• 05 - Farewell •
Judul : Farewell
Karya : Vallencia
Satu kegiatan favorit yang kini disukai oleh Alika adalah duduk di sebelah Nek Ida dan mendengarkan tutur cerita yang keluar dari wanita berumur 80 an itu. Meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, tetapi ia masih tampak begitu sehat, mengalahkan fisik anaknya yang masih berusia 60 an tahun.
Tak banyak cerita yang bisa diwariskan oleh Nek Ida, selain bagaimana masa kecilnya menjadi saksi sejarah kisah perjuangan penduduk desa Marga mempertahankan desanya dari serangan NICA. Desa Marga terletak di kabupaten Tabanan, Bali. Perang dahsyat yang dipimpin oleh Kolonel I Gusti Ngurah Rai dikenal dengan Puputan Margarana. Puputan menurut bahasa Bali berarti perang yang dilakukan hingga titik darah penghabisan, sementara Margarana merujuk pada lokasi pertempuran.
Puputan Margarana terjadi pada tahun 1946 saat Nek Ida masih berusia 7 tahun. Nek Ida mengatakan hampir 100 orang gugur di tempat, termasuk pemimpin perang itu sendiri, I Gusti Ngurah Rai. Namun, kejatuhan pasukan terbanyak jatuh di Belanda yang kehilangan hampir 400 orang pasukannya. Padahal, menurut cerita Nek Ida, Belanda telah mendatangkan seluruh pasukannya yang berada di Bali. Ditambah dengan pesawat pengebom yang mereka datangkan dari Makassar.
“Itu semua karena prinsip orang Bali yang pantang mundur dan menyerah,” timpal Nek Ida sembari tersenyum unjuk gigi. Padahal, gigi yang tersisa di sana hanya tinggal 2 gigi depannya saja. Namun, senyumnya seolah tak luntur meski usianya telah dimakan waktu.
Selain cerita mengenai perang di Desa Marga, Nek Ida juga suka bercerita mengenai kehidupannya sebelum kemerdekaan. Alika senang-senang saja mendengarkannya, sebab ia merasa beruntung dapat mendengarkan sisi lain dari cerita yang tak ia dapatkan selama mempelajari sejarah di sekolah.
Biasanya, setelah malam mengundang, Alika barulah akan berpamitan kepada Nek Ida dan pulang ke rumah. Nek Ida adalah tetangga depan rumah Alika, sehingga ia tak perlu khawatir untuk berjalan pulang sendirian.
“Nek Ida, Alika pulang dulu, ya. Udah malem,” ujar Alika lantas menyalami tangan Nek Ida yang sudah keriput.
“Hati-hati, Alika.” Begitu kalimat yang senantiasa diucapkan oleh Nek Ida saat Alika berpamitan. Padahal, rumah mereka terhitung sangat dekat. Hanya butuh sepuluh langkah lebih sedikit untuk Alika menginjakkan kaki ke teras rumahnya.
Pernah sekali, Alika melayangkan tanya kepada Nek Ida perihal kalimat hati-hati itu yang kemudian dijawab oleh Nek Ida.
“Pesan hati-hati itu tidak melihat jarak, Cu. Bahkan, sedekat apa pun jarak yang kita tempuh itu tetaplah jarak. Tidak ada yang tahu, kapan dan dimana nyawa kita akan diambil. Barangkali, saat seseorang berpamitan ke toilet, di situ lah nyawanya diambil.”
“Hati-hati itu merupakan sebuah doa agar yang diberikan pesan dapat selamat sampai tujuan. Jadi, tidak ada salahnya kita mengucapkan hati-hati sesering mungkin.”
Sejak saat itulah, Alika mengerti bagaimana pentingnya pesan hati-hati tersebut. Tidak sekadar untuk berbasa-basi, melainkan mempunyai makna yang mendalam di baliknya.
•••
Malam ini, Alika terlihat begitu sibuk dengan setumpuk buku yang ada di hadapannya. Ujian tulis masuk perguruan tinggi akan segera dibuka dalam dua bulan ke depan. Setelah mengambil gap year selama satu tahun lamanya, pada tahun ini, ia benar-benar memantapkan hatinya untuk berkuliah.
Alasannya mengambil gap year saat itu ialah karena ia masih belum menemukan jurusan yang cocok di bidangnya. Namun, setelah hampir setahun mencari, akhirnya ia menemukan apa yang menjadi tambatan hatinya.
Ia akan memilih jurusan Ilmu Sejarah. Ia bahkan sudah mempersiapkan alasan terbesar tentang mengapa ia memilih jurusan tersebut jika suatu saat orang-orang bertanya kepadanya. Seperti apa yang dilakukan oleh Klara, kakak satu-satunya yang memegang tahta tertinggi di rumahnya. Seorang kakak yang sama seperti kebanyakan orang berlabel "kakak" di luar sana yang suka memberikan perintah kepada adiknya.
“Kenapa kamu milih jurusan itu? Gagal move on?”
Satu hal yang Alika benci dari pandangan orang-orang mengenai sejarah ialah "gagal move on". Mengapa sejarah selalu dikaitkan dengan yang satu itu? Memang benar. Sejarah berkaitan dengan masa lalu. Namun, yang dipelajari di masa lalu itu ialah tentang sejarah Indonesia, bukan cerita kelam hubungan seseorang.
“Bukannya Kakak yang gagal move on?” sindir Alika yang membuat Klara mau tak mau terdiam. Setahu Alika, Klara masih susah melupakan mantan pacarnya semenjak 4 tahun yang lalu. Hal itulah yang membuat Klara masih jomlo hingga di umurnya yang ke 26 tahun. Padahal, bapak dan ibu sudah cemas-cemas memikirkan alasan putri sulungnya masih sendiri hingga saat ini. Takut bila putrinya itu telah diguna-guna oleh mantan pacarnya sehingga tidak mempunyai pasangan hingga saat ini.
“Lalu, kenapa kamu milih jurusan itu?” tanya Klara mengalihkan topik.
“Karena Nek Ida,” jawab Alika dengan enteng.
“Nek Ida ngapain kamu sampai mau masuk jurusan itu?”
“Gak ngapa-ngapain. Akhir-akhir ini, aku suka dengerin Nek Ida cerita soal sejarah Indonesia dulu. Baru minggu kemarin, Nek Ida cerita soal Puputan Margarana,” ujar Alika mengingat cerita yang dilontarkan Nek Ida minggu lalu. Sudah seminggu rupanya, ia tak datang ke rumah tetangganya itu karena sibuk belajar.
“Hah? Pupu apa tadi?”
“Puputan Margarana. Kakak pasti nggak tahu, ‘kan? Puputan Margarana itu perang—”
“Eh, ssstt. Diam. Jangan dilanjut. Otak Kakak lagi pusing karena kerjaan, jadi jangan kamu tambah dengan cerita kamu itu,” potong Klara.
“Jadi, alasan kamu akhir-akhir ini suka pulang malem itu karena ke rumah Nek Ida?”
Alika menganggukkan kepalanya. “Emangnya, Kakak pikir aku melayap ke mana?”
“Gak tahu. Kamu ‘kan jomlo,” sindir Klara yang membuat Alika lantas berteriak.
“SEBELUM NGATAIN ORANG, NGACA DULU, KAK!”
•••
Seminggu terakhir ini, Alika benar-benar jarang berada di rumah. Ia menghabiskan waktunya di perpustakaan kota untuk meminjam beberapa buku persiapan tes. Maklum saja, Alika tidak mempunyai banyak uang jika harus membeli buku super tebal tersebut hanya untuk sekali tes saja. Lagi pula, kedepannya buku itu jelas tidak akan digunakan, bukan? Sebenarnya, tidak ada buku yang tidak berguna. Namun, Alika rasa, jika ia memiliki buku itu pun, ia hanya akan membukanya saat detik-detik persiapan tes, tidak pada hari setelahnya.
Suasana di perpustakaan seperti biasanya selalu sunyi. Tidak ada sedikit pun keributan yang tercipta, kecuali suara lembaran buku yang dibalik dengan sedikit keras sehingga menimbulkan suara.
Alika benar-benar memanfaatkan waktunya di perpustakaan untuk membaca dan sesekali mengerjakan soal yang ada di buku persiapan tes tersebut, hingga tanpa ia sadari, sudah waktunya perpustakaan tutup. Alika segera beranjak dari kursinya dan menyimpan kembali buku yang ia ambil ke tempat semula, lantas bergegas pulang. Namun, saat gadis itu hendak pulang, pandangannya tak sengaja menangkap sosok seorang lelaki dengan pundak tegap tengah duduk di meja paling ujung dekat jendela. Gadis itu berdecak, mengapa lelaki itu tidak tahu waktu sehingga belum mengemaskan bukunya untuk pulang? Akan tetapi, Alika tidak memilih untuk mempedulikannya lebih lanjut. Gadis itu tetap pada niatnya untuk segera pulang.
•••
Selama kesibukannya di perpustakaan, Alika semakin jarang pergi ke rumah Nek Ida. Rencananya, pagi ini, ia akan pergi ke rumah Nek Ida untuk menanyakan kabarnya.
“Nek Ida,” panggil Alika sembari mengetukkan jemarinya di pintu utama rumah Nek Ida. Nek Ida tidak tinggal sendirian. Ia tinggal bersama anak bungsu serta 3 cucunya yang sudah berusia 20 an tahun. Nek Ida mempunyai 4 orang anak dan belasan cucu. Namun, Alika belum pernah menemui yang lainnya, selain dari mereka yang tinggal di rumah.
Merasa ketukannya tidak mendapat respons apa pun, Alika mencoba untuk membuka pintu tersebut dan ternyata, pintu tidak dalam keadaan terkunci. Keadaan rumah begitu sepi, mungkin anak-anak beserta cucu Nek Ida tengah berada di luar rumah.
Alika tetap berusaha memanggil Nek Ida, barangkali suaranya tadi tidak terdengar. Sayangnya, masih belum ada sahutan dari dalam. Alika menoleh ke arah kamar pertama yang merupakan kamar Nek Ida. Namun, Nek Ida tidak ada di sana. Alika terus berjalan hingga akhirnya ia menemukan Nek Ida yang terbaring di dalam toilet.
Dengan panik, Alika menghampiri Nek Ida.
"Nek, Nenek kenapa? Nek, bangun, Nekkk,” ujar Alika sembari mengguncang kecil tubuh Nek Ida. Tetapi, tidak ada respons. Alika mengambil tangan Nek Ida dan menekan sedikit ibu jarinya di bagian pergelangan tangan Nek Ida. Gadis itu lantas diserang panik yang begitu dahsyat ketika tak merasakan adanya denyutan di bagian yang disentuhnya itu. Dengan segera, gadis itu hendak berlari keluar rumah untuk mendapatkan pertolongan.
Namun, di saat gadis itu berbalik badan, ia begitu terkejut melihat keberadaan seorang lelaki yang ada di hadapannya. Lelaki itu terlihat tidak asing. Ah, Alika baru mengingatnya. Lelaki ini ialah orang yang sama dengan lelaki yang ia temui di perpustakaan saat itu.
“Apa yang lo perbuat sama nenek gue?” tanyanya penuh penekanan, yang membuat Alika menelan ludahnya.
•••
Setelah menelepon anak-anaknya,Nek Ida di bawa ke rumah sakit, dan sekarang tengah diperiksa oleh dokter di dalam ruangan serba putih.
Sedangkan, Alika saat ini berada di ruang tunggu bersama keluarga Nek Ida yang lainnya. Dengan perasaan yang cemas, mereka menunggu hasil pemeriksaan dari dokter.
“Kalau sampai terjadi apa-apa sama nenek gue, gue gak bakalan pernah maafin lo,“ ujar lelaki yang tidak diketahui namanya itu sembari menunjuk ke arah Alika. Sebut saja, namanya lelaki perpustakaan. Lelaki perpustakaan itu menatap Alika dengan tatapan penuh amarah, seolah-olah Alika telah berbuat suatu hal yang begitu membangkitkan emosinya.
“Rico, jaga ucapan kamu,” tegur Bu Arin, anak bungsu Nek Ida yang mengenal Alika.
“Tapi, Tante, gadis ini adalah penyebab Nek Ida bisa seperti ini,” ujar lelaki perpustakaan yang sekarang
“Jangan menuduh sembarangan, Rico. Alika ini tetangga depan rumah, dia juga baik sama keluarga kita, terutama Nek Ida. Jadi, tidak mungkin kalau Alika menyebabkan Nek Ida bisa jatuh seperti itu,” ujar Bu Arin membela Alika.
“Tan, aku gak nuduh sembarangan. Emang kenyataannya seperti itu. Aku lihat dengan mata kepala aku sendiri, Tante, kalau gadis itu berada di dekat Nek Ida pas kejadian.”
“Sudahlah, Rico. Lebih baik, sekarang kamu diam, daripada terus memperkeruh suasana!” tajam Pak Eko, yang merupakan anak pertama Nek Ida.
Alika yang merasa dirinya sebagai biang permasalahan dihantui rasa bersalah. Suasana di antara keluarga Nek Ida menjadi bersitegang gara-gara dirinya.
Tak lama kemudian, seorang pria dengan jas putih keluar dari ruangan yang dimasuki Nek Ida tadi. Dari wajahnya, tidak menampilkan tanda-tanda membawa kabar yang baik, membuat Alika begitu takut.
“Kami telah berupaya semaksimal mungkin, sayangnya, Tuhan berkehendak lain ....” Kalimat dari dokter Anton membuat Alika seketika memundurkan langkahnya dengan perasaan yang tak bisa ia jabarkan.
“Nek Ida tidak bisa kami selamatkan.”
•••
Alika bersimpuh tepat di depan sebuah gundukan tanah yang masih basah. Tangis membasahi bagian di sekitar mata gadis itu. Ia tak menyangka, pertemuannya kemarin dengan Nek Ida adalah pertemuan terakhir mereka.
“Alika gak nyangka, cerita Nenek tentang Puputan Margarana akan menjadi cerita terakhir yang Nenek wariskan kepada Alika. Nek Ida, Nenek yang tenang di sana, ya. Alika sayang sama Nek Ida. Alika udah menganggap Nek Ida sebagai bagian dari keluarga Alika sendiri.”
Gadis itu menabur bunga-bunga di sekitar makam Nek Ida, lantas mengelus nisan bertuliskan nama Nek Ida di sana, lengkap dengan tanggal lahir dan kepulangannya pada rumah yang sesungguhnya.
Beberapa saat bersimpuh di hadapan makam itu, Alika bangkit dari posisinya dan hendak pulang. Sebelum itu, ia berpamitan pada Nek Ida. Kali ini, tidak akan ada ucapan hati-hati yang terlontar dari Nek Ida lagi.
Alika membalikkan badannya untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti.
“Gue minta maaf, gue udah salah nuduh lo.”
•••
Publish : 22 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro