• 07 - Last Love Confession •
Judul : Last Love Confession
Karya : Vallencia
Ketika aku sedang berada di bibir pantai, sebuah surat dengan tulisan My Love tercetak di sana terlihat oleh mata. Ketika aku mengambil surat tersebut, surat yang ada sama sekali tidak basah terkena air di pantai. Mungkin, karena ada plastik bening yang membungkus surat tersebut.
Aku hendak meletakkan surat tersebut kembali lagi ke tempat asalnya, membiarkannya berayun-ayun atau bahkan terombang-ambing lagi di atas air laut. Sayangnya,atas dasar rasa penasaranku yang lebih besar—melebihi apa pun—, aku tidak jadi mengembalikan surat itu. Imanku tergoyah untuk mencari tahu apa isi surat itu. Barangkali, aku akan mendapat bacaan berbau romansa gratis atau parahnya, surat ini ditujukan untuk seseorang ....
Ya, iyalah. Mana mungkin surat ini ditulis tanpa penerima. Kecuali, jika si penulis adalah seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan dan sekadar iseng menuangkan ide-idenya lewat surat ini.
My Love
Ah, judul yang teramat membekas di hati kala pertama kali aku membacanya. Dalam sekali tebakan, aku yakin, bila si penulis ialah seseorang yang mempunyai segudang ilham dengan kalimat-kalimat indah nan romantisnya.
Aku tidak tahu harus memulai untuk menulis dari mana. Sebab, acapkali aku mengingatmu, aku selalu kehilangan kata-kata. Bahkan, hanya sekadar mendengar namamu disebut saja sudah mampu menimbulkan getaran-getaran kecil yang cukup menyengat hati.
Apa tadi kubilang? Si penulis memang cukup romantis.
“Ella!” Aku menoleh ke belakang saat mendengar namaku terpanggil. “Sampai kapan kau mau duduk di sana? Ayo, pulang. Oma sudah memanggil kita sedari tadi.”
“Iya, Vinka. Sebentar.”
Yang tadi ialah Vinka, saudara kandungku. Aku sendiri tidak yakin sebenarnya, apakah kami berdua memang benar-benar saudara kandung atau bukan, mengingat wajah kami yang tidak memiliki kemiripan sama sekali.
Aku yang berhidung mancung, Vinka yang juga mancung sebenarnya. Sayangnya, mancung ke dalam.
Aku berkulit putih dan Vinka berkulit sawo matang. Aku yang cenderung lebih tinggi dan Vinka yang lebih rendah dariku.
Dan, dari semua perbedaan itu, kurasa hanya ada satu kesamaan yang ada di antara kami, yaitu kami sama-sama mempunyai alis yang tebal.
Aku memilih menutup kembali surat yang tadi kubaca dan segera berlari menuju Vinka untuk berjalan pulang bersama. Takut-takut oma khawatir jika cucunya pulang terlalu larut. Maklum saja, sedari kecil, aku dan Vinka sudah tinggal bersama oma. Lebih tepatnya, ketika kecelakaan beruntun merenggut nyawa kedua orang tua kami.
Dan, perihal surat, aku masih bisa membacanya nanti, bukan? Maka dari itu, aku memutuskan untuk menyimpan surat itu di kantong celanaku.
•••
Setelah memastikan oma dan Vinka sudah tertidur, aku mengambil surat yang tadi kutemukan di pantai itu untuk kembali kubaca. Aku membuka lipatan kertas yang sudah tidak semulus saat pertama kali kutemukan tadi—akibat terlipat di kantong celanaku—dan mencari paragraf terakhir yang kubaca.
Aku sengaja membiarkan surat ini terombang-ambing di atas laut dekat pantai, karena kamu sering berkunjung ke sana.
Dan, jika surat ini tiba padamu, aku hanya ingin mengatakan bila aku mencintaimu. Sejak awal pertemuan kita, hingga selama-lamanya.
Mungkin, ini terdengar lancang. Kamu tidak mengenalku. Atau, mungkin, kamu masih mengingatku di perkenalan tak sengaja kita. Tapi, maaf. Aku tidak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi. Terlebih saat aku mengetahui sisa umurku yang tak akan bertahan lama lagi.
Dokter memvonisku terkena kanker darah stadium akhir. Itu artinya, aku hanya perlu menunggu beberapa waktu lagi sampai Tuhan membawaku kembali ke pangkuan-Nya.
Jika aku mempunyai satu kesempatan lagi, tentunya aku ingin menceritakan apa isi perasaanku kepadamu secara langsung. Ya, semoga saja, kita bisa bertemu, sebelum aku dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Mungkin, hanya itu yang ingin aku sampaikan. Yang perlu kamu pahami hanya ... aku akan mencintaimu dalam kurun waktu yang lebih lama dari selama-lamanya.
Sampai bertemu lagi, Gabriella Putri, Sang primadona kampus.
Napasku tercekat ketika membaca kalimat terakhir di surat itu. Gabriella Putri? Sang primadona kampus?
Apa ... itu aku?
“Kamu kenal aku?”
“Siapa, sih, yang nggak kenal kamu, La?”
“Kenapa kamu ngomongnya kayak gitu? Apa aku seterkenal itu?”
“Jelas. Siapa yang nggak kenal Gabriella Putri, Sang primadona kampus?”
Kalimat itu .... Apa mereka orang yang sama?
•••
Aku terbangun dengan kondisi badan yang tidak fresh. Mungkin, kurang tidur, sebab terlalu memikirkan perihal surat itu. Rasa penasaran begitu mengganjal di kepalaku. Aku memutuskan untuk segera bertanya kepada salah satu teman perempuan di kampusku mengenai lelaki itu.
“Oh, yang waktu itu tiba-tiba nyapa kamu pas di tangga? Itu mah namanya Rangga. Anak Ilmu Komunikasi. Seangkatan kita juga. Cuma, beda kelas aja sama kita.”
“Kamu tahu rumahnya dimana?”
“Seingatku, rumahnya nggak jauh dari kampus. Eh, by the way, kabar terakhir, bukannya dia kena kanker? Aku lupa kanker apa. Yang jelas, udah berat, sih. Bahkan pas itu sempat ada yang open donasi buat nolongin biaya pengobatan dia.”
“Kamu serius?”
“Iya. Kenapa? Kok kayaknya kamu pengin tahu gitu soal dia?”
“Nggak. Kepo aja. Ehm, kira-kira kamu punya kenalan, nggak, yang kenal juga sama Rangga?”
“Ada. Namanya John. Nanti aku share nomornya ke kamu.”
Setelah panggilanku dengan Maria terputus, aku segera menghubungi nomor yang telah ia kirimkan kepadaku untuk mengorek informasi perihal lelaki bernama “Rangga” itu. Setelah aku mendapatkan kabar terkini mengenai Rangga, aku memutuskan untuk izin kepada oma untuk pergi keluar. Lebih tepatnya, ke rumah Rangga.
Perjalanan dari rumah yang kutinggali ke rumah Rangga tidak terlalu jauh. Kurang lebih dengan waktu perjalananku menuju kampus.
Aku memastikan sekali lagi nomor rumah yang terpasang di dinding depan dekat pintu, sebelum mengetukkan jemariku.
“Nyari siapa, ya?”
Seorang wanita paruh baya keluar dari sana. Aku menyapanya santun, kemudian memberitahukan maksud dan tujuan kedatanganku ke sini secara singkat, yakni untuk menemui Rangga.
“Oh, Rangganya ada di dalam kamar. Sejak seminggu terakhir, kondisinya memburuk.”
Aku tertegun mendengar kalimat itu. Air mataku hendak menetes begitu saja.
Aku mengekori wanita yang kuyakini sebagai ibu Rangga ke kamarnya. Netraku menangkap seorang lelaki yang tengah terbaring tak berdaya di ranjang dengan mata yang terpejam. Akan tetapi, saat aku datang, ia membuka matanya. Seutas senyum seketika tercetak di sana. Ia berusaha untuk bangun dari posisi tidurnya.
“Aku tebak, kamu sudah menemukan surat itu.”
“Ternyata, semesta masih memberikanku kesempatan untuk bertemu dengan kamu, Gabriella.”
“Jadi, benar, kamu pengirim surat ini?” tanyaku lirih.
Ia tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Iya, itu aku, Ella. Laki-laki pengecut yang tidak berani menyatakan perasaannya kepadamu secara langsung dan sekarang, mungkin Tuhan tengah memberikanku kesempatan itu.”
“Aku mencintaimu, Gabriella Putri .... Lebih lama dari selama-lamanya.”
Itu ialah kalimat terakhir Rangga, sebelum ia mengembuskan napas terakhirnya ... setelah menyatakan perasaannya.
•••
Publish : 9 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro