• 02 - Cheer for Death •
Judul : Cheer for Death
Karya : Vallencia
Baru saja aku mendapatkan kabar duka dari salah satu teman sekolahku. Namanya Lesti. Pagi tadi ia dinyatakan meninggal dunia dengan cara yang mengenaskan. Ia gantung diri di ruang kelasnya.
Hari ini, aku memang tidak masuk sekolah karena sakit. Secara otomatis, aku juga tidak menyaksikan bagaimana mengenakannya keadaan Lesti pasca gantung diri. Hanya saja, dengan mendengar cerita dari Elena saja aku sudah dapat membayangkan keadaannya.
“Lesti meninggal, dia bunuh diri, Li di kelasnya. Pas itu aku gak sengaja lewat depan kelasnya, tahu-tahu udah ramai aja. Trus karena penasaran, aku masuk ke dalam. Kamu tahu, gak, gimana keadaan Lesti pas itu? Posisinya dia tergantung di sebuah tali, trus ada bekas lebam di pipi dan tangannya. Rambutnya acak-acakan, kayak habis dijambak gitu. Pokoknya, seram banget. Beruntungnya, kamu gak masuk sekolah. Kalau tahu bakalan ada kejadian kayak gini, aku juga gak mau masuk sekolah kali.”
Begitu kira-kira penjelasan dari Elena yang terdengar cukup menghebohkan. Bayangkan saja. Ia bercerita di telepon dengan nada yang menggebu. Ujung-ujungnya, dia ketakutan sendiri karena bercerita di tengah kesendirian. Katanya, kedua orang tuanya tengah tidak di rumah.
Berbeda dengan Elena yang ingin tidak masuk sekolah hari ini, aku justru berlaku keterbalikannya. Aku ingin berada di tempat kejadian, dan menyaksikan langsung bagaimana mengenaskannya kematian Lesti. Bukan apa-apa, hanya saja aku memang menyukai hal-hal seperti ini. Ayahku adalah seorang dokter forensik yang bekerja sama dengan pihak kepolisian. Kasus seperti ini pula sudah biasa ditangani oleh ayah. Aku juga sering mendapati foto-foto mayat yang hendak diotopsi oleh ayah terpampang di atas mejanya.
Saat ini, aku tengah berdiri di koridor kelas 11 Ipa 1 alias kelas Lesti. Aku memang beda kelas dengannya. Aku berada di kelas 11 Ipa 2. Aku memandang masuk ke dalam kelas itu.
Sejujurnya, aku penasaran. Jika benar Lesti melakukan bunuh diri. Lantas, atas dasar apa Lesti bunuh diri? Lesti yang kukenal hidupnya begitu sempurna. Ia begitu cantik, hidupnya penuh dengan kemewahan, ditambah lagi ia adalah anak cheerleader yang dikagumi banyak lelaki. Aku memang tidak begitu dekat dengannya, hanya pernah berada di satu tim yang sama, yakni tim cheerleader. Hanya saja, tidak lama bergabung, aku memutuskan untuk keluar.
Tanpa aku sadari, aku melamun dengan pandangan yang masih terfokus kepada kelas Lesti. Tiba-tiba saja, sudah ada seseorang yang berdiri di depanku.
“Sebegitunya ngelihatin kelas kami? Masih penasaran dengan kematian Lesti, ya?” tanya Liani. Seseorang yang berada di hadapanku ialah Liani. Seingatku, ia juga salah satu anggota cheerleader.
“Eh, kamu sekelas sama Lesti?”
Ia menganggukkan kepalanya. Selain ia satu tim dengan Lesti, ia juga sekelas dengan gadis itu. Otomatis, ia mengenal Lesti lebih baik daripada aku. Bukan begitu?
“Kira-kira kamu tahu gak kenapa Lesti bunuh diri?” tanyaku. Ia terdiam sejenak, seolah tengah memproses pertanyaanku di kepalanya.
“Kalau alasan pastinya, aku gak tahu. Cuma, mungkin aja dia depresi dan memilih buat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,” ujarnya. Depresi? Apakah gadis dengan kehidupan maha sempurna itu dapat mengalami depresi?
“Memangnya, Lesti punya depresi?”
“Ya, menurut kamu aja, ya. Kalau kamu jadi Lesti yang hidup di bawah tuntutan orang tua untuk selalu menjadi si nomor satu, lalu kamu gak bisa mengimbangi tuntutan itu. Apa kamu nggak depresi?”
Aku hendak bertanya lebih lanjut pada Liani. Namun, gadis itu berkata ia harus pergi ke ruang guru karena dipanggil oleh guru tadi. Entahlah itu hanya feeling-ku saja, atau memang ia terkesan seolah-olah ... menghindar dariku.
Tepatnya, menghindar dari pertanyaanku.
***
Aku mengetuk jemariku di atas meja sembari mencoba fokus pada penjelasan guru di depan. Mata pelajaran yang sangat membosankan, pikirku. Aku menoleh ke sebelah. Elena tampak begitu fokus memperhatikan penjelasan itu.
Aku menghela napas, kemudian membuka buku tulisku pada halaman yang terakhir. Aku menuliskan sebuah nama di atas kertas itu.
Lesti.
Anggap saja, aku masih gagal move on dengan kematian Lesti. Karena jujur saja, sudah dua hari berlalu semenjak kepergian Lesti dan aku masih mencoba mendapatkan informasi perihal kemalangan gadis itu. Aku sudah mencoba untuk bertanya kepada Liani lagi. Mana tahu, ada cerita lebih lanjut yang hendak ia bagi kepadaku. Namun, ia malah menghindariku lagi. Benar-benar menyebalkan.
Tapi, melihat tingkahnya yang begitu, aku jadi semakin penasaran. Apa dia ada kaitannya dengan kasus gantung diri Lesti?
“Elena,” bisikku kepada teman sebangkuku itu sembari menyenggol lengannya pelan.
“Kenapa, Elia?” tanyanya dengan suara yang tak kalah kecil. Takut-takut bila suara kami terdengar oleh guru di depan.
“Aku mau tanya, kamu kenal Liani, gak?”
Ia mengangguk.
“Dia dekat sama Lesti?”
Ia menggeleng. “Malahan dia benci dengan Lesti,” ujarnya.
Benci? Aku hendak mempertanyakan perihal itu kembali. Namun sayangnya, aku dan Elena tertangkap basah tengah berbicara.
“Hei, kalian berdua. Kenapa bicara di jam pelajaran?!”
***
Menurut cerita Elena, Liani dan Lesti dulunya bersahabat. Akan tetapi, karena rasa iri dengki yang timbul di hati Liani, ia malah membenci Lesti. Ia iri dengan Lesti yang dikagumi oleh banyak lelaki. Ada-ada saja permasalahan anak muda zaman sekarang. Hanya karena hal sepele seperti itu, mereka malah kehilangan persahabatan mereka.
Aku juga sempat bertanya pada Elena mengenai teman dekat Lesti. Elena menjawab bahwa setahun terakhir Lesti berteman baik dengan seorang anak cheers lainnya. Namanya Erika. Kabarnya, dia adalah anak bahasa 2.
Aku berjalan menyusuri koridor menuju kelas bahasa 2. Aku tidak mengenal Erika. Namun, kata Elena, Erika itu mudah ditemui. Ciri-cirinya ialah dia mempunyai rambut sebahu lurus dan memakai kacamata kotak berwarna merah muda. Benar saja. Aku dengan mudah menemukan seorang gadis dengan ciri-ciri seperti itu ketika memasuki kelas bahasa.
“Kamu cari aku?” Erika menghampiriku yang tadi memanggilnya lewat teman sekelasnya.
Aku mengangguk, lantas tersenyum kepadanya. “Kenalin aku Elia,” ujarku mengulurkan tangan. Ia membalas uluran tanganku. Sepertinya, Erika bukanlah tipe gadis yang senang berbasa-basi. Terbukti dari ia yang langsung mendesakku agar segera menyampaikan maksud kedatanganku mencarinya.
“Aku dengar kamu teman dekatnya Lesti. Aku mau tanya beberapa hal soal Lesti, boleh?”
“Lesti? Mau ngapain lagi kamu bahas dia? Dia udah tenang, gak perlu kamu tanya-tanya lagi,” ujar Erika dengan nada bicara yang kedengarannya tidak tenang. “Udah dulu, ya. Aku sibuk.”
Aku menatap punggungnya yang berlalu pergi begitu saja.
Aneh.
Setelah Liani, sekarang Erika yang bertingkah aneh. Apa memang semua anak cheers seperti itu?
Aku kembali ke kelas setelah tidak mendapatkan informasi apa pun dari Erika. Namun, aku berhenti di koridor tatkala mendengar nama Lesti disebut-sebut dalam pembicaraan tiga orang gadis.
“Kalian ngerasa seram gak sih setelah Lesti bunuh diri? Takutnya, arwahnya gak tenang trus gentayangan di sekolahan.”
“Yah elah, gak mungkinlah dia gentayangan di sekolah. Jangan percaya hal gituan, deh. Seharusnya, kita itu doain dia biar tenang di sana.”
“Tapi, kalian percaya emangnya kalau dia bunuh diri? Kalau aku gak percaya, soalnya aku sempet ngelihat ada lebam di tangan dia, trus juga di bagian pipi gitu. Kalau dia beneran bunuh diri, masa ada bekas lebam di bagian situ, sih? Gak masuk akal kalau dia nyiksa diri sendiri, baru gantung diri.”
“Jadi, maksud kamu, kematian Lesti yang gantung diri itu cuma alibi? Sebenarnya, ada seseorang yang sengaja nyelakain dia?”
“Iya, mungkin gitu.”
“Kalau aku percaya dia bunuh diri. Soalnya kalian tahu sendiri, Lesti itu gak di rumah, gak di sekolah, bebannya banyak banget. Di rumah dia dituntut buat jadi si nomor satu, di sekolah juga diminta buat ikut lomba ini itu. Ditambah lagi, banyak yang gak suka sama dia. Jadi, ya, mungkin aja dia depresi trus bunuh diri, deh.”
Acara menguping pembicaraan ketiga gadis itu terpotong tatkala koridor mulai dicekcoki dengan suara kericuhan yang datangnya entah dari mana.
“Eh, Boy. Kenapa ribut-ribut, sih?” tanyaku kepada Boy, salah satu teman sekelasku yang ikut menyebabkan kericuhan.
“Itu, Bel. Ada yang bunuh diri lagi. Dia loncat dari rooftop dan mayatnya ada di di belakang sekolah,” ujarnya. Aku membulatkan mataku. Bunuh diri lagi?
Tanpa banyak berbasa-basi, aku segera berlari menuju belakang sekolah. Saat ini, kondisinya begitu ramai. Aku terpaksa harus menyelip di antara kerumunan itu untuk mengetahui siapa yang bunuh diri sekarang ini.
“Astaga!” pekikku lantas menutup mulutku dengan kedua tangan. Yang barusan kulihat itu tidak salah, bukan? Meski kondisi badannya yang kini hancur, aku dapat melihat wajahnya yang dilumuri darah — meski tidak terlalu jelas. Namun, name tag yang melekat di bajunya membuatku percaya akan penglihatanku.
Itu ... Liani. Benar-benar Liani.
Apa benar dia bunuh diri?
Aku melihat tubuh hancur milik Liani sekali lagi, sebelum akhirnya para guru datang untuk mengusir kerumunan kami pergi. Tanpa sengaja, aku melirik sebuah tulisan yang sepertinya sengaja ditulis di atas sebuah kertas lusuh.
Cheer for death.
***
Aku menggigit jemariku sembari memikirkan kejadian yang baru aku lihat siang tadi di sekolah. Setelah kejadian Lesti yang bunuh diri, kini giliran Liani. Mengapa semuanya terkesan berkaitan? Ditambah lagi, aku tidak percaya bila Liani memang bunuh diri.
Aku menghela napas, berusaha melupakan kejadian beberapa hari ini. Aku memutuskan untuk membuka sosial media dan melihat ada postingan apa hari ini dari teman-teman dunia mayaku.
Merasa tidak ada yang menarik, aku kembali menutup sosial mediaku. Namun, tiba-tiba saja aku kepikiran untuk membuka sosial media milik Lesti. Tidak banyak foto yang diposting oleh Lesti. Hanya ada 5 foto. Salah satunya ialah foto Lesti yang berdua dengan seorang anak cheers. Itu ialah Erika.
Di foto itu, keduanya tersenyum lebar menghadap ke kamera. Aku menekan foto itu dan mendapati akun milik Erika yang ditandai oleh Lesti.
Anehnya. Akun itu tidak memiliki satu postingan pun di sana. Hanya ada story 24 jam yang baru diposting Erika 1 jam yang lalu. Di story itu, Erika tengah memvideokan dirinya yang berada di rooftop. Mungkin, rooftop rumahnya. Setelah itu, tidak ada hal lain lagi yang bisa kulihat di akun miliknya.
Tiba-tiba saja, sebuah panggilan suara masuk ke teleponku. Itu dari Elena. Aku segera mengangkatnya. Dan, betapa terkejutnya aku tatkala Elena mengatakan bahwa ....
“Erika loncat dari rooftop rumahnya.”
Aku segera menutup panggilan itu sembari memegang dadaku yang kini berdetak tak karuan.
Tadi siang, Liani. Sekarang Erika yang loncat dari rooftop.
Sebenarnya, ada apa ini? Mengapa kedua orang yang pernah kutemui dan kutanyakan perihal Lesti itu akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara yang serupa?
***
Berita terbaru! Dikabarkan bahwa Erika Saski Wijaya putri sulung dari keluarga Wijaya melakukan aksi bunuh diri dengan cara melompat dari rooftop rumahnya.
Aku membaca judul utama dari berita hari ini, lantas menghela napas. Mengapa semuanya terkesan runyam begini? Apa memang benar bila ini semua saling berkaitan?
Aku mengetukkan jemariku di atas meja sembari memikirkan kerumitan dari masalah ini. Semua berawal dari kematian Lesti yang gantung diri.
Sebentar. Bukankah Lesti gantung diri di dalam kelas yang artinya terdapat CCTV di ruangan itu? Aku harus menemui pak Samsul selaku penjaga ruangan CCTV untuk dapat melihat rekaman itu. Kurasa, ada yang janggal dengan kematian Lesti apalagi setelah mendengar perbincangan ketiga gadis yang kemarin.
Aku mengetuk pintu ruangan CCTV beberapa kali. Namun, masih tak ada jawaban dari dalam. Apa pak Samsul sedang tidak ada di ruangan CCTV? Cukup lama aku menunggu di depan ruangan itu hingga aku memutuskan untuk kembali ke kelas. Aku berbalik badan dan kepalaku langsung terantuk dengan dada bidang milik seseorang.
“William?”
“Kamu ngapain di depan ruang CCTV?” tanyanya. Aku tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya, maka dari itu aku beralibi.
“Mau manggil pak Samsul. Tadi beliau dipanggil sama bi Asih.” Bi Asih adalah pemilik kantin tiga yang dikabarkan tengah dekat dengan pak Samsul.
“Yakin karena itu? Atau, karena mau minta rekaman CCTV kelasnya Lesti?”
Gawat! Mengapa ia bisa tahu?
“Gak usah panik gitu mukanya. Bukan cuma kamu yang penasaran sama kematian Lesti, tapi aku juga,” ujarnya lantas bersender di dinding. “Kematian Lesti itu penuh dengan kejanggalan. Sebelumnya, aku udah sempat nemuin pak Samsul buat tanyain CCTV nya. Sayangnya, aku kalah cepat.”
“Maksud kamu kalah cepat?”
“Ada orang lain yang lebih dulu datang ke ruangan CCTV dan menyabotase CCTV kelas Lesti. Akibatnya, rekaman di waktu kejadian Lesti meninggal terpotong.”
***
Aku melangkahkan kaki ke parkiran untuk mengambil motorku. Namun, ada yang aneh. Sepertinya ada yang mengikutiku dari belakang. Sayangnya saat aku berbalik, tidak ada orang.
Aku mempercepat langkahku menuju motor dan derap langkah orang di belakangku juga seolah-olah dipercepat. Aku kembali berbalik. Lagi, tidak ada orang. Hingga saat aku hendak memasangkan helm di kepalaku, sebuah tepukan mendarat di bahuku. Aku menoleh dan melihat orang itu tersenyum ke arahku.
“Cheer for death,” ujarnya sebelum aku tak sadarkan diri.
***
“Dimana aku?!” teriakku sembari mencoba menggerakkan tangan dan kaki yang kini terikat oleh sebuah tali. Aku menjelajahi seisi ruangan itu. Namun, yang kudapati hanyalah debu-debu yang sudah tertumpuk lama di setiap sudut ruangan. Bahkan, lantai keramik berwarna putih marble itu pun sedikit kabur akibat ketebalan debu.
“Teriak aja sepuas kamu, gak bakalan ada yang nolongin kamu juga.”
Aku segera menoleh ke samping. Seseorang berjalan masuk dari pintu dan mendekatiku.
“Kamu siapa?”
“Kamu gak perlu tahu aku siapa. Yang jelas, ada pertunjukkan yang ingin aku tampilkan untuk kamu.”
Tak lama kemudian, dinding putih di ruangan berpencahayaan minim itu menampilkan sebuah video. Aku mendongak ke atas dan mendapati sebuah proyektor di sana.
Aku kembali fokus pada dinding yang menjadi layar tancap itu dan menyaksikan sebuah video yang ditampilkan. Terlihat dua orang gadis tengah memukuli seorang gadis lainnya yang lebih lemah. Beberapa pukulan mendarat di bagian punggung, lengan, dan pipi gadis itu. Sesaat video itu menampilkan wajah mereka saat berbalik. Betapa terkejutnya aku tatkala mengetahui siapa tiga gadis itu.
Erika, Liani, dan yang dipukuli ialah ... Lesti.
Tak lama setelah itu, video menampilkan Erika dan Liani yang memaksa Lesti untuk menggantung lehernya di atas tali itu.
“Ini kan rekaman CCTV yang mau kamu cari?”
Bagaimana bisa ia tahu?
“Kamu terlambat, karena aku terlebih dahulu mengambil rekaman itu dan menghapusnya dari sana.”
“Kenapa kamu hapus? Bukannya dengan begitu, pihak sekolah akan tahu bahwa sebenarnya Lesti nggak bunuh diri. Melainkan dipaksa untuk melakukan hal itu.”
Lelaki itu berdecak. “Bukannya dengan cara itu masalah Lesti akan kembali diungkit? Dengan begitu, arwahnya tidak akan tenang. Aku tidak akan ikhlas,” ujarnya.
Aku hendak menjawab kembali. Namun, rekaman CCTV tadi berubah, menampilkan dua video yang sepertinya memang sengaja digabungkan menjadi satu.
Video kematian Erika dan Liani. Video itu menampilkan proses kematian mereka berdua yang meloncat dari rooftop.
“Kamu yang buat mereka loncat dari atas sana? Tapi, gimana bisa? Di video itu gak ada orang lain selain mereka berdua.”
“Memangnya, apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang indigo sepertiku?”
Apa mungkin ia meminta bantuan para arwah gentayangan untuk membuat Erika dan Liani nekat meloncat dari atas sana?
“Setelah mereka berdua membuat Lesti kehilangan dunianya, yaitu cheerleader. Mereka juga membuat Lesti kehilangan nyawanya. Bukankah mereka begitu kejam?” Terdengar gelak tawa setelah ucapan itu terlontar. “Mereka bekerja sama untuk menyingkirkan Lesti. Dan, setelah itu, aku yang menyingkirkan mereka semua.”
“Cheer for death,” bisiknya mendekati telingaku.
“Apa ka-kamu juga ingin membunuhku?” tanyaku takut.
“Pikirkan saja, apa akhir yang lebih pantas bagi seseorang yang pernah menampar Lesti di depan umum?”
Aku menggeleng. Tidak. Bagaimana bisa ia tahu bila aku pernah menampar Lesti dulu? Apa jangan-jangan ....
Ia melepas masker yang sedari tadi dikenakannya.
“Rey?!”
“Rey kan mantannya Lesti. Katanya, sih, gagal move on, makanya masih sering ngejar Lesti.”
“Cheer for death, Elia.”
***
Ini cerita thriller pertama yang aku buat. Mohon maaf bila ada banyak kekurangan di cerita ini. Terima kasih🌈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro