagi, sosok yang mirip nyaris seratus persen dengannya itu tidak protes, malah tersenyum dan dengan sabar mengulangi perkataannya. Bahkan, beberapa menit lalu Tika menarik sang kembaran masuk ke kamarnya, ke teritorial seorang Tika yang haram hukumnya dimasuki orang lain tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku. Sekarang, Tika mempersilakan Tisha dengan tangan terbuka, duduk di ranjangnya.
"Gue pengen kita tukeran beberapa hari aja."
Itu dia. Kalimat itu yang membuat Tisha merasa tuli. Beneran, nih? Dia benar-benar mendengarnya dan bukan sebuah dengung dari permintaan serupa yang pernah diajukannya berkali-kali tempo dulu dan ditolak Tika mentah-mentah? Tak hanya telinganya, sekujur tubuh Tisha kontan menegak, mata bulatnya menyipit, keningnya mengerut sangat dalam seperti baju kusut yang tergulung bertahun-tahun. Lama, dipandanginya Tika yang menampilkan ekspresi memohon, dengan mata berbinar, mulut dimonyongkan sedikit dan kedua telapak tangan menyatu ditempel di depan dada.
"Please, tolong ya..." Suaranya pun terdengar sangat merendah. Nada suara yang untuk pertama kalinya didengar Tisha selama 17 tahun ini terikat dalam tali persaudaraan dengan Tika.
"I-iya," balas Tisha singkat. Deretan pertanyaan mengantre dalam benaknya, silih berebut ingin diajukan duluan, membuat Tisha jadi pening dan akhirnya menyerah dalam satu kata itu. Dia perlu relaksasi dulu, es cendol yang disediakan Bi Hanum semoga bisa menyegarkan pikirannya dan membangunkannya dari ... tidak! Tisha sedang terjaga ko. Dia benar-benar sudah kembali ke Indonesia, di ibu kota, di balik kamar saudara kembarnya yang ... berbeda ini. Ini jelas bukan mimpi. Tisha mengangguk-ngangguk sendiri, meyakini yang dilihat dan didengarnya adalah realita.
"Makasiiihhhh, Tisha," pekik Tika girang, menarik tubuh Tisha lalu memeluknya erat sambil digoyang-goyangkan. Ada kehangatan menyeruk dalam hati Tisha, sudah lama mereka tidak berpelukan seperti ini, malah terakhir kali justru Tisha yang memaksa ingin memeluk Tika yang ogah-ogahan. Namun, dalam kondisi yang serba mengejutkan ini, Tisha tidak dapat menikmati hangatnya pelukan saudaranya. Dia terlampau syok. Napasnya mendadak tersekat, bahunya agak melesak. Dadanya naik turun pelan, mengatur jalur napas. Tubuhnya belum terbiasa merespon perlakuan manis Tika yang baru ini.
"Gu-gue..." Sial, rutuk Tisha dalam hati. Fungsinya mulutnya pun jadi konslet gini. Tika melepaskan pelukannya, menaikkan sebelah alis tipisnya, menunggu Tisha berkata.
"Gue mau istirahat dulu ya," sambung Tisha pamit, lalu melangkah pelan penuh dramatis menuju pintu. Sampai di ambang pintu, dia menengok ke belakang untuk memastikan lagi semuanya. Tika masih diranjang, tersenyum padanya, lalu melambai.
"Dah, Sha, lo istirahat dulu aja, ntar kita sambung. Gue mau ..." Tika tersenyum malu. "mau telponan dulu sama Regie."
Tisha mengangguk kaku, sekaku gerakan tangannya menutup pintu. Bertambah lagi satu pertanyaan mengantre. Bisa-bisa otaknya meledak nih. Dia harus mencari tahu secepatnya. Maka, tubuhnya langsung melesat menuruni tangga, menemui Bi Hanum yang sedang menyiapkan makan malam. Bi Hanum adalah satu-satunya orang yang bisa ditanyai seputar Tika selama di Jakarta. Mama pun kalah karena hobinya mendekam di balik tumpukan dokumen kerja. Bahkan, Tisha berani bertaruh, Mama tidak menyadari perubahan Tika secepat ini padahal baru setengah tahun menginjak Jakarta, setelah bertahun-tahun tinggal di Malaysia.
"Bi," panggil Tisha tajam, lagaknya seorang agen yang sedang menjalankan misi.
Bi Hanum mematikan kompor, lalu berbalik. Sempat kaget karena anak majikannya serius amat. Padahal Tisha yang dikenalnya selalu terlihat ceria, jarang-jarang memasang raut semenakutkan ini. "I-iya, non Tisha?" balas Bi Hanum takut-takut. Bertanya-tanya dalam hati, apa dia berbuat salah? Tadi sesampainya di rumah, Tika langsung menyuruh Tisha ke kamarnya, apa jangan-jangan Tika mengeluh soal kinerjanya selama ini?
"Bi Hanum kenal kami dari kecil, bahkan sebelum kami sekeluarga pindah ke Malaysia, kan?" Tisha mengajukan pembukaan untuk menarik ingatan Bi Hanum.
Bi Hanum mengangguk, badannya ketar-ketir.
"Bi Hanum pasti nggak lupa tentang kami kan meskipun nggak ikut kami ke Malaysia, dan teralihkan ngurus Nenek di Bandung?"
Lagi, Bi Hanum mengangguk, bulir keringat muncul dari sela-sela rambut. Prasangka buruk mulai terbentuk, apakah ini akhir dari masa kerjanya yang telah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Raharsa. Ibunya yang lebih dulu mengabdi pasti akan kecewa. Perempuan berumur 30 tahun an itu meremas jemarinya yang basah. Dia harus bersiap diri mendapat hukuman.
"Coba Bi Hanum ceritakan sifat Tika." Tisha memandang serius, kedua tangannya tersimpul di depan dada.
"Eh?" Bi Hanum tercenung.
"Tika itu orangnya gimana? Aku mau memastikan, apakah selama ini aku salah mengenal Tika, atau jangan-jangan aku masuk ke dunia lain saat pesawat masuk ke Indonesia, lalu aku ... ahh ... ko jadi ngelantur. " Tisha mendengus kesal ke dirinya sendiri. "Ayo, Bi, menurut Bi Hanum gimana? Nggak usah takut, tenang aja."
"Ah, iya." Bi Hanum menurut saja. "Non Tika itu ..." tiba-tiba dia menyadari sesuatu. "Dulu dia—"
"Nah, nah ... ada dulu berarti ada sekarang. Bi Hanum sadar dan tahu perubahan Tika."
Bi Hanum mengerjap lega. Rupanya ke situ arah pembicaraan ini. "Iya Non, sekarang Non Tika beda. Dia jadi ...."
"Ayo Bi bilang aja, ceritain. Bandingin sama yang dulu," desak Tisha.
Bi Hanum menurut. "Dulu Non Tika pendiam, di kamar terus, hobinya belajar, irit ngomong, tapi sekarang Non Tika bikin rumah jadi rame, sering nonton sinetron bareng Bibi, pernah juga minta ajarin masak, dan dia ..." Bi Hanum melipat bibirnya, rasanya sudah cukup, tak pantas mengatakan sesuatu yang baru terbesit di benaknya tentang anak majikannya.
"Apa Bi? Ayo, jangan takut, aku nggak akan ngadu ko. Ini cuma buat menguatkan apa yang aku lihat tadi."
Tahu Tisha sangat gigih, Bi Hanum akhirnya berkata. "Non Tika yang dulu nggak seramah yang sekarang."
Tisha menjentikkan jari. Akhirnya bisa meyakinkan diri bahwa yang dialaminya sekarang adalah sebuah realita sebuah fakta, bukan khayalan, bukan lamunan, bukan pula mitos, legenda, dongeng. Ish, tuh kan dia makin ngelantur!
"Iya, dulu memang dia galak, pake banget. Sekarang dia berubah, tapi ..." Tisba mengetuk-ngetuk dagunya, masa sih secepat itu berubahnya, ko bisa, Tika dapat hikmah dari mana ya. Menurutnya waktu setengah tahun tidak akan cukup mengubah Tika yang kaku, garang, keras kepala, bebal, sadis, dan cenderung konservatif. Bertukar peran yang sering dilakukan para kembaran di luar sana adalah hal biasa untuk bersenang-senang saja. Namun, Tika pernah menolak tegas pemikiran itu, mendebat Tisha dengan mengatakan, "Kamu merusak kehidupan bersosial. Kita udah di tempatnya masing-masing, kalau keluar jalur malah nyusahin orang lain dan bikin bencana." Lalu sekarang Tika membelok sendiri dari perkataan yang pernah diucapkannya dengan penuh keyakinan, hanya dalam waktu enam bulan.
"Bi, sejak kapan Tika mulai berubah, tahu nggak kira-kira karena apa, mungkin Bibi tahu sesuatu?"
Bi Hanum berpikir sejenak, lalu mengangguk-ngangguk sendiri, teringat sesuatu. "Kalau nggak salah sekitar—"
"Tisha? Ko di sini? Bukannya istirahat." Tika datang ke dapur, memotong pembicaraan intens itu.
Tisha menegakkan tubuh. Berharap besar obrolan tadi tidak dicuri dengar oleh kembarannya. "Ah, iya, tadi gue ... gue haus, suka mager kalau udah rebahan di ranjang," jelas Tisha agak gugup.
"Pas banget nih ada es cendol." Tika menatap Bi Hanum. "Bi tolong siapin es cendolnya, ya."
"Baik, Non, mau Bibi anterin aja?"
"Nggak usah, aku bawa sendiri aja. Tolong siapin aja, sekalian punya Tisha."
Sementara Bi Hanum menyiapkan, Tika merapat di samping Tisha dan menyandar di dinding dapur. "Sha, mau nggak kita bicarain sekarang aja. Gue nggak sabar nih. Atau lo sekarang capek banget?"
Rasanya aneh Tika mengajaknya bicara dengan nada seakrab itu. Tisha jadi canggung sendiri saat mengiyakan. Namun, meski begitu, Tisha tersenyum lebar, dadanya plong bisa merasakan interaksi normal dengan saudara sendiri. "Kayaknya setelah minum es cendol capek gue bakal ilang. Gue juga udah nggak sabar denger cerita lo."
"Untung aja Bi Hanum dapat es cendol yang enak itu, susah loh dapatnya, harus ngantri panjang. Gue sampe terus ngingetin Bi Hanum dari semalam biar nggak lupa harus stand by dari siang mantengin tempat dagangnya buka. Es cendol minuman favorit lo, wajib hukumnya buat nyambut lo."
"Hah?" Tisha menelan ludah. Tika sampai tahu minuman favoritnya, padahal cewek itu selalu masa bodo dengan segala hal tentang dirinya.
"Hehehe, sogokan gue nggak banget ya. Malah ngasih traktir es cendol, tapi ntar-ntar kalo lo pengen es cendol sebanyak apa pun tinggal bilang aja."
Belum siap sepenuhnya menerima perubahan lainnya, sekarang Tisha diserang oleh kebaikan Tika yang dulu sangat langka didapatkannya.
"Ntar cerita di kamar aja ya, sekalian gue nunjukin foto seseorang yang wajib lo ketahui."
"Siapa?" tanya Tisha berusaha tenang.
"Regie. Pacar gue."
Dan detik itu juga, darah tersirap dari wajah Tisha yang kini memucat. Tubuhnya merinding hebat, membuatnya nyaris menyenggol Bi Hanum yang mengantarkan dua gelas es cendol.
Hah? Tika punya pacar?!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro