
Tiga
ABEL
Udah beberapa hari gue jadi anak kelas 11 SMA, lumayan susah sih pelajarannya. Apalagi PR-nya kadang numpuk gitu. Guru-guru pada senang bikin muridnya menderita apa, ya?
"Bel, berangkat yuk!" ajak David.
"Bentaaaaaarrr, gue belum selesai nyatetnya nih," tahan gue. Gue lagi ngerjain, mmm, lebih tepatnya nyontek PR dari David. Meskipun gue sama David beda kelas, tapi PR-nya tetap sama karena gurunya sama.
"Yaelahhh, lelet banget sih lo! Kena karma, kan, lo ngatain gue lelet waktu itu," cibir David. Dih, bawa-bawa karma. Tapi, emang iya sih.
"Ih, lo aja yang telat kasih tahu gue," elak gue.
"Salah sendiri, kenapa kemarin lo nggak tanya gue?" tukas David nyolot.
"Ya, gue kan lupa." Duh, jadi nyolot-nyolotan gini, kan.
"Terserah lo!"
Lima menit kemudian ... akhirnyaaaaaa, PR gue selesai juga! YES! Kalau sampai nggak selesai, bisa-bisa gue dikasih hukuman yang aneh-aneh tuh dari Pak Doni.
"Nih," ucap gue sambil menyerahkan buku tulis David.
"Iya, eits, lo nggak bilang apa-apa?"
"Makasihhhhhh, sahabat gue yang paliiinggg baikkk," kata gue dengan nada yang dibuat-buat. Sebenarnya, pengin bilang "yang paliiinggg ganteng", tapi nanti dia ke-ge-er-an terus malah bilang gue modus. Males banget, kan.
"Iya iya. Coba sekali lagi ngomong gitu, Bel?" pinta David.
"Nggak," jawab gue datar.
"Ayolah," mohonnya.
"Emang mau ngapain, sih? Nge-fans lo sama gue?" tanya gue galak. Curiga nih gue.
"Ada dehhh." Tuh, kan, pasti ada apa-apanya, nih.
"Nggak ah, ngapain. Jijik gitu gue."
"Udah ah, berangkat yuk!" ajak David sembari mengambil kunci mobilnya.
"Ayuk!"
ABEL
"Dav, udah sana, lo ke kelas," usir gue secara halus. Lagian, dia dari tadi masih di depan kelas gue. Bukannya nggak mau sih, tapi dia nggak lihat apa? Banyak yang lihatin gue kayak mikir "tuh-cewek-ngapain-coba-deketin-David". Risi banget kalau dilihatin gitu.
"Iya, iya, gue balik. Lagian, kenapa sih?" tanya David sambil melihat sekelilingnya.
"Nggak kok! Udah balik cepet!"
"Iyaaa, lo yang rajin ya belajarnya," kata David sambil mengacak-acak rambut gue.
"Hmmm, rambut gue berantakan, kan?! Ah, nyebelin lo!" Dan, dia cuma cengengesan sambil berlari kecil ke kelasnya. Tanpa dia sadar, dia udah bikin gue deg-degan banget.
Gila!Gila. Gila. Gila. Dia nyadar, nggak, sih?! Dia itu cool banget! Sumpah ya!
Ah, daripada gue geregetan sendiri, mending gue masuk kelas.
Di kelas gue, 11 IPA 2, banyak banget yang lagi ngomongin tentang ekskul. Gue sih, udah pasti ikut ekskul basket.
"Lun, lo ikut ekskul apa?" tanya gue sambil menaruh tas di bangku.
"Yaaa, paling basket lagi," jawabnya sambil ngaca menggunakan kamera depan ponselnya.
"Sama dong! Tapi, gue bosen kalau basket doang."
"Iya sih! Terus, emang lo pengin ekskul apa selain basket?"
"Nah! Justru itu gue bingung," jawab gue dengan lesu.
"Piano, gimana?" usul Lunetta.
"Piano? Hmmm, gue bisa dikit sih main piano. Ah, tapi kan ada yang lebih jago dari gue tuh, minder ah!" kata gue.
Lunetta mengerutkan dahinya sebentar, "Emang siapa, Bel?" tanya Lunetta.
"Ituuu, adik kelas kita. Siapa tuh namanya? Ih, gue lupa kan."
"Ciri-cirinya?"
"Yang kalau ke mana-mana selalu bertiga, orangnya cantik, populer deh pokoknya."
Ohhh!!! Gue tahuuu!!!" jawab Lunetta histeris.
"Siapaaa? Cepetan sebutin namanya!" ujar gue ikutan histeris. Habisnya gue geregetan sih, bisa sampai lupa.
"Nadia Aurellyn Bellania!!!"
"Nah iya ituuu!!! Duh bisa lupa gini gueee!!!" Tanpa sadar, karena kehebohan kami, seisi kelas udah ngelihatin kami yang teriak-teriak. Malu banget gue.
"Sori banget ya, Guys hehehe ...," kata Lunetta kepada mereka sambil mengacungkan dua jarinya. Huft ....
"Iya itu, Aurell. Dia jago banget! Gue pernah lihat dia main piano. Beh! Fantastik deh pokoknya!" ujar gue dengan heboh sambil mengacungkan dua jempol gue.
"Gue denger-denger sih, dia belajar piano dari waktu kecil. Gue lupa dari kapan."
"Kok kita jadi stalker gini, ya?" tanya gue bingung.
"Iya ya?" Dan, detik selanjutnya tawa kami pecah karena menyadari kekonyolan tingkah kami berdua.
*****
DAVID
Habis ngacak-acak rambut Abel, gue langsung ke kelas gue 11 IPA 1. Nggak tahu sejak kapan, ngacak-acak rambutnya udah jadi rutinitas gue. Pas gue berlari-lari kecil menuju kelas gue, ada beberapa cewek yang senyum ke gue, malah ada yang bilang "hai". Tapi, cuma gue balas dengan senyum doang. Susah, sih, jadi cowok most wanted. Gaya banget ya gue.
Di kelas, gue langsung disapa sama teman-teman seperjuangan gue.
"Eh, doi dateng tuh," kata Axel yang bisik-bisik, tapi masih kedengaran sama gue.
"Heh, bisik-bisik aja nggak becus lo," sindir gue, lalu gue menaruh tas di bangku dan duduk di situ.
"Kok, tumben lo agak telat ke kelas?" tanya Finn. Baru gue mau jawab, Steven udah jawab duluan.
"Biasa, lo kayak nggak tahu dia aja. Kan, harus nganterin si doi ke kelasnya dulu," kata Steven sambil naik-turunin alisnya. Nggak jelas banget dah.
"Maksudnya 'doi' itu Abel?" tanya gue.
"Ya iyalahhh!!!" jawab mereka serempak.
"Nggak ngerti gue. Gue sama Abel sahabatan doang kali. Bukan gebetan. Kenapa kalian nyebutnya 'doi'?"
"Astaga, David!" ujar Steven geregetan.
"Lo itu bego, lemot, apa nggak peka, sih?"
"Loh? Kok, jadi nggak peka?" tanya gue. Gue jadi bingung. Sumpah. Gue emang cuma anggep Abel sahabat gue, kok. Nggak lebih. Lagian kalau misalnya Abel beneran suka sama gue, harusnya dia kasih "kode" gitu. Tapi, ini nggak juga.
Sebelum gue mikir lebih lanjut lagi, Finn udah nepuk pundak gue duluan.
"Jangan terlalu dipikirin, let it flow aja. Yang penting, lo harus peka sama lingkungan lo sendiri, terutama temen deket sama sahabat lo." Gue yang belum ngerti cuma mengerutkan dahi sambil mencerna kata-kata Finn barusan.
"Udah, yang penting intinya lo harus peka dan jangan bikin orang itu kecewa," katanya lagi.
"Maksudnya 'orang itu' tuh, Abel?" tanya gue hati-hati. "Kalau menurut lo 'orang itu' Abel, ya berarti lo harus lebih peka ke dia. Dan, jangan sampai lo salah orang." Gue jadi makin bingung.
"Tapi, gue kan cuma anggep Abel sahabat gue. Waktu kecil juga kita udah janji kalau kita bakal sahabatan sampai selamanya," kata gue kepada mereka.
"Bisa aja mulut lo yang ngomong gitu, tapi hati lo mungkin beda," sahut Axel.
"Lagian itu juga waktu kalian masih kecil, " ujar Finn.
"Dan, kalian belum tahu apa yang akan terjadi," susul Steven.
"Sumpah, gue bingung apa yang kalian omongin," ucap gue bingung.
"Dav, udah, lo nggak usah pikirin terus. Inget kata-kata gue, let it flow aja," usul Finn sambil tersenyum.
"Alah, sok Inggris lo!" cibir Steven.
"You jahat banget deh sama eike, remuk hati eike, cyiiin," kata Finn dengan gaya kemayu. Geli banget deh ini anak.
"Geli banget tahu, nggak, lo," desis gue.
"Sttt, Axel, David, Finn, Steven lo semua berisik banget, sih! Nggak lihat dari tadi Bu Shenna udah ngelihatin kalian?" ucap Draco yang menghentikan obrolan kami berempat.
Hah? Bu Shenna udah datang? Kok, gue sampai nggak tahu, sih?
"Nggak," jawab kami semua berbarengan. Draco cuma geleng-geleng lihat tingkah kami yang nggak jelas.
*****
DAVID
KRING!!! KRING!!!
Yes! Akhirnya, bel pulang sekolah udah bunyi juga. Udah lama gue nungguinnya.
"Woi, lo pada mau ke kosan gue lagi hari ini?" tanya gue kepada mereka.
"Nggak deh, gue ada les," jawab Axel.
"Sebenernya, gue pengin, tapi hari ini ada acara keluarga," disusul oleh Finn.
"Gue nggak ikut deh. Hari ini jadwal gue bersantai ria di rumah," dan yang terakhir Steven.
"Ada-ada aja lo, Steve!"
"Iyalah ada, itu udah jadi bagian dari kehidupan gue," ucap Steven dengan kealayannya.
"Alay woi, alay," sahut Finn.
"Tahu! Ya udah deh. Gue mau ke kelas sebelah dulu," pamit gue.
"Eakkk, mau menjemput Sang Putri," ledek Steven.
"Kereta kudanya mana, Dav?"
"Cieee ...."
"Terserah lo pada, dah. Oh iya, Finn, di belakang lo ada yang ngikutin tuh, 'Dia' lagi senyum ke arah kita," kata gue ke mereka dan langsung pergi ke kelas Abel. Mereka langsung pada drop gitu mukanya. Apalagi, Finn. Tapi, serius gue nggak bohongin mereka. FYI, gue bisa lihat apa yang kalian belum tentu bisa lihat.
*****
ABEL
"Bel, sebelah lo ada 'itu'."
"Bel, di punggung lo ada yang nemplok."
"Bel, gue dapet salam nih dari 'dia' katanya, lo cantik banget sih Bel."
"Bel, ada yang lihatin lo."
Ih, David berisik banget deh. Gue mah kagak mempan ditakut-takutin gitu. Iya sih, dia bisa lihat "sosok" itu. Tapi, gue udah terbiasa ditakutin gitu sama dia.
"Ya, ya, ya, terserah lo. Gue nggak takut," kata gue. Sekarang kami udah di kosan. Gue duduk di sofa sambil nonton. David duduk di sofa, yang jaraknya agak jauh. Dia nggak lagi nonton, tapi dia lagi lihatin gue. Males banget, habisnya bikin risi. Tapi, jantung gue lagi-lagi berdegup kencang.
"Bel, lo ngerasain di tangan lo ada yang dingin-dingin, nggak?" tanya David dengan nada yang serius. Duh, jadi serem nih. Kalau tadi, kan, dia mukanya masih usil gitu, terus nadanya juga nggak seserius ini.
"Ih, lo jangan nakutin gue, deh," kata gue.
"Serius deh, kerasa dingin-dingin terus merinding gimana gitu, nggak?" Merinding sih. Terus, dingin juga.
"HUAAA!!! David!!!! Sereeeeeemmm!!! Sumpah ya lo!!!" teriak gue sambil lari ke arah dia dan langsung duduk di sebelahnya, lalu gue mukul-mukul lengannya.
"Awww, sakit, Bel! Katanya lo nggak takut?"
"Sumpah, lo nyebelin banget tahu, nggak?" Nyebelin banget, kan, dia? Dia sekarang malah ketawa-ketawa nggak jelas.
Sambil menonton, gue menulis apa yang terjadi pada hari ini di binder gue. Seperti biasa, gue menulis quote, curhatan, atau kata hati gue di akhir paragraf.
Walaupun sifat lo yang nyebelin, itu nggak bakal bisa ngubah rasa suka gue ke lo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro