Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Brain Out

Apa kau tahu otak manusia ternyata berwarna abu-abu?

Apa kau tahu otak manusia terdiri dari seratus miliar saraf (neuron)?

Apa kau tahu otak manusia memiliki misteri yang belum terpecahkan sampai sekarang?

Apa itu kesadaran? Apa kau tahu alam bawah sadar kita bisa dipengaruhi?

Pernahkah kau bertanya, kenapa kita bisa bermimpi? Apa sebenarnya mimpi itu?

Apa otak yang membentuk kepribadian ataukah dari gen?

Berapa kecepatan otak dalam menyampaikan informasi? Atau sebaliknya, menerima informasi untuk disampaikan ke anggota tubuh, seperti kecepatan kedipan mata saat benda asing mendekat. 

Apakah kau tahu manusia hanya menggunakan 10% dari kemampuan otaknya?

Lalu ....

Apa jadinya jika manusia mengoptimalkan 100% kinerja otak?

"Hhh!!" Yaina terbangun dalam genangan air setinggi mata kaki. Kembali lagi, ini sudah memasuki ujian ke-107. 

"Siapa serigalanya?" Sebuah suara menyapa rungu gadis itu.

Yaina menoleh, mendapati seorang pemuda duduk dengan kondisi tangan terikat ke rantai, tergantung. Sebuah gembok angka menyatukan kedua ujung besi itu. 

"Nama?" tanya pemuda itu. Fitur wajahnya seperti yang sudah diingat Yaina. Unik. Mata lelaki itu tajam, dengan sudut menukik layaknya mata kucing. 

"Yaina!"

"Edna!"

"Gina!"

"Naden!"

"Namer!"

Ruangan berdengung sesaat, menyapa kornea mereka dengan semburat kebiruan. Seketika, tiga pemuda dan tiga pemudi saling mengawasi satu sama lain.

"Namaku Fred Omzly, dengar baik-baik! Apa yang di tengah air dan di ujung api?" Selesai berucap, pemuda itu berdiri, menutup mata, dan tertunduk diam, bagai robot yang dimatikan oleh tuannya.

Dentang bel segera berbunyi nyaring, diiringi dengan suara detik jam terpampang proyektor di dinding bata. Hitungan mundur, lima menit waktu yang diberikan.

Mereka segera merogoh pakaian masing-masing, mencari apa pun petunjuk untuk membebaskan diri. Debit air naik setiap menitnya.

Berpacu dengan waktu.

Masing-masing mereka mendapat buku di balik jaket kusam. Beberapa mulai bergumam takut. Buku itu setebal dua ratus halaman.

Sesuatu muncul lagi di dinding.

Temukan kuncinya. 

Mereka menatap ke atas, cahaya biru menyorot dari teralis dengan pemindai kecil di sisi kirinya. Jalan keluar mereka.

"Cepat!" seru Namer panik, pemuda gemuk itu membolak-balik bukunya cemas.

Empat menit tersisa.

"Apa yang di tengah air dan di ujung api?" Gina mulai menangis sesenggukan, rambut pirangnya lepek oleh keringat.

Tiga menit tersisa.

Air sudah naik mencapai lutut mereka. Dalam ketegangan, jemari para pemuda dan pemudi itu terasa kaku. 

"A-aku ti-tidak bisa berpikir!" Edna tergagap gugup. Tangan gadis berambut keriting itu gemetar hebat.

Yaina mulai bergumam sendiri, "Di tengah air, di ujung api. Air ... api." Ia seketika menepuk lutut kuat, mencipratkan air ke sekeliling.

"Hey!" teriak yang lain gusar.

"Jawabannya I. Di tengah air dan di ujung api," papar Yaina.

"I berada di urutan kesembilan dalam alfabet, buka halaman sembilan!" tambah Naden. Pemuda berkulit gelap itu membalik halaman secepat kilat. 

Air kini menyentuh dada mereka.

Yaina: ruas ketiga.

Naden: ruas pertama.

Gina: ruas kelima.

Namer: ruas kedua.

Edna: ruas keempat.

"Ruas jari!" seru Naden panik, air sudah mencapai dagunya, karena pemuda itu bertubuh paling pendek di antara mereka.

"Pakai apa untuk mengeluarkannya?" Gina mengangkat jemarinya, gemetar karena dinginnya suhu air.

"Gigimu senjatamu." Yaina menggigit ruas jari ketiga, jari tengahnya. Ada tonjolan kecil di sana. Sekuat tenaga hingga kulitnya terkoyak. Ia mengerang kesakitan, rasa asin mengambil alih pencecapnya.

"A-aku ta-tak sanggup." Edna menangis histeris, ia menggigit jemari, tetapi tak punya keberanian untuk mengoyak lapisan kulit.

Yaina mengerang saat giginya berhasil menarik keluar microchip seukuran 0,5 sentimeter, setipis kertas.

Permukaan air sudah mencapai bibir atasnya. Keempat teman gadis itu masih berjuang mengeluarkan microchip dari ruas jari. 

Satu menit tersisa.

Yaina melompat, tetapi lengannya tak bisa mencapai teralis di atas. Berkali-kali ia mencoba dan tak kunjung berhasil.

Air mulai mencapai telinga mereka. Yaina berenang ke permukaan. Masih butuh satu perpanjangan lengan lagi untuk mencapai teralis.

"Sini! Naik ke bahuku," tawar Naden. Ia segera menyelam dan mendudukkan Yaina di bahunya. 

Yaina berhasil mencapai teralis, ia menekankan microchip ke pemindai. 

"Berhasil diverikasi, urutan?"

"Ruas ketiga!" seru Yaina panik. Naden mulai oleng karena tak mampu lagi menahan berat tubuh sang gadis.

"Kode diterima."

Suara dengung terdengar sesaat kemudian, lalu teralis mulai berayun terbuka. Yaina menjangkau bukaan jalan keluar, menarik tubuhnya ke atas. Terengah, gadis itu berbalik dan mengulurkan tangan ke bawah untuk membantu Naden. 

Pria berkulit gelap itu menyambut uluran tangan Yaina, memindai microchip-nya, lalu menarik diri dibantu oleh Yaina. 

Gina menjerit parau melihat kedua temannya sudah mencapai pintu keluar, air sudah mencapai atas kepala mereka.

Lima belas detik waktu tersisa.

Permukaan air kini hanya tersisa sepuluh sentimeter dari teralis. Gina menjulurkan tangan hendak memegang pinggir jalan keluar, seketika tubuh gadis itu kelonjotan karena aliran listrik. Namer mengambil alih. Namun, dia ditarik dan ditenggelamkan oleh Edna.

"Chip-mu, pindai dulu!" teriak Yaina mengingatkan.

Tiga ... dua ... satu ....

Terlambat, belum sempat ketiga temannya bereaksi, permukaan air telah mencapai teralis. Pintu teralis kembali menutup. Alarm bergaung kuat memenuhi area tersebut.

Yaina terduduk lemas. 

Mereka mati. Gagal. Begitu yang terjadi. Terus berulang.

Yaina menantap Naden nanar. "Aku ingin bebas dari tempat ini!"

Naden mengangguk. "Ini Neraka."

Mereka bahkan tak mengingat tempat apa ini.

Siapa di balik semua ini? Lalu apa tujuan mereka?

Ujian ke-108.

Lampu kembali dihidupkan. Kali ini Yaina dan Naden mendapati tiga orang rekan berbeda lagi. Mereka juga yang selamat dari ujian ke-107.

"Siapa serigalanya?" Si mata kucing menatap mereka satu-persatu. Ia tersenyum, lalu mengucapkan kalimat yang selalu sama. "Nama?"

"Naden!"

"Nain!"

"Yaina!"

"Ninna!"

"Yoana!"

"Namaku Fred Omzly, dengarkan baik-baik! Benang merah di antara kalian adalah kuncinya." 

Dengung suara keras lagi, lalu sebuah meja muncul dari balik dinding menampilkan lima tabung dan sepuluh jenis bahan dapur.

Air, garam, gula, susu, madu, kopi, teh, cengkeh, jahe, dan kayu manis.

Proyektor kembali memantulkan jam yang berjalan mundur dan sebuah perintah.

Lima menit. Berdiri di lantai bertuliskan nama kalian.

Kelima orang tersebut segera berdiri sesuai perintah. Ruangan ini kosong dan temaram. Tampak tak berbahaya.

"Pilih bahan dan masukkan ke tabung ketika berdiri di lantai bertuliskan namamu." Fred Omzly berujar. Pria itu selalu terikat di setiap permainan.

Kenapa? Dia juga selalu meminta pertolongan di akhir permainan, seperti tadi. Saat Yaina mencapai pintu keluar, Fred merentangkan tangan terikatnya, seakan minta dibebaskan. Namun selalu, untuk menyelamatkan diri saja kadang waktu tak mencukupi, apalagi menolong Fred.

Empat menit.

Suara racauan takut mulai berkumandang. Yaina menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Ia harus tenang. Jika tegang, otak takkan bisa berpikir jernih.

Apa benang merah di antara mereka dengan bahan dapur? Otak gadis itu diperas kuat untuk mencari jawaban. Semua terasa tak masuk akal.

Tiga menit.

"Pakaian kita berwarna cokelat. Kurasa cengkeh atau teh," ujar Nain. Pria tinggi itu berjalan menghampiri tabung dan memilih teh. Ia kembali lagi ke tempat semula dengan tangan berisi kedua benda itu.

Semua menatap tegang ke arah Nain. Jika dia berhasil. Mereka semua bisa mengikuti caranya, jika dia gagal. Mereka bisa menyingkirkan satu jenis dari bahan dapur itu.

Nain memasukkan teh ke dalam tabung. 

Hening.

Dua menit. 

Tiba-tiba saja lantai di bawah Nain bergeser terbuka dan tubuh pria itu jatuh tanpa peringatan, bahkan tanpa jeritan saking cepatnya kejadian berlalu.

Mereka terkesiap ketakutan. 

Satu menit.

Ninna dan Yoana mulai menangis heboh, sedangkan Naden mengusap wajah bingung.

Tidak ada waktu lagi, masing-masing dari mereka menghambur memilih bahan dapur. 

Yoana memilih gula dan Ninna memilih air. 

Yaina menyadari sesuatu di saat terakhir, tangan gadis itu menjangkau garam. Naden yang sedari tadi menilik wajah Yaina segera mengikuti aksi gadis itu.

Mereka kembali ke tempat semula. Gemetar hebat sambil mengangkat tabung masing-masing, bersiap untuk yang terburuk.

Tiga puluh detik.

Serempak, keempat laki-laki dan perempuan itu memasukkan bahan masing-masing. 

Bam!

Suara berisik dari lantai bawah segera terdengar saat membuka tiba-tiba, menelan Ninna dan Yoana. Naden menjerit ketakutan. Lingkaran lantainya dan Yaina mulai terangkat ke atas.

Lima belas detik.

Lalu, Yaina melihatnya lagi. Fred Omzly mengangkat tangan terikatnya dengan wajah iba. Pria mata kucing itu menggerakkan bibirnya tanpa suara. "Help."

Entah apa yang merasuki Yaina, dalam sekejap ia ingin terjun ke bawah dan membebaskan pria itu. Ia merasa semua ini sangat janggal. Fred Omzly, apakah salah satu dari mereka? 

Naden berteriak memperingatkan Yaina, membuat pikiran bodoh itu buyar. Lantai di sekeliling mereka mulai berguncang hebat seiring detik yang menghitung mundur. Saat mereka mencapai lantai atas, suara gemuruh hebat terdengar di bawah mereka. Lantai ujian ke-108 sudah ambruk.

Yaina membaringkan diri, meringkuk gemetar. Ia kelihatan kuat, tetapi sebenarnya sangat ketakutan. Jika orang lain langsung bereaksi terhadap suatu peristiwa, berbeda dengan Yaina. Setelah kejadian, dia baru merasakan takutnya.

"Bagaimana kau bisa tahu? Garam?" tanya Naden.

"Kau juga memilihnya." Yaina mengusap wajah.

"Aku hanya mengikutimu." Naden mengakui.

Yaina berdecih. "Na. Nama kita semua mengandung alfabet itu."

Naden mengangkat alis tak mengerti. "Lantas?"

"Na untuk lambang senyawa kimia. Natrium. Garam mengandung Natrium." 

"Ah! Tak terpikirkan olehku." Naden menepuk pelipisnya. Berkatmu aku selamat." Pria itu terkekeh.

"Bagaimana caranya kita bebas dari tempat ini?" Yaina mengusap mata, meremas rambut hitam sebahunya dengan kuat. Ia sungguh tak tahan lagi.

Naden terdiam, ya! Tentu saja dia juga ingin bebas, mereka harus melalu ujian setiap hari, dua sampai tiga ujian. Berhenti. Lalu terulang lagi keesokan harinya. 

Ia bahkan sudah lupa berapa lama waktu telah berlalu, hari apa? Tahun berapa? Di mana tempat ini? Kenapa mereka bisa sampai di sini? Semua akan terus menjadi teka-teki selama mereka terjebak di tempat ini.

Ujian ke-109.

Cahaya kebiruan kembali menyala terang. Ruangan kali ini berupa labirin dengan ketinggian mencapai plafon. Lima orang peserta kembali dipertemukan.

"Siapa serigalanya?" Fred Omzly memulai.

"Pelajari peta. Ingat cepat! Lalu keluar dalam lima menit." Bunyi gemericing terdengar saat ia menggerakkan lengannya yang terikat rantai.

Mata Yaina tak bisa lepas dari pria moderator itu. Fred menyadari tatapan intens sang gadis, ia tersenyum manis, kembali mengangsurkan lengan terikatnya.

Yaina menghela napas dan membuang wajah. Tidak! Lupakan, dia tidak mau menjadi pahlawan kesiangan dengan mengorbankan nyawa sendiri.

Proyektor berkedip. Sesaat kemudian menampilkan peta labirin.

Lima menit.

Kelima peserta mematung menatap dinding pantulan dari proyektor.

"Aku tak bisa menghafalnya jika tegang," keluh Naden.

"Metode Loci (Metode mengingat dengan visualisasi atau mengaitkan dengan hal-hal familier). Ini seperti ular," bisik Yaina.

Istana pikiran Yaina mengalih alih, menyalin visualisasi peta ke Hippocamus-nya. Ia hanya butuh satu menit untuk mengingat jalan keluar.

Empat menit.

"Aku mulai!" Gadis itu melangkah ke pintu masuk labirin. Naden dan ketiga perserta lain masih berkutat dengan ingatan mereka. Tiga puluh detik kemudian, mereka mulai menyusul Yaina.

Yaina berbelok ke tikungan. Gadis itu bisa melihat jelas peta di otaknya ketika ia menutup mata. 

Turun. Belok kanan, turun. Kiri lagi. Kepala ular selesai. Sekarang ke tubuhnya. 

Sepanjang dinding tak ada apa pun yang bisa dijadikan acuan. Mereka harus mengandalkan ingatan masing-masing. Hanya ada satu tulisan. Freedom. 

Tertulis di hampir semua dinding, di setiap belokan. Kebebasan. Memang itu yang mereka cari. Namun kenapa, ujian seakan tiada akhirnya. 

Apakah dia harus berpikir secara berbeda? Yaina menimbang sejenak, jika iya, maka mungkin ia harus mengambil tindakan ekstrim. 

Freedom.

Freedom.

Kalimat itu bergaung dalam benak sang gadis. Kakinya terus melangkah cepat melewati setiap belokan memusingkan.

Wajah si mata kucing, tangan yang terikat. Kenapa dia selalu mengucap kalimat yang sama? Apa ada maksud di baliknya?

Yaina memijit pelipisnya galau. 

Tiga menit.

Peringatan waktu mengikuti ke mana pun mereka pergi.

Dua belokan lagi, kiri. Kanan. Turun.

Tiba-tiba saja Yaina kehilangan keseimbangan, seorang pria menubruknya kuat. Yaina terjatuh dengan kepala menghantam lantai. Sang pria tak tinggal diam, ia menjedukkan kepala gadis itu beberapa kali lagi hingga Yaina tak mampu berdiri. Pria itu kemudian pergi menuju jalan keluar.

Satu menit tiga puluh detik.

Selalu seperti ini. Kadang mereka harus berhadapan dengan peserta yang haus kemenangan, melakukan cara apa pun untuk menjatuhkan para pesaingnya. Mereka bahkan tidak tahu apa penghargaan di balik usaha susah payah ini. Sungguh konyol dan tak beradab, tetapi itulah sisi lain manusia beserta ketamakannya.

Yaina meludah ke lantai, rasa sakit mengitari kepalanya, darah merembes dari kulit yang terkoyak. Gadis itu merangkak menuju jalan keluar.

Empat puluh lima detik.

Lalu Yaina melihatnya lagi, sang pria bermata kucing menatapnya dalam-dalam. 'Tolong aku," ucapnya.

Telinga gadis itu berdenging kuat. Kalimat saling tumpang tindih bersama barisan alfabet. Insting berpadu dengan logika. Jawaban itu seakan menari di ujung lidah, meminta dimuntahkan.

Freedom.

Free ... dom.

Fred Om.

Fred Om ZLY.

Jawaban itu datang bagai sambaran petir, membuat Yaina berlari menghampiri sang pria di samping jalan keluar.

Naden telah berhasil keluar dari labirin, ia berteriak parau melihat Yaina bertindak aneh.

"Waktu, Yaina. Cepat!" Naden mengulurkan tangan. 

Yaina tak mengacuhkan panggilan Naden. "Pergilah!" balasnya tanpa menoleh.

Dua puluh lima detik.

Gadis itu memeriksa gembok angka di lengan Fred Omzly. Enam angka dibutuhkan untuk membuka benda itu.

ZLY: 26, 12, 25.

Yaina segera memutar kode di gembok. Sementara lantai ujian ke-109 mulai berguncang hebat.

Sepuluh detik.

Yaina mengumpat kesal saat tak ada yang terjadi, gembok itu tak mau terbuka. Apa kodenya salah?

"Siapa serigalanya?" tanya Fred Omzly.

"Persetan dengan itu!" maki Yaina. Ia salah, harusnya ia tak kembali menolong pria ini.

"Siapa serigalanya?" ulang Fed, kembali menatap Yaina dalam-dalam.

Tiga ... dua ....

Lantai pecah di sekeliling gadis itu. Yaina mengerang kalut. Detik terakhir ia melihat ke wajah Fed, berharap menemukan jawaban di sana.

"Aku," lirihnya, melihat pantulan wajahnya dalam mata si pria kucing.

"Aku serigalanya."

Gembok berdenting terbuka. Lalu Fed berucap, "Aku Fed Omzly, jalan kebebasanmu. Selamat Yaina, kaulah serigalanya."

Lantai berderak hancur, bergelung bersama tubuh Yaina yang terisap ke dalamnya. Menuju kehampaan.

Yaina menjerit nyaring, kelopaknya terbuka dan menatap nyalang ke kapsul kaca yang mengurungnya. 

Gadis itu terengah kuat. Apa ini? Ia bangun, membuka kapsul kaca. Yaina terkesiap kaget, ruangan besar ini dipenuhi ratusan kapsul kaca. Tubuh-tubuh tak bergerak bak tidur lelap di dalam benda itu.

"Selamat Yaina, kau sudah menyelesaikan ujian." Seorang pria bersetelan putih menyapa Yaina.

"Kau? Fred Omzly?" 

"Ya! Siapa serigalanya?" Pria itu terkekeh seolah melemparkan lelucon lucu.

"Apa maksudnya ini?" 

"Sepertinya efek kapsul mimpi membuatmu lupa tujuan awal kemari. Kau bukan Yaina, tapi Mika! Genius dari Universitas Harapan yang mengajukan diri untuk masuk program ini."

Saat namanya disebut, Yaina seakan mendapat serangan ingatan. Benang-benang kusut dalam otaknya menemukan jalan bebas. Ya! Dia mika.

"Berapa lama aku tertidur?"

"Enam bulan, sejak dirimu memasuki Dream Corp."

Mika ingat sekarang, enam bulan lalu ia mendaftarkan diri dalam program di Dream Corp. Mereka mengklaim bisa membuat manusia mengeluarkan 100% kemampuan otak melalui ujian mimpi. 

Lalu kenapa? Setelah berhasil melewati begitu banyak ujian tetap saja mereka tak dibangunkan.

Fred tersenyum seolah mengerti kebingungan Mika.

"Kami tidak hanya butuh genius, tetapi juga seorang yang punya hati nurani. Kau tahu jawabannya bukan?"

"Teroris juga genius, tapi tak punya hati." 

Fred tertawa senang. "Ya! Mereka bisa merakit bom dan mencuci otak pengikutnya. Untuk itulah syarat utama lulus ujian ini dengan membebaskanku. Kami tak butuh genius saja, tapi genius dengan hati nurani untuk dunia, dan kau ... telah melampaui batas itu."

"Selamat bergabung di Dream Corp. Mika." Fred menjabat tangan Mika, "ah ... kau pasti juga tahu kenapa kami menyebut kalian serigala."

Mika tersenyum manis, otaknya tak pernah sejernih ini sebelumnya.

"Karena kau dombanya."

The End

-------------------------------
A story by : nafishgrey

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro