BAB 20 - Home Sweet Home
"Ini rumah siapa?"
Alana kembali menanyakan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Bahkan nada bicaranya mulai tinggi sekarang. Tapi, lagi-lagi Dion tak menjawab dan memilih tersenyum. Ya Tuhan, dua tahun tak bertemu kenapa Dion jadi penuh dengan teka-teki seperti ini?!
Bayangkan saja, mulai dari keduanya meninggalkan The Sheares's Quarters sampai dalam perjalanan, Alana dibuat penasaran dengan rumah siapa yang dimaksud 'rumah kita'. Selama itu pula Dion melakukan hal yang sama. Diam dan tersenyum. Lelaki itu hanya akan tertawa lalu menghindar ketika Alana sudah mulai kesal dan memukulnya.
Dan sekarang, ketika mereka sudah sampai disebuah rumah yang disebut Dion sebagai 'rumah kita', sikap lelaki itu masih saja sama. Hanya diam dan tersenyum penuh misteri.
"Dioooooon, ini rumah siapa sih sebenarnya?!" Alana berteriak setengah frustasi sambil menoleh ke arah dapur dimana lelaki itu tengah mengambil minuman.
Sepertinya Dion sudah berubah menjadi Limbad karena lagi-lagi ia diam. Tetapi sekarang, ada sedikit seringai kemenangan di wajahnya karena berhasil membuat Alana sebegitu penasarannya dengan rumah ini.
Kembali tak mendapat jawaban dari lelaki yang katanya ia cintai setengah mati itu, Alana mendecih sebal dan akhirnya memilih untuk memperhatikan sekeliling ruangan.
Ini jelas bukan apartemen Maura karena luas dan letaknya sangat berbeda!
Yang pertama ini rumah, bukan apartemen!
Yang kedua, rumah ini sangat besar!
Yang ketiga, rumah ini sangat bagus dan desainnya seperti rumah impianku!
Tapi yang paling penting, ini rumah siapa???!!!
Tiba-tiba pandangan Alana terhenti pada sebuah bingkai foto yang terletak disebelah tv berbentuk flat yang ukurannya diperkirakan lebih dari 70 inch itu. Pasalnya gadis yang berada di dalam foto tersebut adalah dirinya!
Belum selesai Alana berpikir berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membeli tv sebesar itu, foto dirinya yang terlihat sedang tertawa sambil mengenakan seragam The Sheares's Quarters makin membuatnya bingung.
"Dion, kok foto saya bisa ada disini?" Tanya Alana kembali menoleh ke arah dapur. Tapi lagi-lagi Dion memilih diam.
Merasa seperti berbicara kepada patung, Alana memutar bola matanya pada Dion dan kembali memperhatikan rumah ini.
Jujur, rumah ini sangat cantik dengan dominasi warna putih yang semakin terlihat minimalis. Dapur yang terlihat bersih dengan peralatan masak yang canggih, meja makan yang diberi sedikit sentuhan lelaki sehingga terlihat begitu terlihat manly, kaca-kaca besar yang dipasang sehingga rumah ini terlihat begitu luas, sampai sofa yang Alana duduki saat ini begitu cozy dengan pemandangan langsung ke arah kolam renang.
"Minum dulu, Al..." Ucap Dion yang tiba-tiba sudah duduk disamping Alana sambil menyerahkan orange juice kalengan.
Sedikit kaget dengan kehadiran Dion yang tiba-tiba, Alana spontan memelototkan matanya kepada lelaki yang sekarang sedang tersenyum tidak bersalah sambil mencium bahunya ini.
Melihat mata Alana yang seperti ingin keluar dari tempatnya, Dion tertawa kecil lalu mencium kening gadis itu. Tetapi, Alana terlebih dahulu menghindar saking kesalnya. Karena tepisan tangan Alana yang terlalu kencang, orange juice kalengan yang masih di genggam Dion tumpah setengahnya dan mengenai baju Alana.
"Alana, kamu pelan-pelan dong." Ucap Dion mengambil tissue yang berada di meja kemudian membantu membersihkan orange juice yang mengenai baju gadisnya itu.
"Ya ampun, baju kamu basah banget, Al. Kamu ganti baju dulu sana. Oh iya, baju kamu ada di lemari. Ambil sendiri aja ya, Sayang. Saya mau nonton tv. Kamar kita yang itu. Masuk aja." Tunjuk Dion ke arah pintu berwarna putih yang terletak tak jauh dari tempat mereka duduk saat ini.
Alana yang seperti disihir, mengikuti arah telunjuk Dion. Tapi kemudian matanya sontak membulat.
TUNGGU...
APA KATANYA TADI?!
KAMAR KITA?!
BAJU AKU?!
Spontan Alana menoleh ke arah Dion yang kini terlihat sedang menahan tawa melihat ekspresi Alana.
"Ka...kamu bi...lang... ap...apa barusan?" Ucap Alana sampai terbata saking kagetnya.
Dion mengangguk, tersenyum penuh kemenangan seakan berkata 'kamu-nggak-salah-dengar-kok-Alana'.
Tak bisa berkata apa-apa lagi karena sekarang kepalanya terasa begitu pusing dengan semua teka-teki ini, akhirnya Alana hanya bisa mendesah frustasi dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Bayangkan saja. Rumah ini, foto dirinya, kamar yang Dion sebut sebagai 'kamar kita', sampai saat Dion berkata tentang bajunya yang ada di dalam lemari dari sebuah kamar yang Dion sebut sebagai 'kamar kita'. Semua ini sungguh membuat Alana gila.
Dion yang tak tega melihat Alana sudah menahan kesal dan amarah serta frustasi sedari tadi, akhirnya memeluk gadis itu. Baru saja ia ingin merangkul pundak Alana, gadis itu mendongak menatap Dion marah.
"Dion, cukup! Stop buat saya bingung!"
Sepertinya, ini benar-benar malam yang penuh emosi bagi Alana. Mulai dari Dion yang mengerjainya habis-habisan, kemudian saling menangis mengungkapkan perasaan masing-masing dan sekarang ini?! Masalah rumah dan segala misterinya?! Yang benar saja!
"Tolong kamu jelasin semuanya! Ini rumah siapa?! Kenapa ada foto saya?! Kenapa kamu bilang kalau itu kamar kita dan ada baju saya ada disan..."
CUP!
Satu kecupan cepat mendarat dengan manis di bibir Alana.
"Kamu terlalu cerewet malam ini." Bisik Dion tepat di bibir Alana sebelum ia kembali mencium gadis itu.
Sebal dan malu dengan cara Dion memotong kalimatnya ditambah keinginan besar Alana untuk membalas ciumannya, gadis itu mendorong tubuh Dion yang sedang asyik bermain dengan mulutnya ini.
"Jelasin atau saya pulang." Ucap Alana tegas sambil menunjuk wajah Dion.
Tapi Dion malah tergelak.
"Sayaaaaang..." Kata lelaki itu merayu sambil berusaha merangkul bahu Alana.
Alana menggeleng dan menggeser duduknya ke belakang, berusaha menjauh. Gemas dengan sikap Alana, dirangkulnya dengan paksa tubuh gadis itu kemudian ia angkat pantat Alana sehingga sekarang ia duduk dipangkuan Dion.
"Saya yakin kamu belum lupa apa kalimat terakhir saya waktu kita masih di The Sheares's Quarters." Dion mulai berbicara sambil mencuri satu ciuman cepat dihidung Alana.
"Bagaimana saya bisa lupa! Justru hal itu yang ingin saya tanyakan dari tadi, Dion!" Kata Alana marah memukul dada Dion.
Dion yang mendengar itu malah tersenyum dan mengusap rambut Alana sayang. Tapi kemudian wajahnya berubah serius lalu ia tatap Alana lekat-lekat.
"Ini. Rumah. Kita. Alana." Ucap Dion menekankan setiap katanya.
Yang ditatap malah diam membisu tak percaya. Kesal dengan tatapan Alana, Dion mengencangkan pelukannya dan menggigit kecil bibir bawah gadis itu.
"Jangan bilang kamu nggak paham definisi dari kata 'kita' itu apa?"
Mendengar itu, Alana malah memutar bola matanya jengah. Tentu saja ia paham. Tapi ini semua masih diluar nalar baginya.
Tak tahan melihat sikap Alana, Dion menggigit kecil hidung gadis itu yang semakin membuat Alana misuh-misuh ditempatnya.
"Ki-ta. Itu artinya saya dan kamu." Jelas Dion menyentuh hidungnya lalu beralih ke hidung Alana yang baru saja di gigitnya saat mengucapkan kata 'saya' dan 'kamu'.
"Nah, kalau ditambahkan kata 'rumah' sebelum kata 'kita', hasilnya menjadi..." Ucap Dion berlagak seperti guru Matematika yang sedang membacakan soal di papan tulis.
Mau tak mau Alana tertawa. Hilang sudah amarahnya melihat tingkah Dion. Bagaimana tidak, saat mengucapkan kata 'rumah' saja, Dion merentangkan tangannya lebar-lebar sambil menatap sekeliling ruangan dengan cara yang dibuat-buat. Dan saat mengucapkan kata 'kita', lelaki itu menatap dirinya sendiri dan Alana secara bergantian sambil menaik turunkan alisnya.
Ternyata, dua tahun tak bertemu, Dion bisa juga bertingkah konyol seperti itu. Mungkin, ini efek samping yang timbul akibat terlalu sering bergaul dengan Samuel, Bimo dan Gilang...
"Hasilnya menjadi..." Dion berkata sekali lagi masih dengan gayanya yang seperti guru Matematika itu.
Alana yang sebal akhirnya memukul lengan Dion sambil tertawa.
"Rumah kita!" Teriak Alana di telinga Dion kemudian menggigitnya saking kesalnya.
"Seratus!" Balas Dion konyol memberikan dua jempolnya tepat di wajah Alana.
"Jadi, Chef Alana Hayln paham kan arti dari kata 'rumah kita' itu apa?" Dion masih saja bertanya dengan jahilnya.
Alana kembali diam ditempatnya. Karena sekali lagi, ini semua masih di luar nalarnya. Dion yang tahu tatapan itu tersenyum memaklumi.
"Alana..." Ujar Dion sambil mengusap rambut gadis itu. "I swear to God, this is our house. You and me. Us." Tambahnya diakhiri dengan mencium bibir Alana dalam.
"For... real?" Tanya Alana takut-takut tapi matanya berkaca-kaca karena Dion mulai berbicara serius.
Dion berdecak kesal karena kalimat seperti itulah yang keluar dari mulut Alana. Bukan teriakan kencang atau sebuah ciuman panjang sebagai ucapan terima kasih walau lelaki itu sebenarnya tahu Alana ingin menangis saking bahagianya.
"Ya Tuhan, masih nggak percaya juga ya kamu. Saya serius, Alana. Ini rumah kita. Rumah saya dan kamu. Tempat tinggal kita dan anak-anak kita nantinya." Jawab Dion sambil mencium kening gadisnya itu.
Alana hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua tangan karena masih tak percaya dengan semua ini. Tapi perlahan, rasa bahagia mulai memenuhi hatinya.
"Kamu belum lupa kan dengan ucapan saya di gudang dua tahun lalu?" Tanya Dion yang tiba-tiba memicingkan matanya ke arah Alana.
Alana yang tadinya sudah siap menangis saking bahagianya, langsung mengerutkan dahi.
Ucapan? Ucapan yang mana?
Seratus persen yakin bahwa Alana lupa dengan apa yang Dion ucapkan dua tahun lalu di gudang, dijitaknya kepala gadis itu kemudian diangkatnya kedua tangan Alana lalu Dion cium satu persatu.
"Dengar ini baik-baik Alana Hayln. Sejak awal kita berhubungan, saya sudah peringatkan kamu bahwa saya nggak mau main-main dalam hubungan ini. Karena kamu tahu dengan pasti kita bukan lagi berada dalam fase cinta yang main-main. Jadi, rumah ini adalah salah satu bentuk perwujudan untuk tercapainya hal tersebut." Ucap Dion sungguh-sungguh menatap langsung manik mata Alana.
Alana meremas baju Dion sebagai jawaban. Satu butir air mata lolos dari pipinya. Hatinya menghangat mendengar penuturan Dion. Tapi ada satu hal yang membuatnya bingung.
Tercapainya apa? Hal apa? Aku nggak ngerti...
Seakan tahu ekspresi bingung Alana, Dion menggigit pipi kanan gadis itu sebagai hukuman.
"Ya Tuhan... kamu masih belum paham juga?!" Kesal Dion tapi tangannya dengan sayang mengusap air mata Alana.
Alana mengangguk.
Hhmm, sepertinya jetlag membuat otak Alana sedikit terbelah karena selalu tak mengerti apa yang Dion katakan.
"Menikah, Sayang. Menikah..." Ucap Dion lembut sambil tersenyum dan mengusap rambut Alana.
Sontak Alana kembali menutup mulutnya tak percaya.
"Me...nikah? Maksudnya... kita... menikah? Saya dan kamu, gitu?" Ucap Alana terbata-terbata saking shocknya mendengar penuturan Dion.
Sekarang malah Dion yang kaget mendengar pertanyaan Alana.
"Ya iyalah! Kita menikah! Kamu dan saya!" Tunjuk Dion ke arah Alana dan dirinya secara bergantian dengan galak.
"Kamu pikir kamu mau nikah sama siapa, Alanaaaaa?! Sama orang lain?! Jangan mimpi!"
Spontan Alana tertawa dan memukul dada Dion karena lelaki itu begitu galak saat mengucapkan kalimat yang seharusnya diucapkan secara romantis itu. Tapi matanya tak bisa berbohong. Butir-butir air mata mengalir deras menuruni pipi Alana.
"Kamu itu sudah jadi milik saya, Alana. Jadi menikahnya harus sama saya. Punya anaknya juga dari saya." Ucap Dion mengetatkan pelukannya dipinggang Alana sambil ia ciumi setiap air mata yang turun di pipi gadis itu.
Alana langsung memeluk Dion tak kalah erat, menangis sejadi-jadinya di cekukan leher lelaki itu sambil merapalkan kata cinta berulang kali.
"Satu hal lagi..." Ucap Dion sambil mengusap punggung Alana yang masih menangis dipelukannya ini.
"Saya nggak mau menunda ini lebih lama lagi. Sudah cukup saya menunggu kamu selama dua tahun. Pokoknya saya nggak mau tahu, kita harus segera menikah." Tambah Dion merenggangkan pelukannya lalu menatap Alana penuh ancaman.
"Dan kamu harus mau karena saya tidak terima penolakan." Ucap Dion sama persis seperti dua tahun lalu ketika ia meminta gadis itu untuk membuka hatinya kepadanya.
"Selalu pemaksa!" Ujar Alana terisak bahagia kemudian mencium Dion dengan brutal sampai kepala lelaki itu terkulai ke belakang karena tak siap dengan manuver dadakan Alana.
Ia cium bibir Dion begitu dalam, memegang wajah lelaki itu dengan kedua tangannya agar bisa mendominasi. Tak lupa pula ia lilitkan kakinya disepuratan perut Dion agar tubuhnya benar-benar menempel erat dengan tubuh lelaki itu. Alana bahkan sampai berani menghisap lidah Dion.
Dalam hati Alana tersenyum. Dion dan sifat galaknya yang begitu pemaksa. Tak pernah berubah dari dulu. Ya, itulah Dion. Bukannya bertanya apakah Alana mau menerimanya atau tidak, tapi malah mengancam. Dan anehnya, hal itulah yang membuat Alana makin cinta kepada lelaki yang sedang kewalahan menerima serangan bibirnya ini.
"God, your lips..." Ucap Dion tersengal-sengal saat akhirnya Alana melepaskan bibirnya.
"I love you..." Balas Alana terisak bahagia dan mengusap bibir Dion yang basah akibat ulahnya.
Kemudian Alana kembali memeluk Dion, menaruh kepalanya di dada lelaki itu sambil mengusapnya. Dion tertawa bahagia, balas memeluk Alana tak kalah erat dan diciuminya rambut gadis itu berulang kali. Mereka terus saja seperti itu sampai tiba-tiba Alana mendongak.
"Tapi masih ada beberapa hal yang membuat saya bingung. Jadi, tolong kamu jelasin semuanya!" Kata Alana pura-pura marah.
Dion mengangguk dengan cara yang berlebihan.
"Okay Mrs. Sudjatmiko, I'll tell you everything. So, listen to me carefully." Ucap Dion menekankan kata 'Mrs. Sudjatmiko' yang membuat Alana tersipu malu.
"Selama dua tahun kamu pergi dari saya, saya menabung dan berkerja keras untuk membeli rumah ini. Selain itu, saya harus rebutan dengan 20 orang lainnya yang juga mau membeli rumah ini. So, you should say thanks to me, by the way." Ucap Dion pura-pura kesal.
Dan detik berikutnya satu ciuman yang begitu so mouthfull, deeper and rough diterima bibir Dion sebagai ucapan terima kasih dari Alana. Lelaki itu sampai geleng-geleng kepala menatap Alana tak percaya. Dua tahun tak bertemu, gadisnya itu sudah sangat ahli dalam berciuman.
"Mau dilanjutkan atau tidak?!" Tanya Dion pura-pura kesal karena bibir Alana sudah berpindah menciumi rahangnya dan tak mau melepaskannnya. Padahal dalam hati Dion ketar-ketir juga mendapat perlakuan sebegini nikmat dari Alana.
"Okay, go on." Jawab Alana terkikik malu sambil mengusap rahang Dion yang memerah akibat ia gigit barusan.
"Untuk furniture di rumah ini, saya minta pendapat ayah dan ibu kamu agar bisa disesuaikan dengan style dan warna kesukaan kamu."
"Kamu... apa?!" Alana berteriak saking tak percaya.
"Iya, serius." Jawab Dion kalem tapi sombong seakan berkata bahwa Alana tak salah dengar.
"Saya bahkan pernah jadi nyamuk hidup saat saya meminta orang tua saya dan orang tua kamu untuk menemani saya berbelanja lemari dan sofa. Kamu tahu kenapa? Karena mereka berempat malah double date dan saya jadi nyamuknya." Kata Dion kesal mengingat kejadian itu.
"Orang tua kita double date?!" Tanya Alana makin tak percaya.
"Itu artinya orang tua saya dan orang tua kamu sudah pernah bertemu?!" Tanya Alana lagi masih tak menyangka dengan apa yang Dion ucapkan.
"Iya, sering malah." Jawab Dion datar.
Alana sudah tak bisa berkata apa-apa lagi dipangkuan Dion. Satu fakta baru kembali terkuak. Orang tua mereka sudah saling mengenal! Ternyata dua tahun tak bertemu, Dion benar-benar membawa banyak kejutan bagi Alana.
"Alana... kamu dengerin saya," Ucap lelaki itu seakan tahu bahwa Alana sangat kaget sekarang ini. "walaupun kamu jauh dari saya, tapi tidak mengurangi niat saya sedikit pun untuk mendapatkan hati kamu. Dan salah satu caranya adalah dengan mendapatkan hati kedua orang tua kamu." Tutur Dion lembut sambil mengusap rambut Alana sayang.
Rasanya ada 1000 anak panah cinta yang melesat ke hati Dion dari hati Alana. Cintanya kepada lelaki di depannya ini langsung bertambah berkali-kali lipat mendengar penuturan Dion.
"Jangan kamu pikir, dengan tidak adanya kamu di samping saya, membuat saya tidak bisa melakukan apa-apa. Kamu salah besar. Dua tahun ini saya berusaha mendekatkan diri saya ke keluarga kamu, mengenal kamu lebih dalam dari orang tua kamu. Karena saya tahu dengan pasti, siapa perempuan yang akan menjadi teman hidup saya. Dan itu kamu. Maaf ya Al, saya itu susah kalau sudah suka sama satu orang. Harus dapat sampai akhir bagaimana pun caranya." Ucap Dion sambil memeluk Alana posesif. Dan gadis itu hanya bisa menggigit bibirnya untuk menahan luapan cinta yang semakin besar kepada Dion.
"Bahkan saya sudah membawa orang tua saya ke rumah kamu dan melamar kamu secara resmi. Dan alhamdulillah, ayah dan ibu kamu merestui." Ucap Dion mencium kedua tangan Alana.
Alana langsung mengambil kedua tangannya yang dicium Dion untuk menutup mulutnya. Rasanya ia mau pingsan.
Jadi Dion sudah melamar aku melalui ayah dan ibu?!
Ya Tuhan, Dion...
Aku nggak tahu harus bilang apalagi sama kamu...
"Ya iyalah ayah dan ibu merestui, toh mereka sudah sebegitu sayangnya sama saya. Bahkan, ibu bilang kalau beliau sudah menganggap saya seperti anak sendiri." Ujar Dion bangga.
Alana kembali terbelalak tak percaya.
"Dari situlah orang tua kita mulai sering bertemu. Terutama mama saya dan ibu kamu. Mereka berdualah yang paling repot mengurusi rumah ini selain saya." Ucap Dion mencuri satu ciuman di bibir Alana yang sedang terbuka karena kaget dengan semua yang Dion ceritakan.
Pantas saja rumah ini sesuai dengan impian ku! Itu semua karena Dion sering meminta pendapat ayah dan ibu!
"Ternyata benar kata mama, Sayang. Kalau anaknya tidak ada, ya jangan sungkan dekati orang tuanya. Siapa tahu ada restu di sana. Dan sekarang saya bisa bernapas lega karena kita tinggal menentukan tanggal." Ucap Dion merentangkan tangannya ke sofa pertanda bebannya beratnya sudah tak ada lagi.
Segera saja Alana mencium Dion sebagai bentuk ucapan terima kasih. Pernyataan lelaki itu barusan menandakan bahwa Dion tidak hanya mencintainya dirinya tapi juga keluarganya. Dan itu sangat penting bagi Alana. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh ibunya.
"Alana, kalau kamu ingin mencari pendamping, carilah yang jangan hanya mencintai pasangannya, tapi lihat juga apakah ia mencintai keluarga pasangannya. Karena lelaki yang baik itu harus mencintai kedua-duanya. Dan kalau kamu menemukan lelaki seperti itu, Ibu dengan senang hati merestuinya, Nak."
Sekarang Alana lega dan bahagia. Lelaki yang sedang ia peluk ini memang lelaki terbaik yang Tuhan pilihkan untuknya. Tak henti-hentinya ia ciumi Dion sampai lelaki itu tertawa karena ciuman Alana yang tak beraturan. Alana pun ikut tertawa. Keduanya sekarang bahagia, tak ada lagi beban berat yang menggantung di pundak mereka. Hanya tersisa rasa cinta yang begitu kuat untuk satu sama lain.
Alana dan Dion masih saja saling tertawa dan memeluk sampai akhirnya Alana tersadar akan sesuatu.
"Masih ada yang belum kamu jelasin." Ucap Alana menahan wajah Dion ketika lelaki itu ingin kembali menciumnya.
Dion mengernyit bingung sambil berpikir. Pasalnya ia merasa sudah menjelaskan semuanya.
"Masalah foto dan baju!" Jawab Alana tak sabaran.
Dion hanya ber'O' ria sambil manggut-manggut.
"Foto itu maksud kamu?" Tunjuk Dion kearah foto Alana yang berada di samping tv.
Alana mengangguk.
"Jadi begini, foto-foto kamu yang ada di handphone saya, saya cetak dan saya taruh di rumah ini. Yang kamu lihat sekarang ini hanya salah satunya, Sayang. Masih banyak foto kamu yang lain di rumah ini. Di kamar kita apalagi, saya taruh di dinding, di meja dekat tempat tidur, biar saya selalu ingat kamu."
Alana hanya bisa menggigit bibir karena ucapan Dion barusan semakin membuatnya yakin kalau Dion sangat mencintainya.
"Kamu benar-benar cinta sama saya ya?" Tanya Alana memegang wajah Dion.
Dion memutar bola matanya tapi mengangguk kemudian tertawa. Langsung saja Alana cium seluruh wajah Dion mulai dari mata, hidung, pipi, kening dan bibirnya. Dion yang menerima itu hanya pasrah menikmati sambil mengetatkan pelukannya agar Alana tidak jatuh dari pangkuannya.
"Kalau masalah baju, kenapa kamu bilang baju saya ada disini? Kamu nggak lagi pinjem bajunya Maura kan?" Tanya Alana yang tiba-tiba berubah menjadi seorang investigator sambil memicingkan matanya menunjuk Dion.
Dion yang sedang menimun sisa orange juice kalengan yang tak tumpah itu sampai tersedak karena mendengar perkataan Alana.
"Kamu masih ingat saja masalah baju Maura." Katanya tertawa dan mencium Alana cepat.
Alana pun jadi ikut tertawa mengingat peristiwa dua tahun lalu yang membuatnya masih malu sampai sekarang.
"Bukan, bukan," Jawab Dion menggeleng-gelengkan kepalanya. "kali ini bukan bajunya Maura lagi. Saya yang beli sendiri buat kamu. Banyak malahan. Saya belinya juga nggak sendiri kok. Kadang sama ibu kamu, kadang sama mama saya atau sama Maura."
"Ya Tuhan, Dioooon..." Alana kembali tercengang.
"Kadang, kalau saya sedang cari furniture rumah ini sama ibu kamu, sama mama saya atau sama Maura, kami sering sekalian mampir ke toko pakaian dan membeli baju buat kamu. Memang sih, saya yang meminta. Tapi saya suka saja melakukan hal itu. Melihat pakaian orang yang kita cintai berjejer rapi berdampingan dengan pakaian kita. Rasanya nyaman."
Alana menggigit bibirnya mendengar perkataan Dion. Langsung saja ia peluk tubuh lelaki itu.
"Saya sayang banget sama kamu, saya cinta banget sama kamu..." Lirih Alana karena bingung mau berkata apalagi pada lelaki yang sedang tertawa ini.
"Kalau begitu, nikahi saya, Alana..."
***
"Apa nggak bisa besok saja kalau mau lihat-lihatnya? Saya masih kangen sama kamu Alana... masih mau peluk kamu yang lama..." Kata Dion kesal dari arah tempat tidur.
Setelah semua teka-teki ini terpecahkan, Dion mengajak Alana berkeliling rumah dan berakhir dikamar yang Dion sebut sebagai 'kamar kita'.
Alana menoleh sekilas ke arah Dion kemudian berdecak. "Salah sendiri, kamu yang bikin saya penasaran." Ucapnya sambil meneliti satu persatu barang yang ada dikamar ini.
Luas, bersih dan minimalis. Itulah 3 kata yang tepat untuk menggambarkan kamar ini. Sebuah tempat tidur berkukuran double size berwarna putih, sebuah tv yang ukurannya lebih kecil daripada tv yang ada diluar, ditambah dengan sebuah meja rias wanita yang masih kosong tapi sudah diisi sedikit dengan perlengkapan Dion dibagian sisi kanannya. Selain itu ada satu pintu yang ternyata saat Alana buka adalah kamar mandi lengkap dengan bath up besarnya dan shower. Dan yang terakhir, ada dua meja kecil di sisi kanan dan kiri tempat tidur dimana terdapat foto Alana di atasnya. Selain itu, ada juga foto-foto Alana dan Dion yang ditempel di dinding dan dibuat dalam satu bingkai besar berbentuk hati. Alana tersenyum dalam hati. Dion manis sekali...
Oh, ada satu hal yang Alana lewati! Lemari yang Dion sebut-sebut sedari tadi! Dengan rasa penasaran tingkat tinggi, langsung saja Alana buka lemari itu.
"Maaf ya Al, berantakan. Saya nggak bisa menata baju. Karena kalau dirumah, selalu mama yang menata baju saya." Ucap Dion tengkurap dari tempat tidur ketika melihat Alana membuka lemari.
"Dion, ini semua kamu yang beli?!" Tanya Alana tak menghiraukan perkataan Dion sebelumnya karena sekarang ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata baju yang di belikan Dion untuknya banyak sekali.
"Iya..." Lirih Dion menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil tersenyum malu.
"Saya juga beli underwear buat kamu lho, Al. Tapi tenang saja, yang ini saya belinya sendiri. Soalnya saya suka cari yang sexy." Kata Dion terkekeh.
Mendengar itu, langsung saja Alana menatap Dion tak percaya. Segera ia cari underwear yang dimaksud Dion. Dan benar saja... Alana sampai malu sendiri melihatnya. Lingerie, dalaman transparan sampai yang tak jelas bentuknya. Bergegas menutup lemari dan berlari menghampiri Dion di tempat tidur, Alana memukuli pungggung lelaki itu.
"Dioooooon! Kamu gila ya?!"
Tapi Dion malah tertawa.
"Nggak gila, tapi cinta. Hehehe..." Ucapnya asal.
Alana makin memukulinya karena jawaban Dion yang asal itu.
"Pokoknya kalau kamu sudah sah jadi istri saya, saya mau kamu pakai itu semua. Oh God, I can't wait for that!" Ucap Dion yang tiba-tiba mencium Alana dengan ganas.
Tak sempat menghindar, dengan cepat Dion menggulingkan tubuh Alana sehingga gadis itu berada di bawahnya. Dion kembali mencium Alana, begitu dalam dan intim menggunakan lidah dan mulutnya hingga Alana langsung pasrah dan mengerang nikmat. Tangan Dion pun mulai berani mengelus sepanjang paha Alana. Tak sampai disitu saja, tangan Dion yang lain mulai meremas payudara Alana dari luar baju gadis itu. Punggung Alana terangkat, pertanda bahwa remasan Dion membawanya pada kenikmatan. Tepat pada saat tangan Dion sudah menyusup masuk ke dalam rok gadis itu dan mencapai pangkal pahanya, Dion berguling ke samping.
"Oh, shit! This is not good!" Maki Dion kepada dirinya sendiri. Napasnya sudah terengah-engah, sesuatu yang berada di bawah sana pun sudah mengeras.
Keadaan yang tak berbeda jauh juga terlihat pada Alana. Gadis itu sama terengah-engahnya dengan Dion. Matanya masih terpejam dan dengan bibir yang setengah terbuka.
"Sebaiknya saya mandi." Ucap Dion frustasi dan bangkit dari tempat tidur.
Alana yang melihat itu hanya tertawa sambil mengucapkan kata maaf. Mau tak mau Dion ikut tertawa.
"Kita sepertinya benar-benar harus segera menikah, Al." Ucap Dion geleng-geleng kepala. Alana yang mendengar itu langsung menutup wajahnya dengan bantal. Malu.
Selang beberapa detik, Alana bangkit dari tempat tidur dan berniat untuk mengambil minum di dapur. Tapi pemandangan di depannya malah membuatnya kaget.
"Eh, kamu mau ngapain?!" Tanya Alana ngeri karena Dion mulai menanggalkan pakaiannnya satu persatu.
"Mandi." Ucap Dion datar.
"Terus kenapa buka baju di sini?! Sana di kamar mandi!"
Tapi Dion malah terkekeh.
"Setelah semua yang kita lalui dan kamu masih canggung sama saya? Tidak, Alana. Lagipula, kalau kita sudah menikah nanti, kamu akan melihat pemandangan ini setiap hari. Jadi, biasakan diri kamu dari sekarang." Ucap Dion yang sekarang sedang membuka celananya.
Dan setelah itu, hanya tinggal sebuah dalaman putih bertuliskan Calvin Klein yang masih melekat di tubuh Dion untuk menutupi sesuatu yang menonjol di bagian depan dan sepasang bokong indah yang sepertinya menggiurkan untuk diremas itu.
"Kamu nggak mandi? Baju kamu pasti lengket setelah ketumpahan orange juice tadi." Tanya Dion jahil melihat bekas tumpahan orange juice yang tercetak jelas di baju Alana.
"Atau mau saya mandiin aja?" Tambah Dion makin jahil dan mendekat ke arah Alana.
"Diooooon!!! Jangan deket-deket!!!" Teriak Alana was-was mengambil langkah mundur. Tapi Dion tak bergeming. Semakin Alana mundur, semakin Dion maju.
Alana dalam posisi terdesak. Dion dan hanya segitiga tipis bertuliskan Calvin Klein yang melekat ditubuhnya.
SUNGGUH SUATU KOMBINASI YANG SANGAT BERBAHAYA.
Alana terus saja mundur, sampai ia tak menyadari kalau dirinya sudah tak bisa mengambil langkah mundur lagi karena sekarang Alana merasakan dirinya menabrak dinding.
Melihat gadisnya itu sudah terhimpit antara dinding dan dirinya, Dion segera meraih pinggang Alana, merapatkan tubuh gadis itu ke tubuhnya lalu menciumnya dalam.
"Hhhh, sepertinya saya harus mandi sendiri." Ucap Dion menampakan wajah sedih yang sangat dibuat-buat setelah selesai mencium Alana.
Tapi detik berikutnya terdengar teriakan kencang yang berasal dari mulut Alana.
"Diooooon!" Alana berteriak menutup wajahnya dengan kedua tangan tepat pada saat lelaki itu melepaskan satu-satunya pakaian yang masih melekat ditubuhnya.
Untungnya saat itu posisi Dion sudah membelakangi Alana. Jadi, gadis itu hanya bisa melihat bagian belakang tubuh Dion dari celah-celah jarinya saat ini. Tak dapat dipungkiri, Alana sebenarnya penasaran untuk melihat sepasang bokong indah itu. Dan sekarang, ia menyesali perbuatannya karena Alana merasakan kakinya melemas.
Hhhmm, melihat bagian belakang Dion saja sudah lemas, apalagi bagian depannya?!
Tiba-tiba Dion berbicara.
"Pintunya nggak saya kunci. Just for your information, if you wanna join with me."
Kemudian lelaki itu menghilang ke dalam kamar mandi.
***
Alana mengerjapkan matanya saat terdengar suara pintu di buka.
"Hei, ngantuk ya Sayang?" Kata Dion mengecup rambut Alana. Ternyata suara itu berasal dari pintu kamar mandi. Dion baru selesai mandi rupanya.
Alana yang ternyata ketiduran karena terlalu lama menunggu Dion mandi, menggulingkan tubuhnya kesal, sesaat setelah Dion menciumnya tadi. Rupanya tetesan air dari rambut Dion yang basah mengenai wajah Alana.
"Rambut kamu basah Dion. Di keringin dulu dong..." Ucap Alana setengah kesal setengah mengantuk.
"Hehe. Maaf ya, Al." Katanya mencium pipi gadis itu cepat. Lalu menjauh dari Alana dan berjalan kearah lemari.
Ketika mata Alana terbuka sepenuhnya, pandangan gadis itu seakan tersihir dengan apa yang sedang Dion lakukan saat ini. Lelaki itu membelakanginya, hanya mengenakan handuk putih yang melilit indah dipinggangnya, sedang mengambil baju di lemari. Tanpa gadis itu duga, Dion membuka lilitan handuknya yang menampakan kembali bokong indahnya pada Alana. Lalu tanpa risih Dion mulai memakai dalamannya di depan Alana seakan hal itu sudah biasa dan tak ada siapapun di dalam kamar ini kecuali dirinya.
"Dioooooon! Kenapa pakai celana dalamnya disini!!!" Alana kembali berteriak sambil menutup wajahnya untuk yang kedua kalinya.
Dion hanya menoleh sekilas lalu terkekeh. Kemudian ia melanjutkan mengambil celana pendek dan memakainya. Setelah itu ia berjalan menghampiri Alana ke tempat tidur.
"Kenapa kamu nggak pakai baju!" Malah itu yang keluar dari mulut Alana saat Dion sudah sibuk mendusel-duselkan wajahnya di wajah Alana.
"Kamu belum lupa kan kalau saya itu nggak bisa tidur kalau pakai baju?" Tanya Dion menggigit dagu Alana kemudian menciumnya.
Alana hanya mendengus sebal sambil memukul lengan Dion. Tapi ia biarkan Dion memeluknya dan melilitkan kakinya di kaki Alana.
"Al..." Panggil Dion yang matanya mulai terpejam.
"Hmm..."
"Peraturan dua tahun lalu masih berlaku nggak?" Bisik Dion di telinga Alana sambil mengusap perut rata gadis itu.
"Peraturan yang mana?" Tanya Alana balik tapi darahnya mulai berdesir akibat usapan Dion diperutnya.
"Peraturan... yang boleh cium kamu di mana saja..."
Sontak Alana terbelalak dan memukul dada telanjang lelaki itu.
"Dion!" Kata Alana kesal dan malu. Masih ingat saja Dion tentang hal itu.
Tapi Dion malah tertawa.
"Malam ini boleh ya... sekali saja..." Rengek Dion manja.
"Enggak!" Jawab Alana tegas.
Dion mendesah pasrah kecewa.
Tapi detik selanjutnya, tanpa Alana duga, kepala Dion langsung masuk ke dalam selimut dan melancarkan aksinya. Alana kaget bukan main. Segera saja ia pukuli kepala si nakal yang sekarang sudah menjelajah bebas di dalam selimut.
"CEPAT KELUAR DARI DALAM SELIMUT SEKARANG JUGA, DIOOOOON!!!"
***
Hallo!!!!!!!!!!
Apa kabaaaaaar???!!!
Kalian masih nunggu cerita ini nggak sih????
Sebelumnya aku minta maaf karena kesibukan aku akhir-akhir ini.
Tapi aku harap bab ini bisa mengobati kerinduan kalian sama si Yonooooooo, haha.
Sedih sebentar lagi cerita ini mau selesaiiii, huhuuhuhuhuhuuu
Yaudah gitu aja deh. Aku bingung mau nulis apalagi padahal di otak tuh banyak banget yang mau di sampaikan haha.
Btw, gifnya jalan nggak?
Jangan lupa vote dan komennya yang selalu aku ya.........
Love kamu-kamu,
Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro