BAB 18 - The Revenge
"Bisa kita mulai wawancaranya sekarang?"
Dion ditempatnya membeku bagai orang yang sudah tenggelam di dalam air es selama satu tahun penuh saat mendengar suara itu.
"Maaf, pasti kamu bingung sekali ya sekarang." Katanya lagi sambil tertawa dan menghampiri Dion yang sekarang seperti mayat hidup di depannya.
Melihat orang itu maju, Dion malah takut setengah mati. Tangannya seketika dingin. Jantungnya berdegup kencang.
"Sekali lagi saya minta maaf karena pesawat saya delay dan membuat saya jadi terlambat datang kesini." Ucapnya tulus penuh rasa bersalah.
Dion tetap membeku ditempatnya. Melihat reaksi lelaki itu yang sedari tadi hanya diam membeku, membisu, mematung dan entah apa istilah lainnya, orang itu kembali tertawa.
"Ah, kamu pasti bingung ya melihat saya karena tidak sesuai dengan ekspektasi kamu?" Tanyanya yang melihat ekspresi wajah Dion sekarang ini. Sekali lagi, Dion masih membeku memperhatikan orang itu berbicara.
"Jadi begini, teman saya yang bernama Franco tidak bisa datang. Jadi, saya diutus ke sini untuk menggantikan tugasnya." Jawabnya menjelaskan sambil tersenyum.
"Perkenalkan nama saya Alana Hayln." Ia mengulurkan tangannya ke arah Dion.
Masih diam ditempatnya, Dion tak membalas jabatan tangan gadis yang bernama Alana Hayln itu dan hanya memandanginya lekat-lekat. Mata Dion bahkan sempat terpejam saat gadis itu mengucapkan namanya dan ketika lelaki itu membuka mata terlihat burat-burat kemerahan disekitar bola matanya. Segera saja Dion alihkan pandangannya ke samping sambil mengerjapkan matanya ke atas beberapa kali sebelum gadis itu melihatnya. Ia tak mau terlihat cengeng di depan Alana. Tapi Alana sudah terlebih dahulu melihatnya. Pedih, sakit, bahagia, amarah dan kecewa bergabung menjadi satu pada diri Dion. Alana tahu itu dan rasanya ia ingin menghambur kepelukan lelaki itu, menciumnya, memeluknya lalu mengatakan betapa ia menyesal dan ingin minta maaf padanya. Tapi rasanya ia tak mungkin melakukan itu sekarang karena ekspresi Dion berubah menjadi dingin dan tak suka padanya.
Tiba-tiba Dion mengulurkan tangannya. Bukan untuk menjabat tangan Alana, melainkan ke arah lain. Ke arah kursi. "Silahkan duduk." Katanya dingin dan datar.
Alana kaget. Ia menarik kembali tangannya. Jelas ini bukan reaksi yang gadis itu harapkan. Tapi, seakan paham dengan kekecewaan yang Dion rasakan, Alana tersenyum kecut dan menuruti kata Dion untuk duduk di kursi yang ditunjuk lelaki itu.
"Tolong percepat sesi wawancaranya. Saya tidak punya banyak waktu karena keterlambatan kamu."
Alana langsung berhenti bergerak. Kalimat Dion barusan membuat jantungnya berdegup kencang. Kalau reaksi Dion tadi merupakan reaksi yang tak diharapkannya, kali ini reaksi Dion mampu membuatnya ketakutan. Ketakutan akan Dion yang membenci dirinya.
"Ba...baik..." Alana tergagap sambil menggigit bibirnya.
Perlahan kepercayaan dirinya hilang. Bayangan Dion yang akan menyambutnya dengan senyum dan pelukan, sirna seketika. Harusnya Alana mengantisipasi ini dan berpikir ulang tentang rasa percaya dirinya yang terlalu tinggi kalau lelaki itu akan menerimanya kembali dengan senang hati. Ia seakan lupa kalau sikap dingin Dion barusan adalah akibat ulah dirinya.
Coba pikirkan ini. Siapa yang akan dengan senang hati melihat orang yang telah menjungkir balikan dunia kalian, pergi dan tak memberi kabar sekalipun lalu tiba-tiba datang dengan senyum tidak bersalah?
Ya, aku memang tidak punya hak untuk marah dengan sikap Dion saat ini. Aku yang membuatnya seperti ini...
Sambil merapalkan doa dalam hati dan menepis bayangan Dion yang nanti akan menolaknya dan membuat kepulangannya ini sia-sia, Alana mengeluarkan handphonenya dan memencet tombol voice recorder lalu meletakannya di meja.
"Oke... kita mulai wawancaranya sekarang." Kata Alana menghembuskan napas berat.
"Sejak kapan Anda bekerja disini?" Dion yang mendengar itu tersenyum mengejek sambil mendengus menatap Alana tak percaya.
"Seriously? That question?" Katanya geleng-geleng kepala sambil bersidekap dan menyilangkan sebelah kakinya ke atas.
"Jauh-jauh datang dari Paris hanya untuk bertanya seperti ini? Apa tidak ada pertanyaan lain? Atau pertanyaan yang lebih standar mungkin?" Alana memejamkan mata mendengar nada mengejek Dion yang begitu terang-terangan.
Ada.
Bagaimana kabar kamu, Dion?
Apa kamu baik-baik saja?
Apa kamu merindukan aku?
Apa kamu masih mencintai aku?
"Oh, jangan-jangan sehabis ini kamu akan bertanya apa suka duka saya selama bekerja disini? Atau mungkin juga pengalaman yang paling tak terlupakan saat saya bekerja sebagai chef? Iya?" Tanya Dion sambil tertawa, tertawa mengejek.
Alana mencengkam erat pergelangan kursi yang dudukinya, sedih. Nada mengejeknya itu...
"Tapi tenang, kamu tidak usah tegang. Saya akan tetap jawab pertanyaan itu agar kedatangan kamu kesini tidak sia-sia." Jawab Dion masih dengan nada mengejeknya.
Alana menggigit bibirnya.
Sebegitu bencinya kah kamu padaku sekarang?
Selanjutnya Dion mulai menjawab semua pertanyaan basa-basi itu. Sambil terus menjawab, tak pernah sekalipun matanya lepas menatap Alana. Gadis itu beberapa kali berusaha berpaling karena matanya yang berkaca-kaca akibat tatapan tajam Dion yang menyiratkan kekecewaan dan amarah.
"So, there's any question? Saya sudah jawab semua pertanyaan kamu." Kata Dion datar.
Melihat Dion yang sepertinya sudah tidak betah berlama-lama disini dengan dirinya, akhirnya Alana memutar otak untuk bisa berlama-lama dengan lelaki yang sangat dirindukannya ini.
"Sebenarnya pertanyaan ini sedikit pribadi. Tapi biasanya pertanyaan seperti inilah yang memancing minat pembaca." Kata Alana mencoba merangkai kalimatnya dengan benar.
"Apakah Anda memiliki kekasih?" Tanya Alana pelan.
Jelas sekali gadis itu berbohong kalau pertanyaan ini ada dikertas yang digenggamnya. Ia bahkan tak pernah menyiapkan pertanyaan apapun untuk Dion. Bahkan sebenarnya, kertas yang berada ditangannya kosong. Itu pun spontan ia lakukan karena sikap dingin Dion saat melihatnya tadi. Semua ini hanya rekayasa darinya. Pewawancara bernama Franco dan sesi wawancara ini. SEMUANYA. Hanya rekayasa belaka. Karena tujuan kepulangannya ke Indonesia hanya satu. Seorang Dion Alderic Sudjatmiko.
Tiba-tiba tawa Dion menyadarkan Alana kembali ke dunia nyata.
"Memancing minat pembaca ya? Bukan minat kamu?" Tanya Dion yang sekarang menatap Alana dengan pandangan tak suka.
Ya. Memang. Sangat memancing minatku...
"Apa tadi pertanyaannya? Tentang kekasih ya?" Kata Dion pura-pura lupa dan berpikir.
"Hmmmm, kekasih... ya, tentu saja saya memiliki kekasih." Jawab Dion menatap Alana tajam.
Alana mendongak kaget menatap Dion. Pertanyaan yang mulanya ia ajukan main-main itu ternyata ditanggapi Dion dengan serius. Alana pun berpikir Dion tak mungkin memiliki kekasih selain dirinya. Tapi sekali lagi, Alana harus berpikir ulang tentang rasa percaya dirinya yang terlalu tinggi.
"Dan kamu harus tahu, dia perempuan paling cantik dan perempuan yang paling saya cintai. Saya beruntung memiliki dia."
Jadi Dion sudah memiliki kekasih lain sekarang...
Dan bukan aku lagi...
Ternyata kepulanganku memang sia-sia...
"Dia perempuan yang mengajarkan saya banyak hal. Cinta, kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan rasa sakit." Lanjut lelaki itu lagi.
Hati Alana bagai diremas mendengar nada memuja lelaki itu. Ia tahan air matanya sebisa mungkin.
"Kamu tahu saya pertama kali bertemu dia dimana?" Tanya Dion lagi kepada Alana. Lebih kepada menantang daripada bertanya sepertinya.
Alana menggeleng.
Apakah aku sanggup mendengar ini semua?
"Saya pertama kali bertemu dia disini. Hari itu adalah hari yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya."
Satu air mata lolos dari pipinya mendengar lelaki yang ia cintai mengisahkan kisah cintanya dengan orang lain dan tempat mereka pertama kali bertemu adalah disini. Sama dengan dirinya saat pertama kali bertemu Dion. Malu rasanya terang-terangan menangis didepan seorang lelaki yang dicintai setengah mati tapi sedang menatap penuh benci sambil menceritakan kisah cintanya dengan orang lain.
"Dia sangat lucu, menggemaskan dan galak. Bahkan dengan sombongnya, dia kira saya ini roundsman sama seperti dia." Dion mengucapkan ini sambil geleng-geleng kepala dan tertawa tapi matanya tak berkata demikian. Ia tatap dengan tajam mata Alana saat mengucapkan ini semua.
Alana yang mendengar itu terbelalak tak percaya.
Tunggu...
Apa katanya tadi?
Mengira kalau Dion itu roundsman?
Jadi orang itu adalah... aku?
Diperhatikannya wajah Dion berulang kali untuk mencari kebenaran. Memang, siapapun yang melihat pasti tahu tak ada kebohongan di sana. Tapi mengapa yang terlihat justru rasa kecewa?
"Tapi saya tidak tiba-tiba langsung suka begitu saja. Dulu saya sangat membenci dia. Dia selalu mengacaukan pekerjaan saya. Selalu membuat saya kesal. Tapi ternyata kebencian dan kekesalan saya membuat saya selalu memikirkan dia. Ah, saya jadi ingat pernah mengucapkan ini juga kepada dia." Dion terus bercerita sambil matanya menatap Alana seakan berkata 'masih-ingatkah-kamu-saat-saya-berkata-itu'.
Alana memejamkan mata, menahan sesak saat Dion menceritakan dirinya. Air matanya kembali turun. Dion yang melihat itu hanya diam tapi tangannya mengepal dengan keras saat Alana berulang kali menghapus air matanya secara kasar menggunakan pergelangan tangannya.
"Dan kamu tahu saya mengucapkan itu dimana?" Tanya Dion seakan jawabannya selanjutnya adalah bagian terseru dari sebuah cerita teka-teki.
Tahu...
Sangat tahu...
Alana hanya diam sambil menutup mulutnya agar isakannya tak keluar.
"Di dalam gudang! Dan wajahnya sangat lucu saat saya mengucapkan itu semua!" Seru Dion sambil tertawa.
Cukup Dion...
Tapi keadaan yang berbeda terlihat dari tempat duduk Alana. Gadis itu sudah bercucuran air mata, bahunya berguncang dan napasnya sesak. Lebih baik melihat Dion marah dan membanting dari pada menyiksanya secara halus seperti ini. Menceritakan kesedihannya, kesakitannya tapi dengan wajah penuh bahagia seperti sekarang ini. Dan seakan masih ingin terus menyiksa gadis itu, Dion terus melanjutkan ceritanya.
"Gudang yang ada di restoran ini sangat banyak menyimpan kenangan indah saat saya bersama dengan dia. Gudang adalah tempat dimana untuk pertama kalinya saya menyatakan cinta saya. Gudang adalah tepat kami untuk bertemu disela-sela padatnya orderan memasak. Gudang adalah tempat dimana kami mengisi baterai."
Tiba-tiba Dion berhenti. Lalu tertawa menatap gadis yang sedang menangis di depannya ini.
"Ah, kamu pasti tidak mengerti ya apa itu mengisi baterai? Itu istilah yang saya pakai untuk menyalurkan rindu saya. Saya ingat betul dia pasti akan marah dan kesal kalau saya terlalu lama mencium dan memeluknya."
Saat mengucapkan ini, Dion menatap Alana penuh rindu sekaligus kecewa. Gadis itu hanya berbalik menatap Dion dengan air mata yang terus mengalir.
Kamu masih cinta aku, Dion...
Kamu masih menyimpan aku di dalam hati kamu...
"Tapi kamu tahu? Dua tahun terakhir, gudang berubah menjadi tempat yang begitu sunyi. Saya hanya datang dan masuk sendiri tanpanya. Justru, malah saya yang mendapati diri saya menangis disana. Merindukan gadis saya."
Maaf Dion...
Maaf karena aku buat kamu seperti ini...
"Kamu tahu kenapa?"
Tahu...
Aku tahu...
Tapi tolong hentikan ini...
Kamu akan menyakiti diri kamu sendiri kalau terus bercerita...
Alana memilih diam. Dari matanya yang memerah ia memohon kepada Dion untuk menghentikan ini semua, tapi seperti lelaki itu mengacuhkannya.
"Karena dia meninggalkan saya." Ucap Dion dengan lembut sambil tersenyum tapi bagai sebuah belati yang menancap bagi Alana.
Maafkan aku, Dion...
"Memang alasannya baik, untuk mengejar cita-cita. Tapi menurut kamu apa saya tidak boleh kecewa saat saya tahu itu semua dari orang lain dan hanya berselang satu hari dari hari keberangkatannya?"
Boleh. Kamu boleh kecewa. Sangat kecewa pun tidak apa-apa...
"Memang saya pun salah karena sempat egois untuk melarangnya pergi. Saya akui saya salah dalam hal itu." Saat mengatakan ini Dion seperti meminta maaf pada gadis itu tapi kemudian wajahnya kemabali berubah dingin.
"Tapi menurut kamu, apa yang harus saya lakukan jika selama dua tahun belakangan dia tak pernah sekalipun memberi kabar, tidak pernah membalas semua pesan-pesan saya, lalu tiba-tiba dia datang kembali ke sini dengan bangga dan senyum bahagianya seakan tak pernah terjadi apa-apa?"
Tadinya aku mau memberikan kamu surprise...
Tapi aku tidak tahu kalau kamu sebegini terluka karena kehadiranku...
Melihat Alana yang terus diam sambil menangis, Dion mendengus sinis.
"Kenapa kamu dari tadi menangis? Mewawancarai saya mengingatkan kamu pada sesuatu ya? Atau jangan-jangan kamu pernah punya pengalaman seperti itu?"
Alana menatap Dion sedih.
Jadi ini yang kamu mau?
"Tapi tenang saja, toh saya sudah melupakannya ini. Hidup saya sudah bahagia sekarang." Dion tersenyum menatap Alana yang tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Lelaki itu sebenarnya paham apa maksud gelengan gadis itu. Alana memintanya untuk tidak melupakannya. Tapi Dion seakan tak peduli.
"Lagipula kamu ini aneh, saya yang mengalami ini semua tapi kenapa kamu yang menangis. Kalaupun ada yang harus menangis di sini, orang itu saya. Bukan kamu."
Lalu Dion bangkit dari duduknya.
"Sepertinya sesi wawancara ini sudah selesai. Saya harus pulang sekarang." Dion mulai berjalan meninggalkan Alana ketika tangannya dicekal oleh gadis itu.
"Beri dia satu kesempatan lagi." Ucap Alana diantara deru tangisnya.
Dion hanya mengernyit melihat tangannya yang digenggam dengan erat oleh Alana. Tapi dalam hati, ia sudah tak tahan dengan semua ini.
"Mungkin saja dia ke sini untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya." Kata Alana menatap wajah Dion lekat-lekat.
Tapi Dion malah berdecak menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Segampang itu?"
Alana berusaha menarik napasnya yang tiba-tiba terasa berat karena menangis sedari tadi. Dion yang melihat itu sebenarnya ingin memeluk Alana tapi ia masih ingin memberi gadis kecilnya ini sedikit pelajaran.
"Kalau Tuhan saja begitu pemaaf, mengapa kita sebagai hambaNya tidak bisa?" Tanya Alana kepada Dion.
"Tapi saya bukan Tuhan." Kata Dion cepat. Dan setelah mengatakan itu, cengkraman ditangannya semakin kencang.
"Bagaimana kalau saya tidak bisa?" Tanya Dion lagi langsung menatap manik mata Alana.
Jangan, Dion...
Dengan tangan gemetar ketakutan, Alana mengarahkan tangannya mengelus pipi lekaki itu. Mata Dion langsung terpejam seketika. Sentuhan gadis yang ia rindukan selama ini...
"Bisa. Saya yakin kamu pasti bisa. Karena saya ingat seseorang pernah berkata bahwa cinta terkadang memang egois. Jadi dengan segala keegoisan yang pernah saya perbuat, saya juga akan berbuat egois sekali lagi untuk merebut hatinya entah ia mau atau tidak. Tapi saya akan selalu maju. Kalau dulu ia yang berjuang, kali ini biarkan saya yang berjuang. Dan jangan pernah suruh saya untuk mundur. Itu juga yang dia katakan pada saya." Kali ini satu tangannya yang masih bebas ikut mengelus pipi lelaki itu. Dion kembali memejamkan matanya meresapi sentuhan Alana dikulitnya.
Saat memejamkan mata, Dion bagai melihat kilasan kejadian saat ia yang mengatakan itu kepada Alana dua tahun lalu saat memintanya untuk belajar mencintainya. Ternyata gadis itu masih mengingatnya. Alana masih mencintainya.
Lalu perlahan matanya terbuka. Dengan lancang ia usap air mata Alana dengan kedua tangannya, lalu diusapnya bibir Alana yang basah dan bergetar akibat menangis sedari tadi. Tapi kemudian tangannya menarik tangan Alana yang masih berada di pipinya. Tatapannya kembali dingin.
"What a good reason... tapi mungkin kamu bisa coba katakan itu kepada orang lain. Bukan saya." Lalu Dion kembali berjalan meninggalkan gadis itu.
Terbelalak tak percaya, Alana menggeleng-gelengkan kepalanya ketakutan lalu berlari mengejar Dion dan memeluk lelaki itu dari belakang untuk menahannya pergi.
"Kasih saya satu kesempatan lagi, Dion."
Lalu dengan paksa diputarnya tubuh lelaki itu menghadapnya. Di genggamnya tangan Dion dengan erat.
"Saya tahu kamu masih cinta saya. Saya tahu kamu masih menginginkan saya. Jadi tolong, kasih saya satu kesempatan lagi..." Lirih gadis itu diantara tangisnya.
Alana tak mau kembali sia-sia. Lelaki di hadapannya ini adalah miliknya. Dan harus menjadi miliknya sampai kapanpun. Alana ingin egois kali ini dan seterusnya untuk Dion.
Tiba-tiba Dion tertawa keras sampai terpingkal-pingkal memegangi perutnya. Alana yang melihat itu langsung diam seribu bahasa. Dimana letak lucunya?
Masih memperhatikan Dion dengan air mata yang masih menetes, bahu berguncang sampai sesenggukan, gadis itu mendekati Dion.
"Jangan bercanda, Dion. Saya serius..."
Melihat Alana yang berbicara takut-takut padanya itu, Dion langsung memeluk Alana erat sampai tubuh gadis itu terangkat.
"Gotcha!" Katanya di telinga gadis itu sambil diciumnya.
Tak mengerti apa maksud semua ini, Alana mendorong tubuh Dion.
"Maksud kamu ap..."
"Shhhttt. Don't say anything." Selak Dion sambil menempelkan telunjuknya di bibir gadis itu.
"But first, let's finish this bullshit."
Dan tanpa diduga, Dion menarik kepala Alana mendekat ke arahnya, merapatkan jarak bibir diantara mereka. Segera saja diciumnya bibir Alana dalam. Dengan rakusnya ia cecap bibir gadis itu, merasakan bibir yang sudah dua tahun ini tak pernah lagi ia rasakan. Menggasak masuk ke rongga-rongga dalam mulut gadis itu. Dihisapnya dan digigitnya pula bibir gadis itu menumpahkan segala perasaannya selama dua tahun ini.
Setelahnya dengan perlahan Dion melepaskan ciumannya dan menyatukan kening mereka.
"I miss you..."
***
Bingung? Bingung?
Tenang, tenang...
Semu akan terjawab di part selanjutnya.
So, stay tunned dan tunggu terus kelanjutan cerita ini ya...
Btw, jangan lupa vote dan komennya.
Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro