Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 4 - Ada Apa Dengan Hati Dion?

"Al, mau pulang bareng kita nggak? Muel sama Bimo lagi nggak bawa kendaraan hari ini, jadi nebeng mobil gue." Kata Gilang menghampiri Alana diruang ganti baju. Dibelakangnya ada Samuel dan Bimo.

"Enggak, guys. Gue masih ada urusan." Kata Alana lesu.

"Lo hutang cerita sama kita." Kata Samuel.

"Minggu ini kita harus karaoke. Gue mau denger cerita lo sampai tuntas. Dari a sampai z." Kali ini Bimo bersuara.

"Gampang kalau soal itu..." Kata Alana tak bersemangat.

"Yaudah, kita balik dulu ya, Al." Kata Gilang menepuk bahu Alana.

"Semangat, sister Al!" Kata Samuel mengangkat tangannya di udara membentuk kepalan, setelahnya membentuk lambang hati dengan kedua tangannya.

Alana tertawa renyah. Setidaknya ada tiga orang disini yang tak langsung memghakiminya.

Setelah kejadian tadi siang, Dion melepaskan tangan Alana ketika meraka berada di dalam lift. Lelaki itu tak bicara banyak, ia hanya berkata jangan pulang setelah jam kerja selesai karena Dion ingin berbicara sesuatu padanya. Atau lebih tepatnya masih mau memarahi Alana.

Saat mereka berdua kembali ke The Sheares's Quarters tadi siang, memang keadaan terlihat normal, bekas pecahan piring pun sudah dibersihkan. Tapi pandangan mata temannya dan seluruh pegawai menyiratkan satu kata. Penasaran.

"Duduk." Perintah Dion yang sudah menunggu Alana di luar.

Alana menghembuskan napas berat. Tidak bisakah Dion memberinya sedikit waktu untuk persiapan batin?

Alana sempat melihat sekitar. Yap, persis dugaannya. Semua orang sudah meninggalkan tempat ini. Hanya ia dan Dion disini.

Mari kita mulai sidangnya, Chef...

"Saya mau kamu minta maaf didepan semua orang besok pagi." Katanya sambil melipat kedua tangan didada.

Saat sedang melakukan gerakan itu, mata Alana menangkap tangan Dion yang sudah dibalut perban.

Alana mencibir dalam hati.

Sakit ya Chef nonjok tembok? Tembok di tonjok...

Alana mengangguk sambil menunduk.

"Saya juga nggak terima permintaan pemecatan diri kamu. Terlalu mudah untuk keluar dari masalah."

Alana mendongak menatap Dion. Mata abu-abu pucat lelaki ini memang tak semarah tadi, tapi entah kenapa jauh lebih menakutkan. Seperti ada sesuatu yang harus membuatnya paling tidak berada di radius 3 meter dari lelaki di didepannya ini jika ia mau aman.

"Terus buat apa saya disini? Chef yang bilang sendiri kalau saya nggak bisa apa-apa, hanya jadi pengacau disini."

Buat saya siksa.

"Saya cuma mau kamu belajar, melarikan diri itu bukan jalan keluar dari suatu masalah."

Lalu lelaki itu berdiri, mengeluarkan kunci dari sakunya dan melemparkannya ke Alana yang di tangkap gadis itu dengan kaget.

"05.15 kamu harus sudah ada disini. Dimulai dari membersihkan semua ruangan yang disini, lalu bantu Pak Arifin ambil ikan segar ditempat langganan seperti biasa dan mulai besok, kamu menggantikan tugas Bimo menangkut bahan makanan. Oh ya, satu hal lagi. Jangan coba-coba pakai troli. Angkut semua itu dengan tangan kamu. Dan jangan coba-coba membohongi saya. Seluruh lantai dipasangi kamera cctv, Alana." Jelas Dion dengan sebuah senyum licik untuk mengakhiri kalimatnya.

"Ada yang kurang jelas atau ada yang ingin kamu tanyakan?" Tanya Dion menatap Alana.

"Apa cuma itu saja, Chef? Apa nggak nggak ada yang lebih berat?"

Dion tersenyum sinis.

"Saya pulang dulu, jangan lupa kunci seluruh pintu yang disini." Lalu lelaki itu berlenggang meninggalkan Alana seorang diri.

***

"Sob, gue kasian lihat Alana. Sumpah, lo raja tega." Kata Romi melihat Alana yang sedari turun naik di lift barang sedang mengangkut bahan makanan. Pekerjaan itu akan sangat mudah jika semua dimasukan ke dalam satu troli. Tapi lihatlah bagaimana Alana yang berulang kali menyeka keringatnya karena bolak-balik ke basement untuk mengambilnya dari dalam truk pengangkut makanan lalu membawanya ke lift barang dan memasukannya ke dalam gudang dan terus berulang sampai semua bahan makanan selesai di angkut.

"Jangan mentang-mentang dia perempuan sendiri yang ada di dapur, dia jadi di istimewakan. Dia harus tahu resiko apa yang harus ditanggung jika melakukan kesalahan." Kata Dion sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Udah cukup kali tadi pagi dia minta maaf ke semuanya. Mau gimana pun fisik perempuan nggak sekuat laki-laki. Lo killer deh dari pagi si Alana belum istirahat. Gila! Jam 05.15 harus udah ada disini disuruh bersih-bersih. Sendirian pula! Kita aja biasa pakai dua OB buat ngebersihin semua ruangan ini, Yono! Kacau lo, Yon. Itu anak orang. Kalau dia sakit lo tanggung jawab ya, gue nggak ikutan."

Hari ini Alana lelah bukan main. Memikirkan cara untuk mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia ingin membatalkan pertunangannya dengan Athar saja sudah menguras sebagian tenaganya, ditambah hukuman dari Dion yang ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Pagi ini saja Alana hanya sempat minum segelas air putih. Saat sampai pagi tadi, ia langsung membersihkan seluruh ruangan yang ada disini, lalu ikut Pak Arifin mengambil ikan dan yang terakhir mengangkut makanan.

Samuel, Bimo dan Gilang yang ingin membantu gadis itu, malah di tolak mentah-mentah oleh Alana. Ia tak mau ketiga temannya terkena masalah karena dirinya.

***

Sudah tiga hari ini Alana menjalankan hukuman dari Dion dan tiga hari berturut-turut pula gadis itu tak sempat memakan apapun kecuali pada sore hari saat jam istirahatnya, itu pun Alana hanya makan sepotong roti karena pelanggan yang selalu penuh menyebabkan dirinya tak bisa lama-lama beristirahat.

"Al, lo nggak apa-apa?" Tanya Gilang khawatir saat dilihatnya gadis itu beberapa kali jalan sempoyongan.

"I'm fine, Lang. Cuma ngantuk aja, makanya jalannya jadi kayak gini." Kata Alana bohong.

Sejujurnya sejak tadi pagi sehabis ikut Pak Arifin ambil ikan salmon, kepala Alana tiba-tiba pening. Badannya tak enak dan mengeluarkan keringat dingin. Sepertinya ia kelelahan.

"Tapi muka lo nggak fine sama sekali, Al. Sini biar gue yang bawain." Kata Gilang berusaha mengambil dua kardus berisi baby carrot yang sedang di bawa gadis itu, tapi Alana menolaknya.

"Jangan, Lang. Ini tugas gue, mending lo balik ke dapur sebelum kena marah Chef."

Kata Alana berjalan sekuat tenaga menahan rasa pening di kepalanya dan berjalan ke arah gudang.

Di dalam gudang ternyata ada Dion. Lelaki itu sedang sibuk memilih beberapa lobster.

"Permisi, Chef." Kata Alana karena Dion menghalangi jalannya.

Dion mundur beberapa langkah agar Alana bisa meletakan kardus-kardus tersebut. Setelah meletakannya di bagian bahan mentah, Alana berusaha berdiri tapi ia gagal. Badannya terhuyung kebelakang menabrak Dion.

"Berdiri yang benar, Alana." Kata Dion dingin. Lelaki itu tak tahu Alana sudah merasa sangat pusing sekarang.

"Maaf, Chef." Kata Alana berusaha berjalan tapi ia kembali terhuyung kebelakang.

Kali ini Dion menangkapnya. Ia mencium ada yang tidak beres disini.

"Are you okay, Alana?" Nada Dion terdengar khawatir sekarang.

Alana hanya menangguk dan kembali berusaha berdiri ketika ia merasa semua yang ada didepannya berubah menjadi buram dan semuanya gelap.

"Alana!" Teriak Dion saat melihat Alana yang pingsan dipelukannya.

"Oh, shit!" Maki Dion pada dirinya sendiri ketika Alana tak sadar juga saat ia mengguncang-guncangkan pundak gadis itu.

Dion dengan sigap menggendong tubuh Alana keluar gudang, setengah berlari membawa gadis itu ke masuk ke dalam The Sheares's Quarters menuju ruang istirahatnya yang berada disamping ruang ganti baju pegawai.

"Tolong ambilkan apa saja di kotak P3K agar Alana sadar!" Kata Dion panik kepada siapa saja yang kini tengah berlari mengikutinya karena melihat Alana pingsan di dalam gendongan lelaki itu.

Gilang yang pertama berlari kearah kotak P3K dan mengambil minyak kayu putih dan menyerahkannya kepada Dion.

Dion membuka minyak kayu putih, mendekatkannya ke hidung Alana agar aroma menusuknya bisa membuat Alana sadar.

Perlahan kedua bola mata gadis itu bergerak dan matanya terbuka.

"Kamu nggak pa-pa, Al?" Tanya Dion yang tiba-tiba reflek menggenggam tangan Alana dan tangan satu laginya mengusap dahi Alana yang masih mengeluarkan keringat.

Alana masih belum sadar sepenuhnya saat di dengarnya Dion bersuara. Gadis itu baru sadar ketika melihat wajah Dion sangat dekat dengan wajahnya yang terlihat panik itu.

Sontak Alana memalingkan mukanya, menepis tangan Dion yang ada di dahinya dan menarik tangannya yang di genggam lelaki itu.

"Saya nggak apa-apa."

Dion yang merasa bahwa Alana tidak suka dengan tindakannya, reflek berdiri.

"Kamu istirahat saja dulu." Lalu berjalan meninggalkan gadis itu.

Saat menuju dapur, dilihatnya Gilang mendekat menghampirinya. "Chef, bisa kita bicara sebentar?"

***

"Saya mohon hukuman untuk Alana dicabut, Chef."

Dion memang sudah menyesal dan berniat mencabut hukumannya untuk gadis itu. Tapi melihat Gilang yang sampai memohon untuk memintanya menghentikan hukuman ini membuat dirinya mendadak dilanda perasaan aneh yang ia sendiri belum tahu apa itu. Yang jelas ia tak suka melihat Gilang melakukan ini.

"Kita lihat saja nanti." Tapi justru itu yang keluar dari mulut Dion.

Gilang menggelengkan kepala tak percaya. "Apa masih belum cukup buat Chef melihat Alana pingsan tadi?"

"Saya tanya sama Chef bukan sebagai atasan saya kali ini, tapi sebagai laki-laki. Apa Chef masih tega untuk ngelanjutin hukuman ini?"

Dion ditempatnya mengernyit.

Kenapa Gilang sampai sebegitu khawatirnya terhadap Alana? Apa Gilang punya perasaan terhadap Alana?

"Akan saya pertimbangkan." Kata Dion meninggalkan Gilang.

Dion berjalan keluar dari The Sheares's Quarters dan masuk ke dalam lift. Ia butuh udara segar.

Kenapa saya sangat tidak suka melihat sikap Gilang yang sebegitu membela Alana? Dan kenapa saya begitu khawatir melihat Alana pingsan tadi?

Dion memegang dadanya.

Apakah saya...

***

Hai! Aku balik lagi, semoga nggak sebel sama Dion yang kejam ini ya, tenang aja, walaupun Dion nggak sekocak Adrian tapi dia manis banget kok. Makanya tungguin lanjutannya terus ya hehe 😁

After this part, I promise to make you scream 😁✌🏻️

Selamat membaca.

Abi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro