Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 - Pertemuan Menyebalkan

Bugh! Bugh! Bugh!

"Aww! Mama sakit! Aww!" Adinda berteriak, ibunya benar-benar buas ketika memukulkan bantal sofa kepadanya, seolah Adinda maling saja.

"Mamaa ... sakit!"

"Sakit, sakit. Suruh siapa kamu jorok sembur-semburin air begitu? nggak sopan. Emang Mama pernah ajarin kamu begitu?"

Adinda bergeser dari duduknya, mengangkat tangannya untuk menghindari pukulan ibunya, "Ya, maafin ... Dinda kaget, Mama."

"Kaget apa? nggak ada setan di sini."

"Itu!" Adinda menunjuk TV di depannya, "Itu yang bikin Dinda kaget."

Ibunya mengerutkan kening, "Chef  Rama?"

Adinda memejamkan matanya. Oh tidak, ternyata memang benar. Saat membayar biaya administrasi Rumah Sakit ketika ia tersadar dulu, Adinda mendapatkan rincian biaya dan data pasien yang mengalami kecelakaan bersamanya, dan nama pria itu adalah Rama, tapi Adinda benar-benar tidak tahu kalau pria itu adalah seorang ... artis?

"Oh, namanya Rama?" jawabnya sok polos.

Bugh!

Satu pukulan kembali mendarat di kepalanya, "Kamu ini kemana aja? makanya gaul. Chef Rama ini kan udah terkenal, dia chef ganteng. Chef Arnold mah kalah."

Kenapa malah membawa-bawa gaul sih? Adinda kan memang tidak suka menonton acara masak, buat apa juga ... toh dia tidak akan menerapkannya.

"Oh, jadi yang kata temen kantor Dinda ganteng itu dia?"

"Ya, emangnya ada lagi chef yang ganteng selain dia?"

"Kok Dinda baru tahu ...."

"Itu karena kamu tinggal di goa. Makanya, nonton TV. Baca koran, baca majalah, biar tahu kabar terkini, jangan dagang panci aja."

Seolah pekerjaan dagang panci terasa hina dan ibunya tak suka ia melakukannya.

Adinda mengerucutkan bibirnya, "Ya terima aja, anak Mama bakatnya ke dagang panci."

Bangkit dari duduknya, Adinda berjalan dengan menghentakkan kakinya menuju kamarnya, ia berhenti sebentar saat sudah sampai di kamarnya. Jadi pria yang Satu Tahun lalu ia tabrak itu, artis ya? oke ... maksudnya chef yang muncul di TV. Kenapa Adinda baru tahu?


***


Menurut Rama, semua hal telah diatur dan disesuaikan di mana seharusnya mereka berada. Seperti guru yang berada di sekolah, dokter yang berada di rumah sakit, mekanik yang berada di bengkel, dan chef yang berada di dapur.

Rasa-rasanya ia selalu merasa kurang tepat ketika chef yang seharusnya berada di dapur dan tak diketahui keberadaannya, malah muncul dalam acara TV yang membuatnya dikenal oleh seluruh masyarakat.

Aneh saja, menonton dirinya sendiri yang sedang memasak di balik layar besar itu. Rama menggaruk kepalanya, ia melihat dirinya sedang menggoreng dan tersenyum ke layar TV, sial ... kenapa juga ia harus tersenyum?

"Udah bangun lo? Tumben, biasanya jam sepuluh."

Bagus datang, menyimpan barang-barangnya dan duduk di samping Rama seraya menyalakan rokoknya, "Wih ... artis nonton artis."

"Diem lu."

"Ganteng lu ye Ram, pantes aja pacar lu banyak, kayak baju di lemari. Tinggal ambil sesuka hati."

Rama menoleh, "Gus, itu pujian apa hinaan?"

"Tergantung lo nerimanya sebagai apa," sahut Bagus.

"Pujian aja deh, capek gue kalau anggap itu hinaan. Berasa hina banget." Rama bangkit dari sofanya, berjalan menuju dapur untuk menyeduh kopi.

"Ram, pindahin ya channel-nya?"

"Pindahin aja," sahut Rama. Ia sudah sibuk meracik kopi kesukaannya dan sudah tak peduli lagi dengan tayangan TV yang ia tonton sebelumnya.

Lagu-lagu girlband Korea terdengar dan Rama mendengus, "Hobi aja nonton bokep, tapi musik favorit malah girlband."

Bagus tidak mendengarnya, karena sibuk menonton TV.

"Bunda-bunda sekalian. Hanya dengan membeli satu set jemuran stainless yang bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam tas ini Bunda bisa mendapatkan banyak bonus dengan harga yang sangat terjangkau...."

Rupanya si Bagus ini sedang menonton acara Home Shopping.

"Gus, minggu kemarin lo udah beli setrikaan buat nyetrika jas gue yang bisa rapi dalam waktu sebentar. Sekarang lo mau beli apa lagi?"

Rama sudah selesai dengan kopinya, ia berjalan mendekati Bagus lagi dan duduk di sampingnya.

"Tuh, jemuran Ram. Lumayan bisa dilipet sampe kecil begitu," kagumnya.

Rama menatapnya tak menyangka, "Otak lo emang kayak ibu rumah tangga banget ye, Gus."

"Ya! Bunda-Bunda yang berada di rumah ...."

"Telinga gue bisa sakit nih Gus, berisik amat suaranya. Pindahin bisa?"

"Eh, bentar Ram, tanggung. Udah, tonton aja sih."

Mau tidak mau, Rama menatap TV di hadapannya yang kini tengah menampilkan produk yang Bagus bicarakan dengan suara presenter yang tak henti-hentinya berbicara. Gila, mulutnya tidak berbusa apa, berbicara terus menerus tanpa jeda?

"Ayoo! Bunda, untuk Bunda yang berminat dengan produk baru kami, bisa menelpon dengan nomor yang ada di bawah ini. Bunda akan mendapatkan promo spesial, dengan harga yang jauh lebih murah dan bonus yang sangat banyak. Tunggu apa lagi, hubungi sekarang dan produk ini akan langsung kami antarkan ke rumah bunda sekarang juga."

Akhirnya, suara itu disertai dengan wajah pembicaranya yang berambut panjang dan berwajah menarik. Benar, menarik di sini bukan karena wanita itu cantik, menarik di sini karena wajah itu membuat Rama menatapnya terus menerus, penuh selidik, penuh perhitungan, dan penuh perbandingan hingga ketika dirinya yakin, Rama berteriak dengan kencang.

"Shit man! Dunia sempit banget. Kemarin dia hindarin gue, nah gue dapetin dia sekarang."

Seringaian muncul di bibirnya, Rama mengangguk-anggukkan kepala sementara Bagus malah mengerutkan kening.

"Gus, kemarin lo bukannya nawarin gue jadi bintang tamu di acara home shopping begini? Yang ini bukan?"

"Iya, yang ini. Tapi lo nggak mau. Lo bilang lo males acara begituan."

"Eh, nggak ... nggak. Gue mau kok. Terima Gus. Terima. lo hubungin pihak sana dan terima tawarannya ya?"

Bagus menatap Rama dengan tajam, kalau soal mempermalukan Bagus, Rama memang jagonya.


***


"Minggu depan kamu promosiin double pan sama bintang tamu ya Dinda."

Adinda mencebikkan bibirnya, mau ada bintang tamu atau tidak, yang berbusa tetaplah diri nya, jadi ya percuma saja. Guna bintang tamu dalam acara penjualan pancinya hanyalah sebagai pajangan saja, sebagai pengharum ruangan, atau mungkin sebagai bumbu pelengkap dalam masakan.

"Bintang tamunya siapa?"

"Rahasia lah, masa saya bilang-bilang."

Oke, Adinda menyesal karena ia sudah bertanya.

"Kamu siap kan, minggu depan sama bintang tamu?" tanya bosnya lagi. Adinda mengangguk, kalau tidak siap pun yang rugi ya dirinya, tidak mendapatkan gaji. Adinda juga harus bisa menyadari dirinya sendiri, kalau mulutnya yang berbicara tanpa henti adalah satu-satunya jalan menuju uang yang akan membiayai hidupnya selama satu bulan.

"Oke, kita sudah sepakat. Kalau gitu kamu siap-siap untuk tayangan hari ini ya."

Siap-siap yang dikatakan oleh bosnya adalah siap-siap menghafal semua spesifikasi panci di luar kepala, dari mulai bahannya, ketahanannya, bahkan sampai ukurannya, semua harus Adinda hafal di luar kepala. Bahkan ia sendiri lebih hafal spesifikasi panci dari pada spesifikasi bedak, foundation, atau maskara, memang dasar tukang panci. Seolah-olah pekerjaan ini menjadi kutukan untuknya.


***


Bagus menggerutu. Kesal karena Rama bisa menghilang dengan cepat hanya dalam hitungan detik ketika Bagus tak memperhatikannya. Dasar bandel. Mengurus Rama lebih menyulitkan dari mengurus anak SMA yang hobinya bolos dan tawuran.

Bagus membuka pintu ruang ganti, siap untuk menumpahkan seluruh kekesalannya tetapi sebuah pertunjukkan membuatnya menghentikan langkah dengan mulutnya yang menganga atas keterkejutan yang menimpanya.

Rama sedang berciuman, entah bersama siapa. Dan ini sudah yang kesekian kalinya. Aish, pria itu!

"Nugraha! Bokap lo nelpon nih!" Bagus berteriak dengan kencang, seolah ia berada di tengah kerumunan dan Rama tak bisa mendengarnya. Padahal kalau Bagus berbisik pun Rama bisa mendengarnya, tetapi bukan itu tujuan Bagus yang sebenarnya, tujuannya yang sebenarnya adalah agar wanita itu terkejut, mendorong Rama untuk menjauh, dan berlari jauh-jauh dari ruangan ini. Ya, sama seperti wanita-wanita lain terdahulu.

Begitu wanita itu pergi, Rama terkekeh sementara Bagus menatapnya dengan tajam, "Gue ... nonton bokep buat diri gue sendiri, meskipun koleksian gue banyak, tapi gue nggak rusak anak gadis orang, dasar gila lu! Nyuruh orang puasa, sendirinya berbuat jahanam!"

"Anjir, Gus ... nggak ada kata yang lebih pantes lagi dari jahanam? Sakit banget dengernya."

"Mana ada Fakboi sakit hati denger hujatan kayak begitu. Emang dasar lu ye. Sakit jiwa. Lama-lama gue kawinin juga lu sama ayam gue."

Rama menatapnya ngeri, "Dasar nggak punya peri keayaman lo, ayam lo mana mau sama gue. Kan lo sendiri yang bilang, gue tukang ngacak-acak."

Rama tertawa dengan keras, ia berjalan menjauhi Bagus dari ruang ganti dan begitu sampai di luar, tawanya terhenti, wajahnya berubah menjadi dingin, dan ia bertanya dalam hati ... sampai kapan ia akan seperti ini?


*****


Arkan datang lebih awal hari ini, ia tersenyum dengan lebar saat Adinda melambaikan tangan ke arahnya, "Udah lama Ar?" tanya wanita itu.

Arkan tersenyum, "Nggak selama penjajahan Belanda kok Mei."

Adinda tergelak.

"Gimana dagang panci hari ini?" Arkan membuka suara, sementara Adinda mulai menatapnya dengan tajam, selalu tak suka ketika panci dibawa dalam obrolan mereka.

"Tugas aku tinggal ngomong," Adinda melepas kedua sepatunya, kemudian bersila di jok, "Aku nggak pernah tahu soal penjualan-penjualannya. Bodo amat lah, yang penting digaji aja, dapet bayaran sebagai kompensasi atas mulut yang berbusa."

Arkan tertawa, "Tapi aku suka kok Mei. Lihat kamu di tayangan itu."

Adinda tersenyum, mencubit pipi Arkan kemudian berkata dengan lembut, "Terima kasih ... sahabatku sayang."

Ya, Arkan adalah sahabatnya. Orang yang paling dekat dengannya, orang yang tahu dirinya sampai cacat-cacatnya, orang yang selalu ada untuknya, orang yang berperan sebagai penopangnya, dan orang yang selalu bisa menyelamatkannya.

Arkan adalah satu dari sekian banyak orang yang Adinda syukuri kehadirannya dalam hidupnya.

"Ar, kerjaan kamu gimana hari ini?"

Arkan yang selalu senang ketika Adinda menanyakan pekerjaannya tersenyum dengan lebar, ia menatap Adinda dan menceritakan kegiatannya hari ini.


***


"Bang, tadi katanya abang cium cewek lagi ya?"

Rama sedang bersantai seraya menonton TV ketika Lea duduk di sampingnya dan menanyakan hal itu padanya.

"Kalau iya emang kenapa?" tanyanya dengan ketus.

"Nggak kenapa-napa, si bang Bagus ngomel-ngomel terus, sampe pusing, tapi aku seneng kok. Berarti bang Rama normal."

Rama mengerutkan keningnya, "Maksud normal itu gimana?"

"Iya, senggaknya bang Rama kebukti 'laki' soalnya ketahuan cium cewek, abang aku masih aku ragukan, masa dia pacar aja nggak punya. Aku sempet nyangka kalian pacaran."

Satu bantal mendarat di kepala Lea, Bagus yang melemparnya.

"Ish! Sakit tahu!"

"Suruh siapa bilang aneh-aneh. Kalau gue gay juga milih-milih keleus. Mending sama yang mirip Rio Dewanto daripada sama si Rama."

Rama tertawa, "Berarti lo niat dong, Gus."

"Iya! berarti abang niat macarin cowok."

"Ebuset, nggak begitu juga."

"Emang klasifikasi gay itu gimana sih?" tiba-tiba saja Rama menanyakan hal itu dan membuat Lea juga Bagus menatapnya penuh curiga hingga Rama mengangkat kedua tangannya seraya menggoyang-goyangkannya, "Gue cuma pengen tahu aja."

"Ya, pokoknya dia nggak bisa menemukan lubang dengan benar Ram."

Satu bantal mendarat di wajah Bagus. Pria ini.


***


Rama Nugraha dan pacarnya

Rama Nugraha dan pacar barunya

Rama Nugraha dan pacar Januari 2018

Rama Nugraha dan pacar Februari 2018

Rama Nugraha dan pacar Maret 2018

Adinda mengerjapkan mata, ia tidak salah lihat? semua keywords suggestion yang muncul dalam Google mengenai Rama adalah kata pacar di setiap bulannya. Buset, ganti-ganti pacar seperti ganti baju saja. Orang seperti ini yang menjadi idola ibu-ibu masa kini? Yang benar saja!

"Ma, Mama yakin suka sama si Rama-Rama itu?" tanyanya pada ibunya yang sedang memasak di dapur.

"Yakin dong Din, kan memang ganteng, orangnya juga baik."

"Baik dari mana, pacarnya aja banyak."

"Namanya juga anak muda, nggak apa-apa lah selama tahu batasan. Banyak itu bukan berarti dia koleksi perempuan, memang gonta-ganti tiap bulan kan? mungkin nggak cocok kali, makanya begitu."

Adinda benar-benar terperangah mendengar pembelaan dari ibunya, padahal kemarin-kemarin ketika salah satu tetangga mereka membawa dua lelaki berbeda dalam kurun waktu satu bulan, ibunya sibuk membicarakannya—layaknya ibu-ibu yang memang hobinya bergosip ria—mengatakan bahwa setidaknya kalau belum serius jangan dibawa ke rumah supaya orang tidak kebingungan dengan siapa tetangganya berpacaran, itu tetangganya ... yang sudah hidup berdampingan selama beberapa tahun terakhir. Sedangkan Rama ini, pria itu kenal ibunya saja tidak.

"Ma, lama-lama Mama jadi Mamanya si Rama-Rama itu aja, cocok tuh. Pembelaannya benar-benar luar biasa."

Ibunya tertawa, "anak Mama kan cuman kamu, meskipun kamu dagang panci, tapi Mama bangga kok."

Tuh kan panci lagi!


***


"Dinda, Coba, sebutin dulu spesifikasinya. Mana tahu kamu lupa."

"Magnetic locking, stainless steel holder, silicon seal packing, hinge joint, port, grooved rim, con—"

"Oke, cukup. Saya percaya kamu hafal."

Kalau percaya, kenapa harus ada tes-tes segala?

"Maaf ya Dinda, takutnya kamu grogi liat bintang tamu kita nanti."

"Emang siapa sih Pak bintang tamunya? Palingan chef yang kayak waktu itu lagi tuh, yang udah tua."

"Enak saja, saya kan mau mendongkrak penjualan magic pan kita Dinda, chef nya yang masih muda dong, ganteng juga ... oh, itu dia sudah datang."

Adinda mengikuti arah pandangan bosnya dan mendapati seorang pria yang bertubuh besar—lebar maksudnya—masuk ke dalam studio. Yang benar saja. Yang begitu yang tampan?

"Halo, pak Edi ... saya Bagus," sapanya.

Edi tersenyum, "Selamat pagi, Bagus. Kenalkan, ini Dinda ... presenter kita. Dinda, Bagus ini manajer Chef yang mau promosi sama kamu."

Adinda tersenyum tipis, kadang merasa tersanjung saat bosnya memperkenalkan dirinya sebagai presenter, bukan sebagai tukang panci.

"Dinda ..." ucapnya.

Pria bernama Bagus itu tersenyum dengan lebar, "Saya Bagus, saya suka banget loh nonton tayangan kamu. Suara kamu menyenangkan."

Sepertinya telinga pria ini harus disedot di klinik THT. Ibunya saja muak mendengar suaranya, bahkan ia sendiri sampai phobia mendengar suaranya di TV, tapi pria ini malah mengatakan kalau suaranya menyenangkan. Luar biasa sekali pemirsa!

"Tunggu sebentar ya Pak, Rama lagi ke toilet dulu barusan, bentar lagi pasti sampe," ucap Bagus lagi. Adinda masih tersenyum, menatap Bagus dan mendengarkan pembicaraannya. Tetapi ketika nama Rama diucapkan oleh Bagus, mata Adinda terbelalak dengan lebar.

"Ra—Rama? Chef Rama itu? Rama Nugraha?" Adinda memekik saking terkejutnya, sementara Edi malah tertawa, "Tuh kan, kamu kaget Din. Untung saya nggak kasih tahu dari kemarin-kemarin, bisa-bisa kamu susah tidur tiap malem, pengen cepet-cepet."

Apa-apaan! Bukan begitu. Adinda kaget karena Rama yang chef itu adalah orang yang sama yang ia hindari ketika dirinya makan Indomie minggu kemarin, dan orang yang sama yang ia tabrak satu tahun yang lalu. Bagus, kiamat dalam hidupnya akan terjadi hanya dalam hitungan beberapa menit saja. Tidak. Mungkin tidak sampai satu menit.

"Eh, itu dia tuh. Rama ... Ram, sini ... kenalan dulu sama presenternya."

Bagus melambaikan tangan dan sialnya Adinda tak bisa tenang seperti sebelumnya. Serangan mulai muncul dalam dirinya, membuat Dinda ingin segera pergi dari sana sekarang juga, tetapi ia tahu ia tidak bisa pergi ketika pria itu sampai di hadapannya, menatapnya, kemudian tersenyum padanya.

"Halo ... Ketemu juga ya, kita. Gimana motor kamu, sehat?"

Sehat-sehat ndasmu!

Adinda berdehem, hendak menyahuti ucapan Rama tetapi Edi dan Bagus mendahuluinya dengan berkata secara bersamaan, "Kalian sudah saling kenal?"

Ah, matilah ia!

"Hmm ... tanya aja sama cewek di depan kalian, gimana cara kita saling kenal. Hobi dia kan—"

Sebelum Rama berbicara aneh-aneh, Adinda menatapnya dengan tajam seraya berkata, "Ikut gue!"

Ia berjalan dengan cepat, angkuh, dan dengan meninggalkan kesan judes yang masih sangat kentara untuk Rama. Edi dan Bagus menatap Rama penuh tanya sementara Rama malah tersenyum, mengangkat kedua bahunya dan berjalan ke tempat yang dituju Adinda.

Ketika Rama sampai di sana, wanita itu menatapnya dengan tajam, "apa? hobi gue apa? lo mau ngomong apa barusan?" tantang Adinda.

Astaga. Rama tak menyangka kalau power yang dimiliki oleh wanita di hadapannya ini luar biasa sekali.

Rama mengorek telinganya, "Nindih-nindih. Napa? Emang kenyataan kok. Kan yang nabrak gue, elo!"

"Eh, gue nggak nabrak lo tahu! lo nya aja, suruh siapa halangin jalan orang?"

"Halangin gimana? Eh mbak, jalur gue emang di kiri, lo sebelah kanan. Lo nya aja yang ngeyel, malah masuk ke kiri. Ya nabrak lah, lagian harusnya lo berterima kasih, gue banting motor gue ke pinggir, coba kalau nggak. Udah ancur kali kepala lo."

Adinda memejamkan mata dan membuang napasnya dengan keras, "Mas ... kok nyalahin cewek sih? Ya situ lah yang salah. Heh, gue kan udah minta baik-baik, udah pake isyarat suruh nyingkir, kenapa lo malah tetep di situ? Susah amat ngalah. Jalan masih lebar, lo bisa pindah, atau paling mentok lo bisa kali diem dulu, biarin gue lewat."

Rama pernah mendengar bahwa wanita adalah makhluk Tuhan yang selalu merasa benar, dan laki-laki selalu salah. Apa-apaan, teori macam apa? mana bisa begitu? kalau salah ya salah, tidak bisa berubah menjadi benar.

Rama menatap wanita yang kini menatapnya seperti elang yang menatap mangsanya, menyeramkan.

Kalau orangnya seperti wanita ini, Rama tak bisa main urat. Percuma, capek sendiri nanti.

"Oke deh, mbak ... gini deh. Sekarang kita mikir. Gue jalurnya di sini," Rama menjelaskan seraya menunjukkan dengan tangannya, "Dan lo di sini."

Adinda mengangguk, setuju.

"Gue mau maju mbak, ke sini dong ..." Rama menunjukannya lagi, tangannya maju ... menerangkan motornya yang maju juga.

"Nah, lo juga mau maju. Harusnya ke sini, ke kanan gue. Karena itu jalan dua arah, gue kiri, lo kanan."

Adinda mengangguk lagi, sampai sini ia setuju.

"Tapi mbak, salahnya lo ... lo malah terus maju ke gue."

"Remnya kurang pakem," bela Adinda.

"Ya mana gue tahu!" ucap Rama tak terima.

"Ya makanya orang suruh minggir tuh ya minggir."

"Ya udah sih, intinya kan lo yang salah. Udah bikin gue nabrak pohon, tindihin badan gue juga."

"Eh, tapi gue kan tanggung jawab. Gue bayarin biaya Rumah Sakit lo."

"Dan lo kabur setelah itu," timpal Rama.

Adinda hendak menyela lagi ucapan Rama, tetapi ia mengurungkan niatnya. Benar, memang ia pergi waktu itu.

"Eh, mana bisa orang tanggung jawab dibilang kabur!"

Oke, jadi wanita ini masih bertahan dengan pembelaannya?

Rama tersenyum, ia mendekat untuk meraih bahu wanita itu tetapi Adinda malah mundur, tidak mau dekat-dekat dengannya, seolah Rama adalah hama yang harus di jauhi olehnya. Aihs, menyebalkan tidak sih?

Rama mundur, gengsi juga kalau setelah Adinda mundur ia malah tetap di tempatnya.

"Gini loh mbak, maksud gue ... kalau misalnya tanggung jawab, bukan hanya uang. Gue juga punya uang, gue bisa bayar sendiri, nggak usah lo bayarin. Maksud gue tanggung jawab itu, ya lo tunggu gue, seenggaknya lo harus mastiin keadaan gue baik-baik aja."

Rasanya, Adinda seperti diceramahi oleh ibunya sendiri, dan pria ini membuatnya terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Ih, tapi kan tetap saja dia juga yang salah, tidak mau menyingkir.

"Gue pastiin keadaan lo ke dokter kok, dokter bilang nggak apa-apa."

"Eh, bisa jadi. Penyakitnya belum ketahuan."

"Dan buktinya nggak kan? sekarang lo masih hidup, masih baik-baik aja, bisa gonta-ganti pacar pula. Berarti nggak ada kecacatan apa-apa, performa juga bagus dong."

Performa ...

YAKALI GUE INI MOTOR!

"Oh, jadi lo—"

"Kita mau tayang live dan sebentar lagi dimulai. Lo masih mau debat sama gue?" tantangnya.

Rama benar-benar tak habis pikir dengan Adinda. "Mbak ... masa lo nggak ngerti? Gue cuma butuh permintaan maaf dari lo."

Seketika, Adinda mencibir, "Kenapa nggak bilang dari tadi? Oke, gue minta maaf. Maaf kalau gue tabrak lo—maksudnya biarin lo nabrak pohon dan gue malah jatoh ke badan lo. Oke, selesai?"

Adinda tersenyum, ia berjalan menjauhi Rama tetapi Rama menahan tangannya dan seketika Adinda menendangnya dengan kencang.

"Nggak usah pegang-pegang juga!" bentaknya.

Buset, Rama tidak menyangka wanita itu semarah ini padanya. Seram juga. Sudah judes, galak, tukang siksa pula. Ya Tuhan.


***


"Selamat pagi Bunda!"

Rama terperanjat mendengar suara bersemangat Adinda yang berada di sampingnya, wanita itu membuka acara dengan luar biasa meriah dan dengan semangat yang membara. Berbeda dengan dirinya yang hanya mengatakan 'Selamat pagi, kita mulai sekarang?' dengan lembut.

Sejak dulu, Rama tidak suka acara home shopping begini, karena suara presenternya benar-benar mengganggu—berbicara tanpa jeda dan membuat kupingnya panas ketika mendengar suaranya, dan sekarang Rama harus terjebak bersama wanita galak, judes, dan anarkis ini di sini dalam waktu setengah jam ke depan.

"Bunda ... memasak dengan menggunakan Yukero double pan kini menjadi sebuah solusi bagi yang belum jago memasak. Bahkan bagi seorang koki handal pun, Yukero double pan sangat membantu untuk memasak segala jenis makanan, tinggal cari resep lalu Bunda memasak dengan Yukero double pan dan hasilnya masakan lebih matang dengan bumbu yang meresap sempurna, tentu saja rasanya semakin enak!"

"Nah! Sekarang, saya kedatangan bintang tamu. Seorang chef terkenal yang akan membuktikan kehebatan Yukero double pan dalam memasak segala jenis makanan. Yap, ini dia bunda ... chef Rama Nugraha ..."

Adinda tersenyum lebar kepada Rama, padahal dalam hati ingin menginjak-injak wajahnya yang menjadi idola setiap wanita, tetapi ia masih ingat dengan pekerjaannya yang mampu menghidupinya selama ini.

Rama tersenyum, "Selamat pagi ..." sapanya.

"Chef ... saya mau tanya nih. Menurut chef , masakan apa yang menurut Chef susah untuk dibuat?"

Rama diam sejenak, ia sudah diberitahu harus menjawab apa tetapi tetap saja ia harus terlihat berpikir supaya jawabannya nggak skrip-skrip amat.

"Menurut saya yang susah itu memasak ikan, apalagi membaliknya. Untuk sebagian orang, atau mungkin semua orang, membalikkan ikan pasti menjadi masalah terbesar waktu memasaknya."

"Bunda-bunda juga sepertinya memiliki masalah yang sama di rumah."

Rama sedikit terperanjat karena suara Adinda yang tiba-tiba. Gila, suaranya bagai petir di siang hari, menggelegar menghentak sunyi.

"Tetapi jangan khawatir bunda ... dengan Yukero double pan ini, memasak dan membalikkan ikan tidak lagi menjadi masalah yang menyulitkan bunda di rumah. Bunda tidak lagi harus membalikkan ikan dengan susah payah, hanya membalikkan pan nya saja, dan tidak usah khawatir dengan tingkat kematangan bunda, dengan menggunakan Yukero double pan ini ... masakan bunda akan matang dengan sempurna."

"Yukero double pan merupakan alat memasak dengan teknologi modern yang menggunakan bahan anti lengket pada permukaan sehingga mudah dibersihkan dan dilengkapi seal anti tumpah dan pegangan yang panjang sehingga mudah digunakan."

Adinda masih terus berbicara hal ini dan itu, sesekali ia bertanya soal memasak pada Rama dan kembali menjelaskan kelebihan-kelebihan produk yang kini tengah di pegangnya. Melihat Adinda berbicara, awalnya memang menyebalkan, kepalanya pusing dan telinganya terasa panas, tak betah mendengarnya, tetapi melihat ekspresi wajah gadis itu ... Rama ingin tertawa.

"Sekarang mari kita coba buktikan keunggulan Yukero double pan ini," Adinda melihat ke arahnya, "Jadi ... kita akan memasak apa dulu chef?"

Rama tersenyum, "Kita akan memanggang daging, ikan, dan mencoba membuat pizza juga martabak."

"Wow! kebetulan saya suka martabak, chef ..." kekehnya.

Rama tersenyum, "Kalau begitu kita buktikan seenak apa martabak yang dibuat dengan Yukero double pan ini."

Rama memulai bagiannya, sudah cukup untuknya mendengar Adinda mengoceh selama sepuluh menit dan dua puluh menit ke depan adalah bagiannya, meskipun ketika Rama memanggang daging, Adinda akan berbicara lagi ... menjelaskan kelebihan-kelebihan dari produknya, lalu ketika Rama memanggang ikan, Adinda kembali menjelaskan hal yang sama, pusing juga sebenarnya, konsentrasinya jadi terpecah belah saat memasak.

"Ayo Bunda! Tunggu apa lagi? pesan sekarang dan dapatkan Yukero double pan ini di rumah Anda."

"Dan satu lagi Bunda!" sambung Adinda. Rama mengerjap, Ia menatap kru dan melihat tulisan 'Buat pengumuman ada buy 1 get 1 untuk lima penelpon pertama!'

"Dapatkan One plus One Yukero double pan untuk lima penelpon pertama! Bagaimana caranya Chef?" tanya Adinda.

Rama terperanjat. Ia tidak punya persiapan apa-apa tapi Adinda malah melemparkannya sebuah bom begitu saja. Wah, gadis ini memang sengaja ingin balas dendam pada Rama sepertinya. Baiklah. Lihat saja apa yang akan dia perbuat.

Tersenyum, Rama menatap kamera dan berkata, "Begitu bunda menelpon, jangan lupa bernyanyi Mo-mo-mo-mo-mo Yukero! Mau yukero!"

Yang membuat semua kru di studio menahan tawanya sementara Adinda menatap Rama dengan kerutan di kening sedangkan Rama sendiri. Ia mencoba untuk bersikap biasa saja dan tetap tersenyum. Tak lama kemudian, pemberitahuan tentang telepon masuk menyibukkan mereka. Siapa sangka, peminat produk yang mereka promosikan banyak sekali, dan nyanyian tiba-tiba Rama malah menjadi trending di mana-mana. Wow! Luar biasa memang.

Mereka melanjutkan acara. Bahkan hingga acara berakhir, Adinda selalu tersenyum, dengan berbeda, dan Rama terpaku sejenak karenanya. Selama Adinda berbicara, Rama memperhatikannya baik-baik hingga ia menggelengkan kepalanya kemudian berpikir, apa bibir wanita itu baik-baik saja? tidak berbusa? Rama saja yang mendengarnya lelah, bagaimana dia yang mengucapkannya?

Dan ketika mata Rama menatap Adinda lagi, Rama malah merasa bahwa ia terhipnotis olehnya.

Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro