Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 6 - Shttt, Jangan Bilang Siapa-Siapa!

Alana terbangun saat merasakan perasaan menggelitik disekitar lehernya. Gadis itu berusaha untuk membuka mata tetapi kepalanya sangat sakit. Alana juga merasakan ruang geraknya terbatas karena ia tak bisa bergerak kesana-kesini seperti ditindih dan dikurung.

Saat rasa sakit dikepalanya perlahan hilang dan matanya sudah sepenuhnya terbuka, yang pertama Alana sadari adalah gadis itu tak tahu dimana ia berada sekarang. Kedua, Alana tak tidur sendirian di kasur ini. Seseorang tengah memeluknya dengan kepala sang lelaki yang bernapas nyaman dilehernya sehingga membuat perasaan menggelitik ditambah tangan yang melingkar erat di pinggang Alana dan kaki sang lelaki yang berada diantara kaki Alana.

Perlahan Alana menegok horror ke arah lelaki yang sedang memeluknya ini.

"AAAAAAAA!!!" Alana langsung melepaskan pelukan Dion dari dirinya dan dengan reflek menendang perut lelaki itu sampai Dion terbangun dari tidurnya karena merasakan sakit di bagian perut yang sekarang sudah jatuh ke lantai itu.

"Fuck!" Kata Dion mengeram saat merasakan pantatnya mendarat keras di lantai dengan perut yang di tendang ditambah kepalanya yang terbentur ujung kasur. What a perfection.

Alana tak mempedulikan umpatan Dion, ia malah sibuk memeriksa dirinya sendiri.

Terima kasih Tuhan aku masih berpakaian lengkap...

"What the hell are you doing?! Kenapa kamu tendang saya, Alana?!" Kata Dion kesal sambil bergantian mengusap-usap kepalanya, perutnya dan pantatnya.

"Saya yang seharusnya tanya sama Chef! Kenapa saya bisa tidur dan ada disini?!"

Dion menyeringai.

"Apa saya nggak salah dengar? Tanya sama diri kamu sendiri!"

"Oh, Chef ngasih sesuatu kan diminuman saya tadi malam?! Saya nggak nyangka seorang laki-laki terhormat seperti Chef Dion bisa melakukan hal tercela semacam ini. Saya bisa laporin Chef ke kantor polisi atas tindak penculikan dan pelecehan seksual! Chef bisa dipenjara dalam waktu yang lama karena Chef akan dikenakan pasal berlapis."

Dion tercengang, mulutnya membulat sempurna, tapi sejurus kemudian ia tertawa terpingkal-pingkal sampai menepuk-nepukan tangannya di lantai. Ia juga memegangi perutnya yang habis ditendang Alana. Karena semakin ia tertawa semakin sakit juga perutnya itu.

Ya Tuhan, gadis ini menggemaskan sekali!

"Jangan ketawa ya, Chef. Saya serius. Jangan kira saya cuma main-main sekarang."

Dion sampai harus menyeka air mata yang keluar karena tertawa.

"Alana, Alana... saya bisa bawa kamu ke Xillemax lagi untuk melihat rekaman cctv yang ada disana agar kamu tahu apa yang kamu lakukan tadi malam."

Alana ditempatnya terdiam.

Memangnya aku melakukan apa?

Lalu secara perlahan satu persatu ingatan Alana muncul bagai sebuah film di otaknya.

Pertemuannya denga Dion di Xillemax...

Mabuknya tadi malam...

Ciuman itu...

Ya Tuhan... aku mencium Chef Dion...

"Sudah ingat semuanya, Alana Hayln?"

Kata Dion sudah berdiri sambil berkacak pinggang sekarang.

Pipi Alana seperti kepiting rebus sekarang. Merah dan panas.

"Tapi kenapa saya bisa disini?!" Kata Alana tak terima bahwa ini semua salahnya.

"Sepanjang malam saya sudah tanya dimana alamat rumah kamu, tapi kamu nggak menjawab. Malah kamu terus meracau tidak jelas. Ya sudah, saya bawa kamu kesini." Kata Dion menjelaskan.

"Tapi kenapa kita bisa tidur satu kasur? Dan kenapa Chef nggak pakai baju?!" Tunjuk Alana ke arah Dion karena lelaki itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Yang membuat Alana makin keki adalah ia mendapati dirinya memuja tubuh Dion yang begitu menggiurkan didepannya ini.

"Saya sudah berusaha tidur disofa, tapi sofa didepan terlalu kecil untuk badan saya, Alana. Saya jadi nggak bisa tidur. Dengan sangat menyesal akhirnya kita harus berbagi kasur." Kata Dion menekannya kata 'menyesal' sambil tersenyum penuh arti.

"Selain itu, dari dulu saya nggak bisa tidur kalau saya pakai baju." Kata Dion melanjutkan.

"Saya nggak percaya! Itu akal-akalan Chef aja kan!"

Dion memutar bola matanya.

"Kalau itu cuma akal-akalan saya, seharusnya pagi ini saya nggak pakai apa-apa dan kamu bangun tanpa mengenakan baju, badan kamu pegal-pegal, leher kamu merah, dada kamu merah dan..." Kata-kata Dion terhenti menatap bagian bawah perut Alana.

Gadis itu jengah dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Malah jadi membayangkan. Tapi buru-buru ia tepis pikiran joroknya itu.

"Terus kenapa Chef peluk saya?"

"Alana..." Dion berjalan ke arah Alana yang membuat gadis itu otomatis memundurkan langkahnya.

Saat dirasa kakinya sudah menabrak tembok, Alana berusaha kabur tapi Dion bergerak lebih cepat dengan merentangkan kedua tangannya di si sini kanan dan kiri tubuh gadis itu. Alana terperangkap sekarang.

"Tadi malam, saya sungguh menjadi lelaki baik dengan menaruh guling sebagai pemisah diantara kita, tapi karena tidur kamu yang tidak bisa diam, kamu menendang batal guling itu dan memeluk saya. Jadi apa saya salah kalau berbalik memeluk kamu sebentar saja?" Dion semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Alana.

Alana sudah memejamkan matanya kalau-kalau Dion ingin menciumnya. Dion yang melihat itu tersenyum sambil berbisik ditelinga Alana.

"Ayo kita sarapan."

***

Alana tak habis pikir kenapa ia mengira kalau tadi Dion akan menciumnya. Dan terus terang ia sedikit kecewa karena hal itu tidak terjadi.

"Mau rasa apa?" Tanya Dion membuyarkan lamunan Alana.

"Coklat." Jawab Alana dan Dion mulai mengolesi selai coklat di roti itu.

"Maaf di apartemen ini nggak ada apa-apa, Al. Jadi saya cuma bisa kasih ini." Kata Dion menyerahkan dua tangkup roti berselai coklat.

Alana tak menjawab, langsung memakan roti itu dalam diam. Setelah selesai menghabiskannya, Alana langsung bangkit.

"Chef saya pulang dulu, terima kasih sarapannya."

"Siapa yang suruh kamu pulang Alana?" Kata Dion tegas.

Alana berhenti melangkah.

"Maksud, Chef?" Gadis itu mengernyit tak mengerti.

"Kamu nggak akan sempat untuk pulang. Kalau kamu pulang, kamu akan terlambat kerja atau bahkan tidak masuk. Jadi kita langsung ke The Sheares's Quarters sekarang." Dion menjelaskan.

Alana berdecak sebal. "Tapi saya nggak mungkin masuk kerja masih pakai baju yang sama dengan kemarin! Lagipula saya nggak mau berangkat bareng Chef. Saya mau berangkat sendiri.

"Kenapa? Kamu takut kita digosipkan punya hubungan? Atau kamu takut ada yang tahu kejadian semalam?" Kata Dion dengan nada mengancam.

"Jangan coba-coba, Chef." Kata Alana memperingati.

"Kalau begitu, turuti kata-kata saya."

"Tapi baju saya?!"

Dion hanya tertawa. "Saya punya solusinya. Kamu tunggu disini."

Dion masuk ke dalam kamar. Lalu membuka lemari. Seingatnya, Maura menaruh beberapa baju disini kalau ia dan Adrian sedang ingin berduaan. Dan benar saja, ada beberapa baju Maura dan Adrian di lemari ini.

"Pakai ini." Kata Dion menyerahkan sebuah dress berwarna soft pink tanpa lengan kepada Alana.

"Ini baju siapa?" Alana bertanya dengan nada tak suka.

"Saya nggak mau pakai baju dari perempuan yang nggak jelas asal-usulnya!

Dion gemas lalu menyentil kening Alana. "Yang jelas baju ini bukan baju perempuan-perempuan seperti yang ada di otak kotor kamu. Jadi cepat ganti baju kamu dan kita berangkat."

"Tapi saya nggak biasa pakai dress kalau berangkat kerja, Chef."

Dion mengendus. "Terserah kamu sih, kamu mau di introgasi teman-teman kamu karena pakai baju yang sama dengan kemarin atau pakai baju ini sekarang."

Akhirnya Alana mengambil dengan kasar dress itu dari tangan Dion dan masuk ke dalam kamar dan mengganti baju.

Dion yang sedang bersiap-siap, tiba-tiba terpaku menatap Alana yang baru keluar dari kamar.

Kamu cantik sekali Alana...
Baju Maura sangat pas dibadan kamu...
Apa saya boleh bawa kamu kembali ke kamar dan melakukan hal terlarang dengan kamu?

"A... ayo kita be...berangkat, Chef." Kata Alana gugup karena risih Dion melihatnya seperti itu.

"Chef..." Panggil Alana lagi karena Dion masih diam ditempatnya sambil menatap Alana dengan begitu... memuja.

"Oh, oke, oke..."

"Ya, Tuhan!" Tiba-tiba Alana berteriak saat mereka baru berjalan dua langkah.

"Sekarang apalagi, Alana..." Dion mulai kesal.

"Arin, Chef! Teman saya yang tadi malam mabuk! Ya Tuhan, saya ninggalin dia sendiri." Alana langsung merasa bersalah menjadi teman yang jahat karena maninggalkan temannya yang sedang mabuk itu.

Dion tersenyum penuh arti. "Tenang aja, Al. Teman kamu sudah di urus oleh Anton."

***

"Saya jalan lewat lift barang, Chef lewat lift depan." Kata Alana ketika mobil Dion sudah berhenti di basement The Sheares's Quarters.

"Kenapa harus kayak gitu?" Dion mengernyitkan dahi, bingung.

"Karena saya nggak mau ketahuan dateng bareng Chef Dion!"

"Kenapa kamu nggak mau ketahuan dateng bareng saya?" Dion mulai menggoda Alana.

"Karena... saya...itu..." Alana mulai gugup ditempatnya. Alana juga bingung kenapa ia tak mau orang lain mengetahui kalau ia berangkat bersama Dion.

"Pokoknya saya nggak mau!" Kata Alana kesal pada akhirnya.

"Please, Chef... ya, ya,ya?" Lalu Alana berubah menjadi memohon karena Dion terlihat tak ingin mengikuti pernintaan gadis itu.

Alana tak sadar saat memohon tadi, tangannya reflek memegang pergelangan tangan Dion.

Lelaki itu tersenyum, menunduk menatap tangan Alana yang masih memegang pergelangan tangannya. Alana yang melihat Dion menunduk, mengikuti arah pandangan lelaki itu. Sontak ia langsung melepaskan tangannya dari Dion.

"Maaf, nggak sengaja." Kata Alana menunduk gugup.

Kalaupun sengaja saya akan menerimanya dengan senang hati, Al...

"Baiklah." Kata Dion pada akhirnya karena tak tega melihat tatapan gadis itu.

***

Dion lebih dulu sampai dibandingkan Alana. Saat Alana sampai, lelaki itu sedang asyik berbincang dengan ketiga temannya. Samuel, Bimo dan Gilang. Sepertinya sih membicarakan makanan, karena Samuel terlihat sibuk mencatat sesuatu.

"Pagi." Kata Alana menyapa mereka semua.

"Woooooooow!!!" Itu kata balasan pertama yang keluar dari mulut Bimo ketika Alana menyapa mereka.

"Al, lo cantik banget hari ini pakai dress. Tumben banget." Bimo memulai pujiannya.

"Sumpah, lo kayak model, Al." Tambah Gilang.

"Wah bisa naksir nih gue kalau ngeliat lo kayak gini." Samuel makin-makin.

"Ya nggak, Chef?" Tanya Samuel meminta persetujuan Dion.

"Iya." Kata Dion tersenyum menatap Alana.

Mendengar itu, pipi Alana langsung panas.

Tiba-tiba Samuel teringat seauatu.

"Al, kok lo nyampe kesininya belakangan sih? Tapi Chef nyampe duluan?" Kata Samuel menunjuk Alana dan Dion bergantian.

Dion dan Alana pucat.

"Bukannya Chef sama Alana berangkat bareng ya? Tadi saya lihat waktu saya lagi ambil makanan dari truk di basement." Lanjut Samuel kepada Dion.

Dion yang sedang meminum kopi sontak terbatuk-batuk mendengar hal itu, sedangkan Alana yang yang tadinya hendak berjalan malah menyeruduk kursi yang ada didepannya.

Samuel, Bimo dan Gilang yang melihat kedua orang didepannya ini salah tingkah langsung tersenyum penuh arti sambil beradu pandang.

"CIEEEEE..." Teriak ketiganya kencang.

"Al, ambilin tissue dong, Chef Dionnya batuk-batuk tuh." Gilang memperburuk keadaan.

Bimo mulai ikutan batuk-batuk seketika.

"Duh, keselek sendok nih gue."

"Chef Bimo keselek sendok? Sini Alana tambah jadi keselek panci." Kata Samuel berpura-pura menjadi Alana dengan suara yang dibuat-buat menjadi perempuan.

Sontak Bimo dan Gilang tertawa kencang, meninggalkan Alana dan Dion yang mati kutu.

Kalian ingat pribahasa sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga?

Itu sangat pas bagi Alana.

Karena, sepandai-pandainya Alana berencana, akhirnya ketahuan Samuel juga.

***

Satu hari ini ketiga temannya itu tak berhenti menggoda Alana. Seperti saat mereka sedang beristirahat sore hari ini.

"Apakah Chef Dion yang membelikan baju itu untuk Anda?" Kata Samuel bergaya sebagai wartawan dengan menjadikan tangannya yang yang terkepal sebagai mic dan menyodorkannya kepada Alana.

"Apaan sih, Muel! Jangan bercanda mulu! Kapan gue makannya!" Kata Alana menyingkirkan tangan Samuel dari hadapannya.

"Apakah benih-benih cinta itu mulai tumbuh?" Kali ini Bimo ikut bergaya seperti Samuel.

"Bimo! Geli ya, Bim!"

"Bagaimana rasanya dari benci menjadi cinta?" Gilang ikut-ikutan Samuel dan Bimo.

Akhirnya dengan gemas, Alana menjitak satu persatu kepala temannya ini dengan sendok.

"Tega lo, Al..." Kata Bimo mengusap kepalanya.

"Tau lo, Al. Kepala gue tuh buat disayang-sayang bukan buat lo jitak-jitakin." Samuel juga ikutan mengusap kepalanya.

"Lagi jatuh cinta jangan galak-galak, Al." Gilang tak mau kalah.

Alana mendengus.

"Mulut lo bertiga harus gue jejelin cabai Brazil dulu biar bener kalo ngomong!" Sembur Alana jutek.

"Tadi gue ketemu Chef di pinggir jalan, terus dia nawarin gue tumpangan. Yaudah gue ikut aja. Masalah baju, emangnya nggak boleh kalau gue pakai dress?" Kata Alana merangkai kalimat bohongnya itu agar terdengar masuk akal.

Samuel, Bimo dan Gilang saling pandang lalu tersenyum.

"Ah, masa sih..." Kata tetiganya serempak.

***

"Bye, Alana..." Kata Samuel, Bimo dan Gilang yang sedang berangkulan sambil melambaikan tangannya kepada Alana.

Gadis itu kesal bukan main saat tak ada satupun dari ketiga lelaki ember yang sudah menghilang itu mengiyakan saat Alana ingin meminta pulang bersama.

Alasan mereka cuma satu. Supaya Chef Dion yang mengantar Alana.

Masa iya aku pulang sama Chef Dion? Kejadian di Xillemax dan tadi pagi aja udah malu-maluin banget! Mau taruh dimana lagi mukaku kalau pulang bareng dia?!

Akhirnya Alana memutuskan untuk pulang sendiri. Gadis itu baru saja beraiap meninggalkan The Sheares's Quarters saat seseorang masuk dengan seringai licik menatap kearahnya.

"Athar?"

***

Hallo aku balik lagi. Aku mau tanya deh, kok cerita ini dikit banget yang ngeview sih? Huhu. Tapi aku berharap semoga yang baca makin banyak ya kedepannya.

Jangan lupa vote dan comment! :D

Enjoy!

Abi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro