BAB 13 - Dion The Pervert Man
*Awas, jangan ketawa, jangan senyum-senyum sendiri pas liat gif di atas. Awas!*
Alana terbangun saat merasakan sinar matahari mulai menusuk-nusuk matanya. Pelan-pelan matanya terbuka. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar dengan aksen kayu yang dipelistur. Hhmm, ini terasa asing baginya. Seperti bukan dikamarnya sendiri. Lalu matanya melihat sekeliling kamar. Tak ada yang aneh. Gadis itu tidur seperti orang kebanyakan. Memeluk guling. Tapi... kenapa ia juga merasakan dirinya di jadikan bantal guling ya?
Lalu satu dengkuran halus yang menggelitik tepat di curuk lehernya membuat gadis itu tersadar sekarang.
Bagaimana aku bisa ada disini?
Tadi malam kan aku tidur di...
Seperti kaset yang di rewind dengan cepat, satu persatu memori tentang kejadian semalam memenuhi otaknya.
Saat Dion mengajak aku tidur...
Lalu dengan kurang ajarnya dia menuduhku yang tidak-tidak...
Dan aku yang marah seperti orang kesetanan...
Sampai aku lelah dan pasrah saat Dion menggendong aku...
Dan...
Ya Tuhan!
Jadi jangan bilang Dion yang membawaku kesini!
Buru-buru Alana menunduk ke bawah.
Terima kasih ya Tuhan aku masih berpakaian lengkap...
Menengok ke belakang dimana Dion masih tertidur nyenyak sambil memeluknya, perlahan Alana menggeser kakinya yang berada di antara kaki Dion dan mengangkat tangan lelaki itu yang melingkar posesif diperutnya. Setelah berhasil, Alana buru-buru turun dari kasur dan berjalan berjinjit ke arah pintu. Ia tarik kenop pintu dengan hati-hati agar tidak berbunyi. Tapi kemudian gadis itu memaki dalam hati.
Shit! Dikunci!
Tak mau terjebak lagi seperti kejadian di gudang, Alana berusaha mencari kunci di sekitar tempatnya berdiri. Barangkali saja ia menemukan benda sialan yang bernama kunci itu.
"Nggak akan ketemu. Saya udah umpetin di tempat yang nggak bakal kamu tahu." Dion mengulet dari tempat tidur. Lelaki itu sebenarnya sudah bangun dari tadi. Hanya pura-pura tidur saja untuk bisa berlama-lama memeluk gadis itu.
Mendengar suara lelaki itu, Alana mendesah dan menjedotkan kepalanya ke pintu. Dengan kesal ia putar balikan badannya.
"Buka! Saya mau pulang!" Katanya jutek.
"No. No." Kata Dion kembali memejamkan mata memeluk guling yang dipakai Alana.
Sambil terus mengomel, Alana berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di ujungnya. Ia ambil bantal yang tergeletak tak jauh darinya dan ia lemparkan ke wajah lelaki itu.
"Buka nggak!" Katanya makin jutek.
Bukannya marah karena wajah tampannya dilempar bantal, lelaki itu malah menyeringai lebar dan merangkak mendekat ke arah Alana. Ia ambil pergelangan tangan gadis itu dan diciumnya.
"Masih marah sama saya?"
Alana diam.
"Maafin saya dong..." Kata Dion bangkit dari tidurnya dan duduk disamping Alana.
Alana masih diam.
Kenapa sih Dion nggak pakai baju?! Apa dia benar-benar nggak bisa tidur kalau pakai baju?!
"Pokoknya kita nggak akan keluar dari sini sebelum kamu maafin saya." Kata Dion berkata lagi dan memeluk Alana. Tapi sayang sekali, pelukannya di tepis Alana kali ini.
Shit! She's really mad!
"Al, udahan dong marahnya. Saya bener-bener minta maaf..." Ucap Dion sembari mengambil tangan gadis itu dan memainkannya. Untungnya Alana tak menolak kali ini. Tapi gadis itu masih saja diam. Menatap Dion saja tak mau.
"Saya harus ngelakuin apa sih biar kamu maafin saya, Alana..." Dion mencoba memeluk Alana tapi lagi-lagi ditepisnya.
Pasrah, Dion menghempaskan tubuhnya dengan keras ke kasur.
"Oh, God. Womaaaaaan!!!" Teriaknya sambil menghentak-hentakan kepalanya ke kasur dengan mengacungkan kedua tangan ke atas tinggi-tinggi. Tiba-tiba satu pemikiran melintas di otaknya.
Hhmm, sepertinya ini patut dicoba.
Dengan gerakan cepat ia tarik tangan Alana hingga gadis itu tersentak ke belakang dan tertidur di kasur lalu dengan cepat Dion menindihnya.
"Kamu apa-apaan!" Alana yang kaget mencoba melepaskan diri dari kungkungan Dion. Tapi dengan kedua tangan yang dipegangi oleh Dion, gadis itu tak bisa memukulnya.
"Kamu maafin saya atau enggak?!" Tanya Dion sedikit memaksa dan frustasi.
"ENGGAK!" Sembur gadis itu.
Dion tertawa. Sudah pasti Alana makin tidak memaafkannya dengan perbuatan yang Dion lakukan sekarang. Tapi lelaki itu tak habis akal. Didekatkan wajahnya ke wajah Alana. Saat hidung mereka hampir bersentuhan, Alana semakin berontak dan menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Dan saat bibir mereka menempel...
"STOP!!! Oke, saya maafin kamu!!!"
Dion mendesah lega dan langsung berguling ke samping Alana. Ia peluk gadis itu dengan erat.
"Terima kasih, Al..." Katanya mencium puncak kepala gadis itu.
Alana yang kesal hanya bisa memukul dada Dion berulang kali. Bisa-bisanya lelaki itu memaksanya dengan cara seperti ini!
"Sekarang buka pintunya!" Geram Alana yang akhirnya mulai lelah dan pegal setelah terus-terusan memukul Dion tapi sepertinya lelaki itu tak terlihat kesakitan.
Dion mendesah. Lalu di tatapnya Alana.
"Kamu masih marah ternyata. Ayo lah, Al. Mau sampai kapan kamu jutekin saya terus... Saya kan sudah minta maaf. Sudah janji juga nggak akan ngulangin hal itu lagi. Apa nggak bisa kamu kasih saya maaf?" Dion berkata sambil menarik kembali gadis itu ke dalam pelukannya. Ia paksa tangan Alana untuk melingkar diperutnya yang telanjang.
Ditatapnya mata Alana lama. Tangannya bergerak mengelus pipi mulus gadis itu. Alana hanya diam tak bereaksi.
"Forgive me, please..." Kata Dion memohon dengan nada lucu seperti anak kecil. Mau tak mau Alana tertawa melihat tingkah laku Dion.
Seketika diciumnya bibir Alana dalam. Tawa gadis itu sudah menjelaskan semuanya. Alana sudah benar-benar memaafkannya.
"Tapi awas kalau kamu ngomong kayak gitu lagi!" Kata Alana dipelukan Dion.
"Janji. Nggak akan." Katanya mengacungkan dua jari ke atas.
"Dan jangan pernah kamu sebut-sebut nama orang itu lagi. Gimana hati saya mau bahagia kalau orang yang minta saya buat bahagia malah mengingatkan saya dengan masa lalu." Kata Alana cemberut menatap Dion.
"Pasti!" Katanya mencium hidung Alana.
"Makasih ya kamu sudah mau maafin saya." Lalu Dion cium lagi wajah Alana mulai dari kening, mata, hidung, pipi dan bibir gadis itu.
Akhirnya usahanya kali ini untuk naik-naik ke kursi dan menyembunyikan kunci itu di balik jam dinding tak sia-sia.
***
"Dion..." Kata Alana yang sedang rebahan didada telanjang lelaki itu sambil sesekali mengusapnya.
"Hhmm?" Dion menunduk ke bawah untuk melihat Alana sambil mengelus rambut gadisnya itu.
"Kapan kamu bukain pintunya?" Tanya Alana kesal.
Bayangkan saja, dari satu jam yang lalu setelah Alana memaafkannya, lelaki itu tak kunjung membukakan pintu. Dion malah sibuk memeluk Alana sambil memejamkan mata dan mengusap punggung gadis itu. Dan terus saja seperti itu sampai ia hampir tertidur jika tadi Alana tak memanggil namanya.
"Nanti. Sebentar lagi. Nyaman banget Al kayak gini. Saya jadi ngantuk lagi." Kata Dion merapatkan pelukan dan kembali memejamkan mata.
"Nanti itu kapan... sebentar lagi itu kapan... saya lapar..." Kata Alana memukul dada lelaki itu.
Dion sontak membuka matanya.
"Kamu lapar? Ya ampun kenapa nggak bilang dari tadi..." Lelaki itu panik dan bangkit dari tidurnya.
Gimana mau bilang kalau mulut aku kamu sumpal terus sama mulut kamu!
"Aduh, pacar saya lapar ya. Maaf ya..." Katanya berlari menarik kursi ke arah jam dinding yang digantung tak jauh dari tempat tidur.
Masih di tempat tidur, Alana menopangkan sebelah tangannya ke dagu dan menatap aneh ke arah Dion yang sedang sibuk naik ke kursi.
"Kamu ngapain sih?"
Lelaki itu hanya cengengesan.
"Ngambil kunci, hehe."
***
"Kenapa, kamu mau punya saya?" Kata Dion yang sedari memperhatikan wajah lapar Alana pada pancakenya yang masih tersisa setengah.
Alana menggigit garpunya dan mengangguk malu-malu menatap Dion. Lelaki itu tertawa lalu mengacak rambut gadis itu dan menggeser piring Alana yang telah kosong dengan piringnya.
"Beneran buat saya nih? Kamu nggak mau lagi?" Kata Alana menatap lapar setengah pancake yang ditaburi madu dan krim itu yang sekarang ada di depannya.
Dion menggeleng dan menjawil hidung Alana.
"Nggak. Buat kamu aja. Saya sudah kenyang liat kamu makan."
Alana tersenyum senang dan mulai melahap pancake yang ada di depannya.
"Laper banget ya gara-gara tenaga kamu habis buat mukulin saya tadi malam?" Kata Dion jahil saat dilihatnya Alana begitu lahap memakan pancake buatannya ini.
Alana cemberut, melirik sekilas ke arah Dion tapi ia lanjutkan makannya lagi.
"Pan... ckake... nih... twer... la... luh..."
"Kamu ngomong apa sih, Al. Telan dulu, baru kamu bicara." Kata Dion berdecak kesal melihat mulut Alana yang penuh makanan sambil bicara.
"Tuh kan, sampai keluar-keluar krimnya." Kata Dion kembali berdecak.
Dipaksanya kepala gadis itu menghadapnya. "Sini dibersihin dulu."
Lalu dengan cepat ia tarik wajah Alana mendekat. Dan mulai membersihkan ceceran krim yang ada disekitar bibir Alana bukan dengan serbet melainkan dengan lidahnya. Dion jilat semua krim yang berceceran sambil sesekali dihisapnya.
"Sudah. Sekarang bersih semuanya." Kata Dion penuh arti.
Dengan detak jantung yang masih loncat-loncat tak karuan, Alana memelototi Dion.
Bisa-bisanya kamu, Dion....
Melihat Alana yang menatapnya seperti ingin membunuhnya, Dion mencubit pipi Alana.
"Kunyah lagi pancake yang masih ada dimulut kamu. Atau mau saya bantu kunyah?" Kata Dion jahil.
Dengan kesal ia tancapkan garpu yang ada ditangannya ke pergelangan tangan lelaki itu. Sontak Dion mengaduh kesakitan.
Alana tersenyum penuh kemenangan.
Sambil meniup-niup tangannya, lelaki itu terus memperhatikan Alana yang makan dengan lahapnya.
"Mau saya bikinin lagi?" Kata lelaki itu ketika Alana mengunyah suapan terakhirnya.
Alana menggeleng. Setelahnya dengan gerakan tak diduga Dion putar kursi Alana agar menghadap ke arahnya.
"Dion!" Teriak Alana kaget. Tapi sepertinya lelaki itu tak mempedulikan teriakan Alana. Lelaki itu malah menatap Alana serius.
"Ehm... Al, saya... saya boleh tanya sesuatu nggak?" Tanya lelaki itu gugup.
Alana langsung diam. Perasaannya jadi tak enak.
"Mau tanya apa?" Katanya pelan.
Kenapa suasana jadi tegang ya?
"Tapi janji jangan marah ya. Soalnya yang mau saya tanyakan itu masih seputar kejadian tadi malam..."
Duh, apa sih maksudnya...
Kamu mau tanya apa sih, Dion...
"Iya." Kata Alana pada akhirnya.
"Kamu masih virgin?"
Mendengar itu Alana langsung bangkit. Tapi dengan cepat Dion menahannya.
"Tunggu, Al. Saya belum selesai bicara. Jangan marah dulu. Saya tanya ini ke kamu, supaya saya tahu batasan-batasan apa saja yang boleh dan tidak boleh saya lakukan ke kamu." Dion berucap sambil menatap mata Alana lekat.
Mendengar itu Alana mendesah keras. Ia tutup wajahnya dengan kedua tangan lalu mengangguk. Dion yang melihat itu tersenyum lalu menarik tangan Alana ke bawah agar ia bisa melihat wajah Alana.
"You don't have to shy. Nggak ada yang harus dipermalukan. Kamu harus bangga bahwa kamu masih menjunjung tinggi hal itu. Saya seneng karena saya akan jadi orang pertama buat kamu setelah kita menikah nanti." Katanya mengangkat gadis itu kepangkuannya.
"Jadi sekarang, saya tahu batasan saya." Kata Dion lagi menjawil hidung gadis itu.
"Berarti kalau pegang-pegang sambil peluk kamu kayak gini boleh kan?" Tanya Dion jahil.
Alana yang malu hanya memukul paha lelaki itu.
"Kalau cium-cium gini boleh?" Katanya mencium bibir Alana.
Gadis itu membalasnya dengan menunduk dan menggigit bibir.
"Karena kamu diam dari tadi, saya anggap jawabannya adalah iya." Lanjut Dion menggigit bibir bawah Alana dan menariknya. Darah Alana berdesir seketika.
"So, pegang-pegang sambil cium kamu itu legal kan?" Kata Dion yang tiba-tiba bangkit dan mendudukan kembali Alana di dikursinya.
Tapi kemudian Dion bersimpuh di antara kaki Alana dan mendongak ke atas sambil tersenyum jahil ke arah gadis itu yang menatapnya bingung.
"Dan itu artinya, saya boleh pegang dan cium kamu... dimana saja."
***
Selama perjalanan, Alana tak berhenti menggigit bibirnya dan membayangkan apa yang tadi dilakukan Dion kepadanya saat masih di apartemen tadi.
"Al, jangan pasang tampang seperti itu! Kamu bikin saya mau melakukannya lagi."
Alana memukul lengan Dion.
"Itu akan jadi yang pertama dan terakhir."
Diom menggeleng keras.
"Nggak bisa. Kamu yang bilang sendiri kan kalau saya boleh pegang dan mencium kamu. Dan itu artinya saya boleh melakukannya di bagian mana saja."
Alana langsung menutup wajahnya saat Dion berkata 'dibagian mana saja'.
Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?!
"I know you like it. Kamu bahkan menghimpit kepala saya." Muka gadis itu merah dan dicubitnya lengan Dion.
"Dion, stop..." Kata Alana menutup kembali wajahnya.
Lelaki itu tertawa dan mengusap rambut gadis itu. Ia belokkan mobilnya memasuki pelataran parkir The Sheares Quarters's.
"Emm, baju ini nggak terlalu berlebihan ya?" Kata Alana risih saat memandang baju yang dipakainya.
Akhirnya setelah dipaksa, Alana mengganti bajunya dengan baju ready-to-wear hasil rancangan Maura.
Dion mendesah.
"Enggak. Kamu cantik kok. Malah kalau kamu pakai baju yang kemarin, ketiga teman kamu pasti nanya yang aneh-aneh."
Alana cemberut.
"Mereka bukan temen saya lagi. Kan udah kamu rebut sekarang."
Dion tertawa kencang. Diciumnya bibir Alana yang masih cemberut itu.
"Kamu lucu kalau lagi cemberut."
Alana makin misuh-misuh ditempatnya. Dengan gemas dirangkulnya bahu gadis itu dan ia dekatkan ke dadanya.
"Nanti saat jam istirahat ke gudang ya, saya mau isi baterai."
Alana mendecih tapi mengalungkan lengannya di leher lelaki itu lalu mendongak.
"Isi baterai terus! Tadi pagi kan sudah! Habis sarapan juga sudah! Sebelum berangkat juga! Ini saja lagi isi baterai! Masa nanti juga sih?!"
Kali ini gantian Dion yang cemberut.
"Ya udah kalau nggak mau, saya nggak maksa deh..." Kata Dion pura-pura sedih.
Alana jadi merasa tak enak.
"Ehmmm... ya... yaudah deh... tapi... jangan lama-lama ya..."
"Yesss!" Kata Dion senang. Dalam hati Dion tertawa. Sebenarnya Alana juga menginginkan hal yang sama. Tapi terlalu malu untuk mengakuinya.
Setelahnya Alana masih saja mengalungkan lengannya di leher Dion dan menatap lelaki itu. Dion tahu tatapan itu. Alana ingin Dion menciumnya. Tapi tidak kali ini. Ia mau Alana yang memulai terlebih dahulu. Bukan seperti sebelum-sebelumnya dimana selalu lelaki itu yang memulai.
"Do it." Katanya mengusap sepanjang lengan Alana.
"Ngapain?" Kata Alana bingung.
"Kamu tahu apa yang saya maksud." Kata Dion tersenyum jahil dan menjawil hidung gadis di depannya ini.
Akhirnya dengan malu-malu sambil menggigit bibirnya, Alana menarik kepala Dion mendekat dengan maksud lelaki itu menciumnya terlebih dahulu lalu kemudian Alana membalasnya. Tapi kali ini Dion menahan kepalanya.
"Nggak, nggak. Ini nggak bisa. Kamu yang mau, jadi kepala kamu yang maju." Dion tersenyum penuh kemenangan sambil menyentil kening gadis itu.
"Dion..." Kata Alana merajuk menarik-narik baju lelaki itu.
"Ayo. Nggak boleh malu. Kamu pasti bisa." Kata Dion menyemangati.
"Nggak bisa... takut salah caranya..." Lirihnya menundukan kepalanya di bahu Dion.
Dengan gemas ia sundul kening Alana dengan keningnya.
"Bisa. Pasti bisa. Kamu kan sudah hafal cara saya cium kamu gimana." Katanya makin gemas.
Dengan malu, akhirnya Alana memajukan tubuhnya dan mendekatkan bibirnya ke bibir Dion. Dan bibir mereka menempel. Tapi anehnya bibir Dion tak bergerak sama sekali. Alana menatap Dion sebal. Dion membalasnya dengan menaikan sebelah alisnya seraya berkata 'kamu-tahu-apa-langkah-selanjutnya'.
Sambil memukul bahu lelaki itu, Alana mulai mengecup bibir Dion, menyecapnya, merasakannya. Dion ditempatnya sudah merapalkan beribu-ribu jimat agar tak membalas ciuman Alana yang masih malu-malu ini. Kali ini ia mau gadis itu yang mendominasi ciuman mereka. Saat ini Dion ingin merasakan bagaimana rasanya pasrah ketika di cium seseorang.
Alana terus menciumnya. Tapi gadis itu kembali kesal karena Dion tak juga mau membuka mulutnya. Dion tersenyum menyipit sambil masih dicium Alana seraya berkata 'kamu-tahu-bagaimana-caranya-membuka-mulut-saya'.
Mendesah kesal diantara ciumannya, Alana mulai menghisap bibir bawah Dion dan menggigitnya. Merasa menang, Dion membuka mulutnya. Tapi tanpa diduga, Alana langsung melumat dalam bibirnya. Dion mengerang tertahan. Ia balas lumatan Alana. Selanjutnya mereka saling melumat, menghisap dan menggigit. Alana bahkan tak segan meremas rambut Dion dan menainkan telinga lelaki itu.
Lalu untuk pertama kalinya, Dion terlebih dahulu melepaskan ciuman mereka karena merasa dirinya kehabisan napas.
"See? You know how to do it. Nilai sempurna. Seratus." Katanya memberikan dua jempolnya untuk Alana dengan napas yang masih satu dua.
Alana tersenyum lebar dan memeluk Dion. Lelaki itu tertawa. Jadi seperti ini sifat asli Alana jika ia sudah benar-benar membuka hatinya? Dion sangat beruntung!
Setelah napasnya kembali teratur, Dion menunduk ke bawah dan menarik dagu Alana untuk mendongak. Ia acungkan jari telunjuknya sambil menaik turunkan alisnya seakan berkata 'satu-kali-lagi-please'.
Alana terkikik dan mengangguk malu-malu. Saat bibir mereka sudah hampir menempel, kaca depan mobil Dion di ketuk. Terlihat tiga kepala menyembul memenuhi seluruh kaca bagian depan. Terpampang tiga senyum lebar penistaan khas senyum Joker yang menyebalkan. Dion melotot ke arah mereka sedangkan Alana tertunduk malu menutupi mukanya di bahu Dion.
Lalu ketiganya berteriak.
"UDAHAN KALI CIUMANNYA!!!"
***
Di dalam lift, Dion dan Alana sedang dihakimi oleh tiga hakim yang mengerubunginya sekarang ini.
"Nggak mau dilepas banget sih Al, tangannya Chef." Kata Gilang buka suara.
Seakan tersadar masih menggenggam tangan Dion sedari tadi, gadis itu buru-buru melepaskannya tapi Dion menahannya sambil menatap matanya tajam. Malah genggaman Dion makin erat sekarang.
"Nggak boleh dilepasin sob ternyata..." Tawa Bimo sambil menyikut Gilang.
Dion berdecak. "Kalian bisa mundur sedikit nggak? Udara disini jadi bau karena kalian."
"Chef kalo ngomong jangan jujur-jujur banget dong. Jadi enak nih." Kata Samuel tertawa yang diikuti Bimo dan Gilang.
Dion memutar bola matanya jijik.
"Chef, besok-besok kaca depannya mendingan di gelapin sekalian deh. Jadi kalo mau ngelakuin yang iya-iya nggak keliatan dari jauh." Kata Bimo bergantian menatap Alana dan Dion.
Alana makin tertunduk malu di bahu Dion sedangkan lelaki itu memberikan jari tengahnya tepat dihadapan Bimo. Bukannya marah, Bimo malah tertawa ngakak bersama dua rekan sejawatnya.
"Al, ngomong dong. Jangan nunduk-nunduk ngambil kesempatan sambil mepet sama Chef." Kata Gilang mengejek.
Alana masih menunduk tapi matanya melotot ke arah Gilang.
"Tau lo, Al. Kemarin aja kita di gebukin. Giliran ada Chef pura-pura lemah nggak berdaya. Pencitraan banget lo." Kata Samuel yang sepertinya membuat kesabaran Alana habis.
Dion sudah ingin membalas perkataan Samuel ketika tiba-tiba Alana maju dan memukul kencang dinding lift lalu berkacak pinggang.
"BISA DIEM NGGAK?!"
Trio ember tersentak kaget. Dion yang ada dibelakangnya pun tak kalah kaget.
"Heran ya, kerjanya bikin gue kesel mulu! Ngerecokin orang terus! Emangnya kenapa hah?! Salah kalau mepet-mepet sama pacar sendiri?! Salah kalau berduaan sama pacar sendiri?!" Kata Alana memelototi satu persatu lelaki yang sekarang jadi ciut didepannya.
Trio ember menggeleng.
"Hayo lho, Alananya marah lho..." Kata Dion dari belakang sambil menahan tawa.
"Pacar, pacarnya siapa, yang ribut siapa! Ken..."
"Sob, ini lift kenapa jalannya lama banget sih, kapan nyam..."
"Kalo gue lagi ngomong jangan diselak!" Kata Alana menyetop kalimat lelaki itu dan meremas mulutnya.
Dion di belakangnya tertawa kencang melihat gadisnya marah, sedangkan Bimo meringis kesakitan. Samuel dan Gilang hanya menepuk-nepuk bahu Bimo memberi semangat.
"Awas ya, sekali lagi lo ngerecokin gue, abis lo semua! Ngerti?!" Kata Alana masih berkacak pinggang menatap tiga hakim yang ciut sekarang ini.
"Ngerti, Al..." Kata ketiganya serempak.
Setelahnya Alana mundur. Dion memberikan jempolnya.
Melihat Alana yang sudah mundur dan berada di samping Dion, Samuel kembali membuat ulah.
"Dasar mak lampir lo!"
Mendengar kalimat Samuel, Alana kembali kesal dan langsung maju tapi Dion menahannya kali ini sambil memeluk Alana dari belakang.
"Tahan, Sayang. Tahan..." Katanya mencegah Alana menyerang Samuel. Tapi Alana tak tinggal diam. Ia tetap mencoba memukul Samuel.
"Eits, nggak kena." Kata Samuel berkilah ke kiri dan ke kanan.
"Jangan dengerin Samuel ya, nanti tenaga kamu abis. Saya jadi nggak dapet apa-apa." Katanya Dion jahil.
Trio ember sontak tertawa kencang memberikan masing-masing dua jempolnya kepada Dion sedangkan Alana melotot ke belakang. Ia berbalik ingin memukul Dion.
"Asik deh, sekarang Alana tenaganya sering abis." Kata Gilang makin-makin.
Alana kembali berbalik ke depan. Ia sekarang kesal dengan semua lelaki yang ada di lift ini. Ingin ia memukul ketiga lelaki ini termasuk Dion tapi ia tak bisa. Dion memeluknya dan menahan tangannya.
Sekarang ke empat lelaki ini semakin menggoda Alana. Dan ia tak berdaya dipelukan pacar menyebalkannya ini. Gila ya satu lawan empat!
Tapi sepertinya Tuhan masih berpihak pada Alana kali ini. Saat Dion lengah karena tertawa terbahak-bahak, Alana langsung melepaskan pelukannya.
Dan selanjutnya terdengar bunyi gaduh dan suara rintihan kesakitan dari dalam lift.
"AMPUN, AL!!!"
***
Hallo! Aku balik lagi!!!
Gimana? Semoga dapat membuat kamu-kamu semuanya mesam-mesem senyum-senyum nggak jelas ya!
Jujur aku suka banget part ini! Hehe.
Dion alana lagi unyu2nya bangettt!
Oke deh, selamat membaca selamat menikmati.
Jangan lupa vote dan komen yang buanyaaaaaak ya!
Love,
Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro