Rindu Kasur
Begitu sesuap nasi hangat dan potongan ayam KFC masuk ke dalam mulut, rasanya aku ingin menangis terharu! Rasanya memang agak sedikit sayang menghabiskan uang lebih dari lima puluh ribu untuk makan di bandara, tetapi karena hari suda sore, aku akan anggap ini sekaligus makan malam. Maklum, sebagai anak kos, tentu saja yang terlintas di kepalaku adalah berhemat.
Sembari makan pelan-pelan, aku memainkan game dalam ponsel, terbenam dalam duniaku sendiri. Aku tak perlu khawatir soal tas dan koperku, sudah ada Om Joko—sopir yang disewakan Papa—yang menunggu di luar dengan barang-barangku yang lain.
Sejujurnya ini adalah penerbangan keduaku sendiri, tetapi ini kali pertama aku tiba sendirian. Seharusnya Papa yang tinggal di Tangerang menjemputku, tapi karena Papa sedang ada proyek di Palangkaraya, aku jadi harus berpuas hati dengan sopir yang untungnya sudah pernah kutemui sebelumnya. Jangan bahas bagaimana susahnya kami bertemu di Terminal 3 yang luasnya minta ampun ini. Gara-gara ingin cepat keluar, aku tadi mengikuti gerombolan orang berbaju seragam. Akibatnya, aku tersesat. Lucunya, ternyata rombongan yang aku ikuti pun juga salah arah.
Sudahlah, yang penting aku sudah bisa makan nasi semenjak tiba di Bandara Internasional Minangkabau jam setengah sebelas tadi siang. Niatnya sih, aku akan membeli kebab di ruang tunggu. Namun sepertinya hari ini bukan hari keberuntunganku. Kedai kebabnya tutup. Alhasil, aku harus puas makan Roti Boy.
Tapi tidak apa-apa. Sekarang aku bisa makan pelan-pelan. Aku sengaja memesan puding cokelat sebagai pencuci mulut. Biarkan saat ini aku menikmati kesendirian di tengah keramaian. Setelah mencuci tangan di wastafel, aku bisa menikmati puding cokelatku!
“Mbak, makanannya saya beresin, ya.”
“Eh?”
Setengah dari baki makananku sudah setengah masuk ke dalam keranjang pembuangan. Petugas KFC itu kelihatan seperti orang yang tertangkap basah. Aku melirik mejaku, tahu-tahu sudah ada dua baki yang berisi makanan—seseorang baru saja mengambil tempat dudukku!
“Ini masih ada pudingnya,” kataku mengambil puding dan sendok yang untung saja terletak di paling ujung. Rasanya aku ingin sekali marah-marah dan protes. Hei! Aku belum selesai makan! Beruntungnya petugas itu, aku sudah terlalu lelah untuk sekadar menaikkan suara. Aku berlalu dengan puding dan sendok di tangan.
***
Pudingnya enak. Terpaksa aku makan puding ini di dalam mobil sambil mengobrol dengan Om Joko. Dia orang yang menyenangkan. Berkat kemampuan komunikasiku yang tidak KKM, pembicaraan kami cukup mengalir.
Masalahnya hanya satu: aku mengantuk!
Ya, aku sangat sangat mengantuk dan merindukan kasur. Bayangkan saja, sebenarnya aku berangkat dari rumah jam empat dini hari tadi. Bisa dibilang, sudah dua belas jam waktuku dihabiskan hanya dalam perjalanan. Akan tetapi, rasanya tidak pantas juga jika aku tertidur dalam kondisi seperti ini.
Om Joko bilang, hari Jumat adalah hari terpadat di jam segini. Benar saja, tak lama kami sudah berhenti karena macet. Aku yang tadi sempat kepanasan saat berjalan menuju mobil sudah mulai mendengus-dengus karena ingus. Semua ini gara-gara AC mobil dan daya tahan tubuhku yang lemah. Aku terpaksa tetap memakai masker agar hidungku tidak langsung terpapar udara dingin itu.
“Perlu tisu? Ini Om ada tisu.”
Mungkin karena ini yang kesekian kalinya aku menghirup ingus sambil bernapas dari mulut, Om Joko mendekatkan tisu mobil ke arahku. Sebenarnya aku punya tisu sendiri, tetapi tetap kuambil selembar sebagai terima kasih. Diberikannya tisu ini kuanggap sebagai sinyal bahwa aku boleh membuang ingus di dalam mobil. Tanpa malu-malu lagi, aku langsung memanfaatkan tisu yang ada di tangan.
Ah, indahnya menghirup udara segar.
Sebenarnya tidak juga, karena aku langsung menaikkan masker kembali agar tidak langsung menghirup AC. Suasana hening, aku hanya memainkan ponsel agar tidak mengantuk.
“Ada minum? Ini, Om sudah belikan minum.”
Tak lama Om Joko juga menawariku minum. Sebenarnya aku juga punya sebotol air minum di dalam tas, tetapi aku tetap mengambil sebotol air dan sebotol teh yang disodorkan padaku. Mana mau aku menolak yang gratisan.
Perjalanan ke Depok sepertinya akan sedikit panjang. Kuharap kami bisa sampai sebelum azan.
***
Kami sampai di depan gerbang kos tepat pukul enam sore. Aku tak menyangka empat belas jam sudah berlalu, dan aku akhirnya sampai di tempat tujuan.
Harusnya kami bisa sampai lebih cepat, tetapi tempat berputar yang biasanya sering kulalui tahun lalu sudah ditutup entah kenapa. Akibatnya, kami harus mencari jalan berputar yang lebih jauh. Sudahlah, yang penting aku sudah sampai.
Namun, aku tahu pertemuanku dengan kasur tidak akan berjalan mulus.
Sudah hampir dua bulan aku meninggalkan kamar kosku. Maklum, aku kabur duluan sebelum Hari Natal karena sudah muak, maksudku, karena aku sudah terlalu rindu dengan kucing-kucingku di rumah. Aku tak bisa membayangkan betapa kotornya kamarku nanti.
Om Joko bersikeras untuk membawakan koperku yang beratnya delapan belas kilogram itu, padahal sudah kubilang tidak usah sebab kamarku berada di lantai satu. Sebenarnya yang boleh masuk lingkungan kos hanyalah orang tua laki-laki dan keluarga. Namun karena Om Joko sudah menganggap dirinya sebagai pamanku, kami berdua tetap masuk.
Oh, betapa bersyukurnya aku karena Om Joko bersikeras untuk mengantar koperku dan menungguku untuk membuka pintu kos.
Saat aku membuka pintu dan melihat kegelapan, aku melangkah masuk untuk menghidupkan lampu. Alangkah terkejutnya aku ketika menginjak sesuatu yang kering.
“Eh? Kecoak?”
Aku menginjak bangkai kecoak yang sudah mati kering. Awalnya aku merasa biasa saja, sampai aku mendengar suara Om Joko.
“Oh, banyak sekali kecoak.”
“Eh, iya, Om?”
Aku menatap ngeri pada beberapa bangkai kecoak yang diambil Om Joko langsung dengan tangannya. Dia bilang, pasti akan ada lebih banyak kecoak di kamar mandi. Wajahku memucat, tetapi aku tetap membuka pintu kamar mandi.
“Banyak, Om?” tanyaku cemas. Aku hanya mendorong pintunya terbuka, tak berani melihat kondisi di dalamnya.
“Iya, banyak.”
Aku tak sempat untuk merasa takjub dengan suara Om Joko yang terdengar biasa saja. Aku buru-buru mencari plastik agar Om Joko bisa membuang semua kecoak yang dia ambil ke dalam sana. Sembari itu, aku juga mengecek sudut-sudut kamar barangkali masih ada bangkai kecoak yang luput. Hanya setelah aku yakin tidak ada lagi bangkai kecoak yang terlihat, barulah Om Joko pergi.
Aku tinggal sendiri di kamar yang bau kecoak dan berdebu.
Rasanya aku tidak bisa menangis. Aku hanya ingin cepat-cepat membersihkan kamar supaya aku bisa berbaring di kasur.
Ya Allah, kuatkanlah hamba-Mu ini.
***
Jam sembilan malam, akhirnya aku sudah mandi dan kini berbaring di atas kasur yang sudah dilapisi seprai. Rasanya bangga sekali karena aku sudah mengepel lantai dan menggosok bak mandi. Setidaknya kamarku sudah tidak lagi berbau seperti kecoak (hanya kamar mandiku yang masih bau kecoak, tapi lupakan saja itu untuk sekarang!). Koperku masih terbuka di tengah lantai, rasanya aku bisa pingsan jika mengemasi koper sekarang.
Aku memejamkan mata sambil mengelus lutut. Gara-gara terlalu semangat mengepel, lututku sampai memar begini. Jika membayangkan air pel yang hitam dan mesti diganti tiga kali untuk mengepel kamar yang luasnya tidak sampai sepuluh meter persegi ini, rasanya sangat menjijikkan. Kuharap ini terakhir kalinya aku perlu melakukan itu.
Setelah mengirimkan foto terakhir dan memberi tahu Mama lewat WA bahwa aku akan tidur, aku bangkit dari kasur untuk mematikan lampu.
“Aah... akhirnya...”
Aku meregangkan tangan dan kaki sambil memeluk guling. Senangnya kasurku masih terasa empuk. Tak kusangka aku sudah berpisah dengan kasur dari jam tiga pagi. Kalau dihitung-hitung, aku menghabiskan waktu delapan belas jam dari terbangun, berangkat, naik pesawat, perjalanan ke kos, dan membersihkan kamar.
Haha, entah kenapa aku merasa besok aku akan demam.
Namun sekarang, aku hanya ingin tidur dengan nyaman di atas kasur yang sangat kurindukan ini. Hari yang panjang sudah berlalu. Minggu depan perkuliahan akan dimulai, biarkan aku menikmati kasurku.
Selamat malam.
(Spoiler, keesokan paginya aku benar-benar demam)
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro