BAB 8 - Benci Dulu, Cinta Sekarang
"Ini gila!" Kata Alana menghapus jejak bibir Dion dengan pergelangan tangannya seakan ciuman Dion barusan adalah racun mematikan.
Dion tertawa. "Kamu bilang ini gila, but your lips enjoy it."
Alana terdiam.
"Itu... tadi... saya... saya cuma terbawa suasana saja!" Kata Alana mulai tergagap.
Dion makin tertawa. "Alana, Alana... kalau tadi itu hanya terbawa suasana, harusnya kamu bisa langsung menolak saya, waktu saya cium kamu lagi. Tapi kamu tahu kan kenyataannya? Kamu bahkan mengalungkan lengan kamu dileher saya."
Alana makin gelagapan untuk merangkai kalimat pembelaan.
"So, what's now? You don't have any reason to deny it, right?" Kata Dion tersenyum sombong.
"C'mon Alana... let's be honest here, kalau masing-masing diantara kita punya ketertarikan satu sama lain." Kata Dion kini memajukan tubuhnya yang reflek membuat Alana memundurkan tubuhnya.
"Itu kan menurut Chef! Tapi enggak buat saya!" Kata Alana makin memundurkan tubuhnya ketika Dion makin mendekat.
"Hmmm, jadi menurut kamu begitu ya?" Kata Dion mengangguk-anggukan kepalanya seakan berpikir.
"Okay, let's prove it one more."
Dion mendekatkan wajahnya ke wajah Alana. Gadis itu ingin mundur tapi sudah tak bisa lagi karena tubuhnya sudah terhimpit meja. Alana akhirnya memejamkan matanya takut-takut dan pasrah jika Dion ingin menciumnya lagi.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Lho kok, bibir Chef Dion nggak nempel di bibir aku sih?
Perlahan-lahan Alana sedikit membuka matanya, mengintip apa yang sedang dilakukan Dion.
Ternyata Dion sedang menahan tawa sambil menutup mulutnya. Ketika mata Alana sepenuhnya terbuka, meledaklah tawa Dion.
"See? You want me to kiss you!" Kata Dion disela tawanya.
Alana mendengus sebal, mau saja dibohongi oleh Dion. Ia memukuli dada Dion sebagai balasannya. Dion tak bergeming tapi sejurus kemudian ia langsung menahan tangan Alana yang sedang memukulinya lalu ia tarik ke dalam pelukannya. Detik berikutnya bibir Dion sudah berada di bibir Alana. Gadis itu berontak lagi tapi hanya sebentar. Karena ketika Dion membuka paksa mulut Alana, gadis itu mulai pasrah dan membalas ciuman Dion.
"See? Ini jelas bukan terbawa suasana." Kata Dion melepaskan ciumannya disaat Alana masih menginginkannya.
Alana tertunduk sambil memainkan ujung bajunya.
Kenapa bibir aku murahan banget sih kalau ketemu bibirnya Chef Dion! Dan kenapa bibirnya manis sekali!
"Kamu masih mau mengelak?" Kata Dion menarik dagu Alana agar menatapnya.
Alana menggeleng takut-takut.
"Bagus." Kata Dion menyeringai.
"Jadi, kamu tahu kan siapa yang harus kamu lihat mulai sekarang?"
Alana mengangguk menatap Dion malu.
Dion menahan tawa. Sangat gemas dengan Alana yang dari tadi hanya menggeleng lalu mengangguk seperti anak kecil yang habis dimarahi oleh orang tuanya.
"Saya nggak ngerti kalau kamu cuma mengangguk, Alana. Siapa orangnya?" Kata Dion lagi menggoda gadis itu.
Alana mendengus sebal sambil menunjuk-nunjuk dada Dion dengan jari telunjuknya.
Dion makin menggoda Alana. "Yang kamu tunjuk ini siapa namanya, Alana..." Kata Dion meraih tangan Alana yang menunjuk-nunjuk dadanya.
Alana makin sebal. "Chef Dion." Katanya sangat pelan.
Dion mengulum senyum. "Setau saya, nama saya nggak pakai chef. Sebut nama saya dengan benar, Al."
Alana berdecak." Dion."
"Apa?" Kata Dion mendekatkan telinganya ke bibir Alana.
"Saya nggak dengar." Kata Dion makin-makin.
"DIOOOON!" Teriak Alana tepat ditelinga Dion yang membuat lekaki itu harus mengusap-usap telinganya yang diteriaki Alana.
Tapi sejurus kemudian Dion menarik Alana ke dalam pelukannya.
"Bagus." Kata Dion memberi satu kecupan dikening yang membuat jantung Alana seperti loncat ke kali Ciliwung yang keruh.
"Jadi kamu sekarang paham kan, siapa yang harus kamu lihat mulai sekarang?" Ulang Dion sekali lagi.
"Iya, paham." Kata Alana malas.
"Dan..." Kata Dion menggantung kalimatnya.
Alana mengernyit bingung. "Dan apa?"
Dion memutar bola matanya. "Ayolah, Alana... saya yakin kamu pasti masih ingat kalimat saya."
"Tapi saya nggak ingat." Kata Alana membela diri. Sebenarnya gadis itu ingat, hanya saja terlalu malu untuk ia katakan.
"Katakan atau saya cium?" Kata Dion mulai mendekat lagi ke arah Alana.
"OKE!" Kata Alana menahan dada Dion agar tak mendekat.
"Dan saya nggak boleh lihat laki-laki lain selain Chef Dion."
Dion tersenyum. "Yap, jawaban kamu salah."
Alana mendelik. "Salah? Salah dimananya Chef?"
"Bahkan kamu salah lagi sekarang." Kata Dion menyeringai.
Alana makin mengernyit tak mengerti.
"Ingat, Alana. Nama saya Dion nggak pakai chef. Jadi kalau diluar jam kerja, saya nggak mau kamu panggil saya dengan embel-embel chef. Sekali kamu salah, bibir kamu akan dapat hadiah."
Alana otomatis memegang bibirnya saat Dion mengucapkan kalimatnya barusan.
Ya Tuhan... apa itu artinya, setiap aku salah Chef Dion akan mencium aku?
"Oke, Che... eh maksud saya Dion." Kata Alana menggaruk rambutnya yang tak gatal. Rasanya sangat janggal mengucapkan kata Dion tanpa embel-embel chef didepannya.
"Sekarang ulangi lagi kalimat yang tadi."
"Kalimat yang mana?" Kata Alana bingung.
"Yang tidak boleh melihat laki-laki lain selain saya, Alana Hayln..." Kata Dion gemas.
Pipi Alana besemu merah saat Dion mengucapkan nama panjangnya dengan begitu lembut.
"Mulai sekarang saya nggak boleh lihat laki-laki lain selain Dion." Kata Alana malu-malu.
"Good girl." Kata Dion memeluk Alana dan mencium pipi gadis itu cepat.
"Dan mulai sekarang, biasakan bibir kamu untuk jangan kaget setiap saya mencium kamu." Kata Dion berbisik tepat ditelinga Alana.
***
"Al, belok kanan atau kiri?" Kata Dion saat mobilnya sudah masuk di komplek perumahan Alana.
Setelah kejadian di The Sheares's Quarters tadi, akhirnya Dion memaksa ingin mengantar Alana sampai rumah walaupun gadis itu menolak. Dion beralasan bahwa tak aman jika Alana pulang ke rumah sendirian tengah malam seperti ini.
"Al?" Kata Dion masih menatap jalanan ketika gadis itu tak menjawabnya.
Ketika Dion menengok, ia mendapati Alana tertidur di bangku penumpang.
"Alana..." Ucap Dion pelan sambil mengelus rambut gadis itu agar bangun.
"Hmmm?" Kata Alana mengerjapkan mata masih tak sadar.
"Belok kanan atau belok kiri, Sayang." Kata Dion tertawa.
Lelaki itu tak sadar dengan apa yang ia ucapkan barusan. Sedangkan Alana yang masih setengah sadar hanya mengernyit.
Tadi Dion bilang sayang? Apa pendengaranku yang salah ya? Ah, lagian mana mungkin sih dia panggil aku sayang.
"Belok kanan terus kamu lurus. Rumah saya yang pagarnya hijau."
Setelah sampai didepan rumah Alana, gadis itu langsung ingin turun tapi Dion menahannya.
"Besok saya jemput ya."
"Nggak. Saya besok bisa berangkat sendiri.
"Oke. Jam setengah 7."
"Chef ngerti bahasa Indonesia nggak sih?" Tapi detik selanjutnya Alana menutup mulutnya. Dia memanggil Dion dengan sebutan chef lagi!
Dion mengulum senyum.
"Sepertinya kamu masih ingat konsekuensinya dengan baik."
Alana bergegas turun tapi Dion sudah terlebih dulu menguncinya.
"Dion, please..." Kata Alana merengek tidak mau dicium oleh lelaki itu.
Dion ditempatnya malah makin gemas dengan Alana yang ada dihadapannya ini. Gadis itu mengigit bibirnya, kedua tangannya ia katupkan didepan wajahnya seraya memohon.
"Baiklah... karena kamu sudah memohon, saya biarkan kamu lolos malam ini."
Alana mendesah lega.
"Sekarang cepat kamu turun dari sini sebelum saya berubah pikiran dan mencium kamu sampai kehabisan napas."
Mendengar itu Alana langsung bergidik dan membuka pintu secepat mungkin dan masuk ke dalam rumah sambil berlari.
Dion yang melihat itu hanya tertawa geli lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Al, Al, kenapa kamu lucu banget sih..."
***
"Jangan turun dulu." Kata Alana menahan tangan Dion ketika hendak keluar dari mobil.
Setelah tadi pagi menjemput gadis itu dirumahnya dengan Alana yang mengomel sepanjang perjalanan karena sebal dijemput oleh Dion, tapi sekarang, saat mereka sudah sampai di basement The Sheares's Quarters Alana malah menyuruhnya untuk jangan turun.
"Kamu kenapa sih, Alana?" Kata Dion mulai kesal. Tapi Alana malah menengok ke kanan dan ke kiri.
"Saya nggak mau ketahuan lagi sama Samuel kalo saya berangkat bareng sama kamu." Kata Alana tetap celingukan ke kanan dan ke kiri.
"Emang salah kalau kita berangkat bareng?" Kata Dion mulai kesal.
Alana akhirnya menatap Dion sepenuhnya. "Jelas salah. Saya nggak mau ketahuan sama Samuel, Bimo ataupun Gilang kalau saya berangkat sama kamu, Diooon." Kata Alana yang kini memutar bola matanya ikutan kesal.
"Kenapa sih, kamu kayaknya nggak mau banget ketahuan sama mereka?" Nada Dion mulai agak tinggi.
"Mereka itu tiga laki-laki mulut ember, biangnya gosip, bisa abis saya sama mereka." Nada Alana ikut tinggi.
"Dari pada kita jadi berantem disini, saya turun duluan ya. Diluar kayaknya udah aman deh, nggak ada siapa-siapa." Lanjut Alana membuka pintu lalu berjalan setengah berlari sambil berjinjit ke arah lift dan meninggalkan Dion yang menahan kesal didalam mobil.
***
"Special main course untuk hari ini Southwestern Flavoured Ground Turkey Beef With Tacos And Salad. How's? Samuel? Gilang?" Kata Dion menatap Samuel dan Gilang secara bergantian.
"I think it's good. Turkey beefnya pasti menggoyang lidah banget Chef, karena baru masuk tadi pagi jadi masih fresh banget." Kata Samuel mendecakan lidahnya membayangkan akan seenak apa hasilnya nanti.
"Gilang?" Kali ini Dion beralih ke Gilang.
"Tenang, Chef. Jangan panggil saya master saute kalo tacos sama salad aja nggak bisa." Kata Gilang membusungkan dada sambil menepuk-nepuknya.
Samuel, Bimo dan Alana yang melihat itu hanya mencibir. Sedangkan Dion hanya tersenyum.
"Bim, kamu ada usul untuk dessert atau kita pakai menu biasa?" Kata Dion kali ini kepada Bimo.
"Ehmm, gimana kalau Meringue Crust, Chef? Jadi krim vanilla yang diatasnya diberi chocochips, ice cream dan wafer di tambah cherry jam dan beberapa buah berry."
"Sounds great." Kata Dion manggut-manggut.
"Okay, let's make a productive day. Make our customer smile with our foo..."
"Chef..." Kata Alana memotong intrusksi Dion.
Semua orang menatap Alana tak terkecuali Dion.
"Tugas saya apa?" Kata Alana karena merasa bahwa ia belum mendapatkan bagian.
Dion menepuk jidatnya. "Ah, maaf saya lupa." Kata Dion tersenyum.
"Tugas kamu adalah jangan lupa bantu Samuel, Bimo atau Gilang kalau mereka perlu bantuan kamu." Kata Dion tersenyum sangat lebar.
Alana mendecih sebal sedangkan ketiga temannya itu hanya menahan tawa.
***
Dion sedari tadi berusaha berkonsentrasi pada Turkey beef yang sedang ia olah di depannya ini tapi matanya tak bisa lepas dari Alana yang sedang, entah menertawakan apa dengan Gilang. Sepertinya Alana tertawa karena tacos buatan Gilang sangat enak. Alana sampai tak sungkan mencicipi tacos yang tersisa disendok Gilang dan melahapnya habis.
For God's sake!!! Sendok itu bekas Gilang dan kamu tanpa dosa mencicipinya!
Dion berusaha menahan amarah. Tapi ia juga heran kenapa dirinya semarah ini terhadap Alana. Lalu pikirannya seakan kembali ke beberapa hari belakangan ini. Semenjak kejadian di Xillemax, ah bukan. Semenjak kejadian Alana pingsan, Dion merasakan sesuatu yang berbeda pada gadis itu. Apalagi saat Gilang mengajaknya bicara berdua dan memintanya menghentikan hukuman bagi Alana. Disitu Dion sangat tidak suka melihat sikap Gilang yang sangat khawatir terhadap Alana. Lalu saat Athar datang dan berbuat kurang ajar terhadap Alana, Dion rasanya benar-benar ingin membumi hanguskan lelaki itu.
Dan kemarin malam saat Dion mengatakan bahwa Alana harus belajar melihat dirinya, sebenarnya lelaki itu hanya bergurau tapi entah kenapa setelah mengatakan itu semua, ia merasa memiliki hak penuh atas Alana. Dion merasa mulai detik itu Alana adalah miliknya, hanya untuk dirinya.
Jenis perasaan apa ini?
Dan sekarang melihat Alana tertawa lepas dengan Gilang membuat darahnya mendidih. Alana bahkan tidak pernah tertawa seperti itu pada dirinya!
"Chef!!!" Teriakan Samuel membuat Dion tersadar dari lamunannya.
Dengan cepat Samuel menggeser tubuh Dion ke samping dan mematikan panggangan. Rupanya dari tadi karena Dion melamun, api di pemanggang semakin membesar dan hampir saja mengenai wajahnya kalau Samuel tidak menolongnya.
Semua yang ada didapur terpaku melihat kejadian barusan. Tak terkecuali Alana. Wajah gadis itu memperlihatkan wajah paling khawatir diantara semuanya.
Dion yang masih shock dengan kejadian barusan, menatap nyalang melihat Turkey beefnya yang kini sudah tak berbentuk. Dikatakan overcook saja sudah tidak bisa, karena bentuknya saja sudah tak terlihat lagi dan warnanya sudah hitam. Gosong.
Ya Tuhan apa yang barusan aku lakukan sih?! Hanya karena gadis itu aku sampai seperti ini!
"Chef nggak apa-apa?" Tanya Samuel khawatir.
Dion menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menepuk bahu Samuel.
"No, I'm fine. Terima kasih sudah menolong saya. Maaf ya, gara-gara saya satu porsi terbuang percuma."
Lalu setelahnya ia pamit sebentar ke kamar mandi. Padahal lelaki itu ingin menenangkan dirinya.
Seorang Alana Hayln ternyata bisa begitu mudah menghancurkan dunianya segampang ia membalikan telapak tangan.
Alana masih memperhatikan Dion ketika punggung lelaki itu sudah tak terlihat lagi.
Chef Dion kenapa ya?
Saat kejadian tadi, Alana merasakan jantungnya berdegup kencang dan seperti ada sesuatu yang meremas hatinya. Sedikit saja Samuel terlambat mendorong Dion, mungkin wajahnya sudah terkena api.
Tumben hari ini Chef nggak konsen, ada apa ya?
Dan kata hati Alana mengatakan bahwa ia harus menyusul lelaki itu. Tapi buat apa ia menyusulnya? Dan apa yang harus Alana lakukan ketika sudah menyusulnya?
Ah, siapa aku sampai harus sekhawatir ini...
Ketika ia sudah menetapkan hatinya untuk tak menyusul lelaki itu, tapi kakinya seakan diberi bubuk ajaib yang bisa berjalan sendiri, menyusul lelaki itu tanpa ia minta.
Hatinya memang tak berkhianat tapi ternyata, tubuhnya lebih tahu apa yang diinginkan oleh Alana.
Alana menunggu didepan kamar mandi khusus laki-laki, tapi Dion tak kunjung keluar. Akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk masuk. Dan ternyata, Dion tak ada di dalam.
Chef Dion kemana?
Lalu satu pikiran muncul dibenaknya.
Gudang. Apa Chef ada digudang ya?
Bergegas ia berjalan menuju gudang. Saat sampai di depan pintu gudang, Alana bingung antara harus membuka pintu atau tidak. Karena jujur, ia takut apa yang harus ia katakan kalau ia masuk nanti. Setelah berpikir agak lama, dengan menghembuskan napas berat akhirnya gadis itu masuk ke dalam.
"Chef?" Kata Alana melihat sekeliling.
Tapi tak ada siapapun. Alana lalu berjalan masuk ke bagian sayuran segar, tapi tak ada orang. Di bagian daging beku pun juga, saat berbelok ke area buah pun tetap sama tak ada orang. Alana mendesah pasrah karena tak menemukan Dion dimana-mana saat ia sadar belum memeriksa di bagian rak-rak wine yang ada di paling belakang.
Apa Chef Dion disitu ya?
"Chef?" Panggil Alana lagi saat sudah masuk ke area penyimpanan wine.
Dan benar saja. Dion ada disana sedang meminum segelas wine.
"Chef Dion." Kata Alana takut-takut.
Dion menoleh tak suka kepada Alana.
"Kamu ngapain disini?!" Kata Dion langsung membentaknya.
Alana gugup.
"Saya... saya... disuruh cari Chef, soalnya lama banget nggak balik-balik ke dapur." Jawab Alana gugup sambil berbohong.
Aduh! Harusnya aku jangan masuk tadi!
"Kalau begitu saya balik dulu, Chef. Jangan lupa kalau sudah selesai segera balik ke dapur, ditunggu yang lain soalnya." Kata Alana takut dan langsung berbalik.
Entah apa yang ada dipikiran Dion, tetapi lelaki itu mengejarnya dan menahan pergelangan tangan Alana.
Alana memekik tajam saat Dion menarik tangannya dan menghempaskan tubuh gadis itu sampai menabrak rak-rak berisi wine yang sampai bergoyang dan menimbulkan bunyi karena botol-botol itu saling bertubrukan tapi untungnya tak sampai pecah.
Alana sudah pucat pasi sangat ketakutan dengan sikap Dion.
"Stop main-main sama saya Alana." Dion menatap gadis itu lekat.
Alana menatap balik wajah Dion tak mengerti maksud lelaki itu.
"Baru tadi malam kamu menyetujui tapi kamu langgar sekarang!" Dion meremas rambutnya frustasi.
"Hati saya ini bukan buat main-main, Alana." Kata Dion kali ini yang nada suara melembut tapi begitu penuh peringatan.
"Kamu ini kenapa sih?! Kenapa jadi marah-marah sama saya? Saya nggak ngerti maksud omongan kamu dari tadi!" Kata Alana mulai tersulut emosi sampai ia lupa untuk memanggil Dion dengan sebutan chef. Karena ini masih di dalam jam kerja.
Dion malah tertawa. "Apa kamu selalu pura-pura nggak ngerti kayak gini?"
Alana makin kesal, ia dorong bahu Dion untuk segera keluar dari sini. "Kamu sakit jiwa!"
Dengan cepat Dion menahannya, lalu tanpa diduga ia mencium Alana seakan bibir Alana adalah sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit kronis. Alana bahkan tak cukup kuat untuk memberontak kali ini. Gadis itu malah mengerang nikmat. Ya Tuhan, sepertinya tindakan ini adalah tindakan paling baik untuk mereka. Karena dengan tindakan ini mereka bisa menyudahi untuk menyangkal semua percikan dan gejolak yang ada dihati mereka.
Apakah disetiap kebencian akan berakhir dengan letupan seperti ini? Dua anak manusia saling memagut dan tak ada yang mau berusaha melepaskan.
Tapi dengan berat hati, Dion melepaskan pagutannya ketika Alana mulai menepuk-nepuk pipinya meminta untuk menyudahi aktivitas menyengangkan ini karena ia hampir kehabisan napas.
"Saya memang sakit jiwa gara-gara kamu, Alana." Itulah kalimat pertama yang Dion ucapkan dengan napas satu duanya setelah bibirnya terlepas dari mulut Alana.
"Kenapa kamu masih bisa melihat laki-laki lain selain saya, Al?" Kata Dion menempelkan keningnya ke kening Alana sambil mengusap bibir Alana yang basah dan bengkak karena sedari tadi ia permainkan dengan bibirnya.
"Saya masih nggak ngerti maksud kamu apa." Kata Alana masih menormalkan degup jantungnya.
"Saya ini suka sama kamu, Alana. Saya jatuh cinta sama kamu."
***
Tarik napas...
Lalu teriak kemudian...
Sabar guys, semua pertanyaan yang ada di otak kalian akan terjawab satu persatudi bab-bab selanjutnya. Hehe ✌🏻️✌🏻
Hallo! Aku balik lagi😎😎😎
Oh iya, aku mau minta maaf kalau banyak typos, walaupun sebelum aku publish aku selalu ngecek ulang dan mengoreksi, masih ada aja yang salah. Padahal waktu aku periksa kayaknya tuh udah bener semua gitu, yah maklum deh namanya manusia nggak lepas dari salah dan paling susah cari kesalan sendiri. Betul nggak? Haha.
Sekali lagi maaf kalau banyak typos, mohon maklum ya hehe.
Oke deh gitu aja.
Selamat membayangkan, jangan lupa vote dan commentnya.
Spread the looooooooove,
Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro