Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-5-

Jika aku pernah membayangkan perusahaan Dad sebagai gudang lantai dua terbengkalai yang disewa murah, aku salah besar. Mom sudah meyakinkanku kalau perusahaan Dad jauh lebih layak dari yang kukira, dan setelah melihat rumah kemarin, aku mulai memikirkan beberapa gedung tinggi dalam satu kompleks strategis. Tapi rupanya aku masih salah.

Daei luar gedung petak tiga lantai bercat abu-abu, aku membayangkan apakah Dad membangun markas mata-mata rahasia yang disamarkan dengan perusahaan percetakan dan periklanan supaya tidak terlihat mencurigakan, dan aku tidak akan tahu identitas Dad yang sebenarnya sampai masuk ke dalam nanti.

Tapi setelah mendorong pintu kaca dengan tergesa dan menginjakkan langkah pertama yang keras di lobi depan hingga beberapa orang di sofa tunggu menoleh padaku, aku tahu gedung ini ternyata tidak rahasia-rahasia banget, karena tidak ada markas tersembunyi yang memasang rak tinggi besar penuh berbagai majalah di antara sebuah poster iklan tas tangan seukuran orang asli yang dibingkai---maksudku, benar-benar dibingkai.

Mungkin perlu kutambahkan kalau model pirang yang berpose memegang tas jinjing biru muda di samping pipinya adalah Celline.

Omong-omong soal anak itu, dialah yang penyebab kemunculanku di hari pertama kerja menjadi tidak keren dengan peluh membasahi wajah dan tas nyaris terjatuh lantaran tidak kuat menahan pintu kaca yang berat. Si resepsionis yang sedang memoles lipstik merah mudanya mendongak tanpa kedip seakan aku adalah alien yang berkunjung, lalu mengerjap sambil berkata, "Maaf?"

"Namaku Ashley ... um Ashley Hilary," kataku sambil terengah. "Seharusnya ini hari pertamaku kerja."

Si resepsionis--Susanah namanya, kulihat dari pin kecil yang dipasang di blazer merah tuanya--menggumamkan sesuatu padaku untuk menunggu, kemudian menelepon seseorang. Duduk di sofa bersama dua tamu lain yang terus memandangku terdengar bukan gagasan bagus, jadi aku memilih tetap berdiri di depan meja marmer abunya.

"Yeah, Ashley Hilary, katanya anak baru," bisiknya. Dia menutup mulutnya untuk berbisik lebih pelan, jeda sebentar, lalu diam-diam melirikku. "Well, rambut merah. Um, lumayan berisi, sepertimu. Rambutnya agak berantakan. Dia praktis menerobos pintu, sampai aku curiga apa dia adalah buronan yang baru dikejar polisi dan ingin menyandera salah satu dari kami. Kenapa aku tidak tahu akan ada anak baru---"

Aku berdeham cukup keras, lalu si resepsionis memandangku. Alih-alih terlihat bersalah karena kepergok, ia malah mengernyit seakan tidak senang diinterupsi.

"Bagaimana jika aku langsung ke kantor entah siapa itu, supaya dia bisa melihatku dan menilai langsung?"

Tentu saja, aku dibawa ke kantor HRD.

Bukan untuk sambutan atau basa-basi hari pertama kerja, tapi membicarakan pelanggaran pertama di hari pertama kerjaku.

"Jadi kau Ashley Hilary, karyawan baru dari New York yang direkomendasi Mr Drowen langsung," kata Heather Irvin—aku melihat tag namanya di meja—sambil bersandar di kursi putar berodanya.

"Benar, Ma'am."

"Kudengar-dengar Mr Drowen yang mewawancaraimu langsung, begitu?" Heather melipat kakinya, memutar bola dunia mini di samping komputernya dengan pulpen. Aku mengiyakan lagi.

"Apa saja tawaran yang ia berikan padamu?" tanyanya lagi.

Dad tidak memberitahuku soal ini. Ikut bersandar di kursi—bedanya, punyaku tidak bisa digoyangkan ke kiri dan kanan seperti yang Heather lakukan sekarang—aku mencoba memikirkan kalimat yang tepat. "Maaf, Ma'am, sebagai orang baru, aku tidak yakin apakah hal semacam ini boleh diberitahukan pada orang lain. Aku menyarankan Anda agar menanyakan langsung pada ... um, Mr Drowen."

"Aku bagian Personalia, Hilary. Bukannya kami tidak menerima lulusan SMA—jika kau kompeten, kenapa tidak? Aku hanya penasaran apa keunggulan spesial yang kau punya, apalagi setelah melihatmu sekarang ...." Ia menunjukku dari atas ke bawah, tapi aku tidak merasa ada yang salah dengan blus putih dibalik blazer biru navy­ dan rok hitam bahan katunku. Tips mode pakaian di majalah Workaholic for Shopaholic tidak mungkin salah. "Baiklah, kita mulai dari pertanyaan kenapa kau bisa terlambat di hari pertamamu? Apa kau kesiangan? Jalan macet? Tunggu, ini bukan New York."

Aku mendesah dalam hati. Ini dia.

Sebenarnya, seharusnya, pagi ini berjalan lancar sejak aku terbangun oleh alarm pukul setengah enam pagi, meregangkan otot di halaman rumah sambil berkeliling dan memanjakan mata dengan tanaman yang tertata rapi, menikmati matahari terbit yang cantik---sumpah, rasanya seperti memulai sebuah film romansa di mana tokoh utama perempuan akan bertemu manajer yang tampan sebentar lagi. Aku melakukan lompatan kecil yang semangat saat menaiki tangga untuk mandi, lalu turun dengan semangat yang sama, hanya saja jauh lebih wangi.

"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan menyentuh itu," kata Juliet yang tiba-tiba muncul di belakang saat aku sedang menggoreng bacon di dapur.

"Ini belum kadaluwarsa. Sudah kucek," ujarku sambil mengedikkan kotak gabus dan plastik berlabel di tempat sampah.

"Maksudku, itu punya Cell---Miss Drowen Kecil," bisiknya dengan sebelah telapak tangan di samping bibir seakan sedang mengatakan sebuah rahasia besar.

"Oh." Aku mengerjap. "Well. Maksudku, itu bukan masalah besar kan?"

Suara jeritan histeris dari pintu dapur menjawab pertanyaanku.

"Itu makan siangku!" Celline, masih memakai piyama satin merah muda yang berenda berteriak seolah aku baru saja merengut setengah kehidupannya.

"Oh," cetusku santai, "kalau begitu mari kita jadikan sebagai sarapan. Aku membuatkan porsimu juga, lihat betapa beruntungnya punya kakak perempuan."

"Kita tidak memakan bacon di pagi hari!" katanya lagi. "Aku sudah menahan satu minggu untuk makan itu, dan sekarang kau ... astaga." Celline menekan dadanya dengan syok saat melihat hasil masakanku di atas konter marmer seluas meja makan besar di tengah dapur. "Kau membuatnya semakin berlemak."

Aku ingin membantah Celline yang meremehkan kemampuan memasakku, tapi hal yang bisa kupikirkan hanyalah: orang gila mana yang harus menahan diri untuk memakan bacon yang ia simpan di kulkas selama seminggu?

"Ada apa?" Hannah, istri Dad, memasuki dapur dengan gaun kotak-kotak hitam selutut pas badan yang dibalut blazer biru tua, dan rambut pendek pirang mengembang yang terlihat seperti wig saking rapinya. Sebuah ban lebar berwarna hitam menegaskan pinggang super ramping Hannah, persis putrinya. Bedanya, beberapa bagian tubuh Hannah jauh lebih berisi, membuatku berpikir keras bagaimana distribusi lemaknya bisa berjalan begitu baik.

"Ashley makan baconku!" adu Celline.

"Aku bahkan belum memasukkannya ke mulut," sanggahku.

Hannah menggeleng prihatin, entah pada irisan daging di depannya atau putrinya yang menyedihkan. "Celline Sayang, kau bisa tinggal menyuruh Juliet untuk membelinya lagi."

"Tapi aku tidak bisa sarapan pagi ini dengan bau bacon di dapur!" Celline masih merajuk.

"Ashley Sayang." Kali ini Hannah menatap padaku dengan ekspresi sama. "Aku harap kau bisa bertanggung jawab atas perbuatan gegabahmu ini dan membersihkan area dapur dari aroma lemak sampai sebelum pukul delapan. Celline harus mendapat asupan buah yang segar setiap pagi." Suara platform shoes-nya berdentum di atas lantai linoleum bermotif kayu alami saat Hannah meninggalkan dapur setelah memberi ultimatum.

Karena itulah, sementara Celline mengurung diri di kamar, aku—yang mengomel—beserta Juliet dibantu Manuel harus melakukan pekerjaan paling konyol dengan menyemprotkan pengharum ruangan ke dapur dan menunggu sekitar setengah jam sampai bau makanan sedap itu benar-benar hilang. Juliet tidak henti-hentinya menahan tertawa, dan aku tidak tahu apa yang menurutnya lucu, kegiatan bodoh kami atau fakta Celline yang marah-marah karena baconnya dicuri.

Tapi bukan itu alasan utama yang membuatku terlambat, karena aku masih punya waktu setengah jam untuk mengganti pakaian dan menghabiskan bacon dengan damai di kamar.

Saat ingin berangkat tadi, tiba-tiba ban Audi perak yang akan dipakai Manuel untuk mengantarku ke kantor kempes. Tidak hanya itu, semua ban serep yang disimpan di gudang juga bernasib sama. Satu-satunya mobil yang tersisa adalah Porsche putih, yang dari stiker Minnie Mouse kecil di sudut kaca depannya, aku sudah tahu kalau mustahil meminjam kendaraan itu.

Manuel mengatakan akan segera menelepon tukang tambal ban atau semacamnya, tapi aku tidak sempat menunggu lebih lama lagi, jadi akhirnya aku memesan taksi.

Seolah tidak bisa lebih sial lagi, taksi itu adalah taksi yang pernah kupesan dan kutinggalkan kemarin akibat salah masuk, dan si supir mendebatku cukup lama sebelum Manuel menegaskan kalau ia akan melapor atas nama Jaxon Drowen karena taksi itu memberi pelayanan terburuk pada putrinya.

Aku benci mengakui ini, tapi Fortune Cookie ada benarnya soal orang yang membawa malapetaka. Jika bukan Celline di balik ban-ban berlubang itu, siapa lagi?

Namun, sayangnya aku tidak bisa menjelaskan pada Heather Irvin di depanku sekarang kalau alasanku telat adalah adik tiri yang tidak sarapan bacon pagi hari, dan membalas dendamku dengan menjejalkan paku ke dalam ban mobil. Karena ia akan membalas mustahil ada gadis sekejam itu, dan aku akan menjawab, "Ada. Celline, si Miss Drowen Kecil."

Jadi, membenarkan tuduhan Heather, aku mengatakan, "Yeah, kau tahu, aku baru tiba di Tashver semalam dan perjalananku cukup melelahkan, jadi aku ... yeah, sedikit kesiangan. Maaf, aku tidak akan pernah mengulanginya lagi."

"Apa yang akan kita lakukan untuk menangani pelanggaran pertamamu, hmm?" Heather menggosokkan tutup penanya ke dagu, melirikku dengan tatapan penuh arti.

"Apa?" tanyaku tidak paham.

Ketika aku mengarahkan pandangan pada poster wajah Ruby Rose yang besar di salah satu dinding putih kantor ini, aku mulai tertegun.

Astaga, dia tidak bermaksud mengajakku kencan, kan?

"Aku ...."

"Bagaimana jika kau membelikanku kopi selama seminggu?" katanya tiba-tiba.

Aku mengerjap. "Apa aku harus mengeluarkan uang untuk membayar kesalahan yang kulakukan?"

Heather mencondongkan badannya sembari melirik ke arah pintu kaca di belakangku. "Aku menawarkan kesempatan untuk membersihkan catatan pelanggaranmu, Sayang."

"Ikuti saja prosedurnya," kataku tegas.

"Apa?" tanyanya dengan sebelah mata menyipit.

"Kubilang, aku tidak akan mentraktirmu kopi sehari pun."

Heather tampak tidak senang. Setelah menguasai diri, ia membuka laci mejanya dan mengeluarkan selembar kertas formulir, lalu menulis dengan cepat tanpa memandangku lagi. "Gajimu akan dipotong bulan ini."

----------

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro