7. Komitmen | Yaotome Gaku - IDOLiSH7
"Hidup itu sederhana, kitalah yang membuatnya sulit." - Konfusius
Created: Senin, 4 Mei 2020
----------------------------------------------------
Kedai soba Yamamura membuka kelas memasak mi. Sebagai pelanggan setia, sesekali [Name] datang berkunjung setelah bekerja. Tak biasanya, kedai favoritnya mengadakan event demo.
Slot terbatas: sepuluh orang.
Tanpa pikir panjang, [Name] segera mendaftar kelas demo. Seorang wanita paruh baya itu sering kali [Name] temui--- sang pemilik mi soba itu.
"Permisi, apa saya masih bisa ikut?"
Wanita itu mengecek ponselnya. "Tentu. Anda orang terakhir yang bisa bergabung."
Mendengar hal itu, jiwa menggebu-gebu hadir dalam batin gadis itu. Akan sebuah pengalaman baru dalam hidupnya.
Komitmen
Pair: Yaotome Gaku (TRIGGER) x Reader
.
.
.
Kelas demo dihadiri pelanggan dari berbagai kalangan usia. Ada dua pasang suami istri, tiga murid SMA, seorang pria paruh baya bersama sang kakek. Ditambah dirinya.
"Selamat datang di kelas demo perdana kedai soba Yamamura," kata seorang laki-laki berambut perak itu di depan jajaran kursi tamu yang disediakan.
Seluruh pendatang bertepuk tangan. Bahkan terdengar riuhan girang dari sejumlah murid. [Name] sedikit risi, tetapi tetap memandang ke depan. Pria itu memang tampan. Berdasarkan rumor, kedai makanan ini pernah ramai karena kehadiran bintang idola.
Persetan akan rumor, [Name] telah menjadi pelanggan mi Soba Yamamura karena rasa, bukan semata-mata datang oleh ketenaran.
Di hadapan mereka telah tersedia talenan kayu, biji tumbuhan soba, tepung gandum, dan air. Terdapat pula beberapa mesin pengolah mi.
"Kalian boleh memanggilku Gaku. Hari ini kelas demo hanya ada pada sekali pertemuan. Cara membuat adonan sampai menjadi semangkuk mi soba."
"Gaku-san, kami mau minta tanda tangan!" kata seorang murid SMA yang sudah memegang notes dan bolpoin.
Seorang kakek membantah gadis itu, "Kami di sini ingin belajar, bukan jumpa fans."
Gaku tetap berekspresi datar; terlihat intimidatif. "Benar. Kalau tak tertarik dengan soba, sebaiknya kalian pulang saja atau tunggu sampai kelas demo selesai."
Murid-murid itu langsung patuh. Notes dan pen pun telah disimpan kembali ke dalam tas. Gaku kembali menjelaskan bahwa demo kali ini menghabiskan waktu dua sampai tiga jam.
Sesi belajar dimulai dari menghancurkan biji tumbuhan soba. Namun bukan Gaku yang mempratikkan di depan mereka, melainkan seorang kakek yang juga tampak familiar oleh [Name]. Setiap ia melahap mi soba, kakek itu selalu sibuk mengerjakan pesanan pelanggan.
Gaku datang berkeliling, memastikan tamu demo dapat mengejar ajaran sang kakek.
"Kesulitan saat menghancurkan bijinya?" tanya Gaku berada di sebelah [Name].
[Name] menggeleng cepat. "Bisa, kok. Ya ... walaupun saya tidak begitu pintar dalam memasak. Omong-omong, apa saya boleh bertanya sesuatu?"
Gaku mengangguk. "Selama berkaitan dengan soba, boleh."
"Apa kedai Yamamura tidak takut rugi kalau kami ikut belajar seperti ini? Kami jadi tahu proses mi soba yang sudah dikembangkan sejak lama."
Gaku tersenyum; saat itu pula aura intimidatif seakan sirna. "Resep mi soba sebenarnya memiliki proses yang kurang lebih sama. Tujuan demo di sini bukan rival, tapi teman belajar."
"Hei, anak muda, apa kau bisa membantuku?" tanya seorang kakek yang masih belum seutuhnya menghancurkan biji tumbuhan soba.
Gaku langsung berbalik badan, menyusul sang kakek itu. Setelah semua dapat menyusul sampai pencampuran biji dan tepung, tahap membuat mi soba berlanjut dengan menaruh air sedikit demi sedikit, lalu mengaduk adonan sampai halus. Mereka mengantre untuk memipihkan tekstur tepung menjadi mi yang dapat direbus.
[Name] mempersilakan orang yang lebih tua untuk menggunakan fasilitas mesin itu lebih dulu. Namun, para murid di belakangnya terus menggerutu.
"Lama sekali, sih? Harusnya kita duluan, biar cepat."
"Cih, kalau saja gak ada Gaku, aku nggak bakal mau antre nggak jelas seperti ini."
"Pokoknya hari ini kita harus bisa foto bareng dengan Gaku-san!"
"Tadi mbak di depan itu pasti sengaja modus, jadi bisa ngomong sama dia. Gatel!"
Mendengar kalimat terakhir, [Name] tak tahan untuk diam saja. Ingin sekali ia menghantam talenan kayu itu ke murid-murid centil yang terus gibah. Seakan bergunjing hal buruk bisa mengabulkan keluhan mereka.
"Kalian bisa diam?" tanya [Name] mengernyitkan dahi. "Berisik sekali dari tadi."
"Mbak ini kenapa, sih?"
"Kalau nggak mau maju-maju, kami serobot aja!"
Rambut [Name] dijambak.
"Kecentilan si Mbak, pasti senang kan diajak bicara sama Gaku."
Tak terima, [Name] menjambak balik. Talenan kayu yang menopang adonan soba terpaksa jatuh ke lantai.
"Dasar bocah nggak sadar diri!"
Pasangan suami istri yang sudah mengolah mi pun melerai mereka. Namun, murid SMA itu semakin kurang ajar--- mendorong mereka. Kericuhan pun kian menjadi.
"Diam!"
[Name] membantu sang istri yang jatuh. Gaku pun menatapnya kesal dan bergantian kepada murid-murid SMA yang sudah terdiam ketakutan.
"Kalian berempat, segera pulang. Jangan kembali lagi."
¶ ¶ ¶
Langkah kaki [Name] kian pelan sejak hari itu. Ia pun tak peduli dengan pandangan aneh orang-orang yang melihat kondisi fisiknya yang tak karuan. Ia teringat saat dijambak, [Name] tak memperbaiki sama sekali sampai pulang. Ia juga sungguh langsung pulang tanpa argumen apa pun.
Sungguh, ia amat menyesal.
Kenapa ia tidak bertahan lebih sabar lagi?
Kenapa ia mengutamakan emosi seenak hati demi melabrak tiga remaja labil itu?
Apalagi, suasana kelas demo seketika rusak karena dirinya. Tak hanya para kakek, suami istri itu juga pasti telah membicarakannya dengan kesal.
Dalam benak yang terpikirkan [Name] semakin berlarut-larut. Mungkin ia akan dijadikan daftar hitam pelanggan kedai soba Yamamura.
"Huhu, selain kedai itu, aku tak punya langganan restoran mi soba seenak itu," ringis [Name] baru saja ingin menaiki tangga menuju apartemen, tetapi terhalang oleh sepeda motor.
"Tu-tunggu!"
[Name] menoleh bingung. Laki-laki jutek itu mengenakan topi berlogo Yamamura. Di belakangnya terdapat boks plastik yang menampung pesanan antar.
"Gaku-san?"
"Saya ... minta maaf pada hari itu."
[Name] menggeleng cepat. "Bukan Anda yang salah, tapi semua ini karena saya yang mengakibatkan keributan di kedai. Saya yang seharusnya minta maaf."
Gaku menggeleng cepat, lalu mengeluarkan sekantong berisi boks soba.
"Kakek dan ibuku sangat tahu karakteristik pelanggannya. Termasuk [Name]. Kami sudah tahu kejadian itu adalah kesalahpahaman. Anda hanya menegur, tetapi diajak ribut."
"Bagaimana ... Bisa?"
Gaku menjelaskan, "Saat mendaftar, [Name]-san memberikan data alamat. Jadi, saya bisa menyusulmu ke sini. Mereka bilang tiga murid itu sejak awal sudah mendesak didaftarkan. Bahkan sengaja membayar biaya kelas tiga kali lipat per orang."
"Kekuatan fans ya, luar biasa."
"Begitulah. Saya jadi merasa bersalah. Sebagai kompensasi, terimalah dua boks zaru soba. Kuahnya juga sudah diberi sekat terpisah."
Mata [Name] berkaca-kaca. "Ja-jadi saya masih boleh datang ke kedai Yamamura, kan?"
Gaku terkekeh seraya berkata, "Tentu saja. Pelanggan yang sudah berkomitmen lama justru tidak boleh disia-siakan."
[Name] pun menangis sejadi-jadinya.
"Te-terima kasih!"
"Apa Anda masih sedih?"
[Name] menggeleng sembari menarik kedua sudut bibir. "Bukan begitu. Saya terharu."
"Apa zaru soba-nya bisa dihabiskan semua?"
[Name] menggeleng. "Tentu saja tidak. Boleh menghabiskannya bersama? Aku akan menyediakan teh."
"Ajakan diterima."
| fin |
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro