Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2 - Masa Lalu

Setiap orang pasti pernah jatuh cinta. John Alexander sudah mendengarkan omong kosong ini berjuta-juta kali.

John pernah mempercayai hal itu. Dan menyesal karenanya. Karena jatuh cinta, dia pernah menambatkan hatinya pada seorang perempuan. Karena cinta pula, dia terpaksa meninggalkan perempuan itu.

Yudiasari.

John mengingat, saat dia menyematkan cincin di jemari mungil Yudiasari. Tidak ada pendeta atau saksi yang menyaksikan janji suci diucapkan. Namun bagi John, di antara semua pernikahannya. Momen itu adalah momen yang paling sakral.

Sebelum dunia menariknya dalam realita yang kejam.

Bagaimana mungkin dia bersama Yudiasari, sementara dia tahu nyawa mereka berdua selalu dalam bahaya? Bagaimana dia bertahan di sisi Yudiasari, sementara sebuah klan besar memerlukannya untuk memegang kuasa?

Dan begitulah, sejak saat itu John menganggap cinta adalah suatu hal yang absurd. Sama seperti sebelum mengenal Yudiasari, John menenggelamkan diri dalam percintaan yang berfokus dalam pemuasan fisik.

Wanita-wanita dalam kehidupannya datang dan pergi tanpa meninggalkan kesan nyata. Terkecuali terkadang ada yang kembali datang, membawa seorang anak sambil mengatakan, 'aku tak mampu merawatnya' Seolah-olah, anak itu hanya peliharaan yang dibuang.

John telah menjalin hubungan dengan banyak wanita bahkan sejak ia berusia belasan tahun. Ketampanan, kemudaan dan gairahnya membuat wanita yang dia idamkan akan dengan mudah bertekuk lutut dan terjatuh dalam pelukannya.

Kekasih pertama John, Deianeira—ibu Sky, adalah mantan ratu sejagad. Usia Dee jauh di atas John. Namun baik Dee maupun John, sama sekali tak mempedulikan hal itu.

John mengagumi keanggunan De. Mata birunya sama cemerlangnya dengan mata Sky. Sebiru Laut Aegean di Yunani. Dee adalah wanita yang menyenangkan dan hangat.

John suka menyusupkan tangannya dalam kemilau emas rambut wanita itu. Dee mencintainya, namun John hanya mengetahui arti kata bersenang-senang. Begitulah hubungan mereka terjadi. Hingga Dee bosan dan pergi. John pun kemudian menemukan pengganti... banyak pengganti. Dari kekasih, pasangan semalam, termasuk Diana—puteri Maximus yang diatur menjadi istrinya.

Tak terhitung wanita-wanita cantik dan mempesona yang jatuh dalam pelukan John.

Namun tak ada satupun—dari kesemuanya yang mampu membuat John merasakan keindahan cinta. Yang ada hanya kekosongan. Seperti menikmati cangkang tanpa esensi.

"Kenapa kau mengikutiku?"

Yudiasari menatapnya dengan takut-takut dan bingung, "Lengan anda terluka," katanya pelan. Hati-hati, dia mendekati John, lalu melingkarkan selendangnya di lengan kanan John.

Perempuan ini memang cantik. Tak heran pemuda-pemuda berengsek tadi berusaha menggoda dengan sikap tidak senonoh.

"Maafkan saya," kata Yudiasari lirih.

"Kenapa kau yang harus minta maaf?" bentak John galak. Yudiasari sedikit beringsut. Lalu dia pun mulai menangis.

"Huhuhu... aku takut sekali," katanya, "Anda tidak apa-apa, kan? Preman-preman itu menakutkan sekali! Mereka bahkan membawa senjata tajam."

John menarik napas. Refleks, dia menarik Yudiasari dalam dekapannya. Beginikah reaksi perempuan yang baru diganggu preman?

"Maafkan saya, Tuan... maafkan saya. Maafkan saya," Yudiasari menangis tersedu-sedu, "Maafkan saya. Kalau bukan karena menolong saya, anda tidak akan terluka seperti ini."

John tersenyum penuh arti. Sejak kapan luka sekecil ini membebaninya, dia tak tahu. Tapi dengan keadaan seperti ini. Merasakan kelembutan Yudiasari dalam pelukan, dia rela menganggap luka itu bisa membahayakan dirinya.

Perempuan itu ternyata putri pemilik perusahaan batik di Solo. John tidak sadar kalau dia mulai tak dapat melupakan wajah Yudiasari. Mata yang bagai kenari, rambut yang gelap berarak, kulitnya yang gading... Yudiasari adalah seseorang yang amat jauh dari jangkauan. Namun seperti wanita lain yang sulit menolak pesonanya, John akhirnya mendapatkan hati Yudiasari.

Di dunia ini tak ada yang abadi, terlebih untuk sebuah hubungan berdasar kebohongan belaka. Yudiasari memang telah menjadi miliknya. Sayangnya, dengan terbongkarnya kebohongan John Alexander, ia juga harus merelakan Yudiasari.

"Jadi kau adalah penerus klan Maximus?" Yudiasari berteriak histeris, "Kalau begitu, jangan pernah temui aku lagi!"

Seandainya John tahu, Yudiasari sedang mengandung, dia mungkin tidak akan meninggalkan perempuan itu. Namun dia membiarkan keluarga Suwondo Notokusumo mengambil alih Yudiasari. Dia melihat Yudiasari masuk ke mobil Kijang coklat milik ayahnya. Meninggalkan rumah kontrakan mereka yang sederhana.

***

Enam bulan yang lalu, John hampir-hampir tidak mempercayai dirinya sendiri.

Sosok itu datang kembali dalam hidupnya. Yudiasari Anggreni Notokusumo. Meski kecantikannya masih tak pudar, sosok pucat itu sempat mengagetkan John. Sejak kapan Yudiasari jadi serapuh ini?

"Lama tak bertemu, John," suara itu masih lembut seperti dulu. Kebersamaan mereka kembali dalam ingatan John. Sesuatu yang terlalu indah untuk dilupakan. Yudiasari mengenakan kemeja batik jingga dan rok panjang berwarna putih, terlihat sempurna membalut tubuhnya yang mungil.

John langsung tergoda untuk merengkuhnya agar ia tak perlu melepaskan wanita itu lagi.

"Ada apa kau mencariku?" John berkata dengan nada kasual. Hasil latihan dari perundingan berdarah yang digelutinya bertahun-tahun. Namun alih-alih merasa terganggu dengan sikap John, sudut bibir Yudiasari bergerak membentuk senyum. Satu senyum yang seketika melumerkan hati John.

"Aku hanya ingin tahu," Yudiasari mendekati John, "Bagaimana rasanya melewatkan sehari bersama seorang John Alexander," Yudiasari terlihat menimbang-nimbang, kemudian mengulurkan telapak tangannya yang mungil ke arah John.

Tanpa berpikir, John menyambut uluran tangan Yudiasari. John mengusir sopir. Kemudian mengambil alih kemudi Mercedes hitamnya.

John terlalu merindukan saat-saat seperti ini. saat-saat mereka berjalan berdua, sebagai orang biasa yang tak punya tanggung jawab apa-apa. Waktu pun bergulir dengan cepat. Bersama perasaan bebas yang dibawa oleh Yudiasari.

Yudiasari masih mengenakan cincin John. Ini membuat John terkejut. Tapi mengingat bahwa Yudiasari tidak menikah hingga saat ini, John tak ragu kalau perempuan ini masih memiliki perasaan padanya.

Senja telah turun di Puncak. Mereka berdiri di balkon paviliun. Menikmati sinar terakhir di hari itu.

"Aku rindu padamu."

Ada tekanan dalam suara itu. tekanan yang membuat hati John pedih seketika. Untuk pertama kalinya, John melihat, kalau perempuan pujaannya itu seakan-akan akan pergi darinya. Sebentar lagi.

"Kenapa baru sekarang kau mencariku?" John berkata sambil menghirup segelas air jeruk. Yudiasari berdiri bersandar pada balkon. Wajahnya terlihat cerah ketika ia mendekati John.

"Kau kan tahu aku ada dimana," Yudiasari sengaja berdiri di sebelah John. Dekat sekali dengan mantan kekasihnya itu, "Aku takkan bisa melarikan diri dari seorang ketua klan sepertimu, bukan?" katanya sambil memamerkan mimik lucu.

"Jadi, kau tahu?"

"Tahu kalau orang-orangmu mengawasiku setiap hari?" Yudiasari menyibakkan poni. Sejenak terlihat berpikir, "Sindikat anak jalanan itu takkan membiarkan aku membawa anak-anak bawahan mereka begitu saja bukan? Kalau bukan karena pengaruhmu, aku percaya, aku dan Judith akan segera menghilang." Yudiasari membuat gerakan memotong di lehernya.

Itu benar, kadang John sering merasa kesal karen Yudiasari suka mengajak anak-anak jalanan ke panti asuhannya. Kebanyakan sindikat anak jalanan memang sengaja cari untung dengan mempekerjakan anak-anak sebagai pengemis, pengamen, atau pencopet. Mengajak anak-anak itu ke jalan yang benar hanya akan merugikan sindikat.

John tersenyum, "Ada baiknya kalau kau berhenti membawa anak-anak jalanan itu," katanya menyarankan.

"Aku tak suka melihat anak-anak perempuan diberdayakan untuk mengemis di jalan raya sampai lewat tengah malam," Yudiasari merenung, "Mereka semua hanya anak-anak. Aku ini wanita. Dan seorang ibu."

John tidak tampak terkejut. Dia telah tahu Yudiasari memiliki seorang putri. John dan Sky pernah beberapa kali menyamar untuk melihat Jade Judy dan Erika Valerie—saudari angkatnya.

"Kudengar, dia mirip aku," ia menatap Yudiasari lekat-lekat, "Anakmu."

Ada kepedihan yang pekat saat John mengucapkan kata itu. Apakah bagi Yudiasari, Jade hanya anaknya?

"Jade juga anakmu, kan? Sifat premannya memang mirip sekali denganmu," Yudiasari tertawa. Meruntuhkan semua rasa tidak percaya diri John. Paling tidak, Yudiasari sekarang ada di sini. siapa yang tahu apakah John bisa berharap lebih atau tidak.

"Kau masih menganggap aku sebagai ayahnya," katanya, lebih dengan nada bertanya.

"Kau memang ayahnya, John," kata Yudiasari, masih tersenyum, "Terimakasih telah menjaga kami selama ini."

Sekali lagi John merasa kalau sebentar lagi ia akan kehilangan Yudiasari. Dan kali ini perasaan ini membuatnya terkejut. Yudiasari kini berdiri di depannya. Menatapnya dengan ekspresi memohon, "Maukah kau berjanji kepadaku? Kalau kau akan terus menjaga mereka?"

"Apa maksudmu?" John mulai merasa heran. Tapi Yudiasari mengambil tangannya, lalu memegang tangan John erat-erat.

"Berjanjilah padaku. Aku percaya John Alexander ketua klan Maximus akan selalu menepati janji."

"Apa kau lupa kalau aku tak pernah mengucapkan janji dengan mudah?" nada suara John Alexander meninggi. Dia menyentakkan tangan Yudiasari, "Kenapa kau memintaku melakukan hal itu?"

"Aku—" Yudiasari tampak gugup, "Aku mau kau berjanji lebih dulu."

Keras kepala khas Yudiasari! John tahu, bagaimana pun ia berusaha mendebat, Yudiasari akan terus bersikukuh pada keinginannya. Ia merasakan déjà vu yang sama dengan saat Yudiasari meninggalkannnya dulu. Ada sesuatu yang tidak beres dalam hal ini. Sangat tidak beres. John tahu itu. Namun, masalahnya, Yudiasari akan tetap membuatnya menyerah. Menyerah dengan cintanya.

Yudiasari memamerkan senyumannya lagi, sebelum mengulang pertanyaannya. Rasa penasaran menggelitik benak John lebih daripada biasa. Yudiasari telah mempermainkan perasaannya sekali lagi.

"Bagaimana, John? Maukah kau berjanji? Demi cinta kita?"

Setengah hati, John menganggukkan kepala. Namun Yudiasari mengecup pipinya, mengatakan sekali lagi kalau ia harus menepati janji.

"Ingatlah. Kau harus selalu menjaga mereka, walau aku sudah tidak ada di sana."

"Apa maksudmu dengan sudah tidak ada disana?" suara John meninggi lagi. refleks, dia meraih kerah baju Yudiasari, memaksa Yudiasari menatap matanya.

"Aku akan mati," tidak sedikitpun getaran ketakutan terdengar dari Yudiasari. Ia mengatakannya seolah ia akan berpesiar ke luar negeri. Tapi justru itu membuatnya terdengar mengerikan di telinga John.

"Apa?"

"Aku terkena kanker serviks. Segala upaya sudah dilakukan, akan tetapi kankerku semakin parah," Yudiasari menjelaskan, "Seharusnya hidupku tak akan lama lagi."

John mengepalkan kedua tangan. Dia terpaksa mengentakkan Yudiasari dengan hati-hati. Kanker serviks. Kenapa Yudiasari begitu ringan mengatakannya?

"Aku akan menelepon dr. Monica."

"Aku sudah puas dengan hidupku."

Mereka berkata bersamaan.

Serentetan sumpah serapah keluar dari mulut John. Kali ini, dia yang menahan tangan Yudiasari.

"Jadi untuk itu kau kemari? Untuk mengatakan kalau kau akan mati? Aku membencimu, Yudiasari! Kau pikir siapa aku ini?"

Yudiasari mencondongkan tubuhnya ke John, memeluk pria itu erat-erat. Kehangatannya masih sama seperti dulu. Meski sekarang, Yudiasari telah begitu kurus.

"Kau adalah satu-satunya laki-laki yang kucintai," bisiknya lembut, "Aku tak bisa mencintai lagi, selain mencintaimu."

John menggertakkan gigi, ini sangat tidak adil. Kau kejam, Yudiasari. John berkata dalam hati. Kebersamaan yang terlalu pendek, bisakah menghapus semua duka di masa lalu?

"Aku ingin membawanya ke Jakarta," John akhirnya berkata, "Anak kita harus kembali menjadi anak kita."

Yudiasari melepaskan pelukan, matanya terbelalak karena terkejut, "Maksudmu, membawa Jade Judy?"

"Membawanya masuk Maximus. Menjadi mawar maximus."

"Kau tidak boleh—" Yudiasari menggeleng keras, "Aku tidak ingin dia menjadi Rosita kedua..."

"Apa yang terjadi pada Rosita bukanlah kehendakku."

Yudiasari melipat tangan. Wajahnya tampak serius. Kelihatannya ia ingin mencari cara berkilah lagi.

"Dia itu juga anakku," John berkata dengan nada sesabar mungkin, "Biarkan aku menjaganya. Memberikan kasih sayang seorang ayah yang tak pernah ia dapatkan."

Yudiasari mengangguk pelan, "Baiklah, kalau kau ingin membawa Jade Judy. Aku takkan melarang."

Yudiasari menjauh dari John. Sengaja menjauh dari tatapan mata John. Dikeraskannya hati agar bisa mengutarakan maksud kedatangannya.

"Aku punya dua syarat," Yudiasari berkata tegas, "pertama, jangan membawanya saat jantungku masih berdetak. Kedua, aku mau kau membawa saudara perempuannya."

***

Sky mempercepat langkah memasuki ruang pribadi John. Andhika yang kemudian membukakan pintu. Empat Pangeran Maximus telah berkumpul. Yang paling gelisah adalah Sky. Meski sudah siap dengan segala resiko yang akan terjadi, Sky masih merasa risih harus mengungkit Rosita di depan Andhika. Bagaimanapun, Andhika adalah kekasih adiknya itu. Andhika juga satu-satunya yang berani menemani John menerobos kediaman Danan—gembong narkoba terbesar di Indonesia.

Sayang, ketika mereka datang, Rosita sudah meninggal.

Sky membuka jaketnya, lalu duduk di sofa panjang, bersama Darius, Hayden, dan Andhika. Pikiran Sky mulai kusut, bahkan sebelum dirinya menerima segala perintah John Alexander. Namun, berbeda dengan dugaannya bahwa John akan menanyakan masalah Kuga, John malah melemparkan sebuah amplop coklat ke atas meja di depan mereka. Sky lebih dulu membukanya, menemukan foto dan data dua orang gadis cantik berumur delapan belas tahun.

Eh, bukankah ini Erika Valerie? Sky ingat, dia pernah beberapa kali melihat Eri mengajar di panti asuhan. Gadis itu manis dan lembut. Sky pernah hendak mendekati, namun begitu di dekat Eri, kepercayaan diri Sky menguap begitu saja.

"Aku ingin kalian pergi ke Bali, untuk mencarinya..."

"Buset... lagi genting gini, sempet-sempetnya berburu cewek!" Darius mendesis sehingga suaranya hanya dapat didengar oleh Sky. Cowok itu memberi isyarat tidak suka, kemudian mengalihkan perhatiannya kepada John.

"Siapa mereka?"

"Mawar Maximus," John berkata pendek. Membuat Sky menjatuhkan kertasnya. Darius tersedak, Hayden terpana, dan buku jari-jari Andhika menusuk telapak tangannya dengan amat keras. Kata-kata ini seolah menjadi mimpi buruk bagi mereka. Namun John Alexander sama sekali tidak peduli. Dia melanjutkan perintahnya dengan suara datar, seperti pada perintah tugas-tugas biasa.

"Mereka adalah anak Yudiasari. Salah satunya adalah anak angkatnya. Aku ingin kalian mencari mereka," John menjelaskan, "Aku akan memperkenalkan mereka pada publik saat pembukaan hotel kita yang baru di Bali."

"Anda serius mau mengangkat mawar maximus?" Hayden teringat perundingan Sky dengan Kuga, "Bagaimana kalau ditunda saja? Mawar maximus adalah hal yang diinginkan Kuga untuk menggantikan kematian tunangannya."

John tampak terkejut—tapi tidak terlalu. Ia sudah sangat terbiasa berurusan dengan nyawa manusia. Jadi, ini bukanlah hal yang baru baginya.

"Kalau aku harus menyerahkan putriku. Aku hanya akan menyerahkannya kepada orang seperti Andhika,." John menjatuhkan pandangannya pada Andhika, membuat pria itu memalingkan muka. Hayden langsung memasang tampang gusar.

"I'm out!" Sky bangkit berdiri, "Aku tak ingin menghancurkan hidup dua orang gadis hanya untuk kesenanganmu!" ia melangkah pergi, diiringi tatapan keheranan ketiga pangeran maximus lainnya. Darius hendak mencegah, namun tangannya ditahan Hayden. Ia menyodorkan selembar foto pada Darius.

Darius menyambar foto itu, dan langsung terkikik, "Jadi Erika Valerie, nih? Boleh juga si gunung es itu..."

#StopPlagiarism

Putu Felisia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro