BAB 17 - Time After Time
*tonton video di atas dulu ya, krn video ini yg Dion kasih untuk Alana.*
2 tahun kemudian...
"3 perciatelli bolognese, 3 tandoori chicken, 2 jalapeno popper grilled cheese, 1 spinach ricotta gnudi." Samuel berteriak kencang menyebut list orderan main course yang begitu penuh.
"2 coconut cake, 1 tim tam pavlova, 1 blacberry slump, 3 cream cheese cinnamon rolls." Samuel makin berteriak geleng-geleng kepala menyebutkan list orderan dessert.
Dion yang sedang mengoseng spinach berhenti sejenak. "Guys, hari ini kita penuh sekali. Harus di bagi dua tim sepertinya. Saya dan Samuel handle main course, kalian berdua handle dessert. How's?" Katanya menatap Bimo dan Gilang.
Keduanya mengangguk mantap dan dan langsung mengganti formasi. Samuel langsung berpindah ke samping Dion, sedangkan Gilang langsung pindah ke samping Bimo. Dan keempatnya mulai mengolah menu-menu tersebut.
"Let's work and do faster guys, we have a lot of consumer today!" Dion berseru semangat sampai spinach yang sedang di osengnya mengeluarkan api.
"YES, CHEF!!!" Kata ketiganya serempak dan melakukan hal yang sama seperti Dion.
Seakan terpana, para pelanggan yang sedang duduk menatap kagum keempat lelaki tampan yang sedang memasak dari dapur yang sengaja di desain transparan itu.
Diantara panasnya hawa dapur serta sibuknya para pelayan yang lalu lalang mengantar dan mengambil makanan, Dion berhenti sejenak dan tersenyum menatap satu tempat kosong yang terletak di paling ujung tepat di samping Bimo berdiri saat ini.
Satu tempat kosong yang sudah dua tahun ini tak ditempati pemiliknya. Satu tempat kosong yang masih terlihat sama seperti ketika dua tahun lalu ia meninggalkannya. Satu tempat kosong paling istimewa bagi keempat lelaki di The Sheares's Quarters. Satu tempat kosong yang tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun walau sudah berulang kali dicoba digantikan oleh yang lain, tapi tetap saja seperti ada yang mengganjal. Akhirnya keempat lelaki itu memutuskan tak akan mencari lagi pengganti untuk posisi itu dan membiarkan pemiliknya sendiri yang datang dan menempatinya kembali. Karena tempat itu hanya miliknya dan akan selamanya menjadi miliknya. Satu tempat kosong yang akan selalu menjadi kesayangan Dion, Samuel, Bimo dan Gilang.
Tempat kosong itu milik seorang Alana Hayln.
***
Paris kembali bersalju. Seorang gadis yang sedang duduk dipinggir cafe terlihat asyik memperhatikan orang-orang yang tengah lalu-lalang didepannya sambil sesekali merapatkan coatnya yang berwarna camel itu ke tubuhnya. Tak jarang pula ia gosokan kedua tangannya yang dingin walaupun sudah tertutup sarung tangan tebal. Ditemani segelas espresso panas, gadis itu kembali tersenyum melihat orang-orang yang lalu-lalang didepannya. Ada yang berjalan terburu-buru, ada juga yang berjalan sambil memainkan handphonenya, tapi tak sedikit pula yang berjalan dengan santai menikmati salju sambil tertawa dengan pasangannya.
Ah, berbicara soal pasangan... mata gadis itu melirik sekilas ke arah handphonenya yang berwallpaper seorang lelaki tengah cemberut dengan krim berceceran di sekitar wajahnya. Gadis itu mendesah kemudian tersenyum kecut. Kemudian matanya beralih menatap langit senja dengan salju yang terus turun itu.
Apa kabarnya dia disana ya?
Apa yang sedang dia lakukan sekarang ya?
Masih ingatkah dia denganku?
Sudah dua tahun sejak aku pergi darinya...
Apa dia merindukan aku?
Mata gadis itu kembali tertuju pada handphonenya. Kali ini tak hanya dilihat, di ambilnya benda itu. Begitu banyak notifikasi, pesan, Line, WhatsApp yang tak pernah satu kalipun gadis itu buka. Dan semuanya dari lelaki itu. Seketika tawa miris keluar dari bibirnya. Ia merasa dirinya benar-benar seperti perempuan jahat yang menyia-nyiakan lelaki sebaik itu.
Mungkin saat ini lelaki itu sudah lelah menunggu dirinya disana. Itu terbukti dari pesan terakhir yang dikirimkannya sekitar setahun lalu. Itu pun tak ia buka juga. Tapi sekitar satu bulan lalu, ada e-mail masuk dari lelaki tersebut yang berisi sebuah link Youtube. Dan gadis itu pun tak membukanya juga. Jahat memang kedengarannya. Sangat jahat. Tapi semua ini ia lakukan agar bisa berkonsentrasi belajar disini. Karena gadis itu paham, sekali saja ia buka semua pesan-pesan itu, hanya ada satu kata dibenaknya. Pulang.
Tapi entah kenapa di senja kali ini tangannya begitu gatal untuk membuka link tersebut. Dengan hati bergetar dan pergolakan batin, akhirnya ia arahkan tangannya untuk membuka link tersebut. Tepat sebelum itu, ia memejamkan mata.
Ya Tuhan, izinkan aku melepas rinduku padanya kali ini saja...
Aku janji tak akan menangis...
Lalu sebuah video mulai berputar. Lagu dari Labrinth berjudul Jelaous menjadi pembuka sebuah video dengan judul For Alana Hayln itu.
***
Seperti janjinya, setelah menonton video itu Alana tak menangis. Tapi dadanya luar biasa sesak. Kilasan bayangan saat bersama Dion, bagaimana awal mula mereka berkenalan, mulai jatuh cinta sampai perpisahan mereka di bandara. Hati Alana serasa ditikam berpuluh-puluh paku membayangkan itu.
Ya Tuhan, Dion...
Maafkan aku...
Maaf aku telah membuat kamu seperti itu...
"Alana! Le chef vous attend sur le campus!"* Tepukan Emilia dibahunya menyadarkan Alana kembali ke dunia nyata.
"Oh mon Dieu! Je suis oublier! Merde! Nous vas tard!"* Kata Alana memasukan handphonenya ke dalam tas dengan tergesa dan menyambar espresso yang masih tersisa setengah itu lalu berlari mengikuti Emilia yang sudah berada di depannya.
Di dalam lari-lari kecilnya menuju kampus, Alana sudah berjanji dalam hatinya. Jika dulu sepucuk surat bisa mengubah hidupnya, sekarang sebuah video pun akan mengubah hidupnya kembali.
***
1 bulan berikutnya...
"Bim, yang dari Le Cordon Bleu mau dateng jam berapa sih?! Restoran sudah mau tutup tapi belum datang juga! Gimana sih!" Dion menggerutu kesal.
Baru pertama kali dalam sejarahnya sebagai chef, pewawancara yang ingin mewawancarai dirinya telat 4 jam. Bayangkan 4 jam!
"Saya kurang tahu, Chef. Gimana kalau kita tunggu aja sampai jam 9? Kalau dia belum datang juga, kita tinggal aja." Kata Bimo takut-takut.
Sebenarnya Dion bisa saja membatalkannya. Tapi kalian tahu kan? Le Cordon Bleu gitu lho! Institut masak terbesar di dunia yang bertempat di Paris! Siapa yang tak mau diwawancarai oleh institut itu! Lagipula ada alasan lain mengapa Dion yang walaupun kesal setengah mati tetap saja mau menunggu sampai saat ini. Le Cordon Blue adalah tempat Alana menimba ilmu masaknya. Yah, walaupun ia sempat berpikir bahwa gadis itu yang akan mewawancarainya, tapi harapan itu langsung kandas saat melihat profil sang pewawancara. Dia seorang laki-laki dan bernama Franco. Tapi setidaknya Dion bisa menanyakan Alana lewat Franco. Mereka kan satu institut. Walaupun institut itu sangat besar dan luas, tapi siapa tahu saja mereka saling kenal. Siapa tahu...
Ah, mengingat nama Alana...
Apa kabarnya gadis itu disana ya?
Dua tahun ini tak pernah sekalipun Alana memberikan kabar pada Dion. Begitu pun di seluruh media sosial gadis itu. Tak pernah ada update terbaru. Dion tak tahu, apa memang Alana tak pernah bermain media sosial selama di Paris atau Alana yang memblokir Dion agar lelaki itu tak pernah mengetahui tentang kehidupan Alana disana.
Dua tahun tanpa Alana cukup berat bagi Dion. Satu bulan pertama setelah kepergian Alana ke Paris, yang dilakukan Dion hanya pulang pergi ke Xillemax untuk minum. Lelaki itu baru sadar saat akhirnya Romi memukulinya seperti orang kesetanan karena tak tahan dengan sikap Dion. Sejak saat itu Dion mulai merubah dirinya. Walau progressnya sangat kecil. Tapi lama-kelamaan Dion sadar, sikap buruknya itu toh tak akan membuat Alana kembali ke sini. Apalagi sejak ia sering bangun di sepertiga malam dan mengadahkan tangannya ke atas, meminta kepadaNya, bagaimana akhir kisahnya dengan Alana. Sampai akhirnya perkataan Maura menyadarkan dirinya.
"Kak, kita sebagai manusia boleh berusaha, tapi tetap Tuhan yang menentukan. Kalau memang Alana jodoh Kakak, sejauh apapun dia berlari, sejauh apapun dia pergi, Alana pasti akan pulang kembali. Kerumahnya. Ke Kakak."
Dari situlah Dion mulai bisa bangkit dan memulai semuanya dari awal. Walau kadang, ditengah padatnya orderan makanan yang masuk, penuhnya dapur The Sheares's Quarters dan sibuknya ia memasak, lelaki itu masih suka teringat akan Alana. Bagaimana gadis itu hilir mudik di dapur, suara tawanya saat Dion mengajari Alana membuat caserolle, melihat Alana cemberut menunggu pasta matang atau bahkan melihat gadis itu lalu lalang mengantar orderan.
Jika kerinduannya semakin menguat, Dion akan pura-pura ke kamar mandi, tapi kakinya melangkah menuju gudang. Duduk di sana dan mengunci diri. Kadang yang ia lakukan hanyalah memandagi gudang yang penuh kenangan. Tapi tak jarang pula ia mendapati dirinya menangis merindukan gadis itu setengah mati. Ya memang, dua tahun ini seorang Dion Alderic Sudjatmiko berubah menjadi lelaki cengeng.
Yang tak lelaki itu sadari adalah ketiga rekannya di dapur yaitu Samuel, Bimo dan Gilang diam-diam mengetahui ini semua. Mereka juga merasa sedih melihat Dion seperti itu. Adrian, Maura dan Romi bahkan pernah berinisiatif mencarikan Dion pacar. Tapi hasilnya? Dion marah, tak mau menegur mereka sampai berhari-hari.
Karena bagi Dion, hanya ada satu wanita di hatinya, di pikirannya, ditangis sepertiga malamnya dan disetiap doa yang ia panjatkan kepada Tuhan.
Alana Hayln namanya.
***
"Kalian pulang saja. Saya nggak apa-apa kok sendirian di sini."
"Serius, Chef?" Kata Samuel terdengar terlalu antusias sehingga mendapat pukulan dari Gilang.
"Buat orang yang sedang khawatir, nada kamu itu terlalu senang, Samuel." Dion hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Nggak bisa akting banget sih, gagal kan mau pura-pura khawatirnya." Kesal Bimo sambil menoyor kepala Samuel.
Dion hanya bisa tertawa.
"Saya tahu kalian capek, pelanggan hari ini memang luar biasa. Saya nggak apa-apa kok sendirian disini. Kalian lebih baik ganti baju dan pulang. Lagipula kalau 30 menit lagi si Franco-Franco itu nggak datang. Saya juga pulang."
"SERIUS, CHEF?!" Suara ketiganya terdengar antusias sekarang.
Dion hanya mengangguk malas. Sudah sangat paham dengan kelakuan Samuel, Bimo dan Gilang yang seperti itu. Tapi tak dapat dipungkiri perilaku ketiga rekannya didapur yang menjengkelkan ini bisa membuat dirinya bahagia. Selama dua tahun belakangan, mereka bertiga lah yang tak henti mendukung dan menyemangati Dion untuk terus maju dan melihat ke depan sampai akhirnya lelaki itu bisa menjalani hidupnya seperti sekarang ini. Bahagia. Walau Alana tak disampingnya. Mereka bertiga mengajarkan Dion tentang banyak hal. Salah satunya adalah terus bersedih dan berada dalam keadaan terpuruk tak membuat Alana kembali padanya. Daripada menyia-nyiakan hidup, kenapa tak lanjutkan saja hidup ini sambil terus berdoa dan meminta kepada Tuhan bagaimana akhir dari ini semua. Itu lebih baik bukan?
Sesuai dengan apa yang Alana amanahkan, sekarang mereka berempat memang menjadi satu geng yang kompak. Kalau ada waktu luang mereka sering jalan bersama atau hanya sekedar berlama-lama menikmati malam setelah The Sheares's Quarters tutup sambil berbincang atau mencoba membuat hidangan baru yang belum pernah ada. Mereka berempat bahkan pernah membuat area outdoor The Sheares's Quarters menjadi tempat nonton bareng pertandingan bola.
Itulah yang kadang tak pernah Dion sadari. Dibalik ini semua Tuhan pasti selalu memberikan hikmah pada umatnya.
Satu orang terkasih pergi menjauh tapi datang tiga sahabat baru yang bisa mencerahkan hatinya.
***
Masih ada waktu 15 menit lagi untuk menunggu lelaki yang bernama Franco itu. Untuk menghilangkan rasa bosan, Dion menyalakan cd player. Sebuah lagu lama dari Eva Cassindy berjudul Time After Time mengalun dengan lembut. Angin malam yang masuk melalui pintu outdoor yang terbuka ditambah lagu dengan bait mellow itu membuat Dion tiba-tiba dilanda rindu yang kuat akan Alana.
If you're lost you can look
And you will find me
Time after time
If you fall I will catch you
I'll be waiting
Time after time
Matanya sontak berpaling menuju dapur. Dulu, ia sering menghabiskan malamnya di dapur ini bersama Alana. Mengajari gadis itu masak, membuatkan makanan untuknya atau bersendau gurau. Atau pun ketika berciuman dengan gadis itu disana. Dion merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Tapi sebuah suara langkah kaki mengejutkannya. Buru-buru Dion mengadahkan kepalanya ke atas agar air matanya tak turun.
Shit! Lagi mellow begini ada yang datang! Pasti si Franco!
Dion buru-buru bangkit dan merapihkan dirinya sejenak kemudian berbalik.
"Désolé je suis en retard."* Sapa orang di depannya.
Dion ditempatnya hanya diam terpaku tak bisa berkata apa-apa karena dadanya saat ini terlalu sesak untuk mengatakan sepatah kata saja ditambah dengan denyut jantungnya yang sekarang berdetak sangat kencang seperti mau loncat dari tempatnya akibat ulah orang yang mungkin bernama Franco ini.
"Bisa kita mulai wawancaranya sekarang?"
***
Haiiii, masih menunggu cerita ini nggak sih?
*Alana! Le chef vous attend sur le campus! (Alana! Chef menunggu kamu di kampus!)
*Oh mon Dieu! Je suis oublier! Merde! Nous vas tard! (Ya ampun! Aku lupa! Shit! Aku akan segera ke sana!)
*Désolé je suis en retard. (Maaf aku terlambat.)
Maaf kalau bahasa Prancisnya ada yang salah.
Jangan lupa vote dan commentnya aku tunggu selaluuuuuu...
Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro