Bab 25 - Musuh di mana-mana
"Jadi kau menerima taruhannya?" Suara Jade meninggi, "Idiot!" gerutunya sebal. Eri tahu, dia akan menerima respon seperti ini. Tapi, sudahlah... dia terlalu kangen kepada Jade hingga tidak bisa mendebatnya.
"Mati aku! Kenapa sih, aku punya teman bego kayak kamu?"
"Iya, iya, aku memang bodoh..." Eri merendahkan suaranya, "Apalagi yang bisa kulakukan?"
Eri mendengar Jade mendengus dari ujung telepon. Namun sesaat kemudian, nada suaranya mulai normal, "Aku kangen," katanya.
"Sama."
"Aku pikir kau benar-benar pergi ke Kalimantan, tahu?" Jade berkata, "Aku benar-benar mengkhawatirkanmu."
"Aku baik-baik saja, kok..."
"Apa tidak ada yang berusaha mencelakakanmu?" Jade bertanya dengan nada cemas.
"Syukurnya, tidak."
"Dengarkan! Kami akan mengurusnya secepatnya. Supaya kau dapat kembali. Selama itu, kumohon— jaga dirimu, oke?"
"Aku mengerti."
"Dan soal Sky—bajingan lebay itu—Jangan pikirkan dia," Jade memerintah, "Pokoknya lupakan saja cowok itu! Cowok brengsek seperti itu tidak pantas kautangisi!"
Eri tertawa.
"Oh, ya... aku lupa. Bagaimana kau dapat menghubungiku? Apa kau sedang bersama seseorang?"
"Iya," Eri melirik Kyoko dari sudut matanya, "Aku sedang bersama Himemiya Kyoko. Dia benar-benar sadis! Memaksaku berjalan berjam-jam keliling daerah Ginza..."
"Syukurlah..." Jade bergumam.
***
Jade mengelus dadanya sambil mempermainkan tiket pesawat economy class di tangannya. Hayden dan Darius mencoba menguping di dekatnya. Sedangkan Sky duduk jauh-jauh di sofa. Terlihat pura-pura tak peduli. Mereka sedang ada di Maximilian Lounge. Hari baru menjelang sore. The Don Juan bahkan belum dibuka untuk umum.
"Himemiya Kyoko," Jade mengulang nama itu, "Katakan kepadanya, terima kasih banyak..."
Eri terdengar bingung, namun mengiyakan. Jade menutup telepon di tangannya. Darius langsung mencoleknya dengan antusias.
"Gimana? Apa dia bersama Hero?"
Jade mengangguk. Hayden di dekatnya langsung mendecakkan lidah sambil mengerling marah pada Sky. Sky hanya membuang muka.
"Stupid jerk!" Darius memaki, "Kenapa elo nggak nyari dia? Elo udah gila, ya?"
"Jangan sebut-sebut dia lagi!" Sky menjawab datar.
"Kau terlalu kekanakan," sergah Hayden tak kalah garang, "Bukankah itu bukan kemauannya sendiri? Dia bahkan tidak mengetahui kalau nyawanya sedang terancam. Apa kau akan membiarkannya mati?"
"Aku tidak suka hal-hal yang dilakukan Kuga Kyouhei kepadanya."
"Lalu kenapa? Takut Eri terpikat olehnya?" Jade bangkit dan menantang Sky di depannya, "Hanya karena dia idiot-lah, baru dia bisa jatuh cinta kepada cowok egois sepertimu!"
Sky ikut bangkit dari duduknya. Kedua matanya berkilat-kilat
"Kau tidak tahu apapun."
"Dan kau adalah orang yang tahu segalanya?" Jade berkata dengan nada sarkastis, "Kau hanyalah seorang pengecut!"
Sky membuang muka.
"Kalau aku jadi Eri—" Jade mengepalkan kedua tangannya. Dengan kekuatan penuh mengarahkan tinjunya tepat ke wajah Sky. Pria itu bergeming, namun darah mulai menetes dari sudut bibirnya.
"Dia tidak pantas mencintaimu."
***
Sky menerima pesan singkat itu di ponselnya. Dia jelas tahu siapa pengirimnya. Dia hampir bisa menebak tujuan orang itu mengajaknya bertemu. Karena itulah dia memacu mobilnya dalam kecepatan penuh untuk mencapai hotel berbintang di kawasan Jakarta itu. Sebuah hotel dengan interior mewah, suite yang berupa pent house, sistem keamanan siaga, dan yang paling penting... di luar kekuasaan Maximus.
Selera Ryuzaki masih seflamboyan biasanya. Suite hotel itu menggambarkan kepribadiannya dengan baik. Interior klasik zaman Louis XIV, ranjang besar bertiang empat, sementara di salah satu dinding tergantung lukisan perbudakan di abad pertengahan. Ryuzaki sendiri duduk di atas sofa beledu, tepat di dekat sebuah patung macan yang terlihat seperti mumi. Penampilannya bak malaikat dengan jas dan stelan jins berwarna putih. Hanya saja, dengan tato mengerikan di sebelah wajahnya, Ryuzaki lebih pantas terlihat sebagai Malaikat Maut.
."Wine?" tawarnya pada Sky.
"Tak usah repot-repot meracuniku." Sky mengambil sebuah gelas, memutarnya di satu tangan, lalu menaruhnya kembali, "Bukankah seharusnya kau ada di Jepang?"
"Aku ada di tempat yang kusukai," Ryuzaki tersenyum, "Aku suka disini. Wilayahmu sangat memikat."
"Tempat yang cocok untukmu hanyalah di neraka," Sky menyindir, "Aku akan membantumu, kalau kau suka."
Ryuzaki menyengir memamerkan giginya. Dia mengancungkan gelasnya pada Sky, sebelum menunjukkan kamera pengawas dengan ekor matanya, "Anak-anakku tidak akan menyukainya," Ryuzaki mengangkat bahu. Wajahnya terlihat kecewa, hampir terlihat tulus. Kalau yang melihat adalah orang yang tidak mengenalnya.
"Kudengar adikmu ditawan oleh adikku," Ryuzaki berkata, "Aku bersedia mengembalikannya kepadamu. Itu juga, jika kau memintaku. Aku sangat senang membantu."
"Aku akan menolongnya sendiri."
"Adikku itu takkan mampu melindunginya. Mungkin sebentar lagi anak-anakku yang manis itu akan membunuhnya. Aku tak bisa menjamin mereka melakukannya dengan cepat dan sedikit kesakitan."
"Jangan coba-coba," Sky menggeram. Ryuzaki kemudian menghampirinya dengan sikap seolah mereka adalah dua orang sahabat karib yang lama berpisah.
"Aku menghormatimu dan klan Maximus-mu. Jadi akan sangat baik jika tidak ada yang tersakiti diantara kita, bukan?"
"Omong kosong. Aku tahu kau tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak menguntungkanmu..." Sky menyurukkan tangannya ke dalam saku. Sesaat bersikap defensif.
"Musuh dari musuhku adalah temanku," Ryuzaki tertawa, "Apa kau tidak percaya itu?"
"Aku tidak mempercayaimu."
"Bagus," Ryuzaki tertawa lagi, "Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi aku bisa menegaskan kepadamu, jika gadis itu jatuh ke tanganku... Aku bisa membantunya, atau membunuhnya. Pilihan itu aku serahkan kepadamu, Pangeran..."
"Apa yang kau inginkan dariku?"
"Tidak banyak," Ryuzaki mendekati Sky dan membisikkan sesuatu di telinganya, "Bagaimana menurutmu, Pangeran? Kematian Kuga Kyouhei sudah cukup untuk menggantikannya, bukan?"
***
Salju mulai turun di tengah udara musim gugur yang kian menggigit. Bunga angin—salju itu turun di hari yang cerah. Daun-daun keemasan beterbangan diantara salju, berlatar belakang pohon tua yang meranggas. Tidak ada yang bersisa darinya, kecuali kerangka-kerangka yang mengingatkan kepada bentuk-bentuk kematian.
Kuga menjalankan Aston Martin-nya tanpa arah. Masalah Ryuzaki masih berputar di kepalanya, membuatnya pusing setiap saat. Tak ada petunjuk baginya, dimana Kakaknya itu berada. Dia memutar mobilnya mengitari sekolah lamanya, masih dikacaukan pikirannya, sampai kemudian ia melihat sesosok wanita yang dikenalnya.
Ini mungkin tidak benar...
Kuga mengamati siluet wanita berambut ikal keperakan masih nekat bermain basket di bawah deraan salju. Lapangan lembab dan terlihat putih kecokelatan oleh butiran salju dan tanah. Kuga turun dari mobilnya, melihat wanita itu melakukan sebuah long shoot. Bola kemudian terbang ke dalam keranjang. Diiringi tatapan puas wanita itu.
"Konnichiwa, Kuga-sama..." katanya menggoda.
"Seharusnya saat ini kau bersama Ryuzaki."
Yuri tertawa, "Aku ini bukan peliharaannya..." ia berjalan mengambil bola basket, lalu melakukan dribble. "Apa kau sudah tahu, apa yang akan dilakukannya saat ini?"
Kuga mengambil bola yang dioper Yuri padanya, tanpa minat mendribblenya tanpa henti. Yuri berdiri di sebelahnya dengan sikap angkuh.
"Ryuzaki sudah mengumpulkan banyak pengikut dalam organisasi kecilnya," Yuri berkata serius, "Dia berniat merebut kekuasaanmu, dia hanya menunggu waktu. Dia akan menghancurkanmu."
Yuri mengangkat kedua tangannya, "Mengapa kau tidak membunuhnya saat itu? Saat kau melihatnya di Don Juan? Sebenarnya, kau melepaskannya karena nona itu, bukan? Lucu sekali, mengetahui kalau Kuga-sama memiliki sebuah kelemahan," Yuri menyunggingkan senyuman licik, "Sayang sekali, dia bahkan tak tahu..."
"Kalau kau kemari untuk mengatakan hal-hal bodoh seperti itu, kau telah membuang waktuku," Kuga melempar bola itu ke keranjang bsi di sudut lapangan. Wajahnya masih tetap tak terbaca.
"Percayalah... dibandingkan dulu, kau sekarang lebih terlihat berperasaan."
"Perhatian sekali," Kuga berkata sarkastik.
Yuri tersenyum menggoda, "Apakah kau tidak berniat untuk... mendapatkan bantuanku?"
"Kenapa kau harus melakukannya?"
Yuri berjalan, mendekati Kuga, lalu berdiri tepat di depannya.
"Kau tahu, kenapa aku menyukai Ryuzaki?" Yuri mendekatkan wajahnya ke Kuga, "Gesturnya, keras kepalanya, nafasnya... semuanya...Orang tak berperasaan itu mengingatkan aku pada seseorang. Kau."
Kuga memutar bola mata. Kemudian Yuri menciumnya, memberikan kehangatan bibirnya kepada pria itu.
"Aku bisa saja berpihak padamu. Kalau kau bilang begitu. Aku juga tidak keberatan jika kau mengharapkan nona itu tetap disisimu. Aku hanya ingin kau menjadikanku sebagai milikmu." Yuri memeluk Kuga, mencium pria itu lagi, tetapi kali ini Kuga mendorongnya menjauh.
"Kau tetap angkuh seperti dulu..." Yuri tertawa, "Dan sekarang, dengan kelemahanmu itu, kau terlihat lebih lembut dan mempesona."
"Tutup mulutmu!"
"Kenapa kau bisa mencintainya? Karena dia manis dan lugu?" Yuri menaikkan suaranya satu oktaf, "Aku juga bisa seperti itu. Kalau kau mau. Aku bisa melakukan apa saja. Untukmu."
"Terimakasih," Kuga berkata dingin, "Katakan itu pada Ryuzaki. Aku yakin dia pasti akan senang mendengarnya."
"Cih!" Yuri terlihat tidak senang, "Mengapa kau bersikap dingin hanya kepadaku?"
"Karena kau adalah milik Ryuzaki."
"Kau sudah tahu dia hanya memanfaatkan aku," Yuri berbisik parau.
"Kau sudah memilih bersamanya, Yuri... tidak ada yang memaksamu melakukan hal itu."
"Baiklah," wajah Yuri berubah dingin dan keji, "Aku hanya akan menyampaikan pesan dari Ryuzaki untukmu." Yuri memberi jentikan dengan jari tangan kanannya. Seketika datang sekelompok orang membawa berbagai macam senjata.
Bagus sekali!
Yuri selalu memilih cara paling pengecut untuk melarikan diri. Kuga tmenyeringai memamerkan giginya. Gadis di depannya itu membari tanda kepada orang-orangnya untuk bersiap-siap. Pisau panjang dan kelebatan tongkat besi mulai menyapu udara. Hanya saja semua itu tidak mampu menggentarkan seorang Kuga Kyouhei. Dia akan mengalahkan mereka. Itu pasti. Tapi dia tidak cukup yakin akan memiliki waktu yang cukup untuk mengejar Yuri.
"Pengecut," Kuga bergumam.
Yuri mendecakkan pinggang, wajahnya mengeras. "Dia akan membunuh gadis itu jika kau tidak membunuh penerus Maximus. Terserah kau mau memilih yang mana, walau aku lebih suka melihat gadis itu mati di tangan Ryuzaki."
Suara tawa Yuri menghilang diantara orang-orang bersenjata itu. Orang-orang yang menyerang Kuga dengan beringas.
Orang-orang ini sangat tidak tahu diri...
Ilmu bela diri mereka jelas bukan standar yang bagus untuk bertarung melawan ketua klan yakuza setangguh Kuga. Mereka hanya preman-preman kecil di wilayah Harajuku dan Shinjuku yang secara tidak sengaja ditarik Ryuzaki dalam kelompoknya.
Kuga Kyouhei berhasil mengambil sebuah tongkat besi dan menggunakannya sebagai senjata. Untuk pertama kalinya kehilangan nafsu bertarung. Mereka semua payah, namun berjumlah banyak. Kuga telah merobohkan setengah dari mereka. Membuat mereka berjatuhan di tengah lapangan. Kuga melihat Yuri telah masuk ke dalam sebuah mobil Cherokee, mencoba mengejar ke arah Yuri, namun langkahnya dihalangi seorang laki-laki yankee berbadan kekar. Lawannya kali ini memiliki ilmu bela diri paling tinggi diantara orang-orang itu. Serangan Brazilian Jiu-jitsu-nya cukup kuat dan terarah dengan tepat sehingga Kuga terpaksa memusatkan perhatiannya melawan orang itu. Laki-laki itu bahkan tidak bertarung sendiri. seorang laki-laki lain bersenjatakan sebuah atachi—pedang kecil berkelebat membantu serangannya.
Mereka berhasil menggoreskan pedangnya menyayat perut Kuga.
Tetesan darah mulai mengotori butiran salju di atas tanah. Kuga memegangi lengannya sambil memandangi warna merah di bawahnya. Dia harus secepatnya mengalahkan kelompok ini...
Kuga mengambil sebuah katana di dekatnya. Dia akan melakukan segalanya saat ini. Dengan seluruh tenaganya, dia mengayunkan katana itu, menghancurkan serangan-serangan yang ditujukan kepadanya dengan sabetan ringan dan kuat dari katana di tangannya. Serangan yang mulai mengerahkan kemampuan bela diri Kuga itu berhasil melumpuhkan lawannya dalam beberapa jurus.
Namun sayangnya, Yuri telah menghilang...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro