Dua
ABEL
Akhirnya, bel tanda pulang sekolah berbunyi. Gue langsung keluar kelas, setelah pamit ke Lunetta.
"Lama banget, sih, kelas lo keluarnya. Sampai lumutan nih gue," keluh David yang berdiri di depan gue.
"Yaelah, Dav, bentar doang kali. Oh iya, temen-temen lo mana?" tanya gue penasaran sambil celingak-celinguk.
"Itu mereka udah kumpul di parkiran, langsung susul aja, yuk!"
"Ya udah, yuk!" Lalu, kami pun berjalan berdampingan. Tanpa gue sadari, ternyata lengan David udah ada di bahu gue. Astaga, dia ngerangkul gue! Astaga. Astaga. Jantung gueeeeee!!!
Perasaan gue makin aneh nggak sih, sejak gue suka sama David yang notabene sahabat gue sendiri? Jantung yang udah kayak abis maraton. Pipi yang jadi merah pakai banget. Sigh, untungnya David nggak sadar sama sekali. Oke Bel, jangan panik dulu. Tarik napaaas. Buang. Hufttt. Dan, gue melakukan itu berulang-ulang. Tapi, gue ngelakuinnya diamdiam, jangan sa—
"Lo kenapa, sih? Dari tadi udah kayak emak-emak mau lahiran," tanya David tiba-tiba.
Jegerrr. Mau tahu gimana rasanya? Rasanya tuh kayak lo lagi diem-diem ngintip gebetan yang lagi belajar di kelasnya. Dan, pas lo lagi lihatin dia, ternyata dia juga lihatin lo. Malu banget kan, rasanya? HUAAA!!!
"Hah? Eng-enggak kok, salah lihat kali lo," dusta gue yang pasti ketahuan sama dia. Gimana nggak? Orang gue jawabnya kayak gugup gitu.
"Bel, nggak usah bo'ong, deh ...." Tuh, kan.
"Udah ah, lupain aja. Tuh, Axel sama yang lain udah nunggu kita," kata gue mengalihkan pembicaraan.
"Terserah deh, tapi kalau ada apa-apa lo harus jujur sama gue, oke?" ujar David. Jadi, gue harus ngomong kalau gue udah suka sama lo, gitu? Nggak mungkin, Dav. Selamanya juga lo bakal nganggep gue cuma sebatas sahabat.
"I-iya." Gue pun mengangguk.
"Lama banget sih lo, Dav!"
"Tahu tuh ...."
"Gimana nggak lama? Mereka pacaran terus!"
"Berisik lo semua, gue sama Abel pacaran? Kita mah cuma sahabatan. Selamanya juga kita bakal tetep sahabatan. Iya, nggak, Bel?" Nyelekit. Banget. Selamanya juga kita bakal tetep sahabatan. Nusuk. Jlebbb! Yah, mungkin emang takdir gue cuma bisa jadi sahabat. Nggak mungkinlah David suka sama gue. NGGAK MUNGKIN.
Gue yang baru mencerna kata-kata David hanya bisa mengangguk dengan kikuk dan tersenyum terpaksa. Mungkin pada nggak lihat senyuman gue, tapi yang gue tahu, ada satu orang yang lihat senyuman gue. Finn. Dan, dia sekarang malah kasih gue tatapan yang susah diartiin. Maksudnya apaaa?
"Bel, yuk, ke mobil!" ajak David yang udah narik dengan halus pergelangan tangan gue. Lagi-lagi, jantung gue. Astagaaa. Jantung gue nggak bisa berkompromi sama gue, nih.
ABEL
"Dav, sini gue aja deh yang jawab telepon mereka," pinta gue. Sekarang, gue sama David lagi ada di dalam mobil dan ada telepon masuk. Serem banget, kan, angkat telepon pas lagi nyetir?
"Ya udah deh, lo pegang dulu hape gue," ujarnya sambil ngasih ponselnya ke gue. Sesekali, gue ngelihat ke belakang lewat kaca spion. Ada sebuah mobil sport yang ngikutin kami dari belakang. Itu mobil Axel. Mobil Finn dan Steven? Mereka udah nyuruh sopir rumah mereka buat bawa pulang mobilnya. Susah ya, orang kaya.
"Bel, angkat tuh teleponnya," kata David yang menghentikan lamunan gue.
"Hah? Eh. Iya iya," jawab gue, lalu gue memencet tombol hijau di layar.
"Halo .... Steven?"
"Loh? Kok lo yang angkat?"
"Suka-suka gue, lah!"
"Tuh kan, nyolotnya keluar."
"Bodo! Cepetan ih mau ngomong apaan? Ngabisin baterai David, tahu nggak?"
"Kapan nyampainya, sih?"
"Bentar lagi nyampai, kok."
"Yaelah, dari tadi belak-belok."
"Tinggal ikutin mobil David apa susahnya, sih?"
"Iye iye, bawel lo!"
Dan, akhirnya sambungan terputus.
"Steven ngomong apaan tadi?" tanya David yang masih fokus nyetir.
"Katanya, 'Kapan nyampainya sih, jauh banget'," jawab gue ngikutin cara Steven ngomong.
"Hahaha ...." Lah, dia malah ketawa-ketawa.
"Ketawa aja terusss ...," sindir gue.
"Ya, maap sih. Lagian lo pakai ngikutin cara Steven ngomong, bikin ngakak tahu nggak."
"Ih, nyebelin lo. Lagian gue capek hati ngomong sama Steven, bawaannya pengin marah-marah terus," jelas gue.
"Iya deh, gitu doang ngambek," kata David natap gue sambil tersenyum manis. Melting woi meltinggg. Kalau orang lain lihat kami, pasti udah dikira pacaran. Padahal sih .... Udahlah nggak usah diomongin.
Gue memalingkan wajah, nggak mau lihat mukanya yang mengulum senyum. Kalau gue masih lihatin, bisa meltingberat gue. Yahhh, gitu deh rasanya friend zone. Hiks. Oke ini drama abis.
"Ya ya terserah," kata gue sambil melihat pohon-pohon di pinggir jalan.
*****
ABEL
Akhirnya, gue, David, dan sekelompok manusia ganteng tapi rada miring, sampai juga di kosan. Eits, kosnya bukan sembarang kos, loh. Bukan kos sederhana pada umumnya gitu. Kosan ini punya bokap gue. Jadi, bokap gue beli rumah ini sebelum kami tempati. Karena bingung nih rumah mau diapain, jadi dibuat kosan. David bisa tinggal di sini juga karena sudah dianggap seperti anak sendiri sama orang tua gue. Lagi pula, yang tinggal juga bukan gue sama David doang, ada dua orang lagi sepupu gue, Kak Maya dan Kak Richard. Mereka berdua udah pada kuliah. Orang tua gue minta mereka buat jagain dan ngawasin gue.
Karena gue dan David nggak bayar buat kos di sini, kami harus bayar pakai nilai. Kalau nilainya naik, berarti boleh tetap tinggal di kos. Kalau turun, ya tinggal di rumah. Makanya, gue berjuang biar dapat nilai bagus terus. Bukannya gue nggak mau tinggal di rumah, tapi gue pengin hidup mandiri. Alah, bilang aja, kalau lo mau ketemu David tiap hari, Bel. Oke, itu ada benernya juga. Tapi, gue lebih milih ngekos di sini karena letaknya cukup dekat sama sekolah gue. Steven aja tuh, tadi bawel! Lagi pula, sebenarnya orang tua gue kasihan sama gue kalau harus bolak-balik jauh tiap hari, bisa kecapekan.
"Widihhh, ini kos apa kos, nih?" kata Finn.
"Buset, ada kolam renangnya!" Emang sih, ada kolam renangnya, tapi nggak usah heboh gitu juga kali.
"Duh, kapan-kapan gue tinggal sini, ah! Betah gue mah."
"Tapi, lo harus minta izin dulu sama yang punya," kata David sambil senyum. Sontak, mereka semua langsung nengok ke arah David.
"Hah? Ngapain pakai minta izin? Nyelonong aja masuk," tukas Axel dengan sombong. Dih, belum tahu dia siapa yang punya.
"Tuh, yang lagi nonton TV," tunjuk David dengan arah bola matanya. Gue yang lagi nonton TV hanya bisa tersenyum bangga. HUAHAHAHA ....
"ABEL YANG PUNYA?" Mereka bertiga teriak histeris. Dasar, Trio Alay mereka.
"Nope, bokap gue," jawab gue santai.
"Sama aja itu mah. Gila, lo kaya banget dong, Bel!" ujar Steven.
"Kaya apa?" tanya Finn dengan jail. "Kaya monyet!!! HAHAHA ...," ledek mereka bertiga berbarengan diiringi tawa yang seketika pecah. Ah, bodo.
"Woi, enak aja ngatain Abel itu monyet. Jangan ada yang ngatain dia yang jelek-jelek!" bela David yang udah menggenggam tangan gue. Aaaw, so sweet. Baru aja gue ngerasa udah mau terbang, tapi ada setan yang berbisik di kuping gue, Inget Bel, dia cuma anggep lo sahabatnya. Jangan terbang dulu! Yah ... nggak jadi deh terbangnya.
"Yaelah, Dav, gitu doang. Biasa aja kali. Mereka juga bercanda tahu," kata gue. Agak seneng sih, pas dia ngomong gitu. Sweet banget. Deg. Deg. Deg. Jantung oh jantung. Nggak bisa diam banget.
"Udah ah, gue mau ganti baju dulu," ujar gue sambil beranjak pergi dari sofa.
"Mau gue temenin?" tanya David dengan senyum penuh arti.
"Mesum lo!" cibir gue yang hampir teriak. Diri gue emang terlahir lebay.
Di kamar, gue langsung cuci kaki, tangan, dan muka. Hidup itu harus bersih! Gue mulai nggak jelas, kan. Setelah bersih-bersih, gue mengganti baju dengan kaus yang agak kegedean dan celana pendek. Penginnya sih, langsung berenang, kan seger tuh. Tapi, ada sekelompok CKTM. Cowok Kece Tapi Miring. DOSA GUE BANYAK BANGET, ASTAGAAA. Ngatain mereka melulu. Tapi, ini semua juga kan, gara-gara mereka, pada nyebelin.
Akhirnya, habis ganti baju, gue langsung ambil binder. Tadinya sih gue pengin duduk-duduk di tepi kolam renang aja. Tapi, dari dalam kamar, gue dengar suara David dan kawan-kawannya yang lagi ngomongin sesuatu.
"Dav, tadi lo lihat, nggak, anak barunya?" suara Axel.
"Lihat, lah. Dia kan sekelas sama kita. Lo gimana, sih?" cetus David.
"Cakep banget yak, blasteran Brooo!" sahut Finn nggak nyantai.
"Ciyus lo?"
"Iya. Gila, cantik banget!" ujar Steven. Siapa sih orangnya? Gue penasaran.
"Namanya siapa ya? Gue lupa. Tapi, cantik banget anaknya," tukas David. Gue merasa hati gue ditusuk-tusuk pisau yang udah dipanasin. Sakit. Panas. Oke, dia cuma bilang cantik. David belum bilang suka, kan?
"Lo suka sama tuh anak baru, Dav?"
"Nggak, lah! Ya kali gue langsung suka." Huft, untunglah. Tapi, gue bukan siapa-siapanya David. Gue tetap nggak berhak. Jangan egois Bel. Gue udah merasa cukup jadi sahabatnya. Daripada gue jujur terus persahabatan kami retak dan malah bikin gue sengsara.
Udah, udah. Jam galaunya udah habis. Langsung aja, gue buka pintunya dan langsung berjalan dengan santai ke kolam renang. Sekilas, gue lihat mereka lagi main PS sambil ngemil. Bocah oh bocah. Ah, sumpah, gue merasa jadi peran antagonis kalau lihat mereka. Penginnya nyela melulu.
Ah, enak banget. Duduk di tepi kolam terus nyelupin kaki ke kolam. Oh iya, gue belum kasih tahu ya, ngapain gue bawa binder? Jadi, gue nulis cerita hari-hari gue di binder ini. Apa aja gue tulis. Pengalaman, curhatan, ada juga tentang David. Pasti aneh ya, cewek agak tomboi kayak gue sukanya nulis diary. Pasti banyak yang mikir, kayak anak SD, kan? Sebenarnya, gue juga nggak tahu sih, kenapa gue suka nulis diary gini. Mungkin karena cita-cita gue. Lupakan.
Habis nulis kejadian yang gue rasain hari ini, gue menambahkan curhatan di akhir paragraf.
Lo seperti bintang. Yang cuma bisa dilihat, dinikmati keindahannya, tapi sampai kapan pun nggak bakal bisa diraih. Walaupun lo dekat banget sama gue, sampai kapan pun, gue nggak bakal bisa raih lo. Hanya bisa merasakan bersama lo di hari hari gue yang kelam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro