Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7 - Behind The...

Sementara Rama sibuk dengan ponselnya karena mencari payung by custom di internet seraya merokok, Bagus bersiul senang dan membuka kulkas untuk mengambil makanan timbunan Rama. Lea menuruni tangga. Ia memperhatikan sekitar dan tak mendapati keberadaan Rama di dalam rumah. Gadis itu mendekat pada kakaknya dan bertanya, "Bang, yang ada di TV itu abang tahu kejadian yang sebenarnya?"

Bagus mengerutkan kening, "Kamu ngapain tanya abang begitu?"

Lea mengerucutkan bibir, "Gara-gara berita itu, temen-temen aku bilang bang Rama brengsek, enak aja. Bang Rama kan manusia maha baik yang Tuhan hadirkan di hidup aku."

Bagus mendesis tak suka, "Maha itu kata untuk Tuhan. Nggak bagus kalau disandingkan sama sifat manusia. Emangnya kamu pindah agama, jadi pengikut Rama?" tanyanya.

Lea mendesis, "Apaan sih. Kayak sendirinya udah bener aja. Kalau Rama nggak boleh dibilang maha baik, kenapa aku dibilang mahasiswa?"

Jeder!

Bagus juga tidak tahu kenapa. Tadi kan dia asal bicara saja, saking kesalnya dengan kebucinan adiknya pada Rama.

"Ya udah nggak usah dibahas. Pokoknya Si Rama mah memang brengsek kok. Udah kebuktian tuh di TV," lanjut Bagus.

Lea menyanggah, "Nggak. Bang Rama nggak begitu. Abang aja mungkin dendam sama dia, mau bang Rama gimana juga Lea tetep cinta," keukeuhnya.

Bagus menggeleng tak percaya, "Cintamu sepihak nak, sadar napa. Si Rama sama kamu aja ngomongnya lo-gue, udah jelas banget, dia nggak mau sama kamu!"

"Namanya juga usaha bang, sekarang mungkin lo-gue, nanti siapa tahu baby-honey."

Bagus benar-benar tidak menyangka, dan ia tidak bisa menduga-duga apa isi kepala adiknya ini. Oh, isinya memang sudah jelas, pria brengsek bernama Rama yang hidupnya menyedihkan dan sayangnya Bagus menyayanginya karena ia sahabatnya.

"Ngimpi aje lu," sambarnya.

Lea meraih cermin dalam tasnya kemudian bercermin, "Aku cantik kok bang, lihat. cantik kan? mungkin sekarang bang Rama belum mau lirik aku karena aku masih anak kuliahan, tapi nanti—"

"Le, masa depan kamu masih panjang. Kalian beda sepuluh tahun woy! Sadar napa, si Rama udah aki-aki."

Lea memukul kakaknya dengan cermin yang dipegangnya, "Enak aja! Yang kenalin Lea sama bang Rama dulu siapa? Kan abang."

Benar, memang Bagus yang mengenalkan Rama dengan adiknya dulu. Tapi ... itu semua terjadi sebelum Bagus tahu kelakuan Rama yang hobinya mencium anak gadis orang. Lagi pula, sejak awal Lea lah yang selalu berbunga-bunga pada Rama, ngebet pada bosnya padahal Rama biasa saja. Seharusnya Lea sadar dan menyerah, tapi Bagus menasehatinya sampai berbusa pun sia-sia, karena menasehati orang yang jatuh cinta sama saja dengan menguras air laut di seluruh dunia, percuma.


***


Adinda merasa bersyukur karena kesepakatannya dengan Rama mengenai klarifikasi itu membuat rumah yang semula dipenuhi wartawan kini kembali kosong tanpa ada siapa-siapa di sekitarnya, hanya beberapa orang dan kendaraan yang berlalu lalang saja. Persis seperti hari-hari sebelum ia bertemu Rama.

Arkan hanya mengantarnya sampai depan karena ia memiliki janji temu dengan pasien, jadi mau tidak mau Adinda harus masuk ke dalam rumahnya sendirian, dan itu berarti dia sudah siap untuk diwawancara oleh ibunya.

Ibu Nunung yang terhormat, yang begitu ia sayangi di dunia, satu-satunya yang ia miliki karena ayahnya sudah meninggal, yang kini sedang menatapnya penuh curiga, siap untuk melontarkan bahkan menyemburkan pertanyaan-pertanyaan yang akan membumi hanguskan Adinda.

Adinda tersenyum, mengangkat satu tangannya lalu menggoyang-goyangkannya dan tersenyum dengan manisnya, "Hai ... Mama Nunung," sapanya.

Nunung mendekat dengan cepat dan meraih tubuh Adinda. Memperhatikannya, memeriksa sebagian tubuhnya, wajahnya, lengannya, sampai kepalanya. Nunung juga meraih tas Adinda untuk mencari-cari sesuatu.

"Mama cari apa?" tanya Adinda.

"Mama cari kamera. Mana tahu ada kamera tersembunyi. Zaman sekarang wartawan pinter, iseng juga. Siapa tahu ada kamera-kamera penyamaran gitu di tas kamu."

GUBRAK! Adinda kira ibunya mencari-cari apa.

"Mama ih, kirain Adinda kenapa."

"Kamu udah makan belum sayang? Mama belum sempet masak, rumah penuh banget sama wartawan. Susah kemana-mana, untung sekarang udah pergi tuh wartawan. Tadinya kalau mereka nggak pergi, Mama mau siram mereka sama air kobokan aja. Bandel amat abisnya, mana rumput di halaman mereka injek-injek, seenaknya banget, nggak tahu apa kalau itu rumput mahal diurusnya. Dasar garelo memang itu wartawan. Cari duit sih boleh, cari informasi juga silakan, tapi nggak nyerobot gitu, kan ru—"

Adinda berjongkok, meraih tangan ibunya yang masih sibuk dengan isi tasnya dan menghentikan ucapan ibunya. Ia meraih wajah Nunung agar menghadapnya, dan mata paruh baya yang sudah menjalani kehidupan begitu lama itu berkaca-kaca, kemudian perlahan-lahan melemah, "Kamu nggak apa-apa kan sayang?" tanyanya.

Adinda tersenyum pedih. Sejak dulu, ibunya selalu berbicara tanpa henti ketika sedang cemas dan mencoba tak menunjukkan perasaannya, dan Adinda sudah tahu gelagat itu. Ia tidak mau ibunya menangis karena dirinya. Tidak, jangan lagi ada kejadian seperti sebelumnya.

"Dinda nggak apa-apa Ma, hehe."

"Terus kenapa wartawan itu malah ngerubungin rumah kita? Di TV kamu nangis-nangis depan si Rama. Kamu diapain sama dia? Dia jahat sama kamu? Karena kalau dia jahat sama kamu, Mama nggak akan pernah mau nonton acara dia lagi selamanya."

Adinda tertawa di tengah kemirisannya, sepertinya ide yang bagus. Adinda katakan saja yang sebenarnya dan ibunya akan membenci Rama sepanjang hidupnya lalu hari-hari Adinda akan sangat damai tanpa suara Rama yang berasal dari acara TV yang ditonton oleh ibunya. Sangat-sangat menyenangkan.

Tapi ... tentu saja akan meresahkan. Ibu-ibu kalau sudah tidak suka pada seseorang, kadang di luar kendali dirinya, bertemu orang baru bercerita, bertemu orang yang menyinggung pembahasannya juga bercerita, dan itu berarti sia-sia saja Adinda menceritakannya, pada akhirnya predikatnya tetap sama, menjadi korban kejahatan chef Rama.

Padahal, Rama hanya memeluknya. Ya, catat itu. Pria itu memeluknya, hanya memeluknya, bukan memperkosanya. Kesannya seperti Rama memperkosanya saja. Tetapi bagi Adinda memang sebencana itu. Bagaimanapun juga Rama tetap bersalah.

Mendadak, bayangan akan sesuatu yang ingin ia lupakan muncul dalam kepalanya diiringi debaran jantung yang disusul dengan kerjapan cepat pada matanya. Adinda menelan ludah, menggelengkan kepala dengan kencang, mencoba untuk mengusir bayang-bayang itu dan fokus kembali pada ibunya.

"Mama mau tahu yang sebenarnya nggak?"

Nunung mengerutkan kening, "Apaan?"

Adinda menundukkan kepalanya.

Katakan tidak ya ...

Jujur tidak ya ...

Mendadak suara Al-Gozali yang sedang bernyanyi mengalun dalam kepalanya, 'Bilang tidak ya ... bilang tidak ya ...'

HAHAHA pikiran gila! Sedang berpikir malah sempat-sempatnya bernyanyi.

Baiklah, sepertinya Adinda harus menjelaskan pada ibunya. Dengan menarik napas dalam-dalam, Adinda mulai menggerutu, "Dia itu pacarnya Dinda. Kita udah pacaran selama dua bulan tapi ketemu cuma tiga kali doang, pacaran sama dia udah kayak pacaran sama tentara aja. Susah ketemunya. Dinda kesel, mana kalau ketemu sembunyi-sembunyi, katanya Dia pengen serius, nggak mau kayak pacar-pacarnya yang sebelumnya yang diketahui media malah putus. Tapi kan Dinda kesel, kesannya kayak Dinda selingkuhan dia aja, padahal kan Dinda pacar dia. Udah susah dihubungin, susah ketemu juga, tahu-tahu dia muncul di lokasi shooting, jadi bintang tamu di tayangan Dinda, begonya bilang surprise. Boro-boro surprise, kesel yang ada. Dipikir enak dapet kejutan begitu."

WOW! Adinda wajib bertepuk tangan, bertepuk kaki, bertepuk meja, atau tepuk apapun yang bisa ia lakukan untuk mengapresiasi kemampuan akting dan mengarang bebasnya. Gila. Luar biasa! Luar biasa sekali. Adinda tak menyangka ia berbicara secepat itu, sepanjang itu, dan semarah itu hingga membuat mata ibunya yang semula berkaca-kaca menjadi berbinar-binar penuh bahagia.

"Ya ampun! Serius? Eh, Mama kira anak Mama nggak laku."

Menyebalkan sekali ucapan ibunya yang satu ini.

Nunung terlihat kegirangan. Ia menatap Adinda dengan antusias dan berkata, "Aduh, pantes aja kamu empet banget sama si Rama. Ternyata emang karena hubungan pribadi, ya ampun ... kok ya pantes Mama suka banget sama si Rama, ternyata emang karena si Rama calon mantunya Mama."

Adinda ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya sekarang juga. Eh, tapi jangan ... dia sudah makan kepiting tadi. Kan mahal, sayang. Besok pagi saja, setelah ia sarapan bubur.

"Jadi kalian itu pacaran berapa lama?" tanya ibunya memastikan lagi.

"Tiga bulan ma," sahut Adinda.

"Ah, tadi kamu bilangnya dua bulan ah."

Oke, Adinda salah sepertinya. Dia kan asal bicara, ingat saja tidak.

"Jadi, dua bulan baru ketemu tiga kali? Kapan aja?"

Matilah ia! Ketika seseorang berbohong, kebohongan lain akan mengikuti setiap perjalanannya. Sekarang Adinda menyesal telah berbohong, karena setelah ini ... akan banyak sekali kebohongan-kebohongan yang dia lontarkan pada ibunya, bahkan pada semua orang di hidupnya. Sial, semua ini tak akan terjadi kalau Rama tidak ...

Oke, lupakan sejenak kejadian menyebalkan itu Adinda.

"Waktu Arkan nggak jemput Adinda, dia yang jemput."

"Oh, itu!"

Padahal sebenarnya Arkan tak menjemput Adinda karena mobilnya mogok waktu itu, dan satu lagi karena pasien Arkan dalam keadaan yang mengkhawatirkan, yang satunya lagi sepertinya tidak akan ditanyakan oleh ibunya.

"Eh tapi kamu masih suka nginep-nginepan di apartemen Arkan. Emangnya si Rama nggak keberatan? Kamu juga dianter jemput sama Arkan, masa dia santai-santai aja?"

Adinda menggaruk kepalanya. Benar juga, ibunya pasti meragukan perasaan Rama padanya. Ayolah, Adinda ... berpikir ... tempatkan dirimu sebagai seorang pria yang kekasihnya menghabiskan waktu lebih banyak dengan pria lain ... ayolah ... berpikir ... berpikir.

"Nah!" Adinda berseru ketika pikiran itu menghampiri kepalanya.

"Justru waktu Dinda nangis itu, kita berantem masalah itu juga. Dia nya juga senewen sendiri Ma, dia ngerasa kalah aja sama Arkan, sempet bentak-bentak juga, makanya Dinda sampe nangis sesegukan begitu."

Nunung masih mengerutkan kening dan Adinda hanya berharap ibunya menerima alasan juga jawabannya. Semoga masuk akal, semoga dapat diterima, semoga ...

"Berat sih ya, hidup jadi artis mah."

Adinda mengangguk setuju. Sekarang, kerutan di kening ibunya menghilang, berganti dengan senyuman penuh kebahagiaan di bibirnya, "Semoga aja kalian bisa melewati semuanya," ucap Nunung.

Adinda mengangguk, meraih tasnya kemudian berdiri, "Dinda mau ke kamar ya Ma? Ngantuk."

Setelah itu, ia berjalan meninggalkan ibunya. Tetapi ucapan Nunung menghentikan langkahnya.

"Mama memang suka sama Rama, tapi untuk berhubungan ... Mama lebih suka kamu sama Arkan, dia udah tahu segalanya tentang kamu."

Adinda tersenyum pedih. Justru, orang yang paling tahu segalanya tentang kita adalah orang yang wajib kita hindari sebisa mungkin. Arkan sudah tahu semuanya, setiap menit dalam kehidupan Adinda, Arkan sudah tahu, dan Adinda selalu merasa bahwa ia berdiri telanjang di hadapan Arkan. Malu, tetapi ia sudah tak punya muka lagi untuk menanggung malu.

Tanpa membalas ucapan ibunya, Adinda berjalan menuju kamarnya dan menelungkupkan dirinya di atas ranjang. Mencoba memejamkan matanya, mengusir seluruh keresahannya, mengendalikan kembali dirinya agar bisa tetap berpijak dengan benar di dunia yang dipenuhi oleh hal yang tak menyenangkan selama hidupnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro