Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 15 - A Bittersweet Farewell

*sambil dinyalain ya lagunya. Biar makin kerasa feelnya*


"Guys, karaoke yuk."

Samuel, Bimo dan Gilang yang sedang sibuk mencatat stok sayur dan buah di gudang langsung menghentikan aktivitasnya.

"Gue yang traktir kali ini. Kita kan udah lama nggak jalan bareng satu geng komplit." Kata Alana lagi.

Mendengar Alana berbicara seperti itu ketiganya saling menatap satu sama lain dengan tatapan bingung lalu kembali menatap Alana.

"Gue nggak salah denger kan ya?" Kata Samuel memegang telinganya.

"Obat lo abis, Al?" Kali ini Bimo bersuara.

Beda lagi dengan Gilang yang langsung berdiri dan menekan kepala Alana dengan kedua tangannya.

"Siapapun yang ada di dalam sini, saya minta pergi! Tempat kamu bukan disini! Alam kita sudah beda!" Kata Gilang memejamkan mata berlagak seperti paranormal yang sedang mengeluarkan makhkuk halus dari tubuh seseorang.

Tertawa kesal, di pukulnya lengan Gilang dengan kencang. "Enak aja! Lo kira gue kesurupan!"

Lelaki itu langsung mengaduh kesakitan. "Ya lagian lo aneh. Tumben banget. Mana pake bilang lo yang traktir lagi. Langka banget, Al." Katanya lalu kembali duduk.

Akhirnya Alana ikut duduk bersila seperti mereka. "Ayo dong... gue lagi kepengen nyanyi-nyanyi nih." Katanya merajuk bergantian memegang tangan ketiga lelaki di depannya ini.

"Lo ada masalah apa sih sebenernya, Al? Gue mencium bau asem yang tidak beres disini." Kata Samuel sok tahu.

Ditoyornya kepala lelaki itu. "Sembarangan kalo ngomong!"

"Atau jangan-jangan, lo lagi berantem sama Ayang Bos Chef ya?" Bimo menimpali.

Alana memutar bola matanya.

Apa kata Bimo barusan?
Ayang Bos Chef?
Menggelikan!

"Gue nggak mau abis karaokean sama lo semua benefit yang Chef kasih ke gue jadi ilang gara-gara disangka menikam lo dari belakang ya!" Kata Gilang tegas.

Alana melemparnya dengan wortel.

"Matre!"

Gilang hanya tertawa kencang lalu berhigh five dengan Bimo dan Samuel.

"Terus jadi nggak nih? Ayo dong, guys..." Kata Alana merengek sekarang.

"Ehmm... yaudah deh. Tapi di bayarin kan?" Kata Samuel pada akhirnya.

"Iya!!!" Kata Alana kesal.

"Bim, Lang?" Tanya Alana menatap Bimo dan Gilang bergantian menanti jawaban.

"Tapi pesen makanannya juga di bayarin kan?" Tanya Bimo balik.

"Ya Tuhan..." Alana mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Minumnya? Parkirnya? Tarif tambahannya? Kan lo tau Al, kita kalau karaoke nggak cukup satu ja..."

"SEMUA GUE YANG BAYARIN!" Kata Alana menyelak omongan Gilang saking kesalnya.

"Sekarang jadi apa enggak?!" Gadis itu bertanya sekaligus memerintah dengan galak.

"JADI!" Teriak trio matre tersenyum dan serempak.

***

"Sayang-sayang si patokaan, mate.."

"Yeee... jangan lagu daerah lo dong!" Kata Gilang melempari Samuel dengan kacang yang diikuti Alana dan Bimo.

"Tujuh belas Agustus tahun empat lima..."

"NGGAK LAGU KAYAK GITU JUGA KALIIII!" Kata Samuel, Gilang dan Alana gantian melempari Bimo dengan kacang saat memilih lagu kemerdekaan.

"Joget... joget yang heboh..." Kini Gilang mengambil alih mic dan memilih lagu danggut.

"Alay!" Alana melemparinya dengan kacang.

"Kampung, udik!" Samuel ikut melempari Gilang tapi dengan es batu sekarang. Hm, menuju kearah brutal.

"Dasar anak dusun Sukasusah lo! Ngeboncengin cabe mulu sih! Begini deh nyanyiannya." Kata Bimo yang paling banyak melempari Gilang dengan kacang ditambah sedotan dan es batu.

Kesal dikatai Bimo, Gilang mulai menoyor Bimo. Tak mau kalah, Bimo pun membalas. Dan selanjutnya mereka mulai adu jotos. Alana yang kesal akhirnya memisahkan mereka dan mengambil mic yang ada ditangan Gilang.

"Stop, stop! Kampungannya di ilangin dulu! Muel, lo duduk ditengah biar Bimo sama Gilang nggak toyor-toyoran lagi." Suruhnya kepada Samuel.

Lelaki itu mengikuti perintah Alana untuk duduk ditengah. Tapi sebelumnya ia toyor dulu kepala Bimo dan Gilang secara bersamaan karena kesal pada keduanya. Tak terima di toyor, Bimo dan Gilang menoyor balik. Dan sekarang jadilah mereka bertiga yang bertengkar.

Melihat itu, Alana hanya bisa geleng-geleng kepala dan mulai mencari lagu untuk dia nyanyikan.

"Its been a long day without you my friend... and I'll tell you all about it when I see you again..." Alana mulai bernyanyi.

Mendengar gadis itu mulai bersenandung tiga lelaki yang saling adu jotos dibelakangnya langsung berhenti.

"We've come a long way from were we began... oh, I'll tell you all about it when I see you again..."

Entah kenapa ketiga temannya itu merasakan ada yang ingin disampaikan oleh Alana lewat lagu ini. Suara gadis itu mulai serak. Ruangan pun mendadak hening. Dan diam-diam terselip perasaan sedih pada diri Samuel, Bimo dan Gilang saat mendengar gadis itu bernyanyi tapi masih tak tahu kenapa alasannya.

"When I see you again..." Satu air mata lolos dari matanya.

Tapi Alana terus saja bernyanyi mengikuti bait rap yang dinyanyikan Wiz Khalifa yang sekarang terdengar sangat sumbang ditelinga karena menahan tangis.

"Al, lo nangis?" Bimo yang pertama kali maju dan menghampiri Alana.

Gadis itu tak berkata apa-apa tapi terus saja bernyanyi.

"Ya ampun, Al... kenapa jadi nangis sih?" Kata Bimo yang sekarang benar-benar melihat Alana menangis.

Mendengar ucapan Bimo, Samuel dan Gilang ikut maju menghampiri Alana. Panik.

Melihat dirinya yang sekarang dikelilingi tiga lelaki itu, Alana tak kuat lagi. Dijatuhkannya mic itu begitu saja, lalu ia berjongkok menutupi wajahnya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Ketiga lelaki di depannya ini panik, tak tahu harus melakukan apa. Akhirnya mereka ikut berjongkok mengelilingi Alana.

Setelah dirasa kuat, Alana mengusap air matanya dengan kasar dan berdiri. "Nyanyi lagi yuk." Katanya tersenyum getir dengan mata dan hidung yang merah.

Dengan cepat Samuel menahannya hingga Alana terduduk di lantai sekarang. "LO. KENAPA. ALANA." Katanya tegas.

Dengan bibir bergetar dan sambil menahan tangis, Alana menggeleng.

"Cerita sama kita, Al. Lo kenapa..." Kata Bimo khawatir dan mengusap rambut Alana.

Sambil terisak, akhirnya Alana mulai buka suara.

"Kemarin... kemarin gue dapet... dapet surat dari Le Cordon Bleu..."

"Terus?!" Kata Gilang yang paling kaget di antara Samuel dan Bimo.

Alana kembali menangis. "Gue diterima."

Dan jawaban Alana tadi membuat ketiga temannya ini membeku ditempat. Bingung antara sedih atau senang.

"Apa yang harus gue lakuin..." Katanya sedih.

"Kenapa baru sekarang... disaat gue ngerasa udah nggak ngebutuhin itu lagi... disaat gue ngerasa kalau itu bukan cita-cita gue lagi karena gue udah bahagia disini..." Kata Alana makin menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Bantuin gue... gue bingung..." Katanya lemah.

Tapi ketiga lelaki itu tak ada satu pun yang mengeluarkan suara karena sepertinya gadis itu masih ingin mengatakan banyak hal.

"Di satu sisi, gue ngerasa bahagia disini. Gue punya kalian, punya Chef Dion, bahkan kemarin Ibu ngasih restunya ke Chef Dion. Ibu bahagia banget. Ibu sampai ketawa-tawa sama Chef Dion. Belum pernah gue liat Ibu sebahagia itu. Kalian kan juga tahu Ibu bahkan nggak pernah sampai segitunya waktu gue masih sama Athar..." Kata Alana meremas bajunya karena tak kuat menahan sesak yang ada di dada.

Samuel yang pertama kali memeluk Alana. Ia paham benar mengapa Alana sangat berat untuk memutuskan langkah apa yang akan diambilnya nanti. Ia tahu semua sejarah hidup Alana karena sudah lama mengenal gadis itu. Bahkan jauh sebelum Dion datang ke kehidupannya.

Memberi semangat kepada gadis yang sudah dianggap Gilang sebagai adik kecil mereka, lelaki itu menggenggam tangan Alana. Bahkan Bimo yang sedang menepuk-nepuk bahu Alana untuk menenangkan gadis itu, terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya ke atas. Entah apa maksudnya. Menahan tangis, mungkin.

"Gue berusaha nggak peduli, berusaha nggak seneng waktu gue tahu kalau gue diterima. Gue ngerasa, apa lagi sih yang mau gue cari. Semuanya ada disini. Tapi hati nggak bisa bohong. Masih ada rasa bahagia dan gembira waktu tahu kalau gue diterima. Gue nggak bisa nyangkal kalau itu masih jadi cita-cita gue." Tutur Alana mengusap air matanya dengan kasar karena terus turun tak berhenti.

"Jadi keputusan lo apa?" Tanya Gilang walaupun ia tahu apa yang akan dikatakan Alana selanjutnya.

Alana hanya mengangguk dan tersenyum getir.

Gilang mendengus kasar, Samuel tertunduk sedangkan Bimo mengumpat tidak jelas.

"Chef udah tahu masalah ini?" Samuel menanyakan hal yang sedari tadi sangat ingin ia tanyakan.

Alana menggeleng lemah. Ketiganya mendesah memejamkan mata. Ini akan jadi yang terberat untuk gadis itu.

"Gue takut, gue bingung. Nggak tahu harus mulai dari mana untuk kasih tahu Chef." Jawabnya lirih.

"Tapi gue mohon sama kalian, jangan ceritain ini dulu ya ke Chef. Biar Chef tahu sendiri dari gue."

Ketiganya mengangguk paham.

"Kapan lo berangkat?" Tanya Bimo sedih.

"Dua hari lagi."

"Shit! Kenapa cepet banget, Al!" Samuel mengumpat kencang.

"Jadi, ini alasan lo ngajak kita ke sini? Mau ngucapin salam perpisahan?" Kata Bimo tertawa walau gadis itu tahu tak ada nada bahagia sedikitpun disana.

Alana mengangguk tersenyum getir. Kemudian ia bangkit berdiri dan mengambil paper bag berukuran besar yang ada di kursi. Lalu ia kembali duduk di hadapan ketiga lelaki itu.

"Gue punya kenang-kenangan buat kalian."

Mendengar itu, gantian Samuel yang mengerjap-ngerjapkan matanya ke atas.

"Ini jaket buat Muel. Terakhir kita jalan bareng berempat, lo ngoceh mulu mau beli jaket ini tapi nggak punya uang. Makanya sekarang gue beliin. Di pake ya, Muel... awas kalo enggak! Pake uang gajian gue tuh belinya." Kata Alana berusaha bercanda di antara tangisnya.

Samuel langsung memeluknya. Shit! Matanya benar-benar berkaca-kaca sekarang.

"Dasar cewek bego. Lo nggak perlu ngelakuin ini. Ini kan mahal, Al... but, thanks. Gue janji jaket ini bakal gue pake terus." Katanya menjitak kepala gadis itu lalu memeluknya.

Sambil mengusap air matanya, kini Alana kembali mengambil sesuatu dari paper bagnya.

"Yang ini buat Bimo. Gue bingung sebenernya mau ngasih apa sama lo, Bim. Akhirnya gue beli ini aja. Semoga suka ya Bim..." Katanya menyerahkan sebuah dompet berlambangkan huruf L dan V itu.

Bimo memeluk Alana, mengusap air matanya yang kurang ajar karena sudah berani turun tanpa diminta.

"Al, gue nggak butuh ini semua. Cukup lo jadi temen gue, jadi adik buat gue, itu udah cukup banget, Al." Katanya yang tiba-tiba jadi cengeng seperti ini.

Kembali menangis karena melihat Bimo yang menangis, Alana kembali berkata. "Nggak apa-apa, Bim... kapan lagi coba, gue bisa kayak gini sama kalian. Kalian kan udah baik banget sama gue." Lirihnya menghapus air mata.

"Nah, yang terakhir buat Gilang." Kata Alana mengeluarkan benda terakhir dari paper bagnya.

"Lang, ini sepatu buat lo. Gue cariin yang paling bagus, yang paling mahal biar lo bisa pake pas lo nikah. Sengaja gue pilih warna hitam biar netral. Di pake ya, Lang. Jangan lupa kirim fotonya ke gue ya. Salam juga buat Donita ya..."

Gilang langsung memeluk Alana. Ia tahan sebisa mungkin air mata yang mau menetes ini. "Gue nggak akan nikah sebelum lo balik."

Alana tertawa di antara tangisnya dan memukul lengan Gilang. "Jangan ngaco deh!"

Setelah memberikan semua kenang-kenangan itu kepada ketiga temannya  ini, kemudian Alana menunduk ke bawah. Ini yang paling berat.

"Nanti kalo gue udah nggak ada, titip Chef Dion yah. Jagain baik-baik, jangan sampai ada perempuan yang ngedeketin Chef." Katanya bercanda tapi menangis.

"Di ajak ngobrol, di ajak bercanda biar nggak kaku terus mukanya. Siapa lagi yang bakal ngajakin Chef ngobrol sama bercanda kalau bukan kalian. Pokoknya harus jadi geng yang kompak ya..." Alana makin berusaha bercanda tapi ujungnya malah ia semakin ingin menangis.

"Sampe gue balik lagi ke sini, Chef Dion nggak boleh punya pacar selain gue." Mau berusaha tertawa lagi, tapi dicegah Gilang yang langsung memeluknya. Samuel dan Bimo pun ikut memeluk Alana.

"Hati-hati disana ya, Al." Kata Samuel memberi salam perpisahan. Matanya sudah merah sekarang.

"Mata jangan genit, jangan ngeliatin bule-bule. Inget udah ada Chef." Kata Bimo yang sudah ikut menangis. Sialan, hari ini dirinya menjadi cengeng karena Alana.

"Jangan pinter-pinter belajar di sana, nanti lo bisa ngalahin skill masak gue." Kata Gilang tertawa getir. Tak rela gadis yang sudah di anggap adik kecilnya ini akan pergi meninggalkan mereka.

Alana ikut tertawa dan memeluk balik ketiganya.

Samuel, Bimo, Gilang...
Aku pasti bakal kangen banget sama kalian di sana...
Nggak ada yang usil lagi, nggak ada yang jahil lagi...
Nggak ada yang suka minjem uang lagi dan nggak ada yang suka marah-marahin aku lagi...
Hidupku akan sepi tanpa ocehan kalian yang biasanya aku dengar setiap hari...
Baik-baik ya disini...
Aku titip Dion sama kalian ya...

***

Alana sedang memasukan baju-bajunya ke koper ketika handphonenya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Dion.

Chef Dion:
Al, pagi ini kt ambil stok salmon dulu ya...
Pak Arifin lg nggak bisa.
Jdnya kt aja yg jln. Gmn? Mau kan?
Sekalian kt jln berdua. 💏👫

Alana Hayln:
Maaf Dion sy nggak bisa.
Ayah minta ditemenin ke acara peresmian kantor cabang barunya.
Jd sy sekalian izin nggak masuk hari ini ya...
Boleh ya...
Please...💋💋💋

Alana menekan tombol send.

Maaf Dion saya harus bohong sama kamu...

Chef Dion:
Hmm...
Mentang2 sy pcr km, bisa seenaknya ya...
Ini terakhir kalinya izin ya!
Sy nggak terima izin lg, kecuali km lagi sm sy, hehe😘😘😘
Btw, sampaikan salam selamat buat ayah kamu ya.
Ya sudah, hati-hati di jalan ya, Sayang.
I love you❤️

Alana hayln:
Thank you chef ganteng si tukang marah! 💋💋💋
Love you too!❤️😘

Maafkan aku Dion...
Maaf harus bohong lagi sama kamu...

***

"Chef Wayan?!"

Dion setengah berteriak menyentuh pundak lelaki yang hampir paruh baya itu.

"Dion?!" Katanya kaget. Langsung saja dipeluknya lelaki itu.

"Tidak disangka bisa ketemu kamu ditempat seperti ini. Tumben sekali ambil salmon langsung kesini. Memangnya Arifin kemana?" Tanya Chef Wayan, mantan head chef di The Sheares's Quarters sebelum Dion menggantikannya. Sebagai orang yang pernah bekerja disana, lelaki itu tahu betul semua bagian penugasan di restoran itu.

"Pak Arifinnya lagi nggak bisa Chef. Ada keperluan keluarga katanya. Chef Wayan kok bisa ada disini juga? Balik ke Indonesia lagi, Chef?"

"Oh, enggak. Saya cuma mau antar junior-junior saya yang ada disini ke bandara. Sebagai tanda rasa bangga saya karena mereka diterima di Le Cordon Bleu. Mereka itu rumahnya jauh-jauh. Jadi saya akomodasikan saja suruh menginap di hotel bandara agar saat berangkat besok, tidak terlambat. Lalu pulangnya saya kesini. Kangen juga saya sama tempat ini. Jadi ingat, dulu sering ambil salmon pagi-pagi buta sama Arifin." Katanya panjang lebar mengenang masa-masa ia bekerja di The Sheares's Quarters sebelum pindah bekerja keluar negri.

"Wah, selamat ya, Chef." Kata Dion mengulurkan tangannya kepada  Chef Wayan. Ia pun turut bangga sebagai salah satu murid didikan Chef Wayan melihat guru besarnya ini bisa mengantarkan anak didiknya ke salah satu institut dan kampus di bidang kuliner terbesar dan paling bergengsi di dunia.

"Ah, kamu bisa aja. Saya juga bangga sama kamu. Walaupun saya sudah nggak pegang The Sheares's Quarters lagi, tapi kamu sebagai penerus saya bisa membawa anak buah kamu di dapur ke Le Cordon Bleu juga. Tidak sia-sia saya menyerahkan The Sheares's Quarters ke tangan kamu." Kata Chef Wayan menepuk anak didiknya ini tak kalah bangga.

Tapi Dion malah mengernyit tak mengerti di tempatnya. "Maksud Chef Wayan apa? Saya nggak ngerti."

Chef Wayan berbalik kaget sekarang.

"Lho, memangnya Alana tidak cerita sama kamu? Ya Tuhan... gadis itu masih saja pelupa dan ceroboh. Tidak ketika saya yang jadi atasannya maupun kamu. Benar-benar anak itu ya." Kata Chef Wayan tertawa. Jadi teingat bagaimana pelupa dan cerobohnya Alana saat dirinya masih menjadi head chef disana.

"Dia itu diterima juga, Dion. Tapi dia menolak untuk menginap. Katanya mau besok saja, langsung di antar orang tuanya. Saya saja di beritahu, masa kamu tidak. Ah, kamu terlalu galak mungkin, makanya Alana takut..." Kata Chef Wayan tertawa karena sebagai guru yang mendidik Dion, ia hafal watak lelaki di depannya ini.

Dion berusaha ikut tertawa padahal rahangnya mengeras dan badannya kaku. Tangannya terkepal tapi hatinya seakan diremas dan ditikam benda tajam. Sakit. Merasa dibohongi. Marah.

"Hahaha, mungkin juga ya, Chef..."

Alana... kenapa kamu melakukan ini kepada saya...

***

Alana baru saja pulang dari supermarket untuk membeli beberapa barang keperluannya, ketika mobil Dion terparkir di depan rumahnya. Jantung Alana berdetak kencang seketika. Dilihatnya lelaki itu turun dari mobil dan tersenyum menghampirinya.

"Hai, Sayang." Katanya mencium kening Alana. Gadis itu tak membalasnya. Masih terlalu kaget.

"Saya nungguin kamu dari tadi. Kangen." Kata Dion masih tersenyum lalu mengecup bibir gadis itu sebentar.

"Gimana peresmian kantor cabang ayah kamu? Sukses?" Katanya mencium kedua pipi Alana.

Alama mengangguk kikuk. Dion mengacak rambut gadis itu.

Bisa-bisanya kamu bohongin saya dengan alasan seperti itu...

"Kamu kenapa sih? Kok tegang banget kayaknya?" Katanya tertawa. Tertawa mengejek.

Alana pura-pura tersenyum lalu menggeleng. Tiba-tiba Dion menarik tangannya.

"Masuk ke mobil dulu yuk. Saya mau kangen-kangenan sama kamu."

Alana hanya menuruti perintah lelaki itu dan masuk ke dalam mobil.

"Kamu belanja apa sih? Kok banyak banget." Katanya melihat tiga plastik putih besar di pangkuan Alana.

Belanja buat perlengkapan kamu di sana kan?! Terus saja bohongi saya...

"Biasa, keperluan perempuan." Katanya mengusap rahang Dion lalu tersenyum.

Masih bisa kamu seperti ini, Alana...

"Oh iya, Al. Tadi waktu ambil salmon, saya ketemu Chef Wayan lho." Kata Dion masih tersenyum sambil memperhatikan wajah Alana baik-baik.

Alana menelan ludah. Perasaannya tak enak.

"Beliau habis mengantar muridnya yang diterima di Le Cordon Bleu, Al. Wah bangga banget ya Sayang pastinya." Kata Dion memainkan rambut Alana.

Mata Alana mulai berkaca-kaca. Badai akan segera datang.

Jangan menangis! Jangan buat hati saya jadi lemah untuk kecewa sama kamu!

"Beliau juga bilang, katanya dari restoran kita ada yang diterima juga. Kamu tahu nggak siapa?" Nada Dion berubah rendah dan penuh amarah.

Alana menghembuskan napas berat. Sesak.

Ya Tuhan, kenapa kamu memberikan cara lain untuk memberi tahu Dion? Kenapa Kamu tak izinkan aku saja yang memberitahunya...

Tangis Alana langsung pecah. Ditundukan kepalanya ke bawah.

"Maaf..." Lirih gadis itu diantara tangisnya.

Mimik wajah lelaki itu berubah drastis sekarang. Tak kuat lagi untuk memasang topeng yang sedari tadi dikenakannya. Ia perlihatkan raut wajah marah dan kecewanya pada gadis itu. Dion mendengus, meremas rambutnya dan memukul kencang kaca disampingnya.

"KENAPA KAMU NGGAK BILANG SAMA SAYA?!"

Alana menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Maafin saya..." Tangisnya makin kencang.

Dion tarik dengan kasar tangan Alana, lalu ditegakkannya dagu gadis itu agar menatap dirinya.

"Jahat kamu, Alana..." Katanya tersenyum menggeleng tapi masih saja menghapus air mata Alana.

Perlakuan Dion ini makin membuat hatinya perih. Mengucapkannya dengan lembut, tapi menusuknya begitu dalam.

Alana langsung memegang tangan Dion. Dicengkramnya dengan erat.

"Dion... saya... saya nggak bermaksud seperti itu..." Katanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak mau dibilang jahat.

"Saya... saya... mau cerita ini ke kamu... tapi... waktunya belum tepat..." Kata Alana diantara tangisnya.

Mata Dion sudah merah. Tapi anehnya, lelaki itu malah tertawa. Tertawa kencang karena frustasi.

"Belum tepat kata kamu?! BELUM TEPAT?!" Teriaknya sekali lagi sambil memukul kaca disampingnya. Alana berusaha menggapai tangan Dion agar tak terus menyakiti dirinya sendiri. Tapi Dion menepisnya.

"Bilang sama saya waktu yang tepat itu seperti apa, Alana!!! Seperti apa??!!" Teriak lelaki itu menunjuk-nunjuk dadanya.

"Hari ini?! Saat kamu bilang dengan manisnya menenami ayah kamu, tapi ternyata..." Kata Dion geleng-geleng kepala tak mengerti. Satu titik bening sudah turun dengan kurang ajarnya tanpa diminta.

Dengan tangan gemetar, dihapusnya titik bening itu dari pipi Dion.

"Oh, atau besok?! Saat kamu sudah mau berangkat?! Iya?! Atau sebenarnya kamu memang nggak berniat memberi tahu saya?! Sengaja mau pergi dari saya?! Tanpa pamit?! Biar saya gila?! Biar saya frustasi?! Biar sa..." Kalimat Dion terhenti saat bibir Alana menciumnya.

Mata gadis itu terpejam dengan air mata yang terus menetes. Tak ada lumatan atau apapun. Hanya dua bibir tertutup rapat yang saling menempel. Dion pun bahkan tak membalas. Napasnya masih berderu kencang. Hanya pipinya yang basah karena air matanya dan air mata gadis itu menyatu menjadi satu dan menyisakan rasa asin yang tertinggal.

Tiba-tiba Dion mendorongnya menjauh. Ditatapnya wajah Alana lekat, lalu perlahan diciumnya kening gadis itu, berpindah ke kedua matanya yang basah akibat menangis, lalu ke hidung gadis itu dan yang terakhir bibirnya. Alana menerima itu semua dengan rasa sakit di hatinya.

"Sebaiknya kamu turun. Saya mau pulang." Kata lelaki itu saat bibirnya terlepas dari bibir Alana.

Alana langsung menggeleng, tangisannya menjadi raungan. Usiran halus itu seakan menyatakan dirinya juga di usir dari hati Dion.

"Kamu harus dengerin saya dulu..."

Dion tertawa mengejek, diusapnya kepala Alana. Ya Tuhan, bahkan disaat seperti ini lelaki itu masih bisa-bisanya berbuat lembut kepada Alana disaat orang lain mungkin sudah sangat marah.

"Apa yang harus saya dengerin, Alana? Toh kamu akan berangkat juga kan. Lagipula saya bukan jenis orang yang akan melarang seseorang mengejar cita-citanya. Kalau itu yang mau kamu tahu." Diusapnya pipi Alana karena air mata gadis itu tak berhenti mengalir.

"Tapi, saya sangat kecewa sama kamu. Kecewa sekali. Bahkan saya harus tahu ini dari orang lain. Bukan dari mulut kamu. Bukan dari mulut gadis saya sendiri. Satu-satunya orang yang selalu saya prioritaskan, Alana..."

Alana menutup kedua wajahnya. Napasnya sesak mendengar itu. Dion pun tak mau memeluknya.

"Mana janji kamu untuk saling terbuka? Ah, mungkin kamu sudah lupa sepertinya ya..." Kata Dion menerawang ke depan.

Terlihat langit mulai gelap. Akan turun hujan sepertinya sore ini.

"Sebaiknya kamu turun, Al. Mau hujan sepertinya." Perintah lelaki itu dengan halus sekali lagi.

Sudah di usir dua kali, gadis itu akhirnya mengangguk. Di sekanya air matanya dengan kasar sembari menarik napas yang entah kenapa sangat susah untuk dilakukan.

Tepat sebelum ia membuka pintu, gadis itu berbalik dan langsung mencium Dion dan lelaki itu tak menolak. Air mata mereka bercampur kembali. Sebuah ciuman perpisahan dari gadis yang sangat disayanginya dan mengecewakannya.

"Besok pesawat saya berangkat jam 11." Kata Alana saat bibir mereka terlepas sambil di usapnya pipi basah lelaki itu.

Alana hanya bermaksud memberi tahu. Tak bermaksud apa-apa, tak berharap lebih. Bahkan berharap lelaki itu mengantarnya saja tidak. Alana tahu Dion marah dan kecewa. Tapi biarlah ia mengatakan itu. Agar Dion tahu, tak ada yang Alana sembunyikan lagi darinya.

Tapi Dion tak bereaksi apa-apa.

Tersenyum getir, Alana turun dari mobilnya.

Kemudian mobil Dion langsung melaju dengan kencang sekencang hujan yang turun membahasi tanah dan tubuh gadis itu.

Without you
I feel broke
Like I'm half of a whole
Without you
I've got no hand to hold
Without you
I feel torn
Like a sail in a storm
Without you
I'm just a sad song

***

Sedih nggak sih?
Aku sedih masa...
Kayak nyesek-nyesek gimana gitu...

Tapi tenang aja, aku juga nggak mau sedih lama-lama.
Nggak mau jauh-jauhan lama-lama
Maunya unyu-unyu terusa ajaa...

Oh ya mau tanya, enaknya cerita sofie di lanjut sekarang apa pas cerita ini selesai ya? Vote biar aku tahu ya banyakan mana oke?

So, segitu aja cuap-cuap aku.

No baper no gigit bibir oke geng?

Jangan lupa vote dan komennya yaaa (teteupppp)!!!

Abi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro