• 10 - Where the Story Began •
Judul : Where the Story Began
Karya : Vallencia
Gedung tak terpakai di sebelah gedung sekretariat UKM itu disulap sedemikian rupa untuk layak digunakan sebagai tempat latihan menari oleh beberapa mahasiswa yang bernaung di bawah progja—program kerja—seni tari. Meski jumlah mereka tidak lebih dari 10 orang, mereka yang tercampur oleh laki-laki dan perempuan itu tetap mengikuti setiap latihan yang ada.
Dengan dipimpin oleh Sheila selaku penanggung jawab progja seni tari dan Afifah selaku wakil, mereka sepakat untuk mengadakan latihan rutin 1 kali dalam seminggu, tepatnya setiap hari Jumat pukul 3 sore hingga selesai.
Tidak ada jenis peraturan yang mengikat mereka. Mereka menganggap hari latihan itu sebagai hari di mana mereka bisa meluapkan berbagai emosi mereka ke dalam bentuk tarian. Termasuk bagi Sheila sendiri.
Baginya, tari adalah cara lain untuk mengekspresikan diri. Dibanding bernyanyi, melukis, atau hal lainnya, dia lebih jatuh cinta dengan yang namanya menari. Menari dan dirinya adalah 2 hal yang tak terpisahkan.
“Oke, stop dulu, ya, latihannya. Kita istirahat 10 menit baru lanjut lagi,” ujar Sheila memberhentikan latihan itu.
Meski tak ada peraturan yang mengikat, latihan mereka tetap terstruktur.
“Sheila, aku ke sebelah dulu. Mau ngambil botol minum, ketinggalan di saja,” kata Afifah.
“Oke, Fah.”
Kata 'sebelah' yang dimaksud adalah gedung sekretariat, tempat anak-anak UKM bernaung. Gedung yang lebih sering disebut 'sekre' itu sudah selayaknya rumah kedua bagi mereka. Saat jeda kuliah, mereka lebih memilih untuk mendedikasikan waktu mereka untuk nongkrong di sekre dibanding harus pulang ke rumah. Tak jarang, di hari Minggu pun, mereka bisa betah seharian di sekre.
Setelah meneguk air di botolnya, Sheila kemudian menghampiri salah seorang anggota seni tari sekaligus adik tingkatnya. Namanya Fila.
“Hai, Fil,” sapa Sheila.
“Hai, Kak Sheila.”
“Kakak lihat tadi progresmu sudah lumayan. Hari ini, kamu lebih luwes gerakannya dibanding minggu lalu.”
“Beneran, Kak?”
Perkataan Sheila membuat mata Fila berbinar. Gadis itu memang baru bergabung beberapa minggu yang lalu. Dia juga bukan seorang yang berlatar belakang penari ulung, maka dari itu, sebaris kalimat yang menyatakan progresnya sudah cukup membuat dirinya bahagia.
“Iya. Pertahankan terus, ya, Fil. Ingat. Sering-sering latihan. Practices make perfect.”
“Siap, Kak Sheila.”
“Oke. Kalau gitu, Kakak ke yang lain dulu, ya.”
Sheila beranjak meninggalkan Fila untuk menghampiri anggotanya yang lain. Namun, langkahnya terhenti ketika Afifah memanggilnya.
“Ada apa, Fah?”
“Sheila, kamu dipanggil sama bang Ardi di sekre.”
Ucapan Afifah membuat Sheila mengernyit. “Bang Ardi? Ngapain?”
“Enggak tahu, tuh. Aku cuma disuruh untuk manggil kamu. Katanya, sih, ada hal penting yang mau dia bicarakan.”
“Oke, deh. Aku ke sana dulu. Titip anak-anak, ya.”
Sheila kemudian berjalan melewati pintu samping gedung yang langsung terhubung dengan lorong bagian belakang sekre. Setidaknya, itu adalah jalan alternatif untuk menuju ke sekre.
Di sekre, sudah ada Ardi—ketua umum UKM—yang rupanya tak sendiri. Ada Haris—kepala bidang bagian olahraga dan seni (ORSEN) yang juga ada di sampingnya.
Sheila mengernyit heran. Tidak biasanya Haris ada di sekre, mengingat jadwal lelaki itu yang melebihi kesibukan presiden.
“Bang Ardi nyariin aku?” tanya Sheila setelah berbasa-basi menyapa dan menanyakan kabar keduanya.
“Iya, Sheila. Ada yang mau Abang bicarakan.”
“Terkait apa, ya, Bang?”
“Terkait progja seni tari. Bagaimana progresnya? Aman?”
Sheila meneguk ludahnya. Tidak biasanya sang ketua akan turun tangan langsung menanyakan kabar progja. Sebab, biasanya segala hal yang berhubungan dengan progja akan diurus terlebih dahulu oleh kepala bidang yang kemudian baru disampaikan kepada ketua. Apalagi, jika sudah membawa-bawa masalah progres, Sheila merasa ada sesuatu yang penting menyangkut progja tercintanya itu.
“Aman, Bang. Sejauh ini, latihannya rutin seminggu sekali. Anak-anak tari juga semangat latihannya. Perkembangan mereka juga semakin pesat. Bahkan, aku juga mikir untuk nyumbang acara di HUT nanti. Kan, masih ada kurang lebih 3 bulan untuk latihan.”
“Oke, Sheila. Jadi, dari segi latihan dan progres aman, ya?”
Sheila mengangguk. “Iya, Bang. Aman.”
“Kalau jumlah anggota gimana?”
“Maksudnya, Bang?”
“Sheila, Abang banyak dengar kabar. Katanya, peminat progja ini semakin tahunnya semakin berkurang, bahkan tahun ini semakin merosot turun. Jumlahnya bahkan dari 10 orang termasuk kamu dan Afifah.”
Sheila tampaknya agak tidak setuju dengan kalimat abang tingkatnya itu. “Bukan berkurang, Bang. Tapi, memang beberapa anak tari dari angkatan 18 lagi sibuk urus skripsi, jadinya off dulu. Palingan setelah kelar skripsi, mereka gabung lagi.”
“Apa kamu bisa menjamin para senior akan tetap mengikuti progja kita jika sudah selesai skripsi nanti? Ya, seperti yang bisa kita lihat dari progja tahun sebelumnya, setelah lulus dari kampus ini, para senior sudah jarang bermain ke sekre apalagi untuk mengikuti progja.”
Ucapan Bang Ardi membuat Sheila sontak terdiam. Dia memang tidak bisa menjanjikan apa-apa tentang itu, tapi tidak ada salahnya berharap, bukan?
“Sheila, melihat minat terhadap progja tari yang semakin menurun, Abang dan beberapa pengurus inti lainnya sedang merundingkan untuk membubarkan progja tersebut.”
“Apa? Membubarkan? Tapi, kenapa, Bang? Bukannya progja ini udah sesuai dengan semua ketentuan yang ditetapkan oleh bidang orsen? Kami rutin latihan seminggu sekali, kami juga mempunyai progress di setiap minggu latihan. Selain itu, dari aku dan Afifah juga masih bertahan di progja ini. Seperti yang tertulis di aturan bahwa progja akan dibubarkan ketika melanggar beberapa aturan progja atau penanggung jawabnya yang mengundurkan diri,” ujar Sheila panjang lebar, berusaha menjelaskan bagaimana progjanya masih berjalan dengan lancar tanpa melanggar suatu aturan sekalipun.
“Iya, Sheila. Memang progja tadi tidak melanggar suatu aturan pun, akan tetapi progja ini tidak berhasil mencukupi jumlah anggota dari yang telah ditetapkan.”
Sheila mengernyitkan keningnya. Jumlah anggota? Sejak kapan ada peraturan tertulis bidang orsen mengenai minimum jumlah anggota?
“Sebentar, Bang. Setahu aku, enggak ada minimum jumlah anggota agar progja tetap dipertahankan. Di peraturan tertulis juga enggak ada.”
“Peraturan yang dulu memang seperti itu. Tapi, baru-baru ini, sudah ada pembaruan dari bidang orsen terkait jumlah anggota masing-masing progja.”
“Pembaruan terbaru? Aku anggota orsen, aku juga penanggung jawab progja tari, kenapa aku enggak tahu kalau ada pembaruan terkait progja?”
Ardi kemudian melirik Haris yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seolah meminta agar kepala bidangnya langsung yang menjelaskan terkait pembaruan progja.
Mengetahui kode itu, Haris berdeham sejenak, sebelum kemudian berbicara, “Peraturan tersebut memang baru diperbarui. Saya belum sempat membicarakannya kepada anak bidang orsen ataupun penanggung jawab progja masing-masing karena saya baru mendapat persetujuan dari ketua dan beberapa pengurus inti lainnya.”
“Sebelum Abang memberikan pembaruan tersebut kepada pengurus inti lain, kenapa enggak dibicarakan bersama anak orsen terlebih dahulu? Bukannya kami sebagai anggota berhak tahu terkait pembaruan di bidang kami? Baru setelah disetujui oleh anak orsen, baru diberikan kepada ketua,” kata Sheila dengan napas terburu.
“Harusnya memang seperti itu. Hanya saja, waktu itu saya pikir ada baiknya langsung membicarakannya kepada ketua.”
Sheila mendengkus kesal mendengar penjelasan dari Haris itu. Laki-laki itu seolah seenaknya saja membuat peraturan baru tanpa seizin anak-anak bidangnya.
“Kalau udah disetujui, boleh aku lihat peraturan yang baru itu?”
“Sebentar. Saya ambilkan.”
Sembari menunggu Haris untuk mengambil peraturan baru, Sheila mencoba untuk menenangkan napasnya yang sempat memburu karena emosi. Sheila tidak habis pikir. Bagaimana kepala bidangnya itu bisa mengambil keputusan sepihak seperti ini tanpa melibatkan anggota sebidang.
“Ini print out peraturan baru. Tidak banyak berubah. Hanya ada sedikit penambahan di nomor 5.”
Sheila segera mengambil kertas itu dari tangan Haris dengan kasar. Persetan dengan jabatan kepala bidang tersebut sekaligus ketua umum yang berdiri di antara mereka.
Peraturan Program Kerja UKM 2022.
•
•
•
5. Progja akan diberlangsungkan dengan minimal 15 anggota. Jika kurang dari itu, maka progja akan terancam dibubarkan.
“Aku keberatan, Bang,“ tukas Sheila.
“Keberatan dari mananya, Sheila?” Haris bertanya. Dari nada bicara lelaki itu, sepertinya Haris tidak suka ketika Sheila mengutarakan rasa keberatannya.
“Aku enggak setuju dengan peraturan kalau progja terancam dibubarkan kalau enggak mencapai minimum jumlah anggota. Lagi pula, progja tari ini udah berjalan sejak dulu. Dan, selama ini aman-aman aja, kan?”
“Tapi, peraturan itu sudah disetujui, Sheila. Tidak menerima protes lagi.”
“Gimana bisa enggak menerima protes kalau sebelumnya aja enggak dikasi tahu dulu?!”
Nada bicara Sheila sedikit meninggi membuat Ardi berdeham, memberikan kode agar Sheila menurunkan nada bicaranya terhadap Haris.
“Kesepakatannya memang seperti itu, Sheila. Silakan tanya kepada Ardi. Saya capek meladeni kamu.”
Sheila semakin naik pitam ketika lelaki itu perlahan beringsut mundur dan pergi meninggalkan pembicaraan.
Sheila kemudian menghadap ke Ardi. Lewat lirikan matanya, Ardi paham bila adik tingkatnya itu tengah meminta saran darinya.
“Nanti Abang akan coba bicarakan kepada para pengurus dan juga Haris terkait progja tari. Kamu bisa kembali ke teman-teman kamu. Tentunya, mereka tengah gusar menunggu kamu.”
***
“Shei, kok kamu lama banget? Habis diapain sama bang Ardi?” tanya Afifah ketika Sheila kembali ke tempat latihan mereka.
Bukannya langsung menjawab, Sheila meluruhkan tubuhnya ke lantai. Gadis itu mengacak rambutnya frustrasi, membuat Afifah bingung. Bahkan, semua anak-anak tari pun sontak memberhentikan gerakan mereka, lalu menghampiri Sheila, membentuk sebuah lingkaran kecil di dekat penanggung jawab mereka itu.
“Kak Sheila, Kakak kenapa?” tanya Mery, salah satu anak tari yang kini sedikit berlutut untuk menepuk bahu Sheila.
Sheila masih bertahan dengan tangan yang mencengkeram kepalanya, sebelum akhirnya bibir gadis itu terbuka untuk menjawab, “Progja tari terancam dibubarkan.”
Hanya satu kalimat. Namun, semua orang yang berada di ruangan tersebut terkejut bukan main.
“Dibubarkan? Maksud kamu, gimana, Shei?” tanya Afifah yang kini turut duduk di samping Sheila. Afifah menjauhkan tangan Sheila di kepala, kemudian mengangkat wajah temannya itu. “Jadi, ini yang mau dibahas sama bang Ardi sama kamu?”
Sheila mengangguk lesu.
“Gimana ceritanya progja kita terancam dibubarkan? Kan, kita sering latihan. Progja kita juga enggak pernah bermasalah. Anak-anak tari juga aman-aman aja. Jadi, bagian di mana nya yang terancam dibubarkan?”
“Anggota kita kurang.”
“Loh, sejak kapan ada peraturan jumlah anggota?”
“Ada pembaruan mengenai aturan progja. Bang Haris udah minta persetujuan tersebut ke bang Ardi. Sayangnya, bang Haris enggak bicarain dulu hal itu sama kita.”
Tubuh Afifah melemas. Tak jauh beda dengan Sheila. Sementara itu, anak-anak tari yang lainnya hanya bisa diam. Tidak berani untuk menyela, karena takut salah bicara. Mereka hanya bisa menyimpan semua kata-kata menenangkan sekaligus perasaan khawatir mereka di dalam hati.
“Kenapa bang Haris enggak bicarain dulu sama kita? Kan, kita anak orsen. Kita berhak tahu semua tentang bidang kita, sebelum pengurus yang lain tahu,” tutur Afifah lagi.
“Aku enggak tahu. Aku udah sempat protes hal itu ke bang Haris. Tapi, dia kayak bodoh amat sama protesan aku.”
“Jadi, sekarang kita harus gimana, Shei? Enggak mungkin kan kalau kita biarin progja tari dibubarkan gitu aja.”
Mendengar pertanyaan itu, Sheila mengeratkan kepalan di tangannya. Perlahan, sebuah senyuman terbit di wajahnya.
“Aku enggak bakal biarin satu orang pun mencoba untuk bubarin progja ini,” tuturnya dengan tegas.
Setelah itu, Sheila kemudian bergegas untuk berdiri, memecah lingkaran anak tari yang mengelilinginya, dan menyambar tasnya dengan segera.
“Latihan tari kita selesaikan sampai di sini dulu. Ada yang harus aku urus.”
***
Setelah memasuki pekarangan rumahnya, Sheila segera turun dari motor, melepas helm, dan kembali melangkah ke luar pagar. Tujuannya adalah satu, pergi ke rumah yang berada tepat di depannya, menemui seseorang yang sukses mengacaukan suasana hatinya hari ini.
Sebuah motor ninja dengan body full hitam menarik perhatian Sheila. Itu artinya orang yang dia cari ada di rumah. Tanpa permisi, gadis itu langsung mendorong pagar dan masuk ke dalamnya, seolah-olah dia telah biasa berlalu-lalang di sana.
Sheila mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, namun sosok seseorang yang tengah duduk di bagian samping halaman rumah tersebut membuat Sheila mengurungkan niatnya. Dengan langkah penuh emosi, Sheila menghampiri orang itu.
“Maksud lo apa buat peraturan baru kayak gitu?” tanya Sheila tanpa ba-bi-bu.
Orang tersebut menoleh, dan dengan santainya kembali ke aktivitasnya melihat layar ponsel. Hal itu menambah api membara di kepala Sheila.
Sheila segera merampas ponsel itu dengan kasar, membuat sang empunya menatap Sheila dengan tatapan lurus nan tajam.
“Lo bisu apa gimana? Gue tanya, bukannya dijawab, malah diam aja. Apa ini karakter yang mencerminkan seorang kepala bidang olahraga dan seni yang dihormati oleh seluruh anak orsen?”
Lelaki itu ialah Haris. Orang yang baru Sheila temui tadi di sekre.
“Kamu kenapa? Datang-datang main marah-marah. Masih enggak terima dengan keputusan progja yang baru?” tanya Haris dengan santai. Benar-benar tidak ada emosi yang melekat di sana sekalipun Sheila datang dengan begitu kurang ajarnya dan langsung merampas ponselnya.
“Lo masih bisa pura-pura bloon, ya?” hardik Sheila. “Sekarang lo ngaku, pasti lo disuruh bokap gue untuk ngelakuin ini, kan? Lo pasti disuruh dia untuk ngehancurin kehidupan gue, kan?”
“Sheila—”
“Udah gue bilang berapa kali, sih? Berhenti ikut campur kehidupan orang lain! Kenapa enggak bisa, sih? Lagian, apa untungnya lo ikut campur kehidupan gue? Apa untungnya gue tanya?!”
“Atau ...,” Sheila tersenyum miring, “Lo mau ngerebut posisi gue sebagai anak bokap gue? Seperti nyokap lo yang ngehancurin kehidupan rumah tangga bokap nyokap gue dulu?”
“Dan, asal lo tahu, gue bakal tetap pertahanin progja tari apa pun yang bakal terjadi,” tandas Sheila.
***
2.085 words
©vallenciazhng_
Berhubung tugasnya adalah membuat awalan cerita, maka maaf kalau cerita ini terkesan tidak mempunyai akhir. Tapi, tenang saja, aku berniat untuk menulis cerita ini versi panjangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro