Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. MOS Hari Ketiga - IV

Banyak kegiatan yang kami lakukan di panti Cinta Kasih, seperti bermain game seru bersama anak-anak panti, saling berbagi cerita, mendongeng, bernyanyi bersama dan bahkan ikut kejar-kejaran sambil tersenyum bahagia bersama mereka semua.

Sebelum balik kembali ke sekolah, kami diberikan izin untuk melihat seluruh kondisi ruangan yang ada di panti ini.

Ada yang ikut berkeliling dengan dipandu salah satu pengurus panti, ada juga yang secara terang-terangan menolak keras ajakan itu terutama Kak Farah dan cewek-cewek manja lainnya, dengan alasan kotor dan bau.

Ck, nggak heran mendengar penolakan mereka, awal datang aja mereka sudah nunjukin wajah tak suka, bahkan saat anak-anak panti berlari ingin minta dipeluk, mereka segera menjauh dengan pandangan jijik.

Mereka berpura-pura baik hanya pada saat ada cowok ganteng berada di dekat mereka. Dasar perempuan-perempuan bermuka dua!

Oh ya, apa kalian sudah tahu, pagi tadi sebelum berangkat menuju panti ada pengumuman undian gelar TER untuk para OSIS. Benar dugaanku, yang berhasil mendapat gelar Kakak OSIS terjahat dan tersadis adalah Kak Farah, si mak lampir, sedangkan yang mendapat gelar Kakak OSIS terfavorit adalah Kak Kevan. Dan pastinya, Kak Kevan yang akan selalu menjadi nomer satu buatku, hihihi....

OK, FOKUS!

Bangunan ini tak begitu besar. Terdapat 2 lantai untuk menampung kurang lebih 90 penghuni.

Aku mulai menaiki tangga itu satu per satu, sambil tetap berjalan, mataku menyapu ruangan di sekelilingku. Coretan tinta berbentuk tulisan dan gambar terlihat di setiap sisi tembok. Beberapa foto anak panti terpasang di kanan kiri dinding, disertai tempelan lembaran kertas yang ada tulisan tangannya.

Aku berhenti sejenak lalu berjalan maju mendekati satu lembaran yang menarik perhatianku. Di barisan pertama huruf kapital tertulis, "KAMI SEMUA SAUDARA".

Bagaikan air pegunungan yang saat kita pegang akan terasa sejuknya, seperti itu juga hatiku saat membaca satu baris sederhana ini tapi memiliki berjuta makna yang sangat berharga. Mungkin, mereka banyak yang kehilangan atau terpisahkan dari keluarga kandungnya, namun hanya membaca satu baris kalimat tersebut, kita akan mengetahui bahwa di panti asuhan ini mereka diajari untuk saling menjaga layaknya saudara yang sesungguhnya.

Sesampainya di lantai dua, aku dan rombongan yang memilih ikut melihat suasana di lantai atas, menelusuri koridor menuju kamar-kamar yang akan kami datangi.

Ada beberapa kamar di sini. Tiap kamar berisi empat sampai lima tempat tidur bertingkat. Jangan tanya bagaimana keadaan kamarnya. Yang jelas kalian akan berucap syukur dibanding harus melihat kondisi kamar yang penuh sesak ini.

Tiba-tiba terdengar suara tangis anak kecil yang amat kencang. Mbak Siti yang memandu kami, sontak berlari ke kamar paling pojok. Kami semua ikut berlari mencari sumber suara, penasaran apa yang tengah terjadi.

Terlihat ada dua anak di kamar itu. Kira-kira usianya antara empat atau lima tahun. Yang satunya, cewek yang terlihat usai bangun tidur dan masih menangis keras di atas kasur. Sedangkan yang satunya lagi, seorang anak cowok yang sedang duduk dan bermain mobil-mobilan sendirian di lantai.

Mbak Siti berusaha menenangkan, tapi si anak bukannya diam, ia malah menggeleng keras, dan berteriak mencari mamanya.

"Mama mana, Mama mana? Aku mau Mama...."

Aku terenyuh melihatnya. Apa sebegitu rindukah ia terhadap mamanya?

Tiba-tiba anak itu turun dan melihat kami semua. Matanya yang bening dan tanpa dosa itu melihat kami satu per satu. Wajahnya tampak imut di mataku. Matanya bulat, pipi chubby, putih dan rambut ikal.

Lalu ia berjalan ke arahku, diperhatikannya wajahku lekat penuh selidik dan kemudian ia tersenyum cerah. "Kak, itu Mama...," teriaknya sambil berlari dan memeluk erat pinggangku.

Aku masih belum sempat berpikir apa yang sedang terjadi saat ini.

"Kenapa Mama ninggalin aku dan Kakak?" ucapnya polos.

Apakah mereka mengira aku mamanya? Seperti itukah?

Ia mendongak menatapku. Air mata mengalir deras di kedua pipinya. Rasa sedih bercampur iba menyeruak di sanubariku. Sungguh, rasanya hati ini ikut menangis pilu melihatnya.

Tak kuasa jika harus melihat kesedihannya lebih lama lagi, membuatku segera menunduk dan menggendongnya. Ia anak yang sangat mungil dan lucu. Ia membenamkan wajahnya di leherku, memelukku erat.

Semua pun hanya terdiam melihat kami, sedangkan anak kecil cowok yang satunya, aku rasa adalah kakaknya, mulai tersenyum dan berlari ikut memelukku. Aku hampir terjungkal menerima terjangan dari pelukannya. Tak sengaja kuraba rambutnya, ada benjolan besar di kepalanya.

Ya, Tuhan ... apa ini? Apa ini tumor? Seberat itukah beban hidup yang harus ia jalani?

Seketika kubekap mulutku. Aku tak sanggup berkata apa-apa selain genangan air mataku yang bisa menjawabnya.

Kuturunkan si kecil dari gendonganku, kuusap air mata mereka satu per satu lalu kukecup kedua kening mereka bergantian. Mereka menatapku sendu penuh rindu, dan sedetik kemudian mereka kembali memelukku seraya menangis tersedu-sedu.

Oh, Tuhan, kenapa semua ini harus terjadi pada si kecil yang belum tahu apa-apa ini? Apa salah mereka? Tidak cukupkah hanya aku yang merasa menjadi anak yatim piatu di sini?

Aku sudah tak bisa membayangkan lagi bagaimana caranya mereka bisa menjalani hari-hari tanpa belaian kasih orang tua. Hatiku sudah hancur melihat wajah manis dan tatapan polos mereka saat memanggilku dengan sebutan mama.

Dan, ketika rombongan sekolah kami akan balik, dua anak kecil tadi, Abel dan Reno, yang namanya sudah aku tanyakan Mbak Siti selaku pengurus panti, masih memelukku erat, sampai-sampai aku tak kuasa untuk bergerak.

Karena hari sudah mulai sore, aku mencoba melepaskan paksa kedua tangan mereka, bahkan Dara dan Tomi sempat membantu, bukannya terlepas, dekapan mereka malah semakin erat memelukku.

"Jangan tinggalkan kami lagi, Ma," kata Abel seraya tangan mungilnya mengusap pipinya yang kembali basah.

"Jangan pergi, Ma. Reno mohon," ucap Reno. Ia mengerjapkan matanya mencoba untuk menahan air yang seakan keluar dari matanya. "Tiap malam Adik Abel manggil Mama terus. Kasihan Adik Abel, Ma."

Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tak tega melihat kondisi mereka.

Mereka seperti cerminan diriku yang nyata. Bahkan sempat terlintas dipikiranku, apa jadinya jika selama ini nenek dan kakek tak ada di sampingku? Bisa aja, aku sekarang sudah menjadi seorang anak yatim piatu dan mungkin di tempat seperti inilah aku tumbuh dan besar nanti.

Akhirnya, kuberanikan diri menatap Kak Kevan, berharap semoga ia bisa mengerti. Syukurlah, Kak Kevan mengerti maksud tatapanku dan memberikan aku waktu untuk menenangkan mereka.

Tapi tanpa disangka-sangka, cowok songong, Kenn, tiba-tiba maju dengan angkuhnya, dan menawarkan diri untuk menemaniku dan berjanji akan mengantarkanku pulang sampai ke rumah dengan selamat.

Atau lebih tepatnya ia dengan lancang mempertegas bahwa aku sangat aman jika berada bersamanya.

............................***..........................
Semoga ada yang tersentuh dan berucap syukur bahwa kita harusnya merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia daripada mereka.

Ditunggu comentnya...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro