Back For Free
Hari itu juga, aku merasa seakan kehilangan semua hal di dunia ini.
*
"Mau makan apa hari ini?" tanya ibu menatapku dengan mata biru senada langitnya, sambil tersenyum. "Ibu akan membelikan apapun khusus untuk hari ini. Bagaimana dengan steak kamu selalu senang kalau ingin memakannya bukan?"
"Aku mau makan masakan Ibu saja," balasku sambil tersenyum cengengesan. "Masakan ibu lebih enak."
Ibu mengacak-acak rambut coklat hazelnut-ku, "bisa saja."
"Yakin tidak ingin yang lain?"
Aku mengangguk mantap, "aku akan senang untuk memakan masakan buatan Ibu lagi."
"Baiklah kalau begitu. Jangan menyesal nanti lho." Ibu menjawab sambil tertawa.
Aku cengar-cengir sendiri,"tidak akan."
Ya, saat itu seakan berjalan sangat cepat. Ekspresi ibu tiba-tiba berubah pucat dan serius.
"Ada apa, Bu?" tanyaku menyadari perubahan raut ibu.
Dengan cepat ibu menggenggam erat tanganku. "Jangan banyak bicara."
Tentu saja aku hendak protes, namun hal itu tidak sempat terjadi.
Ibu mengusap kepalaku dengan lembut, "Ibu akan melindungimu."
Setelah itu, terdengar suara tembakan secara acak. Aku tidak tahu kemana atau dari mana suara itu berasal. Tapi, kalau dinilai dari situasi saat ini. Pasti seseorang itu sedang mengincar kami.
Ibu mendorongku ke patung air mancur yang berada di tengah-tengah taman dan menyuruhku untuk tetap bersembunyi di sana, tanpa menjelaskan sepatah kata pun.
Percikan-percikan api terlihat karena peluru berbenturan dengan tiang lampu taman. Dengan gesit ibu menghindari tembakan itu dengan melompat ke samping. Ibu memang sosok yang sangat hebat, ia seorang ilmuwan yang sangat cantik, pintar dan kuat, sayangnya ia payah dalam memasak.
Netraku langsung mengarah ke arah pepohonan, mencari orang gila yang berusaha menembak ibu.
Sial, dimana dia!
Napasku memburu. Panik sekaligus takut datang menyerangku, sampai aku menangkap suatu cahaya kecil berpendar di penglihatanku.
"I-ibu!" teriakku sambil menunjuk ke arah pepohonan pukul sembilan. "Disana!"
Namun, aku tidak mendapat balasan darinya. Suaraku tidak mencapainya karena ibu masih sibuk menghindar.
Refleks aku melompat keluar dari tempat persembunyianku dan berlari sekuat tenaga.
Dor!
Darah merah segar mengalir menembus baju lenganku. Aku berteriak sambil meremas lengan kanan bagian atasku. Bagaimana bisa....
Apakah musuh yang menyerang kami ... lebih dari satu?
Sebuah bayangan terlihat di pepohonan dan mendekat ke arahku. Wujudnya terlihat semakin jelas.
Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat wajahnya dengan seksama. Pria dengan jas putih dan berkacamata. Tangannya memegang sebuah pistol kecil. Aku meneguk saliva ku, jantungku berpacu semakin cepat. Rasanya aku ingin menangis saat ini juga. Apa yang harus ku lakukan....
"Jangan bergerak!" seru pria itu dengan suara lantang dan tegas, membuatku semakin gugup dan ciut. Namun aku sadar, kalimat itu bukan mengarah padaku melainkan ibu. Sebagai sebuah gertakan, pria itu menembak kaki ibu.
Aku mengatupkan mulut ku erat-erat menggigit bibirku sampai berdarah, rasanya kesal tidak dapat berbuat apa-apa. Alih-alih membantu, aku malah menyusahkan dan membuat semua ini menjadi berat sebelah.
Ekspresi ibu terlihat muram. Mata kami bertemu dan ibu menyunggingkan senyum tipisnya, seakan berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
Hatiku terasa teriris saat melihat senyuman yang lembut itu, senyuman yang tidak menyalahkan siapapun, senyuman yang--
--mungkin tidak bisa aku lihat lagi.
"Tidak." Aku menggenggam erat jas pria itu. "JANGAN BAWA IBU PERGI!"
"JANGAN, JANGAN, JANGANNNNN!!!" Aku berteriak frustasi, suaraku serak dan bergetar namun aku terus berteriak sambil menarik jas pria itu lebih kuat.
Pria itu menatapku jijik, dengan segera menendang keras tubuhku dari hadapannya.
"Jangan sentuh putriku," geram ibu. Pandangannya terlihat berapi-api dan seakan siap menerkam kapan saja.
"Katakan bagaimana caranya menyelesaikan alat itu?" tanya pria itu sambil membenarkan posisi kacamatanya.
"Aku tidak akan pernah memberitahumu, maupun orang itu!" seru ibu terdengar murka, namun di dalam kalimatnya terkandung kesedihan.
"Cepat beritahu." Pria itu menodong pistol ke arah kepalaku. Licik sekali orang ini.
"Sudah kubilang ... jangan sentuh putriku!" Ibu berlari dengan cepat ke arah kami.
Dengan cepat pria itu mengangkat pistolnya dan mengarahkannya ke arah ibu. Aku melompat untuk mencegahnya namun semuanya terjadi begitu cepat.
"I-ibu...." Aku tercengang melihat tubuhnya terkulai lemas di tanah. Darahnya mengalir dengan cepat dari dadanya, membasahi tempat di sekitarnya.
"A-apa tidak apa membunuhnya?" Sniper yang tadi membidik kami turun dari tempat persembunyiannya.
"Tadi itu serangan telak di jantung."
"Tidak masalah. Lagipula sekali dia memutuskan untuk tidak menjawabnya, ia akan melakukannya sampai hayat hidupnya. Lebih baik langsung dibunuh saja," jawab pria berjas putih dengan dingin.
"Bagaimana dengan gadis itu?" tanya sniper itu lagi. Aku mulai was-was ketika mendengarnya dan refleks menatap sinis mereka.
"Biarkan saja. Dia hanya gadis 15 tahun. Apa yang bisa ia lakukan?" balas pria itu sambil tertawa meremehkan. "Ayo pergi, jangan sampai boss marah."
Aku mengecek denyut nada ibu lalu mengepalkan tanganku. Sialan.
*
Aku kembali ke rumah seorang diri. Ayah pergi entah kemana dan tidak pernah kembali, sekarang ibu meninggal. Sial sekali hidupku ini, apa dewa sengaja mengambil segalanya dariku? Usaha bagus.
Bergegas, aku pergi ke ruang kerja ibu. Tempat yang tidak pernah ia biarkan siapapun masuk termasuk ayah. Aku tahu bahwa ibu pernah mengerjakan project mesin waktu--lebih tepatnya aku curi dengar saat ibu sedang bertelepon.
Meski aku ragu alat itu akan bekerja, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?
"Dimana benda itu...." Aku menyusuri ruangan itu, tempatnya lebih luas dari perkiraanku, kertas berserakan di meja. Dasar ibu.
Aku langsung menyambar salah satu lembaran kertas yang berjudul time machine.
Terdapat sketsa kasar berbentuk sebuah jam kuno.
Eh ... ternyata itu alasannya aku tidak menemukan mesin itu. Kupikir akan terlihat lebih canggih dan merepotkan, tapi ternyata hanya sebuah jam tua.
Pantas saja terlihat sangat mencolok sedari tadi meski tidak sesuai ekspektasi ku.
Aku mencoba menyipitkan mata ku untuk membaca tulisan ibu yang sangat mirip tulisan dokter itu. Yah, lebih tepatnya tulisan professor.
"Masuk ke dalam lalu tekan tombol yang diinginkan?"
Tunggu ... masuk ke dalam jam ini? Aneh sekali!
Di bawah kertas itu ada note lain tapi tidak bisa ku baca.
R.s.ko ....
Ahh. Tidak terbaca, membaca tulisannya saja sudah sangat sulit, ditambah lagi bagian ini terkena tumpahan kopi. Biarlah, seharusnya bukan sesuatu yang penting.
Aku memejamkan mataku setelah menekan tombol setting beberapa jam lalu. "Semoga ini berhasil."
...
"A-aku benar-benar kembali." Aku berdecak kagum melihat jam benar-benar mundur. Diam-diam aku keluar dari ruangan kerja ibu sambil menunggu nya pulang. Aku akan mengubah takdir.
Menurut film-film aksi yang kutonton. Biasanya sangat jarang untuk seseorang dapat mengubah takdir. Biasanya takdir itu akan mengikuti mereka kemanapun, jadi kuputuskan untuk tetap menghabiskan waktu bersama ibu.
Awalnya kami berjalan-jalan di sekitar kompleks perumahan, tapi aku memutuskan untuk menghindari taman itu.
Eh, untuk apa aku menghindari taman?
"Alice, ada apa?" tanya ibu sambil menatapku khawatir. "Dari tadi ibu bertanya kamu tidak menjawab."
Dengan cepat aku menggeleng. "Hanya merasa melupakan sesuatu."
Ibu mengusap kepalaku, "tentang soal ujian? Jangan memaksakan diri belajar terlalu keras ya."
Aku mengangguk. Bukan, ini bukan soal ujian, ini soal sesuatu yang lebih penting. Tapi apa ... aku tidak bisa mengingatnya.
"Ingin berjalan-jalan di taman?" Ibu mengusulkan.
"Tidak!" Refleks aku berseru. Kenapa...? Sesuatu di hatiku bergejolak, dadaku terasa sakit. Firasatku buruk.
"Ada apa? Kalau tidak mau, ayo kembali," ucap ibu.
Cepat-cepat aku mengubah kalimatku, "maksudku, iya. Ayo pergi."
Apakah semuanya akan baik-baik saja?
Perasaanku aneh saat melihat tanah, pohon dan lampu yang berada di taman.
"Tidak! TIDAK!" Aku tersungkur di tanah menekan kepalaku yang rasanya sangat sakit seakan ingin meledak.
Ibu memegang erat tubuhku, "Alice! Kamu baik-baik saja? Alice!"
Air mataku tiba-tiba saja mengalir tanpa aba-aba. Ibu langsung memelukku sambil mengelus pundakku dengan lembut. "Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Ibu bersama denganmu, Ibu akan melindungimu."
Aku yang kembali mengingat segalanya berkat satu kalimat itu perlahan-lahan kembali tenang.
Resiko: kehilangan ingatan. Sekarang aku tahu apa kalimat di balik tulisan itu.
"Ibu, aku akan melindungimu," ucapku seraya menghapus air mataku. "Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi lagi."
Ibu menatapku dengan tatapan curiga, "Alice, jangan-jangan kamu-"
Sebelum hendak mengatakan kalimat selanjutnya, lagi-lagi pria itu muncul. Pria dengan jas putih. Aku menggeram saat melihatnya, emosiku mencapai puncak.
"Vincent. Apa yang kamu lakukan disini?" tanya ibu dengan ramah.
Tunggu, apa? Aku menatap ibu dengan tatapan tidak percaya. Mengapa ibu ramah pada orang yang akan membunuhnya?
Ibu berbisik padaku, "Vincent adalah senior di kantor ibu."
"Kita punya pekerjaan." Vincent, pria itu berbicara. Aku tidak suka dengan nada bicara maupun wajahnya, dia ... sangat sombong.
Aku menarik baju ibu sambil menggeleng pelan memberi tatapan mata memelas, memohon agar ibu tidak mengikuti orang itu.
"Apakah itu penting?" tanya ibu dengan tegas. "Putriku saat ini sedang kurang sehat. Bila memungkinkan aku ingin merawatnya."
"Sudah kukatakan berkali-kali, cepat selesaikan proyek itu!" Vincent membentak ibu.
Aku memelototinya, tak senang. "Ibu, ayo cepat kita pulang ke rumah."
"Tunggu sebentar ya." Ibu mengusap kepalaku kemudian memasang raut wajah tenang.
"Aku juga sudah mengatakannya berkali-kali, senior. Aku menolak menyelesaikan proyek itu, itu terlalu berbahaya jika diselesaikan." Ibu menjawab dengan tegas, ia tidak gentar berhadapan dengan seorang pria yang merupakan seniornya.
"Ini juga demi boss. Apa kau rela melihatnya seperti itu terus?!" Nada bicara semakin meninggi.
Ibu terdiam. Lalu, melanjutkan beberapa detik kemudian. "Aku hanya ... tidak bisa melakukannya...."
"Demi mempertahankan satu nyawa, aku tidak bisa mengorbankan seluruh dunia." Ibu mengepalkan tangannya.
"Kamu yang memilih bermain dengan kekerasan."
Vincent merogoh sakunya hendak mengeluarkan pistol. Cepat-cepat aku menyambar pistol itu dari tangannya.
"Gadis sialan." Vincent menggeram.
Aku menarik tangan ibu dan berlari. Sebuah peluru melesat menggores kakiku. Aku lupa ada sniper.
Apakah semua akan berakhiran seperti sebelumnya...?
"Alice, kamu menggunakan mesin waktu kan?" tanya ibu dengan volume suara rendah agar mereka tidak dapat mendengarnya.
Aku menelan ludah kasar. K-ketahuan....
"Jangan gunakan lagi." Ibu menggeleng keras. "Kehilangan ingatan, resiko itu bisa bertambah buruk setiap kali penggunaannya."
Ibu memelukku, menggunakan tubuhnya sebagai tameng untukku. Hasilnya ibu meninggal karena pendarahan yang banyak dan tidak segera ditangani. Hal ini terjadi karena ibu melindungiku....
Maaf, bu. Sepertinya aku harus melanggar larangan ibu. Aku ingin ... ibu bisa bebas dari lingkaran maut ini.
Sekali lagi, aku pun mengulang waktu.
*
Apa yang kulakukan di ruangan ini? Ini kan ruang kerja ibu.... Gawat! Aku pasti akan dimarahi jika ketahuan berada disini.
"Ibu. Selamat datang kembali." Aku memasang ekspresi senormal mungkin saat melihat ibu memasuki rumah.
"Ayo minum air ini." Aku menyerahkan segelas air yang kusiapkan di dapur. "Duduklah, Bu. Akan aku pijat bahumu."
"Sebenarnya tempat kerja Ibu ada dimana?" tanyaku membuang waktu saat memijat bahu ibu.
"Tempatnya aneh loh. Alice pasti tidak ingin pergi kesana," jawab ibu sambil tertawa pelan. "Ikuti saja jalan utama dari sini lalu belok ke kiri. Disana akan kamu temukan sebuah bangunan yang menarik perhatian."
Tanpa sadar kalimat itu menyelip di lidahku "Ibu meninggalkan proyek apa?"
Apa yang sedang kukatakan?!
Ibu terkejut mendengarnya. Memangnya sesuatu telah terjadi?
"Maaf, Bu. Aku hanya asal bertanya. Entah mengapa tiba-tiba kalimat itu terbesit di kepalaku." Aku menggaruk tengkuk leherku yang tidak gatal sambil tersenyum cengengesan.
"Kamu ... menggunakan mesin waktu?" tanya ibu.
Aku memiringkan kepalaku, "mesin waktu? Benda seperti itu ada ya?"
Ibu tersenyum sambil menggeleng, "tidak. Lupakan saja."
...
"Ayo makan. Kamu tidak lapar, Alice?" tanya ibu saat aku sedang menonton sesuatu, aku tidak yakin apa itu.
"Makan? Apa itu...?" Aku menatap kosong ibu.
Raut wajah ibu terlihat aneh, takut? Khawatir? Kaget? Entahlah.
Cepat-cepat ibu menghampiriku, menepuk pipiku. "Alice, kamu pasti menggunakan mesin waktu itu. Kenapa? Ibu pasti telah memperingatimu bukan?"
Ibu memelukku, air matanya menetes, "maafkan ibu ya? Ini semua salah ibu."
"Ibu...."
"Ibu akan memperbaiki semua. Tunggu disini ya?" Setelah itu, ibu beranjak pergi dari rumah.
Aku duduk di sofa dengan diam sambil menatap langit-langit. Kenapa aku berada disini ya?
Beberapa saat kemudian, aku memutuskan untuk berkeliling rumah karena bosan. Mengecek kembali hal-hal yang berada di balik pintu.
Sebuah benda coklat tinggi dan bergerak setiap detik, aneh. Menarik perhatianku. Aku duduk di depannya dan menatapnya bergerak.
Tik ... tik ... tik....
Suara yang muncul setiap detiknya membuatku tenang. Aku mulai memejamkan mataku.
Kamu telah melupakan sesuatu....
"Siapa kamu?"
Ingatlah tujuanmu.
"Caranya?"
Aku akan membantu.
Teng! Benda itu tiba-tiba berdentang keras membuatku terkejut. Ingatan sebelumnya mulai datang perlahan membanjiri isi kepalaku.
"Ibu!"
Ikuti saja jalan utama dari sini lalu belok ke kiri. Disana akan kamu temukan sebuah bangunan yang menarik perhatian. Aku berlari keluar mengikuti perkataan ibu. Syukurlah aku bertanya soal hal itu.
Memang ada sebuah bangunan yang menarik perhatianku, tapi ini sama sekali berbeda dengan apa yang kupikirkan. Bangunan nya tua seakan hendak roboh.
Tanpa ragu, aku langsung melangkah masuk.
Ibu terduduk lemas di depanku. Aku mengepalkan tanganku, senang. Belum terlambat.
Sekarang giliranku yang berdiri di depan ibu. Aku tidak akan membiarkan ibu mati di depanku ataupun demi diriku.
"Tembak dia," perintah Vincent. Cih, aku harus melihat wajahnya berulang-ulang kali membuatku mual.
"Tunggu. Jangan tembak dia." Sebuah suara asing yang tidak dikenal terdengar di pendengaran kami. Sebuah suara yang dalam dan berwibawa.
"Ri ... chard?"
Tunggu, itu ayah? Kupikir ayah sudah meninggal.
Seorang pria dengan kursi roda muncul dari bayang-bayang. Wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya. Kenapa bisa seperti itu?
"Maaf, Richard. Aku tidak bisa menyelesaikan alat itu. Aku tidak bisa menyembuhkan penyakitmu. Alat itu ternyata membutuhkan lebih banyak percobaan dan eksperimen, aku tidak sanggup merenggut nyawa orang lain." Ibu menggeleng pelan.
"Tunggu, jadi kenapa kalian hidup terpisah?" Sekarang giliranku yang angkat suara.
"Tidak sanggup menatap wajah satu sama lain." Vincent menjawab pertanyaanku menggantikan mereka. Ibu dan ayah terdiam, jawabannya tepat sasaran.
"Ayo kembali ke rumah, Ayah," ucapku sambil tersenyum. "Hidup seperti itu pasti sangat terkekang. Tidak bebas bukan?"
Aku mendorong kursi roda ayah. Vincent tidak memperlihatkan tanda-tanda akan mengganggu.
Aku pulang ke rumah dengan ayah dan ibu.
Apakah itu arti kebebasan? Aku mulai mempertanyakannya. Apakah benar kebebasan akan terasa seperti ini?
"Ayo minum air terlebih dahulu." Aku memberi segelas air pada ayah dan ibu lalu menunggu reaksinya.
Mereka mulai batuk bersamaan. Racun yang mematikan.
Mungkin ini lebih baik, aku juga ikut meraih segelas air itu dan menegaknya.
Arti kebebasan yang sesungguhnya, ibu tidak perlu memikirkan rasa bersalahnya, ayah tidak perlu menderita karena tubuh seperti itu, dan hanya aku yang boleh melakukannya--membantu mereka untuk mencapai hal itu.
Alice. Sudah ibu peringatkan jangan memakai mesin waktu itu, resikonya lebih besar dari yang kamu bayangkan. Tidak hanya berefek pada ingatan. Tapi juga mental sang pengguna.
Aku tersenyum. Kami saling mengaitkan tangan sembari perlahan menutup mata.
Tidak. Aku tidak gila. Inilah cara untuk kembali pada kebebasan, kembali menjadi tanah dari nol, itulah hal yang ku yakini.
----------------------------
A story by : Fururun
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro