Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4 - Bujukan, Rayuan, dan Tamparan

"Dinda! Kenapa kamu nggak bilang sama Mama kalau kamu dagang panci sama Rama? Hampir aja kan Mama telat nontonnya, untung Bu Mirna kasih tahu Mama."

Adinda sudah menyangka, ibunya pasti akan protes dengan keras ketika mengetahui tayangan ia bersama Rama adalah hari ini dan dia tak memberitahu ibunya.

"Mama kan nggak suka denger Dinda ngoceh, ya udah sih ya ngapain harus kasih tahu."

"Mulai besok Mama favoritin acara kamu ngoceh deh sayang ... eh kamu di mana sekarang?"

"Masih di studio Ma."

"Rama masih ada?" tanya Ibunya penuh harap.

Adinda mengedarkan pandangannya dan berhenti pada sosok yang disebutkan ibunya, "Ada."

"Yuhu! Karena Dinda adalah anak Mama yang paling membanggakan ...."

Hawa-hawanya sungguh tak mengenakan, Adinda bisa merasakan niat terselubung yang ingin disampaikan ibunya.

"Mau ya, rekamin mukanya Rama bilang semangat memasak untuk Mama sama temen-temen sekomplek Mama."

Apa? No way! Adinda tidak mau. Enak saja.

"Mama alay. Nggak mau, Dinda mau pulang ... batre HP Dinda abis."

"Ih, kamu suka gitu. Udah lah rekamin aja, yah ... ya?"

"Ma ..."

"Nanti Mama masakin kikil kesukaan kamu deh, nih Mama berdiri nih siap-siap mau pergi cari kikil."

Aish ... ibu-ibu dan caranya membujuk—tidak, memaksa anaknya menuruti kemauannya memang menyebalkan.

Adinda menghela napasnya, "Oke, Dinda mintain. Udah ya, tutup teleponnya. Assalamualaikum."

Kemudian sambungannya bersama Nunung--Ibunya di rumah terputus. Adinda menatap Rama lurus-lurus, melupakan keributan kecil mereka beberapa waktu yang lalu, dan berjalan dengan langkah penuh untuk mendapatkan keinginan sang ibu.

Ia telah sampai di hadapan Rama, beberapa orang yang berada di sana menyingkir sementara Rama mengangkat alisnya, menantikan alasan apa yang membawa Adinda untuk menghampirinya.

"Hai ..." sapa Rama dengan ramah. Lebih tepatnya Sok akrab.

"Nggak usah pake sapa-sapa begitu, kita nggak akrab," dumel Adinda.

Rama tertawa, "Maaf mbak, tadi waktu kita shoot, mbak nanya-nanya terus loh, sok akrab sama gue."

"Itu kan tuntutan pekerjaan, kalau bukan ya ngapain gue begitu?"

Rama menggeleng, "Rasa-rasanya posisi dan situasi kita kebalik deh. Yang harusnya marah, judes, dan nggak bersahabat ya gue mbak, kan gue yang jadi korban lo."

Adinda melotot dengan tajam, kalau saja matanya bisa berubah menjadi sebuah mata pisau, Rama mungkin sudah tercabik-cabik dengan mengenaskan sekarang.

"Nggak usah sok menderita dengan lo bilang kalau lo korban, dibilangin gue juga korban. Suruh siapa nggak nyingkir ...."

"Suruh sia—"

"Oke STOP! Cuaca lagi cerah, harusnya hari gue juga cerah, jadi kita hentikan sampai di sini dan gue mau langsung ke inti aja."

Rama mengerutkan keningnya, inti apa? ia menatap Adinda yang sekarang merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan mengotak-atiknya sebentar.

"Gue udah bilang kalau gue bakal langsung ke inti. Jadi, Mama gue itu sebenernya fansnya lo—sumpah, walaupun gue dibilangin anak durhaka gue nggak peduli tapi gue nggak setuju sama Mama gue yang ngefans sama lo ini, dan karena mama gue begitu mengidolakan lo sementara dia muak sama ocehan gue di TV tapi dia ternyata liat tayangan gue hari ini, dia nitip pesan kalau dia mau lo kasih dia video message yang mengatakan beberapa kata, semacam penyemangat buat mama gue dan temen-temennya, jadi sekarang gue mau rekam lo. Terserah lo mau ngomong apa yang jelas lo harus nyebutin Mama gue."

Rama mengerjapkan matanya, sesungguhnya ia tidak bisa mencerna apa kata Adinda karena gadis itu berbicara dengan cepat, suaranya terasa seperti numpang lewat saja bagi Rama sebelum dia protes, "Itu yang lo bilang inti?"

Adinda merasa malu bukan kepalang. Dirinya sudah memiliki kebiasaan untuk menjelaskan sesuatu sedetail mungkin dan barusan ia berbicara panjang lebar pada Rama, padahal niatnya dan inti dari semuanya hanya satu; meminta pesan video untuk ibunya.

"Ekhm." Adinda berdehem, "Pokoknya, lo rekam diri lo, ngomong semangat buat Mama gue."

"Eh maaf nih, ini lo nyuruh apa minta tolong?"

"Gue jajah lo!" pekik Adinda.

Rama mengepalkan tangannya, gadis ini!

"Gue nggak mau!" keukeuhnya.

Adinda menggerutu, "Dipikir gue sudi minta sama lo? Kalau bukan demi Mama gue juga gue ogah kali."

Apa-apaan coba? Mulut gadis ini benar-benar harus dicincang sampai halus supaya perkataannya juga tertular halus. Ingin rasanya Rama pergi saja dari sini tapi mengingat yang dikatakan oleh Adinda bahwa rekaman ini untuk ibunya membuat Rama menghela napas. Sebagai seorang anak, ia juga mungkin akan melakukan hal yang sama. Ya Tuhan, positif sekali pikirannya. 

Rama mengatur napas dan menahan emosinya, "Sini ... HP lo," ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Adinda diam sejenak tapi kemudian ia menyerahkan ponselnya pada Rama.

Rama menahan tawa ketika melihat wallpaper HP Adinda adalah foto Dinda yang sedang mengerucutkan bibirnya, memakai topi ulang tahun, dengan tulisan besar menggantung di lehernya 'I'm tukang panci and I'm very happy'.

Menyadari kalau Rama menertawakannya, Adinda merampas kembali ponselnya, mencari-cari kamera dan menyerahkannya pada Rama, "Nih. Rekam sendiri!" perintahnya.

Rama menggeleng, "Rekamin lah, biar gue leluasa."

Aish, artis mah bebas. Suka-suka dia aja lah.

Maka dengan berat hati, Adinda memegangi ponselnya dan memposisikannya di depan Rama, "Ayo ngomong, nama mama gue ibu Nunung."

"Oke."

"Oke, mulai."

"Assalamualaikum ..." Rama mengucapkannya seraya tersenyum lebar, membuat Adinda menatapnya penuh ledekan, apa-apaan! Rama mau menggoda ibunya?

"Halo, Mama ..."

Eh, tunggu ... kenapa mama?

"Katanya Mama ngefans sama Rama, ya? terima kasih ya Mama, dukungan, doa, dan semangatnya. Sekarang giliran Rama yang bilang, semangat masak ya Ma! Ayo memasak dan buat semua orang bahagia waktu makan masakan Mama! Salam untuk teman-temannya juga. Oh iya, anak Mama ... pinter ngoceh ternyata."

Rama tertawa, sementara Adinda bergegas untuk mematikan rekamannya dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam sakunya. Ia menatap Rama dengan angkuh lalu berkata, "Makasih."

Kemudian tubuhnya berbalik, sudah siap menjauhi Rama tetapi tangan pria itu menahannya, memegang tangannya hingga Adinda membelalakkan matanya, membalikkan kembali tubuhnya, dan menghempaskan tangan Rama yang memegang tangannya.

"Eh, gue nggak suka lo pegang-pegang!" teriaknya. Emosi.

Rama mengangkat kedua tangannya, "Oke, sorry ... tapi gue cuman mau menyelesaikan urusan kita berdua aja," sahutnya.

"Urusan apa lagi? Soal tabrakan itu?"

Rama menggeleng seraya tersenyum, "Bukan ... tapi soal perkenalan kita."

Idih, apa-apaan!

"Perkenalan apaan?"

Rama mengangkat kedua bahunya, "Ya ... kita sejak ketemu ribut-ribut tanpa alasan yang jelas, padahal kita tadi akur aja waktu take. Tabrakan itu masalah yang udah lalu."

"Nah, itu lo tahu sendiri."

"Ya, maka dari itu. Gue ajak lo berdamai, dan gimana kalau kita kenalan?"

Kenalan? Pria ini menggodanya?

"Gue Rama ..." Rama mengulurkan tangannya pada Adinda, sementara Adinda bergerak mundur, tersenyum tipis dan berkata, "Nggak usah pake jabat tangan segala kali ya."

Seketika, Rama menarik kembali tangannya yang tak disambut oleh Adinda.

"Gue Adinda, Adinda Humeira Darmawan ..." sahutnya.

Rama menganggukkan kepalanya, "Nama lo bagus."

"Makasih, emang bagus. Orangtua gue niat cari nama sampe tanya sana sini."

Rama mengangguk lagi. Ia menatap Adinda, kemudian berkata lagi, "Masalah tabrakan, mungkin bisa kita akhiri di sini. Gue emang kesel sama lo, tapi kayaknya kita nggak bisa gini terus, masih ada sepuluh tayangan kita bareng-bareng dan gue mau semuanya berjalan lancar."

Oh, terkutuklah sepuluh tayangan itu! Adinda tidak pernah menyangka ia harus terjebak dalam studio dan acara yang sama dengan Rama. Sungguh, amat sangat menyeramkan.

Tapi kalau dipikir lagi, memang untuk apa mereka seperti tadi, tidak ada gunanya juga. Maka dengan menekan seluruh gengsinya, Adinda tersenyum, "Oke, selesai ya ... gue pun mau minta maaf, mungkin memang gue salah."

Rama menganggukkan kepalanya, dan keduanya tersenyum, melepas dendam tak berdasar yang menguasai mereka sebelumnya. Sampai Adinda melihat jam tangannya, dan beberapa menit lagi Arkan pasti sudah sampai untuk menjemputnya.

"Oke, selesai ya? gue pulang duluan."

Adinda kembali tersenyum, ia berbalik dan berjalan dengan cepat menjauhi Rama. Tapi bukannya berjalan ke depan, Adinda malah berjalan ke arah belakang. Seharusnya Rama tak memperhatikan, seharusnya ia menjauhi tempatnya berdiri, tetapi ada suatu hal yang menahannya, yang tak bisa ia mengerti sama sekali, dan bayangan wajah Adinda dengan bibirnya yang terus menerus mengoceh membuatnya terganggu, sangat terganggu hingga pada akhirnya Rama berjalan dengan cepat, mengikuti langkah Adinda... layaknya pejantan memindai betina, tak sedikit pun matanya lepas menatap Adinda, hingga wanita itu sudah berada di halaman belakang kantornya—yang tidak tahu kenapa ia ke sini, Rama berlari kemudian meraih tangan wanita itu, Adinda kembali melepaskannya—karena yang Rama tahu wanita itu tak suka dipegang-pegang—tapi Rama berhasil membuat Adinda menatapnya.

"Gue udah bilang ya kalau gue nggak suka dipegang-pegang!" ucap Adinda.

Rama tersenyum manis, senyum yang sama dengan senyuman yang selalu ia berikan pada setiap wanita yang akan jatuh kepadanya. Dengan penuh keberanian ia berkata, "Lo tahu nggak. Selama satu tahun ini, sepanjang hidup gue ... setiap perkenalan gue dengan wanita, akan diakhiri dengan hal yang sama."

Adinda mengerutkan kening. Ia menatap Rama penuh penilaian, merasa ngeri tapi di satu sisi merasa benci sekali mendengar suaranya.

Adinda tak sempat bertanya karena tiba-tiba saja Rama sudah melayangkan tangannya untuk mendarat di kepalanya. Pria itu mengusap kepalanya! Benar. Dia menyentuh kepala Adinda, mengusapnya seraya tersenyum manis dengan bibir tebalnya. Adinda sudah siap untuk melayangkan tatapan tajamnya atau bahkan tinjunya namun terhalang karena pria itu malah memeluknya dan berbisik penuh godaan, "Salam kenal, Dinda. Nice to Meet you!"

"Biasanya gue memberikan pilihan, mau bertahan dalam pelukan gue, atau mau lanjut dan tunggu apa yang akan gue lakukan sama lo."

Tunggu. Apa. Yang. Akan. Rama lakukan. Kepadanya.

Seketika, mata Adinda terbelalak dengan sempurna. Pikirannya kosong namun tubuhnya refleks dan bergerak untuk meronta—meminta dilepaskan ketika Rama memeluknya dengan begitu erat. Pria itu masih melingkupi tubuhnya tapi Adinda malah sudah kehilangan kewarasannya. Ia menendang selangkangan Rama dengan lututnya hingga berhasil menjauhkan pria itu dari dirinya.

Rama menatapnya, sementara Adinda sudah kehilangan ketenangan. Wanita itu langsung memukulinya habis-habisan, memukuli dadanya, menendang-nendang kakinya hingga Rama mengaduh kesakitan dan Adinda tak mempedulikannya.

"Aww! Sakit!"

"Kurang ajar! Brengsek! Bajingan! Sialan!" Adinda berteriak. Ia menatap Rama dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu ia berhenti memukuli Rama, tubuhnya tiba-tiba saja berjongkok, ia memeluk dirinya sendiri dengan erat, kemudian... menangis dengan sangat memilukan.

"Eh, lo kenapa?" seraya memperhatikan Adinda, Rama melihat-lihat sekitarnya. Sepi! Ia aman, tetapi Rama benar-benar merasa aneh, setiap wanita yang didekati olehnya akan merasa terbang dan begitu bahagia. Yang lainnya bahkan Rama cium, tapi Adinda... Rama hanya memeluknya, tapi kenapa wanita itu malah...

"MENJAUH DARI GUE!" teriak Adinda lagi. Sekarang teriakannya sudah bercampur dengan isakan kencang dari tangisnya. Rama berjongkok ketika wanita itu bergerak mundur, memeluk lututnya dengan kencang, lalu kembali menangis dengan memilukan, dan meresahkan.

Hingga Rama merasa seperti ada sesuatu yang menusuknya berkali-kali dan memukulnya bertubi-tubi. Rasanya tidak nyaman sekali, ia mendekat sedang Adinda menjauh. Rama mengulurkan tanganya, tapi Adinda malah menepisnya dan menangis keras.

Rama tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Seperti terjadi bencana besar dalam hidupnya, atau serangan tiba-tiba yang akan membuat hidupnya porak poranda. Bagaimana tidak, Rama membuat seorang wanita sampai histeris begini hanya karena ia memeluknya. Padahal di Amerika sana, saling memeluk begini biasa kan? Atau bahkan hubungannya dengan wanita-wanita yang sebelumnya—mereka bahkan akan menuntut lebih ketika Rama hanya memeluknya, dan Rama sangat yakin bahwa ciumannya terasa luar biasa sehingga para mantan kekasihnya tak pernah bisa melupakannya. Tetapi kenapa Adinda malah seperti ini? Dan kenapa Adinda malah membuat Rama mematung? Seharusnya yang Rama lakukan sekarang adalah pergi sejauh mungkin dari Adinda. Hanya saja kakinya bahkan tidak dapat bergerak.

Semua tidak semudah apa yang berada dalam pikirannya, karena ada sesuatu yang membuat Rama menatapnya lama hingga keinginan dalam hatinya menguat, bahwa ia... ingin melakukan segala cara untuk membuat wanita itu berhenti menangis. Entah mengusap air matanya, atau memeluknya. Hanya saja Adinda tak mau didekati olehnya, dan Rama tak tahu kenapa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro