Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3

"Kau sudah baca berita di surat kabar? Katanya ada kebakaran di Chuo," ujar Tenten seraya mengelap kaca.

Sakura mengangguk. Bagaimana mungkin ia tidak tahu? Sejak dua hari lalu, beberapa pengunjung kerap membahasnya. Berita kebakaran itu menjadi terkenal karena merupakan rumah milik seorang profesor yang belum lama naik daun karena penelitiannya.

"Aku baru saja baca berita dari koran pagi ini. Aneh sekali, di rumahnya ada beberapa tengkorak manusia. "

"Apa mungkin rumahnya dibangun di atas kuburan jaman dulu? Jaman sekolah dulu, sekolahku sempat direnovasi. Ternyata, dulunya sekolahku ini kuburan."

Tenten membelalakan mata mendengar ucapan Sakura. Ia memelum kedua lengannya sendiri, "Hey, jangan bicara sembarangan, dong. Aku jadi takut, nih."

Sakura baru saja membuka mulutnya untuk menjawab. Namun belum sempat ia berucap, pintu sudah terbuka dan tatapannya bertemu dengan pelanggan biasanya.

Siang ini, Keisuke datang lagi ke kissaten. Ada selembar koran di tangan kirinya dan lelaki itu berpenampilan seperti biasanya, terlihat santai namun memancarkan aura yang seolah berkata 'jangan ganggu aku'.

"Selamat datang. Hari ini ice americano tanpa gula?" sambut Sakura sambil tersenyum tipis

"Iya. Hari ini tambah ...," ucapan Keisuke terputus begitu ia melihat tulisan di etalase. "Kalian sekarang jualan dango?"

Sakura mengangguk. "Iya, cuma hari ini. Pemilik kissaten datang tadi pagi dan memakai dapur untuk membuat dango. Karena membuat terlalu banyak, sisanya dijual."

"Kalau begitu aku pesan satu tusuk. Sekalian egg sandwich ."

Sakura merasa terkejut karena tidak biasanya lelaki itu memesan makanan manis. Ia malah berpikir lelaki itu tidak suka makanan manis.

"Oke, totalnya 700 yen."

Lelaki di hadapannya mengernyitkan dahi keheranan. "Kau belum menghitung dangonya?"

"Hari ini, biar aku yang traktir dangonya. Anggap saja ucapan terima kasih karena sudah meminjamkan buku. Lagipula kau juga sering memberikan kembalianmu."

"Terima kasih."

Sesudah menerima uang dari Keisuke yang kali ini membayar menggunakan uang pas, Sakura segera menghanpiri Tenten. Kedai kopi sedang tidak ramai hari ini, dan shiftnya serta Tenten juga sudah hampir selesai.

"Satu ice americano dan egg sandwich. Habis mengantar pesanan, aku mau mengembalikan novel lelaki itu sebelum pulang."

Biasanya Tenten berjalan ke stasiun bersama Sakura kalau jadwal mereka bersamaan. Namun menyadari situasi kali ini, Tenten berinisiatif pergi ke stasiun sendiri.

"Hari ini aku ke stasiun duluan, ya. Aku ada janji dengan temanku."

"Oh? Oke, deh."

Sejujurnya Sakura merasa lega. Dengan begitu, dia bisa mengobrol sedikit lebih lama dengan Keisuke tanpa harus merasa sungkan pada Tenten yang sudah menunggu.

Kali ini, ia ingin mengobrol sedikit lebih lama.

.
.

Sasuke menyandarkan punggungnya dan membuka koran yang baru saja dibelinya. Berita soal kebakaran di Chuo masih menjadi headline meski sudah tiga hari berlalu

Biasanya, apa yang ia lakukan tidak pernah menjadi headline berita, terkecuali kalau sang atasan meminta dengan alasan tertentu. Sejak berita soal kebakaran muncul di media, ia selalu membaca di koran demi memastikan tidak ada kecurigaan yang mengarah pada dirinya maupun organisasi.

Keisuke benar-benar khawatir. Untuk pertama kalinya dalam karir, sang atasan menegurnya. Katanya, cara yang ia lakukan bisa menimbul kericuhan. Meski kelompok oposisi akan kehilangan sebagian kekuatannya, namun bisa jadi mereka akan menuduh pemerintah dan justru akan semakin berulah.

Pagi ini, sang atasan kembali menghubunginya. Katamya, berita hari ini menarik. Jadi, dia memutuskan membeli koran dan membacanya.

Sasuke segera membuka korannya dan sejenak tatapannya tertuju pada tanggal di koran. 9 November, hari peringatan kematian kakaknya.

Perasaannya sedikit bergejolak kapanpun ia mengingat sang kakak. Sasuke meyakini, kehangatan pada manusia yang hampir tak tersisa darinya masih bertahan berkat mendiang kakaknya.

Sasuke tumbuh besar dengan kakak lelakinya yang 5 tahun lebih tua. Mereka tinggal berdua saja sesudah kedua orangtuanya meninggal ketika usianya 7 tahun. Meski sebetulnya secara resmi ada kerabat yang mengurusnya, namun kerabatnya menolak tinggal bersama dan hanya mengurus keperluan yang cenderung urgent, entah membayar tagihan atau sejenisnya.

Secara teknis, kakaknya lah yang membesarkam dirinya. Karena itu, Sasuke mengagumi kakaknya dan memutuskan ikut masuk ke akademi polisi.

Ketika usia Sasuke 18 tahun, kakaknya meninggal mendadak karena kecelakaan lalu lintas. Sejak itulah, setiap peringatan kematian kakaknya, ia memutuskan memakan setusuk dango sebagai cara untuk mengenang lelaki itu, meski sebetulnya dia tidak suka manis.

Tangan Sasuke meremas koran sedikit sebelum membaca tulisan di koran dengan teliti. Ia akhirnya paham apa yang menarik. Katanya, ditemukan beberapa tengkorak manusia di rumah sang profesor. Saat ini sedang dilakukan investigasi lebih lanjut.

Kalau begitu, apakah akan ketahuan kalau kebakaran ini merupakan sesuatu yang disengaja? Ia agak khawatir meski di satu sisi, pemberitaan negatif soal sang profesor akan menguntungkan pihaknya.

Untuk pertama kalinya, Sasuke merasa khawatir. Apaakah ia masih bisa hidup hingga minggu depan? Atau sang atasan bahkan sudah berencana menyingkirkannya diam-diam?

Bukannya ia takut mati. Ia tidak takut mati, juga tidak sebegitu inginnya hidup hingga lanjut usia. Hanya saja, ia tak suka ketika seseorang dengan seenaknya menentukan kapan ia mati. Lagipula, ada satu hal yang ingin ia lakukan, yakni setidaknya menerbitkan satu buku dengan identitas palsu. Ia ingin meninggalkan jejak keberadaannya.

"Keisuke, ini pesananmu."

Sasuke segera mengangkat kepala dan mendapati Sakura sedang meletakkan pesanannya di atas meja.

Sasuke menoleh sejenak, lalu bertanya, "Terima kasih. Shift-mu sudah selesai?"

"Memang sudah. Aku boleh duduk di sini sebentar?"

Sasuke mengangguk sebagai respon. Di luar jam kerja, Sakura berbicara dan bersikap lebih rileks.

Sakura mengembalikan baki yang ia pakai untuk mengantarkan pesanan dan tampak berbicara sejenak dengan seorang perempuam dan lelaki yang baru datang. Mereka berdua adalah pekerja shift sesudah Sakura dan gadis berambut cepol itu.

Sasuke meraih tusukan dango itu dan memutarnya. Dango berwarna merah muda, putih dan hijau itu terlihat kenyal dan sedikit lengket.

Sampai saat ini, Sasuke tak menemukan apa yang membuat makanan itu begitu enak. Baginya, dango hanyalah sesuati yang kenyal dan lengket serta manis.

Namun Itachi, kakaknya, begitu menyukainya. Sampai-sampai, setiap minggu selalu membawa pulang dango. Lelaki itu selalu menawarkan, meski Sasuke juga selalu menolaknya.

Dulu Sasuke berpikir kakaknya hanya basa-basi saja. Ia bahkan kesal dan pernah mengomel, 'Tidak usah basa-basi. Kau kan tahu aku tidak suka manis.'

Namun kalau diingat lagi, sepertinya kakaknya selalu serius. Sampai-sampai Itachi pernah berkata, 'Kau yakin tidak mau coba? Ini enak, lho. Menurutku tidak semanis itu.'

Tak seorangpun menduga. Delapan tahun kemudian, Sasuke malah dengan sengaja memesan dango dan memakannya. Meski raut wajahnya berkerut, pada akhirnya ia tetap menggigit satu bulatan dango sebelum cepat-cepat meneguk kopi hitam untuk menetralisir rasa.

"Terima kasih buat novelnya, ya. Aku sudah selesai baca," ujar Sakura sambil menarik kursi dan duduk di hadapan lelaki berambut hitam itu.

"Kau mau pinjam buku yang lain?"

"Boleh? Jangan bilang, kau sungguhan punya koleksi lengkap?"

"Memang punya."

Sakura terkesiap mendengar jawaban Keisuke. "Sampai sekarang, aku masih penasaran bagaimana kau bisa punya novel Point Lines? Novel itu bukannya sudah lama tidak dicetak ulang?"

Sebetulnya, Sasuke ingin menjawab jujur kalau itu buku milik kakaknya. Namun ia menyadari pekerjaannya mengharuskannya untuk menjaga jarak pada orang lain. Lagipula ia tak ingin mendapat pertanyaan lebih lanjut yang bersifat pribadi.

"Aku beli di toko buku bekas beberapa tahun lalu."

"Kau benar-benar pecinta karya Matsumoto Seicho?"

"Aku suka novel misteri, tidak harus karya penulis tertentu," sahut Sasuke sesudah menyedot es kopi hitamnya.

Sakura menatap lelaki itu dengan heran. Kalau tidak suka, kenapa sampai punya koleksi lengkap? Bahkan sampai rela membeli di toko buku bekas segala? Lelaki ini agak sulit dimengerti.

"Eh? Terus kenapa kau sampai mengoleksi novel lengkapnya? Kupikir kau benar-benar suka karyanya."

"Memang suka, karena kebetulan cukup sesuai seleraku."

Sakura mengenyitkan dahi, masih bingung dengan ucapan Sasuke. Namun ia memutuskan tidak bertanya lebih lanjut.

Ia sedikit sungkan. Sudah lebih dari lima menit dia duduk berhadapn dengan Sasuke. Ia khawatir kalau lelaki itu sebetulnya terganggu dengan kehadirannya.

"Boleh aku duduk di sini sebentar lagi?"

Sasuke mengangguk. Biasanya ia tidak suka diganggu orang asing. Tapi perempuan itu tidak sebetulnya asing. Lagipula, interaksi dengan manusia yang tak berkaitan dengan pekerjaam mungkin bisa sedikit mendistraksi pikirannya.

"Kalau boleh tahu, kau masih menulis?" Sakura bertanya seraya menatap lelaki di hadapannya. Wajah lelaki itu menarik dan sebetulnya ia merasa senang setiap kali menatapnya. Seperti perempuan pada umumnya yang antusias melihat lelaki tampan, dia pun sama.

"Masih."

"Kau berencana mengirimnya ke penerbit? Kalau bukumu terbit, beritahu aku judulnya, ya. Aku mau beli."

Sakura bahkan tidak tahu seperti apa kemampuan menulis lelaki itu dan apakah buku lelaki itu akan lolos seleksi penerbit. Namun ia merasa penasaran, karya seperti apa yang akan ditulis lelaki macam Keisuke?

"Iya, kalau karyanya bisa selesai."

"Eh? Memangnya kenapa tidak bisa selesai? Apa kau tipe yang cenderung mudah bosan kalau sudah mulai menulis, terus jadi terbengkalai?"

Sasuke merasa khawatir kalau ia tidak akan punya waktu untuk menyelesaikan novelnya. Bisa saja, ia kehilangan nyawa sebelum berhasil. Ia bahkan mempertimbangkan untuk merombak menjadi karya pendek, namun rasanya sayang juga.

"Mm."

"Masa, sih? Tapi sepertinya kau tipe yang cukup telaten. Aku sering melihatmu fokus membaca atau menulis."

"Apa yang kau lihat belum tentu sesuai kenyataan."

Sakura tak dapat menampik ucapan lelaki itu. Setiap kali Keisuke datang, lelaki itu akan membaca koran. Terkadang lelaki itu akan mulai menulis, kadang malah langsung pergi. Sakura sering melihat lelaki itu fokus melakukan sesuatu dan duduk cukup lama. Namun ia tak punya gambaran apa pekerjaan lelaki itu.

Dari usianya, ia yakin usia Keisuke pasti setidaknya dua puluhan. Mungkin lelaki itu mahasiswa yang baru lulus dan berusaha mencari pekerjaan sambil melakukan hobinya? Mungkin, lelaki itu penulis?

Sakura tidak tahu pasti. Ia menyadari batasan mengenai kapan dan soal apa ia bisa bertanya. Bagaimanapun juga, lelaki itu masih sekedar pengunjung kafe tempatnya bekerja. Mereka hanya kenalan, tidak lebih.

"Benar juga. Kadang, akhir novel yang kubaca tidak sesuai dugaanku. Terus, aku merasa si penulis benar-benar hebat."

"Mungkin aku harus membuat karya yang begitu," sahut Sasuke. Ia menanggapi sekedarnya karena tidak tahu harus menjawab apa, tetapi tidak ingin mengabaikan perempuan itu.

Sampai saat ini, Sasuke belum memikirkan akhir cerita novel yang akan dibuatnya. Yang jelas, novel yang akan dibuatnya ber-genre misteri dan hanya satu buku saja. Dia tidak akan menulis buku apapun lagi sesudahnya.

"Kau belum menentukan akhir ceritanya?"

"Belum."

"Semoga novelmu cepat selesai. Semangat, ya," ucap Sakura dengan antusias. Kedua sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum lebar pada lelaki di hadapannya.

Sasuke hanya mengangguk sebagai respon. Perempuan itu tidak tahu, ketika ia sudah memutuskan menyelesaikan novel dan mengirimnya ke penerbit, maka itu juga merupakan akhir kariernya.

Ketika ia menerbitkan buku, maka pekerjaannya akan semakin berisiko. Karena ia tak seharusnya membuat dirinya berada di bawah sorotan, meski dengan identitas anonim sekalipun.

Sebetulnya, dengan sering muncul di kissaten yang sama pun mungkin sudah cukup berisiko. Meski dirinya bukan detektif, bukan pula agen rahasia yang harus melakukan misi jangka panjang maupun pembunuh bayaran. Dia cuma tukang bersih-bersih.

"Omong-omong, kau tahu soal kebakaran di Chuo yang sedang terkenal? Katanya ada beberapa tengkorak ditemukan di rumah profesor itu."

Sasuke menatap Sakura sekilas. Perempuan itu membalas tatapannya, terlihat sangat ingin berdiskusi soal berita yang populer.

"Aku baru baca sekilas di koran. Apa rumahnya bekas kuburan?"

Sasuke merasa penasaran dengan reaksi orang awam. Apa ini yang dimaksud menarik oleh sang atasan?

"Aku juga berpikir begitu," sahut Sakura. Ia mengecilkan suaranya dan berkata, "Kalau di novel, bisa juga bukan, lho. Jangan-jangan profesor itu pembunuh berantai misalnya? Terus salah satu roh korbannya balas dendam dan membunuhnya?"

Ucapan Sakura akan terkesan tidak sopan menurut sebagian orang. Namun Sasuke tidak peduli hal semacam itu.

"Mana mungkin di dunia nyata ada hantu?"

"Ada, tahu. Temanku ada yang bisa melihat hantu."

"Masa ada hantu yang bisa membunuh manusia?"

"Bisa saja, kan? Mana kutahu. Kalau sungguhan ada, seram sih. Hiyy."

Sakura memeluk tubuhnya sendiri dan merinding ketakutan. Namun ia segera menimpali, "Tapi benar juga katamu. Bisa jadi memang tidak ada. Tapi kalau begitu, kenapa bisa ada tengkorak manusia? Katanya, mahasiswa bimbingannya juga ada yang menghilang."

"Aneh, ya," sahut Sasuke sambil menanggapi dengan nada yang sedikit antusias.

"Iya, kan? Bisa juga dia membunuh mahasiswanya lalu melarikan diri? Jangan-jangan dia masih hidup di suatu tempat. Benar-benar seram."

Pendapat Sakura tentu saja tidak mewakili keseluruhan publik. Namun Sasuke mulai mengerti kenapa atasannya terdengar senang sampai menyebut ini menarik. Sepertinya orang-orang jadi sibuk berspekulasi sendiri, hingga menuduh sang profesor melakukan hal-hal aneh.

Kalau sudah begitu, semoga saja kecurigaan terhadap pemerintah berkurang. Dan posisnya pun aman, setidaknya sampai beberapa bulan ke depan.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro