Bab 1 - Pemangsa Bibir
"Jadi, Mas ngerasa kalau Mas mencintai sahabat sendiri, gitu?"
Rama terdiam sejenak. Ia berpikir dalam-dalam kemudian menganggukkan kepalanya dengan ragu.
"Mas pernah cium Adrian?"
Rama membelalakkan mata, "Eh gila. Lo kalau ngomong nggak pake bismillah! Gue bisa dipecat jadi kawan kalau kayak gitu sama Adrian."
Leni—wanita di hadapannya—yang notabenenya adalah mahasiswa psikologi semester akhir dan tak sengaja dikenal oleh Rama ketika mereka berada dalam pameran yang sama, tertawa, "Berarti Mas Rama belum pernah kontak fisik sama si Adrian itu dong?"
"Ya, dia kan sahabat gue. Gitu doang palingan. Salaman, atau pelukan biasa."
"Nah, kalau bersentuhan aja cuman pelukan biasa, ya kenapa Mas Rama malah menyimpulkan kalau Mas ini gay sih?"
Rama menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Ya... gimana ya. Ini kan salah, gue ngerasa kalau gue punya perasaan yang salah sama sahabat gue sendiri. Gini, gue nggak tertarik sama cewek, sama sekali. Dan gue selalu kesal kalau liat sahabat gue jalan sama cewek. Makanya, gue kadang mempertanyakan orientasi seksual gue. Gue bingung, ini tuh... apa yang salah sama diri gue? Lagi pula memang gue sibuk di dapur sih, restoran rame terus, dan pulang kerja pun capek. Lebih baik istirahat di rumah."
"Nah! Itu masalahnya."
"Apa?"
"Setiap manusia mempunyai cara tersendiri untuk tertarik pada orang lain. Ada orang yang bisa langsung tertarik ketika mereka pertama kali bertemu, ada yang tak pernah ingin tertarik dengan orang lain karena menurutnya bukan urusannya—juga tidak terlalu penting—ada juga orang yang hanya bisa tertarik pada beberapa orang saja, pada orang yang dikehendakinya. Tidak semua orang yang kita temui bisa membuat kita tertarik, dan Mas Rama nggak harus mempertanyakan orientasi seksual diri sendiri hanya dari hal itu."
Rama terdiam, kebingungan dengan jawaban Leni. Tidak mengerti karena otaknya berjalan lebih lambat hari ini. Mungkin karena pikiran dan perasaannya juga sedang campur aduk.
"Aku saranin Mas untuk coba menjalin hubungan sama cewek," kata Leni. Membuat Rama membelalakkan matanya. Yang benar saja!
"Kayaknya nggak," tolaknya.
"Kenapa?"
"Kalau akhirnya gue cuma mikirin Adrian, kasian juga pacar gue nanti Len. Tubuh gue buat dia sedang hati gue nggak."
"Coba ajalah dulu Mas. Nggak ada salahnya mencoba kan?"
"Tapi—"
"Mas punya planning untuk keliling Indonesia, kan?"
Rama mengangguk. Benar, semenjak ia menjalani shooting pertamanya, banyak tawaran datang untuknya dan Rama menerimanya. Setidaknya untuk pergi dari Adrian. Sial, geli juga kalau ia pikir-pikir. Orang lain pergi dari seorang wanita yang mengejar-ngejarnya, Rama malah pergi dari seorang pria. Apa tidak ada yang lebih konyol dari ini?
"Saran aku, cobalah berhubungan dengan perempuan. Jalin hubungan dengan mereka, dan lakukan kontak fisik ringan seperti berpegangan tangan, atau yang lainnya. Kalau Adrian masih dalam benak Mas Rama ketika Mas Rama melakukannya, lakukan terus sampai Adrian hilang dan Mas hanya memikirkan wanita itu. Gimana?"
Percakapan itu terjadi sekitar satu tahun yang lalu, ketika Rama mulai menyembuhkan dirinya dan pergi untuk menghilangkan bayang-bayang Adrian dari benaknya. Dari Aceh hingga Sorong, ia sudah menyusurinya, mencari-cari sosok perempuan yang bisa menghilangkan Adrian dari benaknya, tapi belum juga ia temui. Hingga akhirnya Rama kembali, bukan ke Bandung—tempatnya bekerja bersama Adrian—tapi ke Jakarta, tempatnya menjadi seorang celebrity chef yang membuat setiap langkahnya terekam oleh mata orang-orang yang mengaguminya.
Jika dulu di Bandung ia terkenal sebagai chef yang tak pernah meninggalkan dapurnya, sekarang di Jakarta ia terkenal sebagai chef yang selalu muncul di majalah dan surat kabar dengan pemberitaan mengenai dirinya dan para wanita-wanita yang ia kencani.
Menyebalkan memang, menjadi orang yang dicemooh orang lain hanya karena mereka melihat sifatnya dari luar saja. Orang lain hanya tahu bahwa Rama seorang playboy yang sering bergonta-ganti pacar dalam hitungan hari sementara yang terjadi adalah ... memang Rama merasa tak nyaman dengan mereka yang dekat dengannya.
Rama tidak merasa risih, hanya saja rasanya sangat asing. Tetapi ia tak pernah merasakan perasaan asing ketika tangan sang wanita bergelayut manja di lehernya sementara tangannya memeluk pinggangnya dengan erat, merapatkan tubuh mereka dan melahap bibir sang wanita habis-habisan.
Seperti sekarang, Rama tengah berciuman di sudut dapur tempatnya shooting dengan salah satu staf acara TV yang menayangkan acaranya. Mereka baru tiga hari berkenalan, dan Rama sudah menciumnya habis-habisan.
Entah sudah berapa puluh wanita yang ia cium seperti ini, tetapi rasanya tetap sama. Hambar. Tidak berarti. Tanpa rasa apapun dalam hatinya. Lagi-lagi, Rama belum berhasil.
Rama menjauhkan wajahnya dan tersenyum pada Agnes—wanita yang baru saja ia cium—lalu mengusap kepalanya dengan lembut, "Kayaknya kita udah kelamaan sembunyi," dia terkekeh.
Agnes tersipu. Wanita itu menundukkan kepalanya, "Aku—"
"Eh, lihat Rama nggak? Mana sih dia? Kok ngilangnya lama banget?" sayup-sayup mereka bisa mendengar suara Bagus—manajer Rama—mencarinya yang otomatis membuat keduanya saling memisahkan diri. Agnes berlalu dari sana sementara Rama membenahi penampilannya dan berjalan ke arah yang berlawanan.
"Gue di sini, Gus!" Rama berseru seraya melambaikan tangannya.
"Eh, kemana aja lu? Shooting udah beres. Masih betah di sini?"
"Nggak, lah. Kita pulang aja."
"Gue mau ke si mas Andri dulu ya," bisik Bagus. Rama berdecak.
Mas Andri itu bandar DVD bokep bajakan—tetapi karena zaman sudah canggih, Mas Andri memperluas bisnisnya yang bukan di bidang DVD saja tapi juga di bidang jual beli Flashdisk atau Hard Disk yang penuh video-video porno, bahkan kabar terbaru yang Rama dengar dari Bagus, Mas Andri ini sedang dalam tahap pengembangan situs yang bisa membuat pelanggannya mengakses semua video-video koleksinya secara bebas namun berbayar. Wah, memang kalau bakat disalurkan bisa jadi luar biasa. Salahnya Mas Andri ini terlalu mendalami bakatnya dan si Bagus ini pelanggan setia nomor satu yang selalu memberikan penghasilan terbesar untuk bisnis si mas Andri, dalam arti lain si Bagus ini pemborongnya. Rama sampai heran, tujuan pria itu menonton begituan untuk apa? tak jarang Bagus juga memberikannya beberapa video untuk ia nikmati, tapi selalu berakhir di tempat yang sama—tong sampah. Rama membuangnya. Ia belum siap menonton film seperti itu sebelum ia yakin bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ia hanya takut saja, kalau ia menonton film seperti itu, bukannya nafsu pada wanita, justru malah nafsu kepada pria yang ada di dalam video. Kan, sama saja bohong semua usaha yang dilakukannya satu tahun terakhir ini, usaha menciumi perempuan yang berkenalan dengannya lebih tepatnya.
"Cepat lah, gue capek nih! Besok shooting lagi kan?"
"Iya, lo besok shooting di Ancol."
"Kok gue kayak artis sinetron TV ya, shooting di Ancol. Bakalan nyanyi Oh Saeba versi Indonesia nggak Gus?"
Bagus tergelak, "Sialan lo! Jangan kenceng-kenceng, ntar kalau mereka denger, nggak dapet job lu bro."
"Bodo. Gue kan udah setahun ngartis Gus, udah punya tiga restoran juga. Ada café es krim juga, dan gue rencana ikut franchise juga. Jadi aman, waktu gue kehabisan job, gue punya anak-anak gue."
Bagus menggelengkan kepala, "Orang ganteng, orang keren, orang kaya mah bebas. Suke suke lu aje, Ram."
*****
Sayang, kamu kok nggak ada hubungin aku sih? udah dua minggu loh
Selama memfokuskan diri untuk berhubungan dengan wanita, Rama menyadari satu hal; bahwa wanita adalah makhluk yang paling pintar berhitung di dunia ini. Lihat saja, wanita ini tahu jumlah waktu ketika Rama tak menghubunginya.
"Ram, nonton striptease yuk!" Bagus kembali ke dalam mobil seraya mengatakan kata-kata yang membuat Rama membelalakkan matanya.
"Eh gila lo ya, ajak nonton begituan kayak ngajak beli gorengan. Pelan-pelan bisa kali Gus."
"Sorry nih gue terlalu semangat. Gimana, mau kagak?"
Rama menggeleng, mana berani dia menontonnya.
Mencium wanita saja awalnya ia gemetaran, sekarang sudah biasa karena rasanya seperti berlatih memasukkan bola basket ke dalam ring beratus-ratus kali hingga itu menjadi hal yang sangat biasa dan mudah untuknya.
"Ya udah, kita pulang aja!"
Mobil kembali melaju, Rama menyambungkan speaker pada ponselnya dan memutar satu lagu lalu menyanyikannya.
"Mana mungkin ... selimut tetangga hangat di tubuhku dalam kedinginan ...."
Rama bernyanyi, sementara Bagus tertawa, "Kayak udah nyobain selimut tetangga aja lu man."
"Ngomong sama penyanyi aslinya, jangan sama gue Gus."
Rama kembali bernyanyi tapi nyanyiannya terhenti ketika ia melihat tempat makan favoritnya, "Gus! Beli Indomie dulu ya! Laper nih."
Sebagai manajer, mau tidak mau Bagus harus menuruti Rama. Ia menepikan mobilnya di sana, baru mematikan mesinnya, Rama sudah meloncat keluar dengan girangnya.
Heran, pekerjaan Rama adalah memasak makanan dengan cita rasa dan nutrisi yang tinggi, tetapi hobinya malah makan makanan yang terlarang untuk tubuh manusia. Kalau Bagus sudah memperingati, Rama hanya menjawab, "Yang dilarang selalu enak Gus. Nggak apa-apa lah gue makan mie daripada gue makan rumput."
Kan ... dasar sableng memang si Rama itu. Kenapa juga perumpamaannya harus rumput?
****
Bangku-bangku di sana sudah penuh kecuali satu bangku yang dijadikan tempat menyimpan tas di samping seorang wanita yang sedang asyik memakan mienya. Rama berbalik ke belakangnya, mencari-cari Bagus tapi pria itu tidak ada, sepertinya Bagus tidak ikut ke dalam. Ya sudah, berarti Rama bisa ikut duduk di sini.
"Ekhm." Rama berdehem. Membuat wanita itu menoleh dan mengerutkan keningnya.
"Maaf mbak, bangkunya penuh nih, dan saya laper banget. Lagi pengen Indomie super pedas. Boleh ikutan duduk?" pintanya.
Wanita itu terpaku sejenak. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar dan memang benar kalau tempat itu penuh. Menyebalkan sekali! kenapa harus penuh sih? acara makannya kan jadi terganggu.
"Duduk aja," ucapnya. memperbolehkan, tapi dengan suaranya yang tidak merelakan. Rama memasang ekspresi masamnya. Wanita ini judes sekali. Apakah ia tidak tahu kalau Rama itu artis? Bah, sekarang ia mengakui kalau dirinya artis.
Wanita itu makan dalam diam, menunduk hingga membuat rambut panjangnya menutupi wajahnya dan Rama bergidik.
Kunti suka Indomie nggak sih? bisa aja kan ya meninggal waktu ngidam Indomie. Dih, serem amat.
Pesanannya datang. Meskipun merasa seram, ia melupakan wanita seperti kunti yang berada di sampingnya dan makan dalam diam. Hingga wanita itu selesai dan dia mulai membereskan seluruh barang-barangnya.
"Sorry Mas. Mau lewat," ucapnya dengan judes. Rama menoleh dan keningnya mengkerut menatap wanita di hadapannya, "Kok muka mbaknya nggak asing ya," gumamnya.
Rasa-rasanya Rama mengenal wanita ini. sungguh. Tapi, siapa? Dan di mana ia mengenalnya?
Menatapnya sekali lagi, Rama bertanya, "Mbak, kita pernah kete—"
Belum sempat melanjutkannya, wanita itu sudah berjalan dengan cepat dan segera berlari dari tempatnya.
Aish. Ternyata wanita ini bukan wanita judes saja, tapi juga wanita yang tidak sopan. Lawan bicara masih berkata, dia sudah melenggang begitu saja. Persis sekali seperti wanita yang sempat menabraknya hingga menimbulkan luka di jidat Rama, tapi pada akhirnya malah kabur begitu saja.
Rama mendesis. Ia melanjutkan kembali makannya, tapi kemudian ia berhenti. Pria itu mengerutkan keningnya lagi dan...
Sebentar. Rama harus memastikan sesuatu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro