• 01 - Paint for Pain •
Welcome🌈
[ This story contains trigger warning⚠️ ]
***
Judul : Paint for Pain
Karya : Vallencia
Di dalam sebuah ruangan berukuran 5 meter × 5 meter itu, seorang gadis tengah tersenyum sembari menatap dirinya di depan cermin besar. Senyumnya bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh tidak keikhlasan. Ia tersenyum miris tatkala mengingat betapa tidak bergunanya dirinya di hadapan kedua orang tuanya. Ah, tidak hanya di hadapan orang tuanya, ia merasa di hadapan keluarga besar dan teman-temannya pun ia hanyalah makhluk kecil tak berguna.
"Aku mau mati aja. Hidupku udah gak berguna lagi di dunia ini," ujar Tania sembari mengambil sebuah silet kecil dan meletakkan benda itu di atas pergelangan tangannya. Tepatnya ... di urat nadinya. Ia mulai menggoreskan silet itu, dan terlihat begitu menikmati bagaimana ujung silet itu mulai menggores kulit putihnya, hingga tetesan darah mulai keluar.
Ia lantas memperdalam ujung silet itu, hingga tetesan darah itu kini berubah menjadi aliran darah. Dalam sekejap, lantai ubin putihnya dibanjiri oleh aliran darah.
"Nenek, tunggu Tania," batinnya sebelum ia mulai kehabisan darah, dan tak sadarkan diri.
***
Aku menutup buku cerita itu setelah puas membacanya. Ah, ternyata seru juga, ya, membaca buku cerita yang diberikan oleh Naya. Iya, Naya. Ia adalah temanku, sekaligus tetangga sebelah rumah. Katanya, ayahnya adalah seorang penulis bergenre thriller. Aku yang bukan seorang penulis tidak begitu paham dengan genre-genre seperti itu. Yang aku tahu hanyalah fiksi remaja saja. Memangnya, ada berapa banyak genre di dunia fiksi?
Ngomong-ngomong kita belum berkenalan, namaku Teresa. Biasa aku dipanggil Tere oleh teman-teman dekatku. Sementara orang tuaku memanggilku Resa. Ah, aku sebenarnya paling benci membahas perihal orang tua, karena mereka tidak layak mendapat gelar itu. Mereka terlalu asyik dengan dunia mereka sendiri, yakni dunia pekerjaan hingga menelantarkanku sebagai seorang anak.
Papaku adalah seorang arsitek ternama yang sibuknya bukan main, sementara mama ialah seorang designer. Dan sepertinya, bakat mereka turun kepadaku. Ya, bakat menggambar atau melukis. Bedanya, jika papa melukis rancangan bangunan, dan mama melukis desain baju ataupun dress, maka aku lebih suka melukis manusia. Jika papa dan mama memilih kertas sebagai objek melukis, maka aku berbeda lagi.
Aku lebih suka melukis manusia di ... ah, di atas kulit. Ya, berkali-kali aku melukis seorang manusia di atas kulit tanganku. Aneh, bukan? Tapi, namanya juga hobi. Tidak ada yang bisa melarangku, termasuk papa dan mama sekalipun. Bagiku, melukis adalah salah satu caraku mengekspresikan diri, meski sebagian orang lainnya lebih suka mengekspresikan diri dengan cara menulis.
Biasanya aku melukis menggunakan cat air. Biasanya juga pewarna makanan. Tergantung, sih, sebenarnya. Jika cat airku kehabisan stok, maka aku akan mengambil pewarna makanan di rak dapur.
Setelah membaca cerita yang diberikan oleh Naya, aku jadi berubah pikiran. Bagaimana jika aku melukis manusia di kulitku, tapi dengan alat melukis yang berbeda?
Bagaimana kalau kita melukis menggunakan silet? Kedengarannya menarik.
Aku mengotak-atik rak belajarku guna mencari silet. Tapi, nihil. Aku memutuskan untuk menggunakan sebuah benda yang sama seperti silet saja, yang kebetulan ada di hadapanku saat ini.
Cutter.
Aku mengangkat cutter itu, lantas tersenyum. Aku mulai menyentuhkan permukaan cutter itu ke atas kulitku. Rasanya dingin, karena bersentuhan dengan benda itu. Hari ini, aku memutuskan untuk menggambar dua orang, yaitu papa dan mama.
Pertama-tama aku membuat goresan berbentuk bulat untuk membentuk kepala. Lantas menambahkan wajah di atasnya. Gambar pertama, yaitu papa, sudah selesai dan terlihat begitu sempurna. Gambar kedua, yakni gambar mama kini tengah aku kerjakan.
"Selesai juga. Gambar papa dan mama di atas tangan menggunakan cutter terlihat cantik. Pasti mereka suka," gumamku.
Rasa perih seketika menguasai diriku, karena darah yang mulai keluar dari tanganku. Akan tetapi, itu oke-oke saja, karena aku sudah biasa.
***
Ditulis : 4 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro