Kera Kahyangan
Pada zaman dahulu kala, ketika dunia masih dipenuhi berbagai keajaiban, sebuah pulau megah panjang membentang dari barat ke timur. Banyak sekali tumbuhan dan jenis-jenis satwa yang hidup disana. Manusia hidup damai dalam pimpinan Prabu Jayawikrama, kerajaannya bernama Prakasapura yang luas dan disegani seluruh rakyatnya.
Di tengah yang hutan paling terpencil, terdapat sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk dan reyot. Di tempat itu hidup seorang kakek tua yang sebatang kara, namun ia sebatang kara atas keinginannya sendiri menjadi seorang resi atau pertapa. Dia dikenal sebagai Resi Ardhani, selama dua puluh tahun dirinya pergi meninggalkan semua harta dan keinginan duniawinya untuk bertapa dan mencapai pencerahan sempurna.
Sang Resi memiliki sebuah pohon buah naga yang sangat manis, tapi tak pernah sekalipun ia memakannya. Sehari-hari ia makan nasi dan sayur yang ia tanam sendiri di lahan kecil yang ada disamping pondok. Buah naga itu dipetik hanya ketika panen dan digunakan sebagai sesembahan untuk upacara kepada Dewa.
Di belakang pondok terdapat sungai yang airnya mengalir dengan tenang, sementara pepohonan tumbuh rindang mengelilingi pondoknya. Keseharian Sang Resi hanyalah bertapa dan sesekali keluar hutan untuk berbuat kebajikan.
Tak jauh dari pondok itu, terdapat sebuah gua yang gelap. Di dalamnya terdapat seekor kera yang amat pintar. Dari sekian banyak kera ialah yang paling cerdik dan banyak akal. Tak heran ia dihormati kera lainnya. Namun keadaan seperti ini membuatnya menjadi sombong, merasa dirinya yang paling hebat dan bisa melakukan apapun. Kera itu dikenal dengan nama Bhanu.
Suatu hari salah satu kera datang kepadanya dan mengungkapkan keinginan sekaligus tantangan kepada Bhanu. Bhanu lantas menemuinya dengan rasa penasaran.
“Oh sahabatku, mengapa kau datang dengan begitu terburu-buru? Tampak di wajahmu ada rasa resah dan gelisah. Sampaikanlah pada Bhanu yang sakti mandraguna ini,” kata Bhanu dengan ramah.
Kera itu menjawab, “Bhanu yang kuhormati, aku punya keinginan yang teramat besar hingga menganggu tidurku. Hal itu adalah bau manis dari pondok Resi Ardhani, setiap kali aku menciumnya perutku langsung lapar dan tidak bisa tidur. Sudikah sekiranya Bhanu untuk mengecek dan mengambil apapun yang ada disana?”
Tanpa pikir panjang, Bhanu mengiyakan dengan maksud menolong sahabatnya itu. “Baiklah, besok pagi-pagi buta aku akan pergi ke pondok Resi. Aku akan cari tahu apa yang menganggumu itu. Tenang saja, kehebatan dan kecerdasanku akan senantiasa membantumu.”
Keesokan harinya Bhanu benar-benar datang ke pondok Resi Ardhani. Matahari bahkan belum timbul sama sekali, hari masih teramat gelap. Tapi kera sombong itu sudah melompati pohon-pohon guna menembus lebatnya hutan. Belum sampai ia ke pondok itu, bau manis yang lezat mulai tercium.
“Lezatnya! Manis!” kata Bhanu yang semakin mencium bau manis itu.
Semakin ia mencium bau itu, semakin ia lapar dan tak sabar untuk sampai. Matanya dipenuhi rasa penasaran dan air liurnya menetes. Sesampainya di pondok Resi, ia melihat pohon buah naga yang sudah panen. Ternyata dari sana bau itu tercium,tanpa pikir panjang Bhanu melompat dari pohon dan menerjang buah-buah itu. Dengan rakus ia makan satu, dua, tiga terus menerus tanpa kenal kenyang.
Saking rakusnya ia bahkan sampai lupa waktu, tak terasa matahari sudah terbit dan Resi Ardhani bangun dari tidurnya. Ketika keluar rumah ia melihat buah naganya habis dimakan seekor kera. Karena murka ia mengambil rotan dan menyerang Bhanu. Bhanu dengan perut penuh namun gesit masih bisa menghindar dan melompat ke dahan pohon.
“Buah-buahku! Ini adalah persembahan kepada Dewa-Dewi, mengapa seekor kera nakal bisa sampai kesini dan memakan semuanya?” kata resi Ardhani dengan penuh penyesalan sambil meratapi pohonnya yang sudah kehabisan buah.
Semakin murka, Resi Ardhani menoleh ke Bhanu yang masih berdiri di dahan pohon. Ia lantas berucap, “Wahai kera nakal, ketahuilah bahwa perbuatanmu ini adalah perbuatan yang melanggar dharma dan kebajikan. Maka dari itu, kau akan mendapatkan karma yang setimpal! Hari ini, aku mengutukmu ... selamanya kau tidak akan bisa lagi merasakan rasa makanan, lidahmu akan kehilangan fungsinya. Makanan seenak apapun akan terasa hambar di mulutmu!”
Awalnya Bhanu mengabaikan sumpah itu dan pergi dengan santai. Namun ketika siang hari dan perutnya kembali lapar, Bhanu berniat makan buah mangga di pohon dekat gua tempatnya tinggal. Ketika itulah kutukan itu terjadi, buah mangga yang seharusnya manis kini terasa hambar. Kemudian ia coba makan nanas, tapi tetap saja hambar. Ia makan rambutan, pisang, pepaya semua hambar. Bahkan bau-bau manis yang biasa masuk ke hidungnya kini tak ada rasanya lagi. Hidungnya turut kehilangan fungsi.
Seterusnya ia hidup tanpa bisa merasakan makanan sama sekali, sampai berhari-hari ia murung dan tak bersemangat. Ia menyesal telah terbawa nafsu memakan buah naga itu. Sekarang ia merasakan akibatnya, betapa sedihnya Bhanu tak bisa makan enak seperti yang teman-temannya rasakan.
Karena merasa putus asa, Bhanu memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan hutan dan datang ke sebuah gunung yang sangat tinggi. Di sana ia melakukan tapa mati raga yang sangat berat. Ia bertapa tanpa makan, minum, buang air bahkan tidur sekalipun. Ia abaikan semua kebutuhannya dan memilih menyiksa diri sendiri. Hingga tak terasa sudah lima tahun Bhanu melakukan pertapaan itu.
Tak lama kemudian seorang Dewa turun dari langit untuk menemuinya, sebuah kereta kencana yang teramat indah meluncur turun dari awan. Sesosok Dewa yang agung dan berwibawa datang menghampirinya. Kepada Bhanu ia bertanya, “Sungguh kera yang malang, mengapa kau siksa dirimu dengan tapa brata yang begitu berat? Sudahilah, tubuhmu kian kurus. Aku tak kuasa melihatnya dari atas langit, apapun akan aku kabulkan asalkan kau hentikan tapamu itu.”
Bhanu membuka mata dan berkata, “Mohon belas kasihanmu wahai Sang Dewa, selama bertahun-tahun aku tidak makan dan minum. Sekalipun aku makan, aku tak bisa merasakan lezatnya makanan itu. Semua ini karena kutukan Resi Ardhani, aku terbawa nafsu dan memakan buah naga miliknya. Tolong bebaskan aku dari kutukan ini wahai Dewa yang kuhormati.”
“Sungguh aku tak akan bisa membebaskanmu dari kutukan seorang Resi, bilamana seorang Resi suci mengutukmu. Itu tandanya perilakumu terhadapnya sudah teramat buruk, dan yang bisa membebaskanmu dari kutukan hanyalah dirimu sendiri. Dengan berbuat kebaikan dengan sesama, maka kutukan itu akan lepas dengan sendirinya.
“Lakukanlah kebaikan selama satu tahun ini. Kau akan terbebas dari kutukan ketika kau melakukan kebaikan terakhir sebelum tahun baru tiba, kau akan mendapatkannya ketika memang sudah waktunya. Sekarang berusahalah dan berhenti menyiksa dirimu,” tutur Sang Dewa menjelaskan kepada Bhanu.
Kemudian Sang Dewa naik kembali ke kereta kencana miliknya, kemudian ia kembali naik ke atas langit meninggalkan Bhanu. Mendengar penjelasan dari dewa, Bhanu merasa mendapatkan harapan baru. Ia melompat kegirangan dan segera pergi meninggalkan gunung untuk melakukan kebaikan yang dimaksud oleh dewa tadi.
Selama berhari-hari Bhanu melaksanakan apa yang diperintah dewa, banyak hal yang ia bantu. Memindahkan pohon yang tumbang, membetulkan saluran irigasi, membangun kuil, sampai menjaga kuda ia lakukan. Para rakyat kerajaan mulai memuja-muja kebaikan hati si kera, bahkan seorang penyair membuat syair yang amat indah khusus untuk memuja sang kera yang baik hati.
Pernah suatu hari dirinya harus berhadapan dengan siluman kalajengking yang ganas, pernah juga ia melawan sekerumunan kurcaci jahat yang mencuri hasil panen warga. Segala macam tantangan dan bahaya ia hadapi demi memenuhi perintah dewa. Ia bahkan bertemu teman baru, dialah Antagana. Seekor naga raksasa yang memakai mahkota, Antagana tinggal di sebuah kawah gunung berapi yang teramat panas.
“Sungguh terberkatilah kau kera yang baik hati, setiap hari tak bosan-bosan kau lakukan kebajikan dengan sepenuh hati,” ucap Antagana pada suatu hari sambil meliuk-liuk di gunung tempatnya tinggal.
Tak terasa sudah hampir satu tahun dirinya berbuat kebajikan, namanya pun sudah tersohor di penjuru daratan. Bhanu menjadi kera yang lebih bijaksana dan mulia, dirinya sudah tak lagi terbawa nafsu serakah. Perbuatan baik yang rutin ia lakukan membuat segala hal buruk dalam dirinya luntur perlahan-lahan.
Ini adalah hari terakhir, bila ia berbuat kebaikan di hari ini maka ia akan dibebaskan dari kutukan. Ia keluar dari gua dan berjalan-jalan mencari apapun yang bisa ia tolong. Selama perjalanan Bhanu melihat seekor kuda sembrani yang terbang di langit, anehnya kuda itu terbang tanpa arah seperti sedang kebingungan. Ia lantas mengambil sebotol air dan memanggil kuda itu.
“Hei kuda yang gagah, kemarilah. Istirahatkan dulu badanmu, minumlah air ini sebelum kau lanjutkan perjalanan. Mungkin kau tersesat dan aku bisa membantumu,” teriak Bhanu dari bawah.
Melihat sesosok kera yang memanggilnya, kuda itu teramat senang. Ia segera mengepakkan sayapnya dan melesat turun menuju Bhanu dan menghaturkan hormat padanya, “Sungguh keajaiban itu benar adanya, dewa meramal bahwa aku akan bertemu seekor kera yang bisa menjadi solusi untuk masalahku. Dan disinilah kau! Kau adalah kera yang dimaksud,” kata kuda itu menjelaskan.
“Apa masalahmu kuda?” tanya Bhanu.
“Aku adalah tunggangan Prabu Jayawikrama, raja kerajaan Prakasapura. Aku telah berputar-putar di langit selama satu minggu untuk menemui kera yang dimaksud oleh dewa dalam tidurku. Oh, sungguh bencana besar melanda ibukota kerajaan, sesosok siluman ular raksasa melingkar dan mengelilingi seisi kota hingga tak ada satupun yang bisa keluar ataupun masuk. Para petinggi keraton sudah kehilangan cara untuk mengusir siluman itu, kumohon kau bersedia membantuku. Prabu Jayawikrama adalah sosok yang berbudi luhur, dia akan memberi hadiah besar,” tutur kuda sembrani menjelaskan semuanya.
“Sekuat apapun siluman itu pasti akan binasa ditanganku, tenang saja! Kita kesana sekarang,” ucap Bhanu yang langsung bersemangat.
Bhanu segera menaiki punggung kuda sembrani, kemudian kuda itu mulai mengepakkan sayap dan terbang ke angkasa. Kecepatan kuda itu tiada tara, hanya butuh lima detik untuk sampai ke ibukota yang jaraknya ratusan kilometer. Bhanu melihat siluman itu, badannya besar dan lebih besar dari pohon beringin tua sekalipun.
Badan besarnya itu melingkar mengepung kota, karena geram Bhanu pun berucap, “Wahai kuda, tetaplah bersamaku. Bawa aku terbang agar aku bisa dengan mudah menggapai siluman itu! Dia akan hancur lebur!”
Kuda sembrani itu melesat ke arah siluman ular, di atasnya Bhanu siap menerjang dengan tangan kosong. Saat sudah sampai dihadapannya, Bhanu memukul wajah siluman ular itu sekuat tenaga dengan tangan kecilnya. Siluman yang sedang tertidur itu pun bangun dan murka, ia mengibas-ngibaskan ekornya yang besar untuk menjatuhkan Bhanu dan kuda sembrani yang melayang di udara. Sesekali lidah si ular keluar berusaha menangkap mereka.
“Kuda! Siluman ini hanyalah siluman lemah, hanya badannya saja yang besar, tapi kesaktian dan kekuatannya jauh dibawah aku. Jika kau bisa terbang dengan benar, maka mengalahkan dia tidaklah sulit!” seru Bhanu kepada kuda sembrani.
Bhanu mencabut sebuah pohon besar sambil terus menunggangi kuda sembrani, ia lempar pohon itu sampai menancap di mata siluman ular. Mata yang satunya pun mengalami nasib yang sama. Para warga di ibukota melihat ke atas menonton pertarungan itu. Mereka memuja-muja sang kera yang perkasa itu.
Prabu Jayawikrama keluar dari keraton bersama para ajudannya, ia kaget sekaligus takjub dengan si kera Bhanu. “Siapkan pasukan dan kirim bala bantuan untuk si kera, cepat!” kata sang Prabu pada para ajudannya.
Satu pasukan berkuda pun keluar dari barak dan melaju menuju siluman ular. Masing-masing dari mereka membawa panah yang mengandung racun. Mereka sampai di hadapan siluman dan mulai menyerang siluman. Ketika siluman ular itu membuka mulut, para pasukan melepaskan anak panah yang langsung menusuk dinding mulut si ular.
Sementara Bhanu terus menerus menghindar dari terjangan lidah siluman ular yang memburunya, sampai akhirnya ia menemukan momen yang tepat. Bhanu menangkap lidah itu dan menariknya kuat-kuat hingga terputus. Siluman ular pun kesakitan bukan main.
“Tunggu aku wahai siluman!” ujar Bhanu yang kemudian berdiri di atas badan kuda dan bersiap melompat, kemudian ia lompat menuju sebuah gunung yang jauh. Bahkan kuda sembrani pun kebingungan melihatnya yang malah pergi.
Para pasukan juga ikut kebingungan melihat tingkah kera itu. Namun tiba-tiba sebuah batu besar melayang di udara dan langsung menghantam kepala siluman ular hingga pecah. Darah segar pun tumpah saat itu juga. Dan Bhanu, ia tampak sedang bersantai di atas batu yang menimpa kepala si ular.
Warga ibukota pun bersorak kegirangan, Bhanu pun menjadi sosok pahlawan untuk mereka. Para pasukan tersenyum melihat kemenangan ini. Begitulah kisahnya, ketika Bhanu menjadi sosok pahlawan bagi ibukota.
Singkat cerita, Prabu Jayawikrama mengundang Bhanu untuk datang ke keraton. Pesta besar diadakan selama tujuh hari tujuh malam. Bersama para petinggi keraton, Sang Prabu menyambut kedatangan Bhanu yang menjadi pahlawan dadakan.
“Sungguh tak ada kera selain kau yang bisa berbuat sebaik ini, kau pantas mendapat segala hal yang kau inginkan. Kau berani, tangguh dan berjiwa besar. Aku akan memberimu hadiah besar dan juga jabatan. Tapi sebelum itu, bersenang-senanglah dan nikmati makanan yang ada,” ucap Prabu Jayawikrama kepada Bhanu yang sedang bersimpuh di hadapannya.
“Hamba akan memakannya selagi bisa, sebuah kehormatan bisa membantu dan berguna bagi kerajaan ini. Terima kasih wahai prabu yang dicintai seluruh rakyatnya,” jawab Bhanu.
Salah seorang yang duduk disamping prabu berbisik sambil melihat Bhanu, mendengar bisikan itu sang Prabu menyuruh Bhanu mendekat sambil tersenyum ramah. Setelah Bhanu ada di depannya, ia membuka sebuah tong berisi air kembang. Dengan lembut ia ambil air itu dengan gayung dan menyiramkannya ke kepala Bhanu sambil membaca sebuah mantra. Air kembang itu amat harum dan memikat siapapun.
“Yang mulia Prabu, air kembang apakah ini? Mengapa baunya mirip apel dan daging ayam?” tanya Bhanu dengan polosnya.
“Bau itu bukan dari air ini, tapi dari makanan yang ada di meja. Aku melihat ada suatu kutukan dalam dirimu, aku sangat senang karena bisa membebaskanmu dari kutukan,” jawab sang Prabu sambil tersenyum.
Mendengar itu Bhanu sangat senang, ia melompat dan menari kegirangan. “Aku bisa makan enak lagi!” teriak Bhanu yang segera menyerang makanan di meja. Ia bisa kembali bersenang-senang dengan makanan dan buah yang enak. Selama tujuh hari di keraton dirinya selalu disuguhi makanan enak oleh para abdi. Bahkan dalam sehari, lima keranjang buah habis untuk dia makan sendiri.
Berbulan-bulan ia juga makan enak disana, dan Prabu Jayawikrama menjadikannya sebagai abdi keraton. Ia sering membantu pasukan dalam memerangi para bandit dan juga suku bar-bar yang suka menganggu warga desa. Tak lupa, ia juga selalu makan enak dan banyak tanpa susah-susah mencari di hutan.
Hingga tiba pada suatu hari ketika ia mulai jenuh dan bosan, ia kembali teringat tentang masa-masa ketika kutukan itu ada di dalam dirinya. Saat dirinya berteman dengan naga dan berbuat baik kepada orang. Saat dimana nafsu dunia tidak lagi mengendalikan jiwanya, ketika itu ia benar-benar menjadi kera yang amat mulia dan dicintai. Dan sekarang, ia merasa justru dirinya kembali jatuh ke dalam nafsu dunia. Sehari-hari hanya makan dan malas-malasan, ia berbuat baik hanya ketika diminta sang Prabu.
Ia juga takut jika nantinya nafsu dunia bisa menjerumuskannya ke dalam jurang keserakahan dan kembali terkena kutukan. Ia tak mau masuk ke dalam lubang yang sama, kutukan kemarin itu seharusnya menjadi pelajaran agar ia menjadi lebih baik. Tapi melihat dirinya yang sekarang, ia merasa sama saja dengan dirinya dulu.
Selama berhari-hari dirinya terus memikirkan hal itu, ia merasa gelisah dan tak tenang. Dengan tekad bulat dan penuh keyakinan ia lantas pergi ke gunung dan melakukan tapa mati raga seperti dulu. Tak butuh waktu yang lama, hanya satu bulan ia bertapa, datang sesosok Dewa yang turun dari langit dengan sebuah kereta kencana. Dengan ramah Sang Dewa tersenyum sambil mendekat ke arah Bhanu.
“Oh kera yang berbudi luhur, aku menyaksikan sendiri bagaimana kau menebarkan kebaikan kepada para mahkluk di bumi. Aku tahu bagaimana mereka memuja dan melantunkan syair yang indah untukmu. Tapi kali ini aku amat sedih melihatmu tersiksa. Padahal kau telah terbebas dari kutukan, makanan lezat dan buah yang manis sekarang bisa kau rasakan, bahkan kau tak perlu mencari ke hutan. Lantas mengapa kera kesayanganku ini bersedih dan menyiksa diri sendiri? Adakah keinginanmu yang belum terwujud?” kata Sang Dewa dengan lembut.
Bhanu dengan yakin menjawab, “Sungguh aku melakukan ini untuk meminta belas kasih darimu wahai Dewa. Setiap kali aku ingat kutukan itu, aku jadi merasa takut dan gelisah dengan kehidupanku yang sekarang. Semakin hari hawa nafsu semakin datang kepadaku, aku takut nafsu itu menguasai diriku seperti dahulu dan membawa malapetaka kepadaku. Ketika kutukan itu masih ada, aku merasa menjadi pribadi yang lebih baik. Dan ketika kutukan hilang aku kembali menjadi kera yang serakah.
“Dewaku, aku sangat gelisah dan tersiksa. Setiap waktu aku selalu memikirkan hawa nafsu itu, hidupku menjadi tak tenang. Kalau sudah seperti ini, apalah arti makanan enak. Maka dari itu aku memohon kepadamu, kau telah membebaskanku dari kutukan. Tolong bebaskan aku sekali lagi dari hawa nafsu dan serakah yang mengikatku, lepaslah segala hal duniawi dariku. Bawalah aku ke Kahyangan, angkatlah aku menjadi penghuni langit dan selamanya aku akan menjadi abdi setia para Dewa dan Dewi,” Tutur Bhanu mengungkapkan segala keinginannya dengan santun.
Sang Dewa pun terharu mendengar permintaan Bhanu yang teramat mulia, sungguh kalimat yang amat indah keluar dari mulut kera itu. Bahkan para dewi-dewi menaburkan bunga dari atas langit khusus untuk Bhanu.
“Keraku, kini kau menjadi abdi setia bagi semua penghuni Kahyangan. Dan bagiku kau pun adalah penghuni itu sendiri. Sebagai seekor kera, kau telah mencapai pencerahan sempurna yang diidamkan para Resi. Kini kemuliaanmu melebihi mereka semua, kau telah melepas semua keinginan duniawi yang membebankanmu. Maka kuangkatlah engkau naik ke langit bersamaku. Jadilah abdi yang setia, dan bagi dunia ini ... jadilah contoh yang nyata bagi semua bangsamu,” ucap Sang Dewa.
Kemudian Bhanu ikut naik ke dalam kereta kencana Dewa. Dengan hati penuh keyakinan ia tinggalkan semua yang ada di dunia, matanya tak henti-henti memperhatikan hutan, keraton, gunung yang selama ini menjadi tempat hidupnya. Kini ia yakin bahwa bersama para dewa, ia akan hidup dengan tenang dan nyaman. Ia yakin kedamaian abadi adalah kedamaian yang ada dalam diri sendiri. Selama perjalanan menuju langit, sahabatnya Si Naga Antagana berjalan mengawalnya dari belakang. Sampai akhirnya Bhanu menghilang masuk ke dalam awan dan tak pernah kembali lagi.
Begitulah akhir kisah dari Bhanu si kera yang baik hati dan mulia, nafsu dan keserakahan menjerumuskannya ke dalam kutukan. Namun kutukan itu menyadarkannya tentang nafsu duniawi yang semakin dikejar maka semakin membuatnya dekat dengan malapetaka. Bagaikan menyiram api dengan minyak.
------------------------------
A Story By : Harrywjy
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro