BAB 19 - Seribu Rasa Dibalik Cinta
"Dion..."
Alana mendesah lega saat menyebutkan nama lelaki itu walau hatinya masih sangat bingung sekarang ini. Tapi setidaknya, ia tahu bahwa Dion masih mencintainya dan sudah memaafkannya. Bisa sedikit bernapas lega karena mengetahui hal itu, Alana akhirnya bisa melakukan sesuatu yang sangat ingin dilakukannya sedari tadi saat pertama kali melihat Dion. Yaitu mencium dan memeluknya. Dengan perasaan yang masih setengah takut, Alana melingkarkan lengannya di leher Dion lalu memeluknya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan menghirup aroma Dion. Seorang lelaki yang sangat dirindukannya dua tahun belakangan ini. Tanpa sadar mata Alana terpejam. Rasanya begitu luar biasa nyaman. It feels home.
Sambil membalas pelukan gadis itu, Dion berulang kali mencium rambut Alana dan mengusap punggungnya, sayang. Dari pelukannya itu, Dion seakan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja mulai sekarang.
Puas melepas rindu, Alana merenggangkan pelukannya kemudian mulai memperhatikan wajah Dion secara lebih dekat dimana ia baru bisa melakukannya sekarang, karena sedari tadi mereka duduk berjauhan.
Dua tahun tidak bertemu dengannya, Dion terlihat jauh lebih tampan sekarang dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu di bandara dua tahun lalu. Itu terbukti dari rupanya yang semakin matang. Bentuk wajahnya yang semakin rupawan dengan bulu-bulu halus di sekitar rahangnya ditambah tubuhnya yang semakin mempesona dengan otot-otot yang tercetak jelas dibalik kaus abu-abu yang dipakainya. Alana yakin itu semua pasti akibat dari seringnya lelaki itu berolahraga di gym seperti apa yang ia lihat di video yang ditontonnya beberapa bulan lalu.
"Admiring your view?" Tanya Dion tersenyum menggoda penuh rasa bangga karena tatapan Alana yang begitu memuja dirinya.
Alana mendongak lalu mengangguk malu-malu menatap Dion. Diusapnya perlahan pipi Dion dengan punggung tangannya.
"Can I kiss you?" Tanya Alana pelan.
Dion tersenyum lebar mendengar permintaan Alana. Ia masih saja malu-malu seperti dulu. Gemas dengan sikap Alana ini, ditariknya pinggul gadis itu mendekat.
"If I say yes, apa rasanya masih akan sama seperti dulu saat saya mengajari kamu bagaimana caranya mencium saya?" Tanya Dion.
Alana mengangguk tapi senyumannya langsung berubah menjadi sedih saat Dion mengatakan itu. Bayangan dua tahun lalu saat dirinya dibuat kesal oleh Dion ketika mereka berdua tengah berada di dalam mobil lelaki itu dimana Dion hanya akan mau membalas ciuman Alana jika gadis itu melakukannya sesuai dengan apa yang instruksikan Dion, membuat Alana kembali menitikan air mata. Ia rindu saat-saat itu.
Seakan tahu bahwa ucapannya membuat Alana kembali merasa bersalah, Dion mengecup air mata yang turun di pipi gadis itu kemudian berbisik tepat di bibirnya.
"Then do it."
Terisak bahagia seperti orang gila karena jawaban Dion, Alana memejamkan matanya lalu menciumnya secara perlahan. Merasakan bibir Dion, menyecap rasanya. Lama mereka hanya berciuman seperti itu. Saling menempelkan bibir satu sama lain tanpa ada gairah, lumatan, pagutan mau pun gigitan seperti apa yang Dion lakukan sebelumnya. Bahkan sekarang, lelaki itu ikut memejamkan matanya. Hanyut terbawa suasana.
Setelah puas hanya dengan menempelkan bibir saja, Alana mulai membuka mulutnya kemudian mendesak secara halus agar Dion mau membuka mulutnya juga. Menerima ajakan itu dengan senang hati, Dion pun menuruti permintaan Alana. Selanjutnya bibir Dion terbuka dan mereka mulai saling memagut dan melumat. Tapi kali ini ia biarkan Alana yang mendominasi.
"Terima kasih karena kamu sudah mau memaafkan saya." Ujar Alana menempelkan keningnya di kening Dion saat bibirnya sudah benar-benar terlepas dari bibir lelaki itu.
Dion yang mendengar itu malah tertawa. Diciumnya kening Alana kemudian mengelus rambutnya, sayang. "Saya sudah memaafkan kamu, Alana. Jauh, jauh sebelum ini, Al. Saya sudah memaafkan kamu sejak kaki kamu melangkah menjauh meninggalkan saya di bandara dua tahun lalu."
Tapi sepertinya, pernyataan Dion barusan malah membuat Alana terbelalak tak percaya. Dengan takut-takut, ia bertanya kepada Dion. "Ka...kalau kamu su...sudah lama me...maafkan saya, lalu ta...tadi itu apa?" Lirih Alana merujuk pada kejadian saat Dion bersikap dingin padanya.
Bukannya menjawab, Dion malah cengengesan. Selanjutnya ia tarik tangan Alana untuk berjalan bersamanya ke arah kursi. Dion kemudian duduk.
"Sini." Kata Dion menepuk-nepuk pahanya.
Karena takut, Alana begitu pasrah saat Dion menyuruhnya untuk duduk dipangkuannya tanpa perlawanan sama sekali atau pun bertanya lebih lanjut. Langsung saja ia kalungkan lengannya diseputaran leher Dion. Takut kalau lelaki itu tiba-tiba pergi darinya. Melihat hal itu, Dion tersenyum lalu mencium kedua pergelangan tangan Alana yang melingkar indah di lehernya.
"Sebelum saya menceritakan semua ini, saya mau minta maaf dulu sama kamu. Maafin saya ya..." Kata Dion mencium bibir Alana dengan cepat.
Tapi Alana hanya diam. Tak mengangguk, tak menggeleng. Bingung.
"Jadi begini, saat tadi saya lihat kamu masuk ke dalam sini dan berjalan menghampiri saya, rasanya saya nggak percaya kalau itu kamu. Karena baru beberapa detik yang lalu saya membayangkan wajah kamu dan membuat saya hampir menangis karena rindu setengah mati sama kamu..." Ucap Dion menjawil hidung Alana.
Alana menggigit bibirnya. Belum apa-apa ia sudah dibuat ingin menangis kembali mendengar penuturan Dion. Sakit rasanya menjadi penyebab kesedihan seseorang yang justru dicintai setengah mati.
"Apalagi saat kamu mulai bicara dan mendekat ke arah saya. Ya Tuhan, Alana... saya kira kamu itu hanya imajinasi saya saja saking rindunya saya sama kamu! Tapi waktu kamu mulai bicara tentang masalah Franco dan memperkenalkan diri kamu, saya tahu kamu nyata! Ya Tuhan... jangan ditanya rasanya seperti apa!" Ucap Dion antusias yang membuat Alana antara ingin tertawa dan menangis.
"Hampir saja saya mati ditempat, Alana! Dan detik selanjutnya, memeluk dan mencium kamu adalah dua hal pertama yang benar-benar ingin saya lakukan!" Mata Dion sampai melotot saat mengucapkan ini karena terlalu senang.
Alana tersenyum.
Ternyata kamu juga ingin melakukan hal yang sama denganku, Dion...
"Tapi yang membuat saya tiba-tiba jadi kesal sama kamu adalah, kamu yang sok-sokan mau mewawancarai saya dengan alasan menggantikan tugasnya si Franco lah, inilah, itulah, ditambah bahasa kamu yang sok baku itu! Harusnya kamu itu langsung memeluk atau mencium saya tahu nggak! Ya sudah, karena terlanjur kesal akhirnya saya ikuti saja permainan kamu! Kamu jual, saya beli. Kamu akting, ya saya balas akting juga!" Dion kesal setengah mati saat mengucapkan ini.
Alana kembali terbelalak tak percaya. Spontan, gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan saking kagetnya.
"Jadi tadi... kamu... ya Tuhan..." Alana sampai tak bisa merangkai kalimatnya dengan benar. Kesal dengan penuturan Dion, gadis itu mulai memukuli dada Dion dan terus melakukannya sampai berulang kali. Tanpa bisa ditahan lagi, Alana langsung menangis dengan kencang.
"Kamu jahat! Saya kira kamu... saya sudah ketakutan kalau kamu... saya... saya..." Alana menangis tersedu-sedu menutupi wajahnya. Lelaki yang sedang memangkunya ini sungguh gila...
Tapi sepertinya tangisan Alana malah membuat Dion senang. Sambil terkekeh dengan rasa tak bersalah, Dion memeluk Alana yang misuh-misuh dipangkuannya ini.
"Maaf ya, hehehe. Saya jahat ya?" Kata Dion mencium Alana dengan gemas.
"Tapi kamu harus tahu, itu semua nggak sebanding dengan apa yang kamu lakukan kepada saya. Coba kamu bayangkan, selama dua tahun, kamu sama sekali tidak pernah memberi kabar." Lanjut lelaki itu lagi yang sekarang sedang cemberut sambil menggigit lengan Alana.
Dengan kesal dipukulnya punggung vampire jadi-jadian ini berulang kali. "Kamu jahat! Jahat banget! Saya kira kamu beneran! Saya sudah takut setengah mati kalau kamu benar-benar ninggalin saya tadi!" Tangisan Alana berubah menjadi raungan. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Dion.
"Ya salah kamu sendiri... sudah nggak pernah kirim kabar, sekarang pura-pura jadi wartawan segala! Bukannya langsung peluk atau cium saya! Kangen tau nggak!" Lanjut Dion kesal tapi tangannya mengelus-elus punggung Alana seraya menenangkan. Ya Tuhan, lelaki terkadang memang aneh. Lain di mulut, lain di tangan.
"Kamu perhitungan!" Alana sekali lagi memukul Dion.
"Jelas harus perhitungan! Saya saja tegar selama dua tahun ini kamu tinggal tanpa kabar. Kamu yang sekarang cuma di kasih sedikit shock therapy seperti ini saja sudah nangis bombay. Kamu terlalu cinta ya sama saya sampai saya kamu kejar-kejar kayak tadi?" Tanya Dion yang sepertinya sangat puas membuat Alana seperti ini.
Benar-benar kesal, Alana kembali meraung dan menjambak rambut Dion. Lelaki itu meringis kesakitan. "Al, ampun, Al... sakit, Alana... lepas ya, Sayang..." Kata Dion berusaha memegangi tangan Alana.
Walau belum puas menyiksa lelaki super menyebalkan yang sangat dicintainya ini, tapi akhirnya Alana melepaskan jambakannya. "Saya tadi takut banget tahu nggak! Saya kira kamu beneran benci sama saya dan mau ninggalin saya! Kemarahan kamu tadi itu nyata banget!" Tangis Alana yang masih sesenggukan di bahu Dion. Dipeluknya lelaki itu begitu erat. Masih takut kalau Dion akan benar-benar meninggalkannya.
Mendengar itu raut wajah Dion berubah seketika. Ia tertegun.
"Maaf, Al. Yang tadi itu memang terlalu berlebihan. Saya jadi terbawa emosi." Kata Dion serius. Raut wajah Alana langsung berubah menjadi tegang ketika mendengarnya.
"Maksudnya?" Tanya Alana pelan. Entah kenapa ia benar-benar ketakutan sekarang.
"Niat awal saya yang hanya ingin mengerjai kamu, tapi malah saya yang jadi terbawa permainan saya sendiri. Saya jadi teringat masa-masa sulit saya tanpa kamu selama dua tahun ini. Dan akhirnya saya jadi terbawa emosi."
Alana menahan napas. Jantungnya berdegup kencang seketika.
Berarti tadi itu... Dion memang marah kepadaku?
"Jadi... dari bagian mana kamu mulai mengatakan yang sebenarnya?" Tanya Alana takut-takut.
"Bagaimana kalau kamu memasak untuk saya?" Dion tiba-tiba bertanya.
"Dion..." Alana menggeleng sedih seakan berkata kepada lelaki itu untuk tidak mengalihkan pembicaraan dan mengatakan yang sebenarnya.
Dion memejamkan matanya. Harusnya tadi ia tak mengatakan hal tersebut. Itu hanya akan membuka luka lamanya dan membuat Alana semakin sedih.
"Lebih baik nggak usah, Al. Toh kamu sudah kembali dan saya bahagia sekarang." Kata Dion mengusap rambut Alana sambil tersenyum getir.
Bagi Dion, cukup dirinya saja yang merasakan itu semua. Alana tak perlu tahu. Itu hanya akan membuat Alana lebih merasa bersalah kepadanya. Biarlah ia yang menanggung semua rasa sakit ini sendirian. Karena, cukup dengan Alana kembali padanya, rasa sakitnya seakan hilang dengan sempurna. Seperti tak pernah ada.
Tapi Alana menggeleng cepat. Ditangkupnya wajah Dion dengan kedua tangannya lalu ditatapnya mata lelaki itu lekat-lekat.
"Saya nggak mau, Dion. Saya nggak mau. Saya mau tahu semuanya. Saya mau tahu bagaimana sakitnya kamu selama saya tidak ada. Berbagi dengan saya, Dion. Saya ingin merasakan kesakitan kamu karena keegoisan saya..."
Saat Alana mengucapkan kalimatnya tadi, terlihat perubahan emosi yang begitu cepat diwajah Dion. Seketika lelaki itu mendengus marah.
"Kamu akan bisa, Alana... nggak akan! Karena kamu bukan di posisi saya! Lagipula, buat apa membuka luka lama?! Toh kamu sekarang sudah kembali kepada saya." Kata Dion tiba-tiba berdiri yang membuat Alana ikut berdiri dari dipangkuan lelaki itu. Kemarahan dengan cepat menguasai otaknya. Rasa ingin kembali menyalahkan gadis yang berada di depannya ini begitu besar.
Melihat itu semua, Alana mengambil langkah cepat dengan menarik tangan Dion dan memaksanya untuk menatap wajahnya.
"Kalau kamu bilang saya nggak bisa ngerasain apa yang kamu rasakan, sekarang tumpahkan semuanya sama saya, Dion. Selama kamu belum mengutarakan itu semua sama saya, hanya akan ada kemarahan terpendam di hati kamu untuk saya." Ucap Alan menaruh tangannya di dada Dion.
"Dan sewaktu-waktu, itu bisa menjadi bumerang untuk hubungan kita. Apa kamu mau, mencintai tapi sekaligus menyimpan rasa dendam? Kalau kamu tidak mau hal itu terjadi, sekarang ceritakan semuanya sama saya, Dion..." Ucap Alana mengusap-usap dada Dion.
Alana tak mau lelaki yang mencintainya menyimpan dendam juga kepadanya. Bagaimana hubungan mereka kedepannya kalau dua hal itu berjalan seiringan?
Dion terlihat meremas rambutnya.
Kenapa suasana yang sudah tenang seperti tadi berubah menjadi tegang dan penuh emosi seperti sekarang?!
Tapi apa yang di katakan Alana memang benar. Buktinya, mengingat itu semua, masih sangat membuat Dion ingin menyalahkan Alana atas apa yang terjadi pada dirinya selama dua tahun belakangan ini. Emosi yang masih terkumpul dengan sangat jelas dihatinya bahwa Alana lah yang jahat dalam hubungan mereka, membuat Dion sepertinya memang harus menceritakan semuanya.
Ya, benar kata Alana. Mau jadi apa hubungan mereka ini jika cinta dan dendam masih berada dalam satu hati yang sama? Pasti hanya akan ada rasa sakit dan pembalasan. Bukan cinta.
"Cerita Dion. Semuanya. Jangan ada yang kamu sembunyikan." Ucap gadis itu sekali lagi sambil mengecup punggung tangan Dion.
Dion menatap Alana sungguh-sungguh. "Kamu yakin mau tahu?"
Alana menangguk mantap. Disuruhnya Dion untuk kembali duduk ditempatnya dan Alana kembali ke posisi semula. Di pangkuan lelaki itu.
"Bagi rasa sakit kamu sama saya agar saya tahu betapa egoisnya saya, agar saya tahu bagaimana cara memperbaikinya, agar saya tidak mengulanginya lagi dan agar hubungan kita ke depannya ini bisa berjalan sebagaimana layaknya dua orang yang saling mencintai dengan tulus, Dion..." Alana menangis saat mengucapkan ini.
Ia tahu kata-katanya terdengar seperti orang bijak, padahal dirinya lah yang membuat keadaan jadi seperti sekarang ini. Dan sebentar lagi, ia akan mendengarkan sesuatu yang akan membuatnya sakit. Dimana, itu pun akibat ulahnya sendiri dan tentunya dari mulut seseorang yang dicintainya...
"Jadi dari bagian mana kamu mulai mengatakan yang sebenarnya?" Tanya gadis itu sekali lagi, sedih.
Dion menghembuskan napas berat. Ditatapnya wajah Alana sebelum ia mengatakan semuanya. Matanya berusaha sekuat tenaga menahan cairan bening yang siap menetes karena kilasan rasa sakit itu mulai memenuhi otaknya.
"Saat saya bilang kalau saya mulai sering pergi ke gudang sendirian ketika saya merindukan kamu."
Kini, gantian Alana yang mengadahkan kepalanya ke atas sambil memejamkan mata.
Ya Tuhan, betapa jahatnya aku...
"Selama sebulan setelah kepergian kamu, saya seperti pecundang yang tiap malam selalu pergi ke Xillemax hanya untuk minum agar hati saya bisa lebih tenang sedikit. Saya jarang masuk kerja, dapur jadi terbengkalai gara-gara saya selalu emosi dan marah setiap kali saya melihat tempat kamu yang kosong. Saya terus seperti itu sampai akhirnya Romi menyadarkan saya. Kamu tahu apa yang dilakukan Romi?"
Alana menggeleng sedih.
"Dia memukuli saya sampai babak belur dan bilang kalau saya terus seperti ini, saya hanya akan menjadi pengecut yang tak bisa menerima kenyataan."
Satu butir air mata lolos menuruni pipi Alana. Ia peluk Dion seerat mungkin sebagai permintaan maaf.
"Sejak saat itu saya sadar, saya harus berubah karena kamu tak akan kembali lagi ke sini sekalipun saya terus berprilaku seperti pecundang. Perlahan saya berubah. Membenahi diri saya ke arah yang lebih baik. Untungnya ada Romi, Maura, Adrian, Samuel, Bimo dan Gilang yang selalu menyemangati saya." Dion tersenyum getir menatap Alana yang menangis dipangkuannya. Di usapnya air mata gadis itu.
"Kamu tahu Alana? Dalam proses pembenahan diri saya ke arah yang lebih baik, pelan-pelan saya sering bangun tengah malam menanjaatkan doa dan menyebut nama kamu di setiap sholat saya..."
Alana menutup mulutnya menahan isak tangisnya.
"Saya selalu berdoa dan meminta agar kamu kembali lagi kepada saya. Meminta kepada Tuhan agar kamu adalah takdir dan jodoh saya untuk selamanya..." Dan satu titik bening itu jatuh menuruni pipi Dion. Alana mengusapnya sambil menangis.
"Dari situlah saya mulai bisa menerima keadaan dan melanjutkan hidup. Saya kembali di beri Tuhan rasa bahagia dan semangat. Walau tidak sebahagia saat saya bersama kamu dulu, Alana. Saya mulai bisa kuat, saya mulai yakin pasti ada hikmah di balik kepergian kamu ini."
Alana tak bisa berkata apa-apa hanya mengusap rambut Dion sambil menciumnya diantara deru tangisnya yang tak bisa berhenti.
"Karena saya yakin jika kamu takdir dan jodoh saya, sejauh apa pun kamu pergi, sejauh apa pun kamu lari dari saya, kamu pasti akan kembali. Entah itu berapa lama." Ucap Dion yang gantian mengusap air mata Alana.
"Tapi kadang, kalau saya sangat merindukan kamu, diam-diam saya pergi ke gudang dan mengunci diri. Hanya duduk dan melihat-lihat gudang. Kadang, saya melamun. Kadang pula saya tersenyum sendiri seperti orang gila membayangkan kamu ada disana. Tapi terkadang... saya jadi cengeng karena menangis saking rindunya sama kamu..." Sekali lagi Alana mengusap air mata yang jatuh di wajah Dion.
"Rasanya gila karena terlalu merindukan kam..." Tiba-tiba Dion berhenti berbicara. Bibirnya tercekat, lidahnya kelu tak bisa melanjutkan kata-katanya.
Lelaki itu meremas baju Alana sambil menunduk karena bahunya sudah berguncang sekarang. Dion sudah tak kuat lagi untuk menahan tangis. Sakit rasanya mengingat itu semua.
Dalam diam Alana ikut menangis sedih. Keegoisan mampu membuatnya menjadi orang jahat selama dua tahun belakangan ini.
Perlahan ia angkat wajah lelaki itu untuk menatapnya. Diusapnya kembali pipi Dion yang sudah basah lalu ia bawa kepala Dion ke dadanya. Ia peluk lelaki itu. Lalu dengan cepat Dion balas memeluk Alana dan menangis di dada Alana. Bahunya kembali terguncang.
"Saya gila karena merindukan kamu..." Kata Dion berusaha bicara diantara tangisnya. Dion sudah lelah berusaha tegar.
Alana terisak sambil menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia harus lebih kuat dari Dion saat ini. Setelah tangis Dion mereda, Alana menangkup wajah Dion.
"Maaf Dion. Maafin saya... saya janji, saya nggak akan pergi lagi dari kamu. Saya janji..."
Sebelum Dion berkata apa-apa, Alana sudah terlebih dahulu mencium bibir Dion. Berusaha meminta maaf lewat ciumannya itu. Tak lupa ia cium setiap air mata yang menetes di pipi lelaki itu.
"Kenapa kamu tidak pernah memberi saya kabar, Alana? Kenapa kamu tidak pernah membalas satu pun pesan-pesan saya?" Ucap Dion saat Alana sudah selesai menciumnya.
Alana terdiam sebentar sebelum menjawab. Diperhatikannya wajah Dion dengan seksama. "Saya melakukan itu semua karena ingin fokus belajar disana." Ujar Alana pelan. Sangat pelan.
Mendengar jawaban Alana, kesedihan Dion seakan sirna dan digantikan rasa marah yang luar biasa karena alasan tak masuk akal Alana. Rahangnya terlihat mengatup dengan kencang. Tapi sebelum Dion ingin berkata lebih lanjut lagi, Alana langsung menyelaknya sambil mencengkram erat tangan Dion seakan berkata 'biar-saya-jelaskan-semuanya'.
"Jangan berpikir macam-macam dulu, Dion." Ujar Alana menggeleng sedih seakan bisa membaca isi pikiran lelaki itu.
"Memang saya tahu alasan saya itu nggak masuk akal. Tapi saya melakukan itu semua agar saya bisa cepat kembali lagi ke sini..." Alana berusaha menenangkan Dion.
"Kamu pikir apa saya bahagia saat meninggalkan kamu di bandara dua tahun lalu? Selama perjalanan hanya ada kamu dan perasaan bersalah di hati saya. Oleh karena itu, saya bertekad harus belajar dengan sungguh-sungguh disana agar saya bisa lulus dengan cepat dan kembali lagi ke sini. Maaf karena saya tidak pernah memberi kamu kabar atau membalas semua pesan-pesan kamu. Kamu harus tahu Dion, sekali saja saya buka itu semua, hanya ada kata pulang di otak saya yang benar-benar membuat saya ingin meninggalkan kuliah dan kembali ke sini..."
Walau tak sepenuhnya puas dengan jawaban gadis itu, setidaknya Dion tahu Alana juga menahan rindu padanya.
"Lalu kenapa sekarang kamu pulang?!" Tanya Dion yang masih tak bisa menyembunyikan emosi didirinya.
"Karena saya lihat video dari kamu." Jawab Alana tersenyum.
Mendengar jawaban Alana, perlahan kemarahannya berganti menjadi kekagetan.
"Kamu buka video itu?!" Tanya Dion tak percaya. Perlahan rasa bahagia muncul di hatinya mengetahui bahwa Alana menonton video yang diberikannya.
Alana langsung mengangguk dengan cepat. "Iya. Dari semua pesan yang kamu kirimkan ke saya, entah kenapa hanya video itu yang menggelitik hati saya dan membuat saya ingin membukanya. Setelah menonton itu, saya sadar bahwa saya sudah berbuat salah selama ini. Apalagi waktu lihat foto kamu yang membuatkan saya kue ulang tahun. Saya seperti perempuan jahat karena meninggalkan laki-laki sebaik kamu, Dion..." Tutur Alana mengusap wajah Dion kemudian memeluknya.
Dion terlihat mendesah lega dan langsung memeluk Alana dengan erat. Kemarahan, kebencian, dendam dan rasa ingin menyalahkan sirna dari hatinya. Hanya ada kelegaan luar biasa sekarang. Keduanya tersenyum bahagia. Beban-beban berat dipundak keduanya seperti terangkat dengan sempurna. Kini tinggal rasa cinta penuh ketulusan yang ada di hati mereka. Kemudian keduanya kembali berciuman untuk menandakan bahwa semuanya telah selesai sekarang. Keduanya terlihat saling tertawa, saling menatap sambil menyatukan kedua kening mereka.
"Tapi kamu nggak kabur dari kuliah kamu kan gara-gara menonton video dari saya?" Tanya Dion tiba-tiba.
Direnggangkannya pelukan Alana kemudian di tatapnya wajah gadis itu penuh ancaman.
"Kalau iya, saya yang akan kirim kamu balik ke Paris!" Ucap Dion galak.
Mendengar tuduhan Dion, Alana memukul lengannya. "Ya enggaklah! Lagipula saya yakin kamu nggak bakal berani kirim saya balik lagi ke Paris! Kamu pasti nggak mau jauh-jauh dari saya." Jawab Alana kesal.
Dion hanya tertawa mendengar jawaban Alana. Dipeluknya kembali gadis itu.
"Dua tahun ini saya belajar sungguh-sungguh, Dion. Semua jadwal mata kuliah saya padatkan agar saya bisa lulus lebih cepat dan kembali ke sini. Selain itu, saya melakukannya agar saya nggak mikirin kamu terus!" Ujar Alana setengah kesal.
"Dan kamu harus tahu, hanya ada dua nilai B di semua mata kuliah yang saya ambil. Sisanya A. Karena itu saya sudah bisa lulus dalam dua tahun." Ucap Alana bangga saat mengatakan ini.
Dion terlihat terkejut mendengar penuturan Alana. Ia tak menyangka gadisnya ini sungguh pintar. Ia beri Alana ciuman berkali-kali di wajahnya sebagai hadiah.
"Ah, satu hal lagi yang harus kamu tahu. Kamu nggak boleh sebut saya roundsman lagi karena gelar saya sekarang sudah berubah menjadi chef! Saat di Paris saya juga sempat kerja part time sebagai chef di sebuah cafe. Sekarang boleh di adu, masakan siapa yang paling enak. Pasti saya yang menang! Saya sekarang jauh lebih pintar dibandingkan kamu!" Ucap Alana penuh percaya diri.
Dion hanya bisa tertawa bahagia. "Sombongnya gadis saya ini... tapi saya senang, sekarang semua cita-cita kamu sudah tercapai, Alana."
Ujar lelaki itu mencium pipi kanan dan kiri Alana.
Gadis itu terkikik bahagia sambil mengalungkan lengannya di leher Dion. Diciumnya lelaki itu penuh cinta berulang kali.
"Selamat ya atas gelar baru kamu, Chef Alana Hayln..."
***
"Hai sarung tangan kesayangan! Ya ampun, udah lama ya aku nggak ketemu kamu!" Alana terlihat berbicara sendiri sambil memakai sarung tangan berwarna pink kesayangannya yang sudah dua tahun tak pernah dipakainya itu.
Dion tertawa geli melihat Alana. Setelah masalah mereka benar-benar selesai, Dion mengajak Alana berkeliling The Sheares's Quarters. Dua tahun meninggalkan tempat ini, tak begitu banyak yang berubah dari restoran ini. Hanya catnya saja yang berubah dari warna biru cerah menjadi putih gading ditambah beberapa ornamen seperti kursi dan meja yang berubah gaya dan tempat. Sisanya masih sama semua. Dan sekarang gadis itu sedang berada ditempat favoritnya. Dapur.
"Kok tempat saya masih sama kayak yang dulu sih? Emangnya nggak ada yang nempatin? Tanya Alana sambil menyentuh satu persatu peralatan masaknya.
Dion yang sedang meyender dan bersidekap di dinding sambil memperhatikan Alana sedari tadi itu menggeleng. Kemudian ia berjalan mendekat menghampiri Alana.
"Sudah beberapa kali saya dan Romi mencari orang baru tapi nggak pernah ada yang cocok. Jadi kami putuskan biar saja tempat ini kosong dan menunggu pemilik nakalnya kembali." Jawab Dion memeluk Alana dari belakang sambil menggigit telinga gadis itu. Darah Alana berdesir seketika.
Gadis itu hanya mengangguk-angguk walau ia tahu sesuatu yang tidak baik akan segera terjadi karena Dion masih memeluknya dari belakang sampai hembusan napas lelaki itu begitu terasa di telinganya.
Masih dengan Dion yang memeluknya dari belakang, ia bergeser ke samping.
"Aaaaa! Tempatnya Bimo! Ya ampun, Bim... kangen!" Ujar Alana setengah berteriak menyentuh tempat memasak Bimo, memainkan panci-panci dan penggorengan yang tergantung rapi sampai menimbulkan bunyi.
Dion yang mendengar itu hanya berdecak kesal. Alana yang tak mau terpengaruh kembali bergeser ke samping.
"Tempatnya Gilangggg! Jadi kangen Gilang juga! Gilang apa kabar ya sekarang? Udah jadi ayah belum ya dia?" Alana terus saja bicara sendiri sambil memainkan peralatan masak lelaki itu.
Dion makin berdecak sebal sambil mengeratkan pelukannya yang membuat Alana jadi susah berjalan. Tapi seakan tak peduli, gadis itu kembali bergeser ke samping. Ke tempat Samuel sekarang.
"Mueeeeel! Kangen deh! Lo masih galak nggak ya sekarang? Terakhir liat foto lo di video, lo makin ganteng. Muel udah punya pacar belum? Kalau belum, mau gue kenalin nggak sama bule-bule Paris?" Ucap Alana terkikik sendiri membayangkan wajah galak Samuel. Tak dapat dipungkiri ia rindu ketiga sahabatnya itu dan tidak sabar untuk segera bertemu dengan mereka bertiga.
Mendengar Alana yang sedari tadi bicara sendiri sambil mengungkapkan kerinduannya pada Samuel, Bimo dan Gilang, Dion tak tahan lagi. Di gigitnya telinga gadis itu.
"Berani ya kamu bilang kangen ke orang lain selain saya." Ucap lelaki itu mempererat pelukannya.
Alana hanya terkikik geli dan mengusap rahang lelaki itu sambil menengok ke belakang menatap untuk Dion kemudian mencium bibir lelaki yang sedang cemberut itu.
Kemudian ia bergeser ke tempat terakhir yang berada paling depan di dapur ini. Tempat Dion.
"Ini tempat paling menyeramkan dengan pemilik paling galak di dapur ini. Boro-boro dibolehin pegang pisaunya, dicuciin aja nggak boleh! Sekarang masih galak nggak ya? Atau jangan-jangan makin galak lagi!" Kata Alana pura-pura takut.
Kemudian Alana menoleh ke belakang dimana Dion sedang tertawa sambil menunduk di bahunya. Alana langsung membalikkan badannya sehingga berhadapan dengan Dion lalu mencubit perut lelaki itu main-main.
"Heh, masih galak nggak?" Katanya mencubit perut Dion sekali lagi yang membuat lelaki itu menghindar sambil tertawa.
Tapi kemudian Dion mengambil tangan Alana yang nakal itu lalu menggigit telunjuknya.
"Tergantung apa yang kamu lakukan. Tapi kalau lihat kamu sekarang ini, saya jelas harus galak." Ucap Dion berubah cemberut.
Alana mengernyit tak mengerti. "Maksudnya?"
Dion berdecak sambil berkacak pinggang.
"Siapa yang ngajarin kamu pakai baju kayak gini?!" Tunjuk Dion ke baju Alana kemudian bersidekap.
Alana menunduk menatap dirinya. Tak ada yang salah dengan bajunya. Bahkan baju ini berlengan. Ya, tapi memang sangat pas di badannya sih, bahkan terbilang ketat yang membuat lekuk ditubuhnya terlihat begitu jelas.
"Dan kenapa rok kamu sangat pendek?! Saya yakin, sedikit saja kamu menunduk, rok itu tidak akan cukup untuk menutupi pantat kamu, Alana! Ya Tuhan, bisa gila saya!" Alana sontak memegang rok dan pantatnya. Kemudian ia menatap Dion dengan kesal lalu memukul dada lelaki itu.
"Kamu lebay! Rok ini biasa saja! Saya sering kok pakai rok seperti ini dan teman-teman saya biasa saja!"
Dion terbelalak tak percaya. Sontak ia mengurung tubuh Alana dengan kedua tangan di sisi tubuh gadis itu yang membuat Alana terhimpit diantara kitchen stools dan tubuh Dion.
"Apa kamu bilang?! Kamu sering pakai rok sependek ini?! Ya Tuhan, Alana!" Dengan kesal di pukulnya pantat gadis itu yang membuat Alana terkesiap kaget.
"Dion!" Teriak Alana antara kesal dan malu.
"Dulu, kamu bahkan nggak pernah mau pakai baju seperti ini saat jalan sama saya! Tapi sekarang, coba lihat! Argh, rasanya mau menyiram setiap laki-laki yang memperhatikan tubuh kamu dengan minyak panas!" Ucap Dion berapi-api.
"Kamu pakai rok seperti ini bukan untuk main mata dengan bule-bule di Paris kan?" Dion tiba-tiba memicingkan matanya dan semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Alana.
"Je... jelas bu... bukan!" Alana mulai tergagap karena bibir Dion saat ini begitu dekat dengan bibirnya.
"Sekarang bilang sama saya, apa ada lelaki lain yang mencoba mendekati kamu selama di Paris?" Ucap Dion penuh ancaman dengan mata berkilat seakan berkata kepada Alana untuk jangan coba-coba berkata bohong.
"Se...sebenarnya ba...banyak yang mendekati saya da...dan meminta saya jadi pa...car... me...reka..." Jawab Alana takut-takut.
"Oh, shit!" Dion langsung mencium Alana dengan ganas, menggigit bibir bawah gadis itu agar terbuka dan membiarkan lidahnya masuk ke dalam.
Alana yang kesal memukul dada Dion berulang kali walau bibirnya dengan senang hati menerima bibir Dion. Tak bisa dipungkiri, Alana begitu rindu untuk dicium oleh lelaki itu.
"Selalu pemaksa!" Ucap Alana mengusap bibir bawahnya yang basah setelah Dion melepaskan ciumannya. Tapi sepertinya Dion terlihat tak peduli.
"Apa kamu nggak bilang sama mereka kalau kamu ini sudah punya pacar di Indonesia?! Atau kamu memang niat selingkuh dari saya ya?!" Tanya Dion kembali memicingkan mata sambil menunjuk-nunjuk pipi Alana dengan jari telunjuknya yang membuat Alana kesal menjadi tertawa karena Dion terus saja menunjuk-nunjuk pipinya.
"Dion!" Teriak Alana gemas mengambil jari telunjuk lelaki itu kemudian menggigitnya.
"Kamu gila ya?! Menurut kamu, apa saya masih bisa memikirkan lelaki lain disaat otak saya dipenuhi bumbu-bumbu dapur dan fokus untuk belajar agar cepat kembali lagi kesini menemui kamu?!" Alana mendengus sebal.
Mendengar itu, Dion langsung memeluk Alana.
"Awas kalau kamu berani macam-macam dan selingkuh dari saya! Hati kamu cuma boleh buat saya!" Diciumnya Alana sekali lagi kemudian digigitnya telinga gadis itu.
Alana tertawa dan balas mencium Dion. Di usapnya dada lelaki itu sambil menatap Dion menggoda.
"Nggak mungkin lah. Saya kan cintanya cuma sama kamu." Katanya mencium sepanjang rahang Dion sambil merapatkan tubuhnya menjadi semakin rapat ke arah Dion. Tak lupa ia gigit pelan dagu lelaki itu.
Dion kembali memicingkan matanya kepada Alana melihat perlakuan menggoda gadis itu. Padahal tubuhnya sempat bergetar dan membangunkan sesuatu yang primitif di bawah sana.
"Dari mana kamu belajar merayu seperti itu?"
Tak menyangka akan ditanya seperti itu Alana terkikik malu-malu menundukan kepalanya di dada Dion.
"Selama di asrama, teman-teman perempuan saya selalu mengajarkan saya how to seduce a man. Makanya sekarang saja mahir dalam hal itu. Apalagi bahan eksperimen saya sekarang sangat tampan. Saya nggak sabar mau bereksperimen." Kata Alana berbisik di telinga Dion.
Dion menganga tak percaya.
"Ya Tuhan, Alana Hayln! Kamu berubah drastis sekarang!" Dengan gemas diciuminya seluruh wajah Alana mulai dari mata, pipi, hidung, kening dan bibir gadis itu yang membuat Alana tertawa kencang dan berusaha menghindar. Tapi tak dapat dipungkiri, darahnya berdesir saat Alana mengucapkan hal itu.
"Saya pegang janji nakal kamu itu." Ucap Dion sungguh-sungguh.
"Oke." Jawab Alana penuh percaya diri menjawab tantangan dari Dion.
Melihat Alana yang sudah tidak malu-malu lagi, Dion langsung mencium bibir gadis itu dengan brutal. Alana mengerang dan membalas ciuman Dion tak kalah brutal. Saling memagut, menggigit dan menghisap. Alana bahkan harus berpegangan kencang pada tubuh Dion karena kakinya benar-benar lemas mendapat ciuman yang sebegini nikmat dari Dion.
"Shit, this is not good." Kata Dion melepaskan ciumannya karena sesuatu telah mengeras di bawah sana.
Seakan mengerti, Alana mengangguk.
"Bagaimana kalau saya masak saja untuk kamu?" Kata Alana yang napasnya masih tersenggal akibat ulah mulut Dion barusan.
Dion ikutan mengangguk. "Yeah, sounds good. Lebih baik saya mencicipi masakan kamu daripada tubuh kamu."
Mendengar itu Alana kembali melotot sambil memukul lengan Dion. Lelaki itu hanya tertawa dan memeluk Alana dari belakang.
"Lagipula saya mau tahu seberapa enak sih, masakannya chef baru yang sombong ini."
Alana langsung menatap Dion sebal mendengar nada meremehkan lelaki itu.
"Oke, tapi awas ya kalau ketagihan dan minta nambah! Saya nggak mau bikinin lagi! Kamu harus bayar! Mahal tahu nggak, masakan dari tangan seorang chef lulusan Le Cordon Bleu!"
Lalu dengan kesal di dorongnya tubuh Dion yang masih menempel erat dengan tubuhnya ini.
Dengan lancang ia mengambil penggorengan milik Dion dan menaruhnya di atas kompor lelaki itu.
"Karena saya sekarang chef, masaknya juga harus di kompor chef." Ujarnya meleletkan lidahnya pada Dion.
Dion hanya tertawa memperhatikan tingkah Alana. Tepat pada saat gadis itu ingin menyalakan kompor, Dion bejalan mendekat dan mematikannya.
Melihat Alana yang siap protes, Dion langsung membungkamnya dengan satu ciuman cepat.
"Saya kan nggak bilang kalau kamu harus masak di sini."
Alana mengernyit tak mengerti sama sekali apa maksud perkataan Dion.
"Terus saya masak dimana?!" Tanya Alana kesal walau ciuman Dion barusan membuatnya menginginkan lebih.
Tak menjawab tapi malah mengambil penggorengannya dan mengantungkannya kembali di tempat semula, Dion kemudian menarik tangan gadis itu keluar dari dari dapur. Kemudian ia mengecup telinga Alana dan berbisik disana.
"Masak di rumah kita."
***
Apa?! Rumah kita?!
Maksudnya apa?! Yono beli rumah gitu?! Atau apa?!
Hehehehe... penasaran ya?
Sabar ya geng, di bab besok semuanya akan terjawab.
Oiya, aku berharap banget bab ini votenya bisa 1k lagi...
Kemarin itu aku seneng bgt lho!!! Akhirnya ada juga bab di FKWL yang votenya sampai 1k!
Apalagi komen kalian sukses bikin aku cengar cengir sendiri!
Terima kasih buat semua yang sudah baca cerita-ceritaku, komen panjang dengan caps lock yang kadang jebol sampai bikin aku kadang ketawa sendiri kayak orang gila...
Padahal awalnya cuma iseng nulis, tapi ternyata yang baca banyak!
Btw, untuk yang menagih extra part MaurAdrian, sabar ya. Soalnya aku masih nggak dapet feel buat nulis mereka lagi. Dan susah banget bikin moodnya. Udah gitu, aku tipe yang nggak mau setengah-setengah kalo nulis jadi harus dapet dulu feelnya baru bisa nulis. Tapi aku janji kok akan kasih ekstra part. Jadi mohon bersabar ya...
Oke deh segitu aja cuap-cuapnya.
Jangan lupa vote dan comment yang selalu aku tunggu.
Spread the loooooooove,
Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro