Friendship With(out) Love part 13
Semilir angin sore membuat rambut ikalku berterbangan. Sudah lama sekali aku ingin ke tempat ini. Meskipun hanya sekedar duduk dan menikmati angin yang menerpa wajahku. Aku merindukan taman ini, merindukan masa kecilku. Menjadi anak kecil adalah anugerah yang luar biasa yang pernah di berikan Tuhan. Hidupmu akan selalu senang, di limpahi kasih sayang, dan kau begitu mudah bahagia. Bahkan segelas ice cream atau permen lolipop sanggup menorehkan senyum dan tawa di wajahmu. Tidak ada sakit seperti yang kurasakan pada dadaku saat ini.
Aku duduk di ayunan dan kakiku membelai pasir di bawahnya. Tidak banyak anak-anak yang bermain disini sekarang, para orangtua lebih memilih membawa anaknya bermain di mall. Aku berjanji jika punya anak nanti, aku akan membawanya bermain disini. Tempat inilah yang pertama kali mempertemukanku dengan sahabatku, kakak laki-lakiku, pelindungku, tempatku mengadu dan menangis, dan juga cinta pertamaku.
Aku sekarang sadar bahwa aku sudah mencintainya sejak pertama kali kami bertemu disini. Matanya yang hitam menatapku tajam seakan aku makhluk dari planet lain. Namun kemudian tatapannya menghangat dan kemudian dia berjanji akan selalu menemaniku. Tidak ada Gwen yang sendirian lagi sejak itu.
Aku mempunyai sejuta kesempatan yang kubuang tiap menitnya untuk menyampaikan perasaanku. Aku sibuk meratapi nasibku yang tak kunjung menemukan kekasih, sementara orang yang aku cintai sebenarnya berada di sampingku setiap hari. Aku mengutuk perasaanku sendiri ketika aku sadar aku mencintai Abi, bagiku ini salah. Kami seperti sekandung, tidak ada yang bisa memahami bagaimana kami bisa sedekat itu. Bahkan orang tua kami pun tidak mengerti mengapa persahabatan masa kecil bisa terbawa sampai kami dewasa.
Padahal dari cinta tidak ada yang salah. Setelah semua ini aku baru menyadari, mencintai Abi adalah kewajaran. Pelukannya adalah tempatku pulang. Bahunya selalu siap menampung semua tangisanku. Dan matanya yang tajam dan hangat adalah pemandangan favoritku. Harum tubuhnya yang segar bagai udara bagiku. Sial..aku jatuh cinta secara dalam kepada Abi. Kalau kata ilmu kedokteran ini sudah mencapai tahap kronis, susah di sembuhkan karena bertahan sudah cukup lama.
Tapi kemudian, kenyataan menghantamku dengan keras. Aku tidak di berikan kesempatan lagi untuk mengungkapkan perasaanku. Dan harus menerima fakta bahwa mungkin saja Abi-ku sudah mencintai wanita lain.
Sepasang tangan hangat mendorong punggungku pelan, tanpa menoleh pun aku tahu siapa orangnya. Hanya dia yang memiliki aroma memabukkan seperti ini. Hanya dia yang memiliki sepasang tangan hangat ini.
"Sejak kapan tempat hang out-mu berubah? Dari coffe shop ke taman bermain.."
Suaranya terdengar geli.
Aku menikmati ayunanku yang semakin tinggi karena dorongan pada punggungku, "Sejak..aku kangen sama masa kecilku.."
"Berarti kangen padaku juga?"
"Tentu..kau bagian dari itu.."
Salah..bukan bagian. Abi adalah keseluruhan dari kenangan masa kecil dan hidupku.
Dia berhenti mendorongku dan duduk di ayunan yang berada tepat di sampingku. Kakinya sama sepertiku, membelai pasir halus di bawah kami.
"Gwenny.."
Aku menoleh padanya.
"Bagaimana jika aku menikah?"
Sepersekian detik aku terdiam.
"Ha?"
Hanya itu reaksi yang kukeluarkan.
"Aku akan menikah dengan Sofie, Gwen.."
Suaranya terdengar serius, dia bahkan tak berani menatap mataku.
Pertanyaan pertama adalah murni pertanyaan, namun yang kedua adalah pernyataan. Dia bukan menanyakan padaku, tapi dia memberitahukan kepadaku bahwa dia akhirnya memutuskan untuk menikah.
Abi melambaikan tangannya di depanku ketika melihat reaksiku.
"Hei..malah melamun.."
Aku mengedipkan mata kemudian tersenyum tipis kepadanya. Aku merasa kebas. Ternyata benar, jika sakitnya sudah melampaui batas yang bisa kau terima kau malah sulit merasakan apa-apa.
"Aku selalu berharap kau menikah lebih dulu, Gwen..", lanjutnya.
Aku menoleh padanya lagi, dan ada kilat kesedihan disana, "Agar aku tidak perlu melihat kau kesepian saat aku sudah jadi milik orang lain.."
Hatiku tersentuh. Abi memang menyayangiku. Sebatas itu. Tidak pernah ada cinta untukku. Selamanya dia akan memandangku sebagai gadis kecil yang kesepian.
"Kau mencintainya?"
Suara itu terdengar begitu saja dari mulutku.
"Entahlah..hanya saja lebih mudah karena aku dan Sofie pernah berhubungan sebelumnya. Dan ayahnya sakit keras, sehingga memintanya menikah. Awalnya aku masih memikirkannya, namun sekarang aku sudah yakin. Waktu akan membuatku mencintainya."
Kata-katanya menohokku. Waktu akan membuatku mencintainya. Waktu jugalah yang membuatku jatuh cinta pada Abi. Dan sekarang aku harus siap melepasnya. Tidak mungkin aku berjalan menarik-narik bajunya seperti anak kehilangan induknya sementara dia sudah memiliki wanita lain untuk dicintai. Dan tidak mungkin juga aku lari ke pelukannya setiap kali aku mendapat masalah.
"Aku bahagia untukmu, Abi..kau adalah sahabatku tersayang. Dan kau tidak perlu lagi memikirkanku, aku cukup kuat berdiri tanpamu.."
Apakah itu tadi aku yang bicara? Kenapa setelah sesakit ini aku masih juga bisa berbohong?
Kupaksakan bibirku terkembang membentuk senyuman.
Dia mengacak-acak rambutku dengan sayang, "Terima kasih Gwenny, pernikahannya akan dilaksanakan tiga minggu lagi, secara sederhana". Aku sudah tidak terfokus pada kata-kata Abi lagi. Besok atau tiga minggu lagi tidak ada bedanya kan? Dia tetap akan menikah.
"Kau baik-baik saja? Mengapa wajahmu terlihat pucat?"
Matanya menyelidik mencoba mencari jawaban di mataku.
Itu karena darah sudah pergi meninggalkan wajahku, tidak akan pernah ada lagi rona disana. "Aku tidak apa-apa, hanya sedikit lelah." Aku berdiri dari ayunan, "sudah sore, kurasa aku harus pu-"
Tiba-tiba mataku gelap, tubuhku terayun ke belakang. Nafasku menderu. Telingaku berdengung dan perutku bergejolak. Aku belum pernah pingsan sebelumnya, dan ini terasa buruk sekali rasanya. Sepasang tangan kokoh menangkap tubuhku sebelum mengenai tanah yang keras.
Hal terakhir yang kuingat adalah sorot mata cemas dan dia memanggilku berulang kali, namun aku terlalu lelah untuk membuka mata dan kemudian kegelapan menelanku..
***
Aku membuka mataku perlahan dan sinar lampu yang menyilaukan membuatku menutup mata lagi. Aku mendengar suara beberapa orang sedang bicara, tanpa harus membuka mata aku sudah tahu bahwa itu adalah mama, Abi, dan Fiona. Fiona? Bukankah dia masih di Lombok?
Aku menggerakkan jariku, dan membuka mataku sekali lagi. Tenggorokanku terasa kering dan aku ingin minum. Mama menyadari gerakanku.
"Ya Tuhan Gwen! Kau sudah sadar?"
Jeritannya tertahan, di ikuti pandangan Abi dan Fiona yang secepat kilat langsung berada di dekatku.
"Mi..num.."
Aku terbata-bata. Merasa lemah di sekujur tubuhku.
Abi mengangkat punggungku dan membantuku setengah terduduk kemudian menyodorkan gelas berisi air putih. Aku meminumnya pelan dan rasanya sangat luar biasa. Aku melihat ke arah jendela dan sudah gelap disana, sudah berapa lama aku pingsan?
"Bagaimana perasaanmu, Gwenny? Kau pingsan hampir tiga jam..kau bisa membuatku gila jika tidak segera bangun.."
Aku mengangkat sudut bibirku berusaha tersenyum, "Aku tidak apa-apa, hanya sedikit lemas.."
Aku melirik mama dan Fiona yang menatapku cemas.
"Aku akan panggilkan dokter..tunggu sebentar ya.."
Dia mengelus rambutku kemudian pergi keluar. Setelah dia menutup pintu. Fiona menghamburku, menangis sambil memelukku. Mama memberikan tatapan -aku sudah tahu semuanya- padaku.
"Mama..tolong aku ma.."
Aku mulai terisak pelan, tubuhku gemetar. Mama menggenggam tanganku. "Aku ingin pergi..", lanjutku. Mama hanya mengangguk menyetujui keinginanku, sementara Fiona tidak bisa berkata-kata lagi.
Bulir-bulir air mata mengalir tanpa bisa kutahan lagi. Kalau saja aku tahu begini sakitnya patah hati, aku bersumpah tidak akan pernah mau jatuh cinta..
--------------------------------------------
Haai,
Nyesek banget ni nulis bab ini..memang cinta yang paling menyakitkan adalah cinta yang tidak pernah di ungkapkan *halah*
Smoga smuanya bisa menikmati ya..
Jangan lupa vote dan komennya biar saya semangat bikin next partnya..
Trimikisi ya semuaa..
Love,
Vy
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro