3. MOS Hari Kedua
Hari ini aku sampai di sekolah satu jam lebih awal. Aku berjalan santai menuju ruang kelasku. Aku berdecak kagum karena sekolah ini sungguh megah dan besar. Kelasku ada di lantai 3, sedangkan sekolah ini ada 7 lantai. Ada liftnya juga, lagi.
Wow kereeennn....
Sebenarnya sampai sekarang, aku nggak pernah nyangka bisa masuk di sekolah elit ini. Sekolah ini sangat terkenal dengan sebutan sekolah matre. Karena apa? Karena hampir semuanya di sini dari kalangan atas. Siapa yang menjadi donatur terbesar di sekolah ini, maka ia akan berada di urutan kelas pertama. Ketika ditanya akan kebenarannya, pihak sekolah sering membantah dengan berbagai alasan, tapi kenyataan selalu berkata lain. Anehnya, sekolah ini tetap menjadi salah satu sekolah yang paling diinginkan semua siswa, karena selain besar dan megah layaknya istana, fasilitas sekolah di sini sangat lengkap, semua gurunya pun teruji kualitas dan kemampuannya.
Kalian pasti bingung kenapa aku bisa masuk di kelas X-1?
Yup, betul. Aku adalah salah satu siswi yang beruntung bisa masuk sekolah ini dengan jalur beasiswa prestasi. Jadi bisa kita simpulkan, di tiap kelas urutan pertama itu adalah tempat khusus campuran para siswa-siswi terkaya dan terpintar.
Sekarang aku boleh bangga, kan? Ini cita-citaku dari dulu. Sejak SMP, aku belajar mati-matian agar bisa masuk ke sekolah ini.
Aku sempat dengar, di sekolah ini pernah punya cerita. Dulu, ada sepasang kekasih yang saling mencintai dan harus dipisahkan oleh orangtuanya karena perbedaan status mereka. Aku nggak tahu kelanjutan ceritanya seperti apa. Tapi, aku juga nggak mau ikut larut dalam kisah itu. Aku ingin maju. Aku ingin merasakan dicintai dan mencintai. Aku ingin mempunyai kekasih yang tampan dan kaya. Mungkin terdengar materialistis, tapi di sini, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya mempunyai pacar yang populer. Untuk urusan jodoh, aku pasrahkan semua pada Tuhan.
Kakek dan nenekku pernah bilang, "Habiskan masa mudamu, asal jangan bertentangan dengan hukum dan agama." Makasih kek, nek, aku sayang kalian, karena hanya kalian yang aku punya.
Aku sekarang sudah di lantai 6, masih melihat-lihat ruangan yang aku lewati. Lucu juga sekolah ini, penataan ruang kelas dibuat acak. Ruang kelas XII ada di lantai 1 dan 2, kelas X ada dilantai 3 dan 4, kelas XI ada di lantai 5 dan 6, sedangkan lantai 7 dipakai untuk kantin.
Di belakang, bukannya sudah ada kantin? Memang sekolah ini punya berapa banyak kantin, sih?
Ah, bodoh. Namanya juga sekolahnya orang kaya, terserah merekalah.
Aku kembali turun ke ruang kelasku berada. Kukira, aku satu-satunya yang datang paling awal di sekolah ini, ternyata salah.
Mataku menangkap sosok seorang cewek yang berdiri membelakangiku, menghadap luar jendela. Kupandangi dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terasa familier.
Tiba-tiba cewek itu berseru, "Nggak usah serius gitu mandangnya." Masih menatap jendela.
"Dara?" tanyaku, memastikan.
Aku ingat betul suara itu. Adara Salsabila, namanya. Sahabat di SMP-ku yang dulu.
Ia berbalik dan tersenyum ceria, "Surprise...," ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya. Segera kusambut tangan itu, dan kuajak berputar-putar seperti anak kecil. Aku bahagia sekali, akhirnya kami bisa satu sekolah dan sekelas lagi.
"Kok, nggak bilang, lo sekolah di sini, Ra?" tanyaku antusias.
"Namanya bukan surprise dong, kalau dikasih tau dari awal." Aku memberengut, kesal. "Awalnya, gue sama Tomi mau ngasih tau lo kemarin. Tapi dasar Tomi, ia nggak pernah bisa nahan tawa kalau giliran lo yang kena ledekan," lanjutnya.
Aku memutar bola mataku. Malas rasanya kalau disuruh mengingat lagi adegan satu itu. Saat dibilang pendek sama artis jadi-jadian, ketawa Tomi-lah yang paling kencang. Nih anak, dari dulu memang senang sekali lihat aku sengsara.
"Tapi kemarin lo ke mana? Abis istirahat gue nungguin di kelas, lo nggak muncul-muncul?" tanya Dara, lagi.
"Hehehe, sebenernya ... gue kemaren ketiduran di ruang UKS, Ra. Pas bangun, sekolah udah sepi, tinggal Pak Satpam, doang." Aku meringis, sambil mainin kedua ujung jari telunjukku, kusatukan seperti magnet yang bisa tarik-menarik. Salah satu kebiasaan anehku, kalau lagi ketahuan atau takut bercerita sesuatu.
Kalian masih ingat, kan, waktu aku kabur dari kantin? Karena jam istirahat belum selesai, aku langsung menuju ke ruang UKS. Eh, malah ketiduran. Untung aja, nggak ada yang kunciin aku dari luar.
"Ya ampun, Frel. Lo bego banget, sih. Tau nggak, kemaren Tomi kalang kabut nyariin lo. Dikira lo di-bully Kak Farah sama gengnya."
"Kak Farah? Siapa?" tanyaku bingung.
"Elo beneran nggak tau?"
Aku menggeleng. "Yang ngasih hukuman lo lari, emang lo pikir siapa?"
"Jadi, artis jadi-jadian itu namanya Kak Farah?" Meskipun bingung apa yang aku maksud, Dara tetap mengangguk-anggukkan kepalanya.
Selanjutnya, Dara bercerita tentang kejadian kemaren saat hari pertama MOS. Tentang hukuman apa aja yang diberikan supaya bisa mendapatkan tanda tangan para Kakak OSIS. Aku sampai terpingkal-pingkal saat Dara bercerita ada cowok gendut disuruh menari tarian jaepong, ia tersandung kakinya sendiri karena badannya terlalu gemuk, tuh cowok jatuh sampai tengkurap di atas lantai, hahaha ... kasihan banget!
Ada yang disuruh membelikan es krim, ada yang disuruh bernyanyi, melompat seperti kodok, push-up, menirukan ayam berkokok sambil mengepakkan sayapnya, bahkan Dara kebagian disuruh menghitung dari angka 1-500 secara cepat, kalau salah ucap, harus mulai lagi dari awal.
Tapi, giliran Tomi, Kak Farah memberi tugas untuk merayunya dengan membawa setangkai bunga mawar. Yang membuat jijik adalah Kak Farah menerima dengan alay dan lebay, sedangkan cewek yang lain pada teriak dan histeris melihat wajah tampan Tomi. Pada mupeng semua begitu melihat gaya rayuan Tomi, terlihat elegan dan natural.
Dasar playboy kelas kakap!
"Ohh, kalian baru tau, betapa besarnya pesona gue." Tahu-tahu Tomi sudah bertengger di belakang kami, dan mengalungkan tangannya ke bahu kami berdua. Sambil memiringkan kepala kearahku, Tomi berbisik, "Apa lo mulai jatuh cinta ke gue lagi, Frel?" Tanpa ba bi bu, kutarik sekuat tenaga rambutnya. Biar mampus sekalian.
Kesalahan fatalku adalah pernah menyukai cowok seperti Tomi. Aku sangat menyukainya, itu dulu, sebelum aku tahu siapa sebenarnya Tomi.
"Adow, sakit, sakit Frel. Lepasin rambut gue, adowww...," teriak Tomi kesakitan. Sedangkan Dara ketawa ngakak sambil megangin perutnya.
"Nggak bakalan gue lepasin, sebelum lo janji nggak bahas soal itu lagi."
"Kalau soal itu, gue nggak jan— adow, sakit."
Aku semakin kencang menarik rambutnya. Nggak peduli, meskipun penghuni kelas sudah mulai berdatangan, dan para cewek yang sekarang mendadak menjadi fansnya, menatap horor ke arahku. Biar botak sekalian, tuh kepala. Rasain, siapa suruh ucapin kata laknat itu lagi. Hitung-hitung balas dendam. Berani-beraninya ninggalin aku sendirian di lapangan.
"Gu, gue janji, Frel. Sekarang lepasin, pliss...."
Seketika kulepas kedua tanganku, beberapa helai rambutnya rontok akibat tarikan dahsyatku. Aku menyeringai puas begitu melihat keadaan Tomi yang syok meratapi nasib rambutnya. Hahaha....
Tiba-tiba kelas menjadi hening, bersamaan dengan datangnya seorang cowok yang cuek tanpa melihat sekeliling. Bahkan, Dara yang sedari tadi masih ketawa, mendadak diam dan kepalanya mengikuti arah cowok itu sampai berhenti di meja barisan nomer tiga, dekat jendela.
Dahiku berkerut bingung. Sayangnya, sebelum menuntut penjelasan Dara, terdengar suara dari pengeras suara yang ditujukan kepada semua murid untuk berkumpul di tengah lapangan.
..........................***..............................
Part selanjutnya masih lanjutan dari MOS hari kedua ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro