15. Sacrificium
AKHIRNYA!!
TERSELESAIKAN!!!!
Bukan cuman kalian saja yang senang dengan terpublishnya cerita ini!! Saya juga!!
Terima kasih kepada kakak E-Jazzy yang mau saya ganggu tiba2 ehehe dan maap kalau nggak mirip kayak apa yang kakak beritahukan.
Dengan word yang mencapai 3002 kata, saya harap anda membijak dalam memilih waktu. Sebenernya kalau anda sampai bolak-balik di cerita ini saya tak masalah kok. Hehe.
Selamat menikmati cerita~
Hati2 kalau typo bertebaran.
....
Sebuah permasalahan dibutuhkan sebuah pengorbanan.
Demi berlancarnya sebuah keajaiban perlu pengorbanan besar.
Masih sanggup menerimanya?
....
Revia menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang terlingkar di lehernya. Sedangkan Andy meminum air di botol yang telah ia persiapkan sebelumnya.
"Kau sudah berkembang Via," puji Andy setelah selesai meneguk setengah isi botolnya.
"Begitukah?" tanya Revia.
"Iya, hanya dalam beberapa minggu kau sudah menguasai banyak hal. Aku rasa kau tidak lagi memerlukan pelajaran dariku," kata Andy yang memasang senyumnya sambil berdiri dari posisi duduknya.
"Itu tidak benar! Aku masih belum menguasai beberapa hal!" seru Revia cepat.
"Aku yakin kau bisa menguasainya dengan cepat," kata Andy sambil tersenyum lembut. "Revia... ada yang ingin aku akui padamu," kata Andy dengan raut serius.
Revia merasa aneh dengan suasanya yang langsung berubah menadi serius. "A-apa?"
Andy menaikan tangannya perlahan dan ingin menyentuh pipi Revia tetapi ada sesuatu yang lewat, membuat Andy menarik kembali tangannya. Tiba-tiba Virgilio muncul di dekat mereka.
"Virgilio! Apa yang kau--"
"Keluar."
Revia dan Andy melihat arah tatapan serius Virgilio yang mengarah ke salah satu pohon. Tak lama seseorang muncul dengan senyum sinisnya. Andy langsung refleks berjalan di depan Revia sambil membentangkan sebelah tangannya.
"Ternyata aku ketahuan ya? Apa boleh buat?" kata orang itu dengan nada yang menyebalkan untuk kedua lelaki itu.
"Siapa kau?" tanya Andy dengan tatapan tajam.
"Anggap saja aku adalah merpati pos yang mengantarkan pesan kepada kalian. 'venimus'," kata seseorang itu sambil tersenyum sinis lalu ia melompat ke atas dan terlihat sayap sebelum ia menghilang.
Revia tercengang dengan apa yang ia lihat. "Dia mempunyai sayap!"
"Tidak, itu hanya angin," jawab Virgilio.
"Tetapi itu sayap!" kata Revia dengan salah satu tangan yang menunjuk ke atas.
"Hanya ilusi. Ayo, kita harus menghadap pak Sylog," kata Virgilio sambil berbalik.
"Sayang sekali, padahal aku mulai senang ada yang mempunyai sayap juga," kata Revia yang mengambil jaketnya yang ada Igvin di sana dan membawa Ethan dengan lemas
"Tenang saja aku pastikan tak ada selain kau," kata Virgilio sambil melirik Revia yang menunjukkan wajah bingungnya.
"Oh iya Andy, kau mau mengakui apa tadi?" tanya Revia.
"Ti-tidak jadi," kata Andy yang mengalikan wajahnya.
Revia memiringkan sedikit kepalanya dengan bingung lalu melihat Ethan yang juga sedang melihatnya.
....
Virgilio telah mencaritakan apa yang telah terjadi tadi dan menyampaikan pesan yang tadi ia dengar. Andy, Revia, Ethan dan Igvin hanya menunjukkan bahwa mereka saksinya. Sylog memang meminta mereka sedikit menjauh dari yang lainnya tetapi raut khawatirnya tak bisa membohongi siapapun.
"Sepertinya kita harus bersiap dengan cepat," kata Sylog yang memasang wajah seriusnya.
"Sebenarnya apa yang di katakannya?" tanya Revia bingung sembari melihat dua lelaki satu pria itu.
" Venimus, kami datang," kata Virgilio yang membuat Revia memeluk Ethan lebih erat.
"Tenang saja, kau pasti bisa menangani ini. Aku akan membantumu," kata Andy sambil menepuk pundak Revia.
"Tetapi.. ugh, aku merasa perutku berputar," kata Revia sambil menunduk.
"Insting," kata Virgilio yang membuat Revia melihat kearahnya.
"Itu benar master, kau'kan mempunyai insting sebagus vibirius. Dengan refleks itu kau tidak akan terluka besar," kata Igvin yang berjalan menuju salah satu pundak Revia.
"Aku harap begitu," kata Revia pasrah.
"Sebenarnya aku sangat ingin mengukur kemampuanmu sekarang tetapi ada yang harus aku lakukan. Virgilio antar Revia sampai di kamarnya, Andy kau ikut denganku," kata Sylog lalu berbalik.
Andy melihat Revia dengan senyuman sebelum mengekori Sylog. Revia membalas senyuman itu dengan senyuman pasrah lalu menghembuskan nafasnya pelan.
Virgilio berjalan terlebih dahulu lalu disusul Revia dari belakang. Mereka berdua hanya terdiam tanpa mengatakan apapun sampai mereka sampai di depan pintu kamar Revia.
Revia mengambil kunci yang ada di bawah karpet lalu membuka pintu kamarnya dan berbalik. "Terima kasih sudah mengantarkanku."
"Kau takut?" tanya Virgilio dengan wajah datar.
"Yah... tentu saja, ini perang pertamaku," kata Revia yang menundukkan kepalanya.
Virgilio menatap Revia lama yang membuat Revia menatap Virgilio bingung ditambah sorotan matanya yang terlihat sendu.
Sebelum Revia bertanya, Virgilio sudah melangkah menjauh tanpa melihatnya.
"Sampai jumpa," kata Revia.
Virgilio berhenti lalu melihat Revia dan jika matanya tak bermasalah, ia melihat Virgilio tersenyum tipis sebelum kembali beranjak menjauh.
....
Paginya Igvin yang menggunakan wujud manusianya terlihat lebih tidak semangat jika di bandingkan hari-hari lainnya ditambah alisnya yang tertekuk ke bawah.
"Ada apa Igvin? Kita harus berkumpul sekarang," kata Revia bingung.
"Jangan, kau tidak boleh ikut," kata Igvin dengan raut serius.
"Apa maksudmu Igvin?"
"Seperti yang sering terdengar insting vibirus tepat, apalagi kalau itu menyangkut masternya," terang Fulsea yang entah mengapa juga menggunakan wujud manusianya.
"Jadi apa maksudmu Revia bisa saja..." kata-kata Jeovana tertahan di tenggorokannya saat melihat Fulsea yang mengalihkan pandangannya.
"Lalu mengapa?" Semua tersentak saat mendengar perkataan polos Revia. "Jika memang itu jadinya apa yang harus aku lakukan?"
"TAPI MASTER!!"
"Ada Igvin, Ethan, Andy, Virgilio, Jeovana, Fulsea dan yang lainnya. Semuanya akan saling membantu bukan?" tanya Revia dengan senyum lebar.
Igvin menekuk alisnya lebih dalam lagi lalu memeluk Revia. "Iya, aku akan selalu melindungi master. Apapun yang terjadi," kata Igvin lalu melepaskan pelukannya.
Revia mengangguk. "Semangat!"
"Kau berani sekali ya," goda Jeovana.
"Tidak mungkin aku berani, kakiku bahkan rasanya tak ada tenaga," kata Revia dengan wajah ingin menangis dan membuat Jeovana tertawa pelan.
"Sudah jadi," kata Fulsea yang menyerahkan sesuatu ke Jeovana.
"Apa itu?" tanya Revia.
"Kemari," kata Jeovana yang membuat Revia mendekat kearahnya. Jeovana memegang tangan Revia lalu menempelkan jari telunjuknya di pergelangan Revia. "Nah, sudah."
"Apa itu tadi?" tanya Revia sambil melihat sebuah garis kecil di pergelangan tangannya.
Jeovana menunjukkan pergelangan tangannya dan menunjukkan garis yang sama juga ada padanya. "Dengan begini kita akan menyadari jika salah satu dari kita terluka. Parah atau tidaknya luka akan tergantung dari sengatan yang akan kita dapat. Tenang saja, tidak akan melumpuhkan kok," jelas Jeovana sambil tersenyum.
"Terima kasih," kata Revia sambil tersenyum.
Setelah itu mereka berjalan bersama menuju aula yang sudah di tentukan kemarin. Di sana mereka kembali di pisah menjadi beberapa kolompok yang dimana master vibirius dan penyihir biasa digabungkan. Revia tak mengenal siapapun di kelompoknya tetapi ia mendengar bahwa Jeovana dan Virgilio ada di kelompok yang sama.
....
"Jadi apa saja yang sudah kau kuasai Revia?" tanya Kai, si ketua kelompok.
"Aku rasa tongkat dan pedang cukup aku kuasai," kata Revia dengan gaya berpikir.
"Tongkat?" tanya Cia dengan wajah bingung.
"Maaf itu adalah senjata yang paling pertama aku tahu," kata Revia pelan.
"Mengapa minta maaf?" tanya Cia sambil menepuk pundak Revia dengan ceria. "Kalau kau bisa menggunakan tongkat berarti tenagamu kuat. Itu adalah hal yang hebat!" seru Cia.
"Terima kasih," kata Revia tersenyum malu.
"Baiklah, bagaimana dengan vibirusmu?" tanya Kai sambil melihat Igvin yang mengambil wujud tringgiling dan terbaring lemas di pundak Revia.
"Api," jawab Igvin pelan.
"Kau masih memikirkannya?" tanya Revia sambil melihat ke Igvin.
"Tentu saja!" seru Igvin kesal.
"Ada apa?" tanya Robert bingung.
"Tidak bukan apa-apa," dusta Revia sambil tersenyum.
"Bagaimana dengan nagamu?" tanya Kai sambil melihat Ethan yang bereaksi saat merasa ia tersebut.
"Sebenarnya aku belum melihatnya bertarung tetapi bisa abaikan saja ia?" tanya Revia.
"Tentu, apakah ada yang keberatan?" tanya Kai pada anggota kelompoknya yang saling menggeleng.
Akhirnya mereka saling berdiskusi mengenai strategi penyerangan mereka. Walaupun begitu Kai mengatakan bahwa strategi itu bisa saja hancur kapan saja.
....
Beberapa orang kini menyerang mereka. Revia yang ikut berjaga di baris depan mulai melayangkan pedangnya. Karena ringan, Revia dapat menganyunkan pedangnya dengan lincah.
"Igvin!" panggil Revia dan seketika pedang Revia di selimuti api.
Revia langsung megayunkan pedangnya dan api menjalar ke depan dan mengenai beberapa musuhnya.
Tiba-tiba ada sebuah panah mengarah ke arah Revia, dengan cepat Revia menghindari panah itu dengan menggunakan sayapnya sekilas lalu kembali turun.
"Kau tidak takut menggunakan sayapmu kan Revia?" tanya Igvin yang muncul di bahu Revia.
"Takut? Untuk apa?" tanya Revia bingung.
Igvin tertawa pelan. "Tidak, bukan apa-apa."
Walau bingung, fokusnya kembali melihat ke peperangan di depannya. Revia menangkis setiap sihir padat yang di depannya sedangkan Igvin menangkis sihir yang cair ataupun ukurannya kecil.
Revia mengganti pedangnya dengan tongkat menenggunakan sihir yang sempat ia pelajari. Seketika Revia menunduk dengan tangan yang menggenggam ujung tongkat dan mengayunkannya hingga terkena beberapa kaki yang langsung terjatuh.
"Terima kasih Revia!" seru Robert dengan senyuman.
Revia tersenyum sembari mengangguk lalu kembali menggenggam tongkatnya dengan pandangan ke depannya.
"Kenapa kau menolong orang lain di saat-saat seperti ini sih?" kata Igvin kesal.
"Kenapa? Masih merasa tidak enak?" tanya Revia sambil tersenyum kecil.
"Seharusnya kau tau perasaanku master!" seru Igvin sambil mencubit pipi Revia kesal.
"Ketemu." Revia langsung mengenali suara itu dan melihat ke depan. Seorang gadis seusianya menunjukkan senyum sinisnya.
"Talita!" seru Revia.
"Tabitha!"
"Loh bukannya Tasha ya?" tanya Igvin dengan wajah datarnya.
"Oh iya," kata kedua gadis itu dengan wajah polos.
"Kalian berdua ini bagaimana sih?" tanya Igvin sambil menepuk dahinya sendiri.
"Sudahlah, abaikan saja itu. Sekarang saatnya aku balas dendam karena aku di perbolehkan untuk membunuhmu," kata Tasha dengan senyum sinisnya.
Igvin langsung memakai wujud manusianya dan berdiri di depan Revia dengan sorotan seriusnya. "Bersiaplah untuk meleleh," kata Igvin serius.
Tiba-tiba saja sebuah jarum yang cukup besar melayang ke arah Igvin yang langsung meleleh terkena api. Igvin melirik dan terlihat pria yang sebelumnya bersama Tasha berdiri di dekat situ dengan beberapa besi yang melayang.
"Alatas?"
"Salah cerita!" seru Revia sambil menjitak kepala Igvin keras.
"Panggil saja aku Tas, jika begitu," kata pria itu sambil tersenyum senang.
"Tas ransel apa jinjing?" tanya Igvin.
"Kalau begitu Ala saja."
"Alamak. Alamat ya?" tanya Igvin dengan wajah pura-pura kaget.
"Sepertinya kita memang sangat cocok ya," kata pria itu tetap dengan senyumnya dan membuat kedua gadis itu bergidik ngeri.
"Akhirnya ada yang berpikiran sama denganku," kata Igvin ceria yang hampir membuat kedua gadis di sampingnya mengeluarkan segala yang ada di perut mereka.
"Tetapi sayangnya kita sudah harus berhadap-hadapan ya," kata pria itu yang tetap tersenyum tetapi kini terlihat menakutkan.
"Iya, sayang sekali," kata Igvin yang juga menunjukkan ekspresi yang sama. "Jangan segan untuk berteriak master," bisik Igvin saat melewati Revia.
"Kau juga," balas Revia sambil berbisik.
Igvin tertawa pelan lalu berfokus pada pria yang entah mengapa masih menunjukan senyumannya. Tak lama besi-besi yang berujung tajam kini melayang di sekitar lelaki itu, mengarah ke Igvin yang memasang kuda-kudanya.
Revia menatap Tasha yang menunjukan senyum sinisnya. Tangannya memegang erat tongkat sebelum menangkis es yang datang dengan cepat ke arahnya.
Igvin melempar api di besi-besi yang melayang di menuju ke arahnya. Itu dilakukan terus menerus hingga ia hampir bosan. Dalam sekali ayunan kedua tangannya, api membakar habis semua besi yang ada di sekitar pria itu.
"Aku merasa cukup bosan, tidakkah ada yang lain?" tanya Igvin sembari sedikit menguap.
"Hm? Begitukah?" tanya pria itu dengan senyum sinis.
Igvin melirik ke sebelahnya dan terlihat besi-besi yang tadi ia lelehkan ada beberapa yang kembali padat dan berwarna kemerahan, seperti habis di bakar.
Senyum Igvin melebar. "ini akan semakin seru," katanya pelan.
Revia masih dengan lincahnya menangkis dan meliukkan badan untuk menghindari serangan es dari Tasha.
"Jangan hanya menghindar!" seru Tasha.
"Mau bagaimana lagi aku hanya bisa menghindar!!" seru Revia panik.
"Serang aku dengan senjatamu. Kita lihat mana yang lebih tajam," kata Tasha dengan senyum sinisnya, diwaktu yang sama terlihat banyak es yang ada di sekeliling Tasha.
Revia menggam erat tongkatnya lalu dengan cepat ia mengganti tongkatnya dengan pedang. Ia seperti tidak merasakan keberadaan anggota lain, membuatnya merasa tidak begitu tenang. Walaupun begitu ia berencana untuk mengakhiri dengan cepat agar bisa mencari anggota kelompoknya yang lain.
Revia mulai mengayunkan pedangnya, membelah es yang diciptakan Tasha secara acak. Ternyata serangan pedang Revia membuat Tasha merasa kewalahan.
Sembari memunculkan es yang berukuran cukup besar, Tasha juga membuat duri-duri es yang ukurannya kecil.
Revia melompat ke belakang dengan bantuan sayapnya. Beberapa luka kecil terlihat di lengan, kaki, dan pipinya. Tak sengaja Igvin melirik kondisi Reva saat telah menepaki tanah di belakangnya.
Revia membenarkan posisi berdirinya lalu kembali berlari kembali mendekati Tasha. Igvin yang mulai merasa khawatir memikirkan sebuah rencana.
Dimana ada panas, disana Igvin bisa beraksi. Apalagi jika panas yang dikarenakan oleh apinya. Igvin membuat besi panas itu membuat api yang menjalar ke depan Tasha. Membuat es Tasha meleleh dan panas api menghalangi pergerakan.
Igvin tertawa kecil sambil melirik Tasha. Tiba-tiba saja besi terlempar ke arahnya yang dapat dihindari di detik-detik terakhir.
"Bukankah kau tau kalau aku adalah lawanmu?" tanya pria itu yang menunjukkan senyum kesalnya yang hanya terlihat sedikit.
"Hm? Apa maksudmu ya?" tanya Igvin yang menunjukkan senyum polosnya.
"Heeeh, jadi begitu ya permainanmu?" tanya pria itu sambil tersenyum yang di balas senyuman juga oleh Igvin yang terlihat sama-sama mengerikan.
Revia hampir saja ingin berteriak Igvin untuk lebih memikirkan pria di depannya tetapi di cegat oleh Tasha yang melemparkan es di depan Revia.
"Sungguh menghabiskan kesabaran," kata Tasha dengan wajah yang mengerikan.
"Padahal baru terpojokkan dua kali dan tidak ada luka," pikir Revia dengan wajah datar.
Revia kembali maju menyerang Tasha, gerakannya memang sama tetapi Revia berhasil menghindari serangan Tasha dengan baik. Saat es-es kecil kembali datang, Revia langsung mengganti pedangnya dengan tongkat kayunya dan memutar tongkat di genggamannya dengan cepat. Hal itu membuat es-es kecil itu tertancap di tongkatnya atau terlempar entah kemana.
Melihat Tasha yang sempat lengah membuat Revia membuka sayapnya, ingin menghajar Tasha dengan tongkatnya. Saat menarik lengannya untuk memukul bahu Tasha, Revia terbelalak melihat senyum miring Tasha. Seketika es-es yang ukurannya besar keluar dari kedua tangan Tasha dan menyerang kedua sayap Revia.
Revia membuka mulutnya tetapi suaranya tak keluar karena ia sudah terlebih dalu membentur tanah yang menjadi pijakan Tasha sebelum Tasha menyingkir dengan cepat. Igvin langsung menoleh dan mendapati Revia yang terbujur di tanah dengan sayapnya yang di penuhi luka yang terbekukan.
"Master." Igvin membelalakkan kedua matanya tak percaya. Sebelum melangkah mendekati Revia sebuah besi tertancap di dekat kakinya.
"Kau juga mempunyai lawan loh," kata pria yang menjadi lawannya dan tetapi dengan senyum yang sama.
"Cih." Igvin melihat Revia dengan tatapan terluka.
Revia dengan sekuat tenaga menggenggam erat tongkat yang masih ada di tangannya. "Aku... masih... aku masih... bisa...!" kata Revia yang lebih mengarah kepada dirinya sendiri.
"Master," panggil Igvin pelan yang melirik ke arah Revia.
"Kau keras kepala juga ya? Tapi memang kalau kau terlalu cepat menyerah memang membosankan," kata Tasha dengan nada yang meremehkan.
Igvin menggeram kesal sambil sesekali melihat kedua gadis di belakangnya dan melihat ke lawannya. Matanya melihat sekilas Revia yang berhasil berdiri dengan kaki yang bergetar. Karena tak kuat melihat lama, Igvin mencari cara cepat untuk melumpuhkan lawannya.
Saat matanya kembali melihat ke depan, pria itu sudah tersenyum sinis mebuat mata Igvin kembali terbelalak. Tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya yang membuatnya berbalik.
"MASTER! MENGHINDAR!"
....
Jeovana menahan langkahnya dengan sebelah kakinya. Matanya terbelalak sambil menggenggam sebelah tangannya.
"Ada apa?" tanya Fulsea yang ada di atas kepala Jeovana.
"Revia.." walaupun pelan ada seseorang yang melihat ke arahnya.
"Fulsea! Bantu aku ke Revia! cepat!" seru Jeovana sambil berputar ke arah tempat Revia di tugaskan.
"Baik!" Fulsea langsung melompat dan memperbesar ukurannya.
"Tunggu! Aku juga!"
.....
Kedua tangan Igvin meraih tubuh Revia yang hampir terjatuh kembali mengenai tanah. Matanya tak percaya melihat apa yang ia lihat. Sebuah besi yang menusuk di punggung tepat di antara kedua sayap Revia sampai melewati dadanya. Mulut Revia kini sudah terhiasi cairan merah yang membuatnya terbatuk sebelumnya.
"Lemahnya," kata pria itu pelan yang masih di dengar oleh Igvin dan membuatnya tersentak.
"Hei pak tua! Dia itu mangsaku tau!" seru Tasha sambil menunjuk pria itu.
"Mau bagaimana lagi, ia lemah sekali."
"Lemah? Lemah kau bilang?!" Igvin menatap kedua lawannya dengan mata jingga yang menyala. Di saat yang sama, bekas api Igvin kembali menyala dan membuat sebuah tempat kobaran api yang besar.
Tasha langsung membuat es dari tangannya tetapi seketika itu langsung meleleh, begitu pula dengan besi pria itu.
"Memang benar ya amarah membuat kekuatan berkali lipat," kata Tasha yang mundur selangkah.
"Tidak, ini masih setengah dari kekuatan aslinya," kata Pria itu yang juga ikut mengambil langkah mundur.
"Apa?! Jadi dengan alasan ini ya?" tanya Tasha.
"Itu benar," kata pria itu sambil mengangguk.
"Kalian dari tadi berbicara terus. KEMARILAH KALAU BERANI!!" seru Igvin sambil mengeluarkan api dari salah satu tangannya dan api-api di sekitarnya semakin membesar.
"IGVIN PIKIRKAN MASTERMU!"
Igvin seakan-akan tersadar dan api di sekelilingnya kini lenyap.
"Sekarang!" seru pria itu sambil melayangkan besinya, begitu pula Tasha yang juga ikut melemparkan esnya.
"Sial!"
Tiba-tiba saja petir-petir menghantam serangan-serangan itu ke bawah dan munculah seekor marmut yang cukup besar untuk melindungi Igvin dan Revia. Jeovana melompat turun dan berlari mendekati Igvin.
"Igvin, lelehkan sisa besi itu dan sisakan sedikit. Jangan sampai besi ini lepas dari tubuh Revia," seru Jeovana.
Igvin mengangguk dengan sedikit gelagapan lalu melakukan apa yang di suruh oleh Jeovana.
"Lalu Virgilio bantu membekukan pendarahan Revia!" seru Jeovana yang melihat lelaki yang kini berdiri terdiam dengan tatapan tak percaya. "VIRGILIO!"
Virgilio tersentak lalu berjalan mendekati Revia yang keadaannya kini membuatnya pillu.
Tak lama Ethan datang yang masih dengan ukuran kecilnya. Jeovana yang melihat Ethan merasa senang dan membuat sinyal untuk Ethan agar mendekatinya.
"Igvin, Virgilio, bawalah Revia menunggangi Ethan dan jaga Revia dari serangan musuh. Aku dan Fulsea akan menjaga di sini. Ethan, bisakah kau lakukan itu?" tanya Jeovana yang melihat Ethan dengan tatapan serius dan dibalas anggukan oleh Ethan.
"Ke mana?" tanya Igvin yang telah menyelesaikan tugasnya.
"Aku dengar si peramal pernah belajar ilmu medis," kata Jeovana dengan senyum miringnya.
....
Igvin dan Virgilio berhasil membawa Revia menuju sang peramal di sebuah hutan yang lebat dengan menunggangi Ethan. Mereka duduk di depan rumah sang peramal di keadaan yang saling diam.
Igvin melihat tangannya yang terlihat bekas darah Revia. Tiba-tiba saja di tangannya mendarat sebuah sapu tangan. Igvin melihat Virgilio yang masih memasang wajah datarnya.
"Makasih."
"Hm."
"Sebenarnya, mengapa kau juga ikut?" tanya Igvin.
Virgilio menatap Igvin cukup lama. Saat mulutnya terbuka suara pintu mendahuluinya berbicara. Virgilio dan Igvin melihat wanita peramal itu keluar dengan wajah sendu.
"Master bisa di sembuhkan?" tanya Igvin yang langsung berdiri dari tempat duduknya, begitu pula Virgilio.
"Lukanya memang tidak sampai membahayakan nyawanya." Perkataan tersebut membuat kedua lelaki itu menghembuskan nafas mereka.
"Baguslah," kata Igvin yang terlihat ingin menangis.
"Tetapi." Kedua lelaki itu langsung melihat wanita peramal itu dengan was-was. "Untuk menyembuhkan gadis itu kalian harus memenuhi beberapa syarat."
"Apa?" tanya Virgilio yang bisa memasang wajah datarnya.
"Kau, vibirius harus memutuskan ikatanmu kepada gadis itu dan memilih lelaki ini menjadi mastermu."
"Apa?!"
.
.
.
.
.
.
Cukup susah membayangkan pertarungannya, jadi maaf kalau kaku ya.
Saya tau saking lamanya saya tidak up banyak yang melupakan cerita ini. (Saya juga sih, kadang).
Setelah ini bukan pertarungan, dengan begitu saya harap saya bisa memakai waktu sempit untuk melanjutkan cerita ini. Padahal cerita sebelah blom lanjut :")
Oh iya deh sekalian promo sedikit. Saya ada bikin cerita kolaborasi sama Parfaitchan, sebenarnya ini cerita ber-sequel. Saya di bagian lucu-lucu sebelum kejadian "itu" terjadi, dia bagian sedih2'a setelah "itu" terjadi. Kami sama-sama tidak memaksa untuk membaca kedua cerita tetapi kami akan sangat berterima kasih jika kalian mampir. Oh iya, cerita kali ini bertemakan fgo dan lebih mengarah kepada King David dan Romani/ King Solomon.
Terima kasih sekali lagi yang masih menunggu cerita yang entah kapan publishnya ini.
Selamat hari senin~ kekeke.
-(12/11/2018)-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro