Bab 2 - Dulu
Satu Tahun yang lalu
Rama bersiul ketika hembusan angin menerpa wajahnya. Sudah lama sekali ia tidak pernah keluar siang hari dengan motor besarnya. Biasanya restoran ramai didatangi orang-orang pada jam istirahat seperti ini dan Rama akan menghabiskan waktunya untuk membuat hidangan-hidangan yang mengenyangkan perut pelanggan, lalu dirinya akan merasa pegal-pegal di sore hari karena tangannya yang tak berhenti membuat segala macam hidangan penuh cita rasa.
Lucu, betapa ia selalu mengusahakan menu terbaik untuk para pelanggan sementara dirinya bahkan terkadang melupakan jam makannya. Chef memang tak banyak makan, setidaknya dirinya. Ia sudah eneg duluan melihat makanan, boro-boro nafsu makan.
Motornya meluncur menuruni flyover Pasopati dan masuk ke area Monumen. Rama menggumamkan nyanyian favoritnya seraya memacu motornya. Ia membelokkan motor, masuk ke area Telkom, namun tiba-tiba muncul seorang wanita di hadapannya, membawa motor dengan wajah panik dan menatap Rama seolah-olah meminta Rama untuk memberikannya jalan. Gila! Jalan masih luas, kenapa wanita itu malah berjalan ke arahnya?
Sepertinya wanita itu baru belajar motor. Karena motor yang dibawanya semakin tidak stabil, hingga Rama yang hampir saja menabrak motor itu membelokkan motornya ke kiri, niat hati ingin menghindar, ia malah terjatuh karena motornya menabrak pohon sementara yang bisa dilakukan wanita itu hanya berteriak.
BRUUUK!!
Sekali pun Rama menghindar, tetap saja ... wanita itu menabraknya. Yang lebih parahnya lagi, Rama tertindih motornya sendiri, dan wanita itu jatuh dari motornya menimpa bagian tubuh Rama yang tak tertindih motor.
Wah, ini sih namanya sudah jatuh tertimpa orang pula.
Rama melotot tajam dan hendak meneriaki wanita yang menindihnya tetapi ketika Rama bergerak, wanita itu tidak bergerak. Sial, siapa yang tertindih, siapa yang pingsan.
Kemudian orang-orang berdatangan, menolongnya dan melarikannya ke Rumah Sakit sampai Rama ditangani dengan baik, tetapi wanita itu—ketika Rama menanyakan keadaannya pada dokter, dokter bilang wanita itu sudah pergi karena ia tidak apa-apa.
Ya jelas lah tidak apa-apa, toh jatuhnya saja menimpa Rama. Dasar wanita menyebalkan. Meskipun biaya Rama sudah ditanggung olehnya, tetap saja ... harusnya wanita itu meminta maaf, atau paling tidak menanyakan keadaannya, bukannya malah pergi begitu saja.
***
Salah satu kebiasaan yang bisa Rama banggakan dari dirinya adalah ia senang merekam dan menyimpan bukti. Kalau-kalau orang lain atau dirinya sendiri meragukan ingatannya, Rama masih mempunyai bukti yang menguatkannya. Satu tahun yang lalu, saat wanita yang menabraknya itu pingsan, Rama sempat menepuk-nepuk pipinya dan memperhatikan wajahnya. Ia bahkan mengambil kesempatan untuk memotret wajahnya sebelum orang-orang berdatangan menolong mereka. Dulu Rama bertekad, ia bahkan bersumpah di dalam hatinya untuk tetap mengingat wanita yang menabraknya tersebut, sehingga kalau-kalau mereka tanpa sengaja bertemu, Rama bisa langsung mengenalinya dan meminta permintaan maaf.
"Kalau nggak salah fotonya gue taro di email," gumam Rama. Ia membuka emailnya, berdesis sebentar karena banyaknya email yang masuk ke sana. Ada lima ribu email dan Rama harus scroll ponselnya dalam waktu yang lama. Ya Tuhan.
Rama memiringkan kepala. Ia mengetik kata 'bukti' tapi yang keluar di emailnya malah bukti transfer, bukti potong pajak, dan bukti pembelian. Hadeuh.
Tidak mau menyerah, Rama mencari lagi isi emailnya. Masa bodoh dengan banyaknya email yang masuk. Ia akan menyelaminya sampai menemukannya.
Setengah jam kemudian, Rama berhasil menemukan email yang pernah ia kirimkan.
Subject Emailnya adalah: Aku korbannya dia.
Astaga. Ya pantas tidak ketemu, toh Subject nya saja seperti itu. Buru-buru Rama klik foto yang ada di badan email dan membukanya. Ia mengerjap. Menatap fotonya lagi, kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Omong-omong, foto yang Rama ambil dulu ternyata se-blur ini ya?
Wajahnya kurang jelas, tapi tidak apa-apa. Rama akan memperjelasnya. Ia mengirimkan fotonya pada aplikasi pengedit foto. Menambahkan efek, mengurangi dan menambahkan kontras sampai warna hingga pada akhirnya....
Berhasil! Rama berhasil memperjelas sedikit wajah wanita di dalam foto dan ia tersenyum miring. Rama yakin seratus persen kalau wanita yang tadi pergi itu adalah wanita yang sama, yang menabraknya satu tahun yang lalu.
"Ketahuan lu ya. Pantes aja langsung lari, orang punya salah sama gue," gerutu Rama. Ia benar-benar ingin mengejar wanita itu dan meminta tuntutan atas apa yang telah terjadi satu tahun silam, tetapi terkutuklah perutnya yang meronta-ronta karena belum terpuaskan oleh Indomie yang hanya satu porsi saja. Rama menggerutu lagi, lama-lama ia demo juga pabrik Indomie yang semakin hari semakin mengurangi ukuran mie-nya, tetapi dipikir-pikir juga buat apa demo pabriknya, pesan lagi kan bisa.
"Bang! Dua lagi dong."
***
Adinda berjalan dengan cepat, memukul-mukul kepalanya seraya menjauhi tempat yang mendadak menjadi neraka karena datang seorang malaikat menyebalkan yang membuat dirinya ingin mengubur diri saat itu juga.
Adinda ingat sekali. Siapa pria itu. Pria yang dulu ditabraknya di Bandung, saat ia dengan sombongnya meminjam motor milik temannya untuk mengelilingi jalanan di Bandung. Belum juga satu kilometer membawa motornya, ia sudah menghancurkan motor itu.
Ia tidak mau urusannya dengan pria itu diperpanjang sehingga Adinda memutuskan untuk pergi diam-diam setelah membayar semua biaya tagihan pria itu. Lagi pula, kalau dipikir-pikir juga mereka tak harus mempermasalahkan apapun, kalaupun ada yang harus disalahkan ya pria itu. Siapa suruh dia malah terus maju saat Adinda memintanya untuk menyingkir? Ya, harusnya ia mengerti dong, kalau Adinda belum stabil membawa motornya, beri pengertian dengan cara berhenti sejenak untuk memberikan Adinda jalan. Bukannya maju terus, dan akhirnya malah nabrak.
"Mei?" suara seorang pria yang memanggilnya membuat Adinda menoleh, "Loh, aku pikir kamu belum sampe," sahutnya.
Pria itu terkekeh, "Baru sampe sih, barusan mau masuk ke dalem. Udah liat kamu keluar, kok tumben kamu bentaran aja di dalemnya?"
"Males, ada setan."
"Setan?"
"Iya, setan tabrak," celetuknya, "kamu mau makan dulu, Arkan?"
Arkan menggeleng, "Aku langsung anterin kamu pulang aja, udah malem juga."
"Ya udah, jangan salahin aku kalau kamu kelaperan ya nanti."
"Siap Mei," kekeh Arkan lagi.
Mei adalah nama tengahnya, Adinda Humeira Darmawan. Semua orang memanggil dirinya dengan nama depannya, tetapi Arkan selalu memanggilnya dengan sebutan 'Mei', katanya supaya mudah diingat, ya ... masa bodoh lah ya, mulut-mulut si Arkan, sebebasnya saja lah.
***
"Ram, lo seriusan makan Indomie tiga porsi?" Bagus bertanya tepat ketika Rama menyerahkan struk pembayaran makannya malam ini dan tiga porsi indomie tertulis dengan jelas di sana.
"Serius lah, gue laper."
"Heh kalau laper makan nasi, bukan mie. Udah jadi ciri khasnya orang Indonesia, nggak akan kenyang kalau nggak makan nasi. Jadi ya mau lo makan satu dus indomie juga lo nggak akan kenyang, makan nasi baru lo kenyang."
"Suka-suka lu aja Gus."
"Perut-perut lo Ram, gue kasih saran nih."
"Lu mah begitu, kasih saran udah kayak ceramahin suami sendiri. Gus, lama-lama gue ngeri juga. Kita kayak berumah tangga, lo ceramahin gue, urusin keuangan gue, urusin diri gue, urusin—"
Pletak!
Satu tepukan Rama terima di kepalanya yang berasal dari lengan besar Bagus. Sialan, sakit sekali.
"Woy! Nyadar dong tangan lo itu kayak kaki gajah. Gede! Sakit man!" hardiknya.
Bagus memukulnya sekali lagi, "Makanya kalau ngomong jangan sembarangan. Geli gue, lo ngomongin kita suami istri. Anjay ... gue masih normal. Gue nonton bokep liat ceweknya, bukan cowoknya."
Sial, Rama merasa tersudutkan. Bagus memang tidak tahu kondisi Rama yang menurut dirinya sendiri dipertanyakan orientasinya, jadi Bagus tidak tahu kalau perkataan itu menyindir Rama, sedikit.
"Lo nonton begituan buat apaan? Kepuasan sendiri?"
Melihat ekspresi wajah Bagus yang mulai menggelap, Rama tertawa dengan kencang, "Gus ... gue saranin lo banyak puasa, oke Bro?"
Keluar dari mobilnya, Rama masuk ke dalam rumahnya dan tawanya terhenti ketika ia mendapati seorang wanita berada di ruang tamunya dengan senyum cerahnya yang menawan.
"Bang Rama! Hai ...." sapanya.
Rama tersenyum tipis, ia menoleh ke belakang, "Gus ... Lea jemput lo nih!" teriaknya, kemudian ia menatap Lea, "Gue duluan ya Le, capek nih. Mau tidur."
Lea menganggukkan kepalanya dengan riang, "Sleep tight ya Bang Rama!"
"Hmm ... lo juga, jangan lupa Razia kakak lo tuh, abis beli DVD dia."
Setelah mengucapkannya, Rama tertawa dengan kencang dan ia berjalan menuju kamarnya. Melepas kaosnya kemudian menjatuhkan dirinya pada ranjang dan menatap langit-langit kamar. Menatap kekosongan langit-langit polos itu seraya menghela napas. Matanya mengerjap, sementara helaan napas ia keluarkan dengan kencang, seolah mengeluarkan sesak yang teramat di dalam dadanya.
Rama meraih ponsel yang masih betah di sakunya, ada banyak pesan masuk di sana. dari orang berbeda, dengan isi pesan yang senada.
Yang, kamu di mana?
Rama, kamu kapan ajak aku jalan lg?
Bang, aku kangen kamu :*
Kak, udah tidur belum? Aku gk bisa tidur, keinget waktu kita ciuman di mobil.
Ram, aku bener-bener pengen ketemu kamu. Kangen :(
Sayang, kamu gk lupain aku kan?
Menggaruk kepalanya, Rama memutuskan untuk membalas semua pesan itu dengan balasan yang sama.
Bisa berhenti hubungin aku? kalau aku gak hubungin kamu berarti kita udah selesai. lagian kita gak pernah mulai apa-apa kan?
****
"Yapp! Hari ini kita akan memasak Spanish Fried Custard atau dikenal pula dengan nama Leche Frita. Makanan ini merupakan salah satu makanan khas Spanyol yang bahan utamanya menggunakan susu cair dan sangat cocok dijadikan sebagai hidangan penutup atau dessert."
Adinda meminum airnya seraya menatap ibunya dengan kerutan di keningnya, "Si Mama, sok-sok an nonton yang mau masak makanan Spanyol, emang lidah Mama bisa nerima?"
"Yee, kamu ini. Ya suka-suka Mama lah, Mama yang nonton. Sini, ikutan nonton. Chef nya ganteng."
Adinda memutar matanya, setiap jam sembilan pagi adalah saat di mana ibunya duduk di depan TV dengan wajah berbinar dan tangan yang memegang buku catatan, siap untuk mencatat resep dan cara-cara memasak yang ditayangkan TV. Ibunya selalu mengajaknya menonton bersama, tapi Adinda tidak pernah mau.
"Mending nonton acaranya Dinda, ma. Sebentar lagi."
Ibunya mencibir, "Apaan. Acara dagang panci, nggak mau. Mama bosen liatnya. Capek juga telinga Mama denger kamu ngoceh."
Adinda mengerucutkan bibirnya, "Dagang panci juga panci jutaan kali ma," belanya. Benar, ia dagang panci. Teman kantornya menyebutnya tukang panci karena setiap hari selama setengah jam dirinya akan muncul di dalam selingan acara TV, tidak berhenti berbicara dan terus menerangkan ini dan itu yang intinya ya memang satu, menjual panci. Padahal bukan panci saja, banyak barang yang ia jual. Mereka saja, orang-orang terdekatnya yang selalu menyangkut pautkan Adinda dengan tukang panci. Bekerja di Home Shopping memang harus bersedia mempunyai predikat menyebalkan seperti itu.
Adinda berjalan mendekati ibunya dan mencoba bergabung dengannya, tetapi ketika matanya menatap orang yang muncul di layar TV, air yang masih di dalam mulutnya, yang belum ia telan, keluar seketika, tersembur karena keterkejutannya melihat pria yang semalam ia hindari rupanya muncul di layar TV.
Tidak ... jangan bilang ... jangan bilang chef idola ibunya ini adalah ....
Tidak, tidak! Tidak mungkin!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro